Qiana dan Oma Inge sudah sampai di rumah kembali bersama Alvin alias Vino. Sedangkan Fahlevi masih berada di rumah sakit karena Rayn menahan dan mengajaknya berdebat, mengenai masalah yang Fahlevi sembunyikan dari dirinya dan juga sahabatnya yang lain.
"Lu mau ngomong gak sama gue?" Rayn menahan kepala Fahlevi di dalam ketiaknya.
"Lepasin gak? Sumpah yah ketek lu bau banget ini! Berapa abad lu kagak mandi?" ucap Fahlevi penuh sesak.
"Enak aja! Gue mandi tiap jam, gue juga pake parfum mahal dari luar negeri. Kalau lu gak mau ngomong, sampai kapan pun gue gak bakalan ngelepasin kepala lu di ketek gue! Lu hisap aja wangi ketek gue sampe mampus!" dengan iseng Rayn malah sengaja semakin mengeratkan himpitan lengannya di kepala Fahlevi.
"Sialan, lu!" umpat Fahlevi.
Sementara Qiana saat ini sedang berada di dalam kamarnya. Setelah pulang dari rumah sakit, Qiana memilih istirahat dan tidur.
Qiana mencoba memejamkan matanya yang terasa berat, namun kerongkongannya yang terasa kering memaksa dirinya membuka mata untuk mengambil air minum.
"Yah! Kosong airnya!" kata Qiana saat melihat botol minum di atas mejanya yang memang sudah kosong.
Qiana terpaksa turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar menuju dapur, untuk membawa air minum.
Saat Qiana sudah mengisi botol minum hingga penuh, Qiana berjalan kembali menuju tangga. Langkah kakinya terhenti saat berada di dekat ruang kerja Oma Inge.
"Apa aku benar-benar akan kehilangan semua ini? Perusahaan, rumah, juga seluruh harta peninggalan dari suamiku." Tangis Oma Inge penuh penyesalan.
Qiana mendengar dengan jelas suara isak tangis Oma Inge di dalam ruang kerjanya. Merasa tak tega dengan keadaan Oma Inge, Qiana berpikir untuk segera bertindak mengambil alih perusahaan sebelum benar-benar lepas dan jatuh ke tangan orang lain.
"Maafkan aku, Oma!" batin Qiana lirih.
"Maafkan aku, Bang! Aku tidak bisa mempertahankan apa yang sudah Abang perjuangkan selama ini. Dengan tetesan keringat dan darah, Abang membangun usaha hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Tapi, apa yang aku lakukan sekarang? Aku menghancurkan semuanya dalam sekejap mata. Semua ini karena kecerobohanku…" tangis Oma Inge penuh sesak.
Qiana yang diam-diam mendengar tangis Oma Inge di dalam ruang kerjanya, berdiri mematung di balik pintu. Qiana sudah mendengar semua keluh kesah Oma Inge di depan foto sang suami, Erlangga Pratama Wijaya.
"Aku janji ini tidak akan lama, Oma! Setelah aku berhasil membawa Bang Alvan kembali pada Oma dan Papi, aku akan mengembalikan semua milik Oma. Bahkan aku akan terus berjuang untuk menemukan Opa Erlangga secepatnya. Aku berjanji, Oma!" Qiana bersandar di depan pintu dengan meremas dadanya yang terasa sakit.
Tidak ingin ada yang tahu keberadaannya, Qiana segera kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. Qiana baru ingat kalau semua dokumen perusahaan masih dia simpan di dalam kopernya.
"Aku harus segera menyimpan dokumen penting ini di tempat yang aman." Qiana menatap layar ponselnya yang berkedip.
Senyumnya terbit saat melihat panggilan video mode konferensi dari Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi.
"Hai cowok gantengers…!" sapa Qiana pada keempat laki-laki tampan sahabat dari Alvan sang suami.
"Hai, juga cantik…!" balas Evan, Rayn, Gherry, dan Fahlevi nyaris bersamaan.
"Gimana kerjaan di Bandung, lancar?" Evan memulai percakapan.
"Lancar!" jawab Qiana mantap.
