"Sial!" umpat Eloise, karena ikan tangkapannya kabur.
Ia kembali menatap air di sekitarnya untuk mencari keberadaan ikan lainnya.
"Apakah itu ikan," gumamnya dengan sudut bibir tertarik.
Kali ini Eloise tak mau kecolongan lagi. Ia tak mau gagal untuk kesekian kalinya setelah sebelumnya mencoba ada lima kali, dan belum berhasil menangkap ikan sekalipun.
"Tenang, dan konsentrasi," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Eloise sama sekali tak bergerak saat melihat ikan di depannya, ia hanya mengawasinya dengan tatapan memburu.
Ia juga mengingat teknik berburu yang sebelumnya dia baca.
"Bergerak cepat tanpa ragu dan menusuk menukik," batinnya, mengingat kutipan kalimat yang ingin ingat dari buku yang dibacanya.
Eloise lalu melakukan seperti yang ia baca pada buku. Di saat ikan besar tadi tak menyadari keberadaannya, dengan cepat ia menghujamkan tombaknya.
Jleb! Tombak itu menancap tepat ke badan ikan, di bagian bawah kepalanya.
"Akhirnya, aku mendapatkan ikan," soraknya riang.
Eloise lalu keluar dari danau untuk mengambil ember hitam miliknya. Setelah memasukkan satu ikannya ke sana, ia kembali masuk ke danau.
"Aku akan memenuhi emberku, baru aku akan pulang." gumamnya, lalu masuk kembali ke danau.
Di sana, Eloise kembali melakukan seperti yang sebelumnya dia lakukan. Setelah sebelumnya berhasil menangkap satu ikan, kini dengan mudah dia bisa menangkap beberapa ikan lainnya.
"Hampir penuh emberku," ucapnya, menaruh ikan kelima yang ditangkapnya ke ember.
"Kurang sedikit saja, ember ini akan penuh." gumamnya lagi.
Ia bahkan terpikirkan pada tetangga depan rumahnya yang menurutnya baik pada dirinya.
"Tangkapan berikutnya kuharap besar dan aku akan membaginya dengan Nyonya Miel," lirihnya, menunggu tangkapannya datang.
Ia ingin memberi tetangganya itu, bukan tanpa alasan, melainkan agar hubungan mereka semakin dekat. Meskipun ia tak tahu bagaimana hubungan sebenarnya pemilik tubuh ini dengan tetangganya itu.
Eloise yang sudah kembali masuk ke danau, menatap air di sekitarnya. Ia tetap berada di tepi dan tak mau ambil resiko untuk pergi ke tengah di mana air semakin dalam. Dan hal itu sangat beresiko sekali bagi dirinya mengingat sebelumnya ia tenggelam di sana.
Dengan sabar menunggu, ia menggerakkan manik matanya liar menatap ke sekitar. Hingga dari arah sampingnya, tiga meter dari arah timur air terlihat bergelombang. Riaknya lebih besar daripada biasanya.
"Itu pasti ikan besar atau bisa saja kumpulan ikan besar datang kemari. Aku tak perlu repot mencarinya dan mereka datang sendiri untuk kutangkap," celetuknya, dengan senyum tersungging di ujung bibirnya.
Eloise pun segera mengangkat tombaknya, bersiap untuk memburu buruannya yang menyerahkan diri padanya.
Senyumnya yang terkembang tiba-tiba pudar sudah saat melihat ternyata yang datang bukanlah kumpulan ikan seperti yang dipikirkannya, namun sebuah predator.
"Astaga! Buaya!" pekiknya, terkejut sekali, juga ini merupakan pertama kalinya dirinya melihat seekor buaya besar secara langsung.
Buaya itu bergerak sangat cepat sehingga membuatnya tak bisa mundur untuk menyelamatkan diri. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dirinya hanyalah bertahan atau menyerang.
"Sial!" umpatnya, saat buaya itu kini membuka mulutnya lebar-lebar.
Terlihat deretan gigi taringnya yang tajam dan siap mencabut daging mangsanya.
"Mulutmu bau sekali!" umpat Eloise lagi, sembari menutup hidungnya.
Bau busuk menyembul dari mulut buaya yang bergigi busuk, dengan noda coklat pada setiap bagian giginya yang menambah bau busuknya semakin bertambah parah saja, serasa mengaduk perutnya.
Buaya itu mulai memburu Eloise.
"Aku harus bisa menaklukkan buaya ini, apapun caranya." tekadnya, dengan mata berkilat dan biji mata yang membulat lebar.
Eloise tampak tidak takut sama sekali saat buaya itu semakin mendekat. Bahkan ia pun sudah bersiap untuk melawannya.
Tepat di saat buaya itu membuka mulutnya lebar-lebar kembali, ia malah mengambil tombak yang di bawahnya dan mengganjal mulut buaya itu supaya tetap terbuka.
Eloise kemudian mundur pelan-pelan.
Buaya tadi tentu saja merasa tak nyaman dengan adanya sesuatu yang mengganjal di mulutnya. Ia paksa menutup mulutnya.
Crash! Namun saat mulutnya terkatup tombak tadi menembus daging mulutnya dan merobeknya.
Crat! Seketika darah muncrat dari bibir buaya tadi yang membuat air danau menjadi berwarna merah.
Buaya tadi menggeleparkan tubuhnya karena merasa sakit dan ingin melepaskan benda yang menancap di mulutnya, hingga membuatnya kabur dari sana.
Dengan mata kuning reptilnya, ia menatap Eloise dengan sorot mata redup untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar menghilang dari sana.
"Sial! Bajuku jadi kotor dan bau amis karena buaya tadi," gerutunya, menatap baju kuningnya kini berwarna merah.
Eloise pun memutuskan untuk segera keluar dari dana sebelum ada predator lain yang datang dan memburunya.
Ia khawatir jika buaya tadi memanggil temannya, atau ada predator jenis lain yang datang menyerangnya.
"Kurasa adikku nanya segini jika ku bagi dengan tetanggaku, itu tak masalah."
Eloise sekarang mengambil embernya setelah keluar dari danau. Ia menyisir jalan menuju ke rumah.
"Nyonya Miel, ini ada sedikit ikan untukmu," ucapnya, saat bertemu tetangganya itu di depan rumah.
Nyonya Miel menerima itu, meskipun sebenarnya dia juga masih punya stok ikan. Tak enak saja menolak pemberian orang, takut nomornya akan tersinggung.
"Astaga, Eloise. Kau terluka?!" pekiknya, melihat noda darah pada pakaian Eloise.
"Ini bukan darah ku, tapi darah buaya."
Nyonya Miel sampai membuka mulutnya lebar mendengar penjelasan Eloise.