"Sepertinya kalau gue lihat wajah lu happy banget, ada berita apa?" tanya Fahlevi penasaran.
"Kasih tahu gak yah?!" goda Qiana membuat Fahlevi mencebikkan bibirnya, sementara Evan, Gherry, dan Rayn terkekeh.
"Sejak kapan lu jadi kepo gitu, Lev? Jangan-jangan ketularan sama Alvin!" celetuk Rayn.
"Asli gue bukan kepo tapi pinisirin, bray! Qiana juga belum cerita sama kita. Emang kalian gak penasaran gitu?" tanya Fahlevi sambil terkekeh.
"Saatnya tiba nanti aku pasti akan memberitahu kalian lebih dulu. Aku gak bisa nutupin rahasia sebesar ini sama kalian, aku percaya kalian orang baik. Aku cuma…" ucapan Qiana terhenti karena suara Vino di depan pintu terdengar memanggilnya.
"Qiana! Buka pintunya!" teriak Vino menggedor pintu kamar Qiana.
Qiana beranjak untuk membuka pintu tanpa menutup teleponnya terlebih dahulu, sementara Vino masuk dan langsung mencengkram rahang Qiana dengan kuat. Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi dapat melihat apa yang Vino lakukan kepada Qiana di balik sambungan video callnya.
"Ada apa?" tanya Qiana dengan wajah menantang.
"Kamu dengar Qiana! Kamu pergi beberapa hari tanpa memberitahuku, apa kamu sedang merencanakan sesuatu? Aku pastikan kamu adalah orang pertama yang akan aku tendang keluar dari rumah ini secepatnya! Aku akan mendapatkan bukti perselingkuhanmu dengan laki-laki lain. Dengan bukti itu riwayatmu tamat sebagai istri Alvan dan menantu di rumah ini. Ingat itu Qiana!" ancam Vino mencengkram rahang Qiana.
"Aku tidak takut ancamanmu, Vino! Sebelum kamu menendangku dari rumah ini, aku yang akan menghancurkanmu terlebih dahulu!" ucap Qiana lantang dengan menahan sakit.
Plaaakkk…!
Satu tamparan keras mendarat di wajah cantik Qiana. Pipinya memerah tapi itu tidak membuat Qiana gentar. Qiana tersenyum penuh kemenangan dengan smirk di wajahnya.
"Kamu kira aku takut dengan ancaman recehmu itu, Vino? Tidak akan! Kehidupanku yang teramat keras dimasa lalu mengajarkan sesuatu yang sangat berharga. Dulu aku hanya diam dan mengalah pada keadaan setiap kali orang lain menginjak-injak aku, tapi sekarang siapa pun lawanku akan aku hadapi! Bersiaplah untuk keluar dari rumah ini, Vino!" sentak Qiana di depan wajah Vino.
"Berani melawanku?" tatapan tajam Vino membuat Qiana tersenyum masam.
"Sekali pun aku harus mati ditanganmu. Aku tidak peduli dan tidak akan pernah aku sesali, selama aku bisa mengembalikan semua milik keluarga ini kepada mereka. Ingat Vino, satu langkah lagi aku akan membongkar semua kebusukanmu! Dan saat itu tiba aku yang akan menendangmu keluar dari rumah ini, benalu!" kini Qiana yang balik mengancam Vino.
Di balik sambungan telepon Rayn, Fahlevi, dan Gherry diam mendengarkan dengan geram. Sementara Evan terus merekam semua percakapan Qiana dan Vino.
"Kamu hanya sendiri, Qiana! Tapi kamu berani melawan aku, haaah? Mimpi kamu!" ucap Vino alias Alvin geram.
"Aku sendiri atau bersama Bang Alvan, itu bukan urusanmu! Meski lawanku bukan hanya kamu, ada Om Fariz dan Om Wisnu sekali pun akan aku hadapi, Vino! Ingat itu!" tunjuk Qiana didepan wajah Vino.
"Aaarrrggghhh…" Vino terlihat frustasi.
Qiana tersenyum dengan air mata yang sudah meleleh di kedua pipinya, saat Vino alias Alvin sudah keluar dari kamarnya.
"Aku akan menjadi wanita terkejam di dunia ini kalau orang yang aku sayangi terusik oleh kejahatanmu, Vino!" ucap Qiana geram dengan rahang yang sudah mengeras.
Qiana duduk di tepi ranjang saat menatap layar ponselnya yang masih menyala, Qiana menutup mulutnya dan meraih ponselnya.
"Kenapa kalian tidak menutup teleponnya?" tanya Qiana saat sadar jika sambungan teleponnya masih berlanjut.
"Tidak apa-apa, Qiana! Kita jadi dapat tontonan live gratis drama seorang pecundang melawan bidadari kecil yang tangguh." hibur Evan dengan mata berkaca-kaca.
"Akh lebay lu, Van!" ledek Rayn.
"Bukan lebay dia mah! Tapi terhura alias terharu." Fahlevi terkekeh.
"Lu tenang yah, Qi! Gue, Evan, Rayn, sama Levi ada di belakang lu. Sampai kapan pun kita akan dukung lu buat ngelawan cecunguk macam Alvan KW." Gherry menyemangati Qiana
"Terima kasih, semuanya." Qiana benar-benar terharu.
"Ya udah! Lu istirahat gih! Jangan lupa minum obat dan vitaminnya!" Fahlevi mengingatkan.
"Oke!" balas Qiana.
Qiana, Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya. Qiana merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya terpejam namun bukan tidur, Qiana terbayang wajah tampan Mas Tama yang tiga hari ini bersamanya.
Qiana menyungging senyum saat mengingat Mas Tama menolongnya dari niat buruk Iqbal. pelukan hangat yang nyaman dari Mas Tama, mampu mengobati kerinduan Qiana pada Alvan sang suami.
"Abang, maafkan aku!" ucap Qiana lirih sebelum akhirnya tertidur.
Bandung, Oktober 2020…
Di tempat lain, Mas Tama tengah terbangun dari tidurnya. Entah kenapa tiba-tiba dada Mas Tama berdebar dengan ritme yang sangat cepat. Mas Tama juga tidak bisa menghilangkan bayangan wajah cantik Qiana di pelupuk matanya.
"Kenapa aku merasa Qiana sepertinya begitu dekat denganku? Saat aku menolongnya tadi sore, aku merasa seperti pernah merasakan pelukan itu. Siapa kamu sebenarnya, Qiana?" hati dan pikiran Mas Tama jadi kacau karena terus menerus teringat Qiana.
Bayangan saat dirinya sedang bersama Qiana seperti sebuah rekaman video yang diputar cepat namun samar, membuat kepalanya terasa berat dan sakit.
"Aaaaakh… kepalaku! Kenapa kepalaku sakit sekali?" Mas Tama memegang kepalanya yang terasa sakit.
Mendengar teriakan Mas Tama dari kamar sebelah, Pak Samin terbangun dan segera menemui Mas Tama di dalam kamarnya.
"Tama! Kamu kenapa, Tama? Apa kepalamu sakit?" Pak Samin melihat Mas Tama meraung kesakitan seraya memegang kepalanya.
"Aaaaahhh, kepalaku sakit sekali!" teriak Mas Tama.
"Apa kamu mengingat sesuatu?" tanya Pak Samin.
"Qiana…" suara Mas Tama melemah.
Pak Samin terkejut saat melihat Mas Tama sudah tidak sadarkan diri di atas tempat tidurnya. Dapat Pak Samin lihat air mata meleleh di pipi Mas Tama, sebelum akhirnya pria tampan itu benar-benar sudah tidak sadarkan diri.
"Bagaimana ini? Aku tidak mungkin membawa Tama ke rumah sakit sendiri tengah malam begini. Qiana juga bilang kalau di sini rawan sekali kejahatan." Ucap Pak Samin pada dirinya sendiri.
Pak Samin melirik ponsel di atas meja Mas Tama, seketika senyumnya mengembang saat teringat dengan pesan Qiana.
"Kalau terjadi sesuatu dengan Mas Tama, Bapak jangan sungkan-sungkan hubungi aku. Walau tengah malam sekali pun aku akan mengangkat telepon dari Bapak." Ucap Qiana kala itu sebelum kembali ke Jakarta dan membelikan ponsel untuk Mas Tama.
"Kalau begitu aku harus menghubungi Qiana dan memberitahu keadaan Tama sekarang." Pak Samin meraih ponsel dan menekan nomor kontak Qiana.
Qiana memang hanya menyimpan kontak dirinya, Dokter Indra, serta Shandy, dan Patria saja di dalam ponsel Mas Tama. Qiana juga berpesan saat mulai bekerja besok meminta Mas Tama agar tidak perlu banyak berinteraksi dengan orang lain kecuali Shandy dan Patria.
Hanya Shandy dan Patria yang tahu kondisi Mas Tama saat ini, maka dengan perintah Qiana Shandy dan Patri akan sama-sama menjaga Mas Tama untuk Qiana.
Drttt…
Drttt…
Drttt…
Ponsel Qiana bergetar. Qiana yang sudah tidur membuka matanya lalu meraih ponselnya yang diubah dengan mode getar. Keningnya berkerut saat melihat nama kontak dilayar ponselnya.
"Mas Tama, ada apa telepon aku malam-malam begini?" sapa Qiana di balik teleponnya.
"Qiana, ini Bapak!" ucap Pak Samin.
"Ada apa, Pak?" tanya Qiana merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Tama, dia tidak sadarkan diri setelah berteriak sakit kepalanya. Sepertinya Tama tadi mengingat sesuatu." Balas Pak Samin.
"Bapak tidak perlu khawatir soal itu. Dokter sudah menjelaskan padaku, itu gejala awal setiap kali Mas Tama ingat kejadian lalu. Bapak hanya perlu menunggu sampai Mas Tama sadar, setelah itu beri dia obat. Kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk, Bapak hubungi Dokter Indra. Aku sudah menyimpan nomornya. Kalau pun Mas Tama harus dibawa ke rumah sakit, Bapak bisa meminta bantuan Shandy dan Patria. Bapak jangan cemas ya! Mas Tama akan baik-baik saja, Pak!" Qiana mencoba tenang agar Pak Samin juga tidak terlalu cemas.
"Baiklah, Qiana! Maafkan Bapak sudah mengganggumu malam-malam begini." Ucap Pak Samin tak enak hati.
"Tidak apa-apa, Pak! Justru aku malu sama Bapak, karena merepotkan Bapak dengan adanya Mas Tama." Ucap Qiana sedih.
"Bapak senang adanya Tama bersama Bapak. Masa tua Bapak tidak sendiri lagi, akhirnya Bapak jadi punya anak meski Tama hanya sebagai anak angkat dan itu sementara sampai Tama benar-benar sembuh." Kini Pak Samin yang terdengar sedih, bahkan matanya sudah berkaca-kaca.
"Jangan bicara seperti itu, Pak! Aku yakin setelah Mas Tama sembuh nanti, dia tidak akan tega meninggalkan Bapak begitu saja. Mas Tama pasti akan merasa sedih kalau mendengar ucapan Bapak. Mas Tama itu orang baik, Pak! Jangan khawatir, Mas Tama tidak akan pernah berniat untuk meninggalkan Bapak. Sampai kapan pun, Mas Tama akan menjadi anak Pak Samin." Ucap Qiana memberi semangat.
"Terima kasih, Qiana!" ucap Pak Samin.
"Sama-sama, Pak!" jawab Qiana.
Pak Samin dan Qiana sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya. Qiana melirik jam dinding di dalam kamarnya. Rasa kantuk sudah hilang, Qiana membuka ponselnya.
Hati Qiana terasa sakit saat membuka galeri di dalam ponselnya. Foto pernikahannya dengan Alvan, Qiana buka satu persatu. Mata Qiana menatap tajam saat melihat foto Qiana dan Alvan tukar cincin.
"Akh, kenapa aku tidak kepikiran dengan cincin itu? Aku sudah punya bukti yang cukup, aku tinggal menunjukkan bukti itu untuk membongkar kedok Vino alias Alvin di hadapan Oma dan Papi." Qiana mencengkram ujung sprei dengan kuat, rahangnya semakin mengeras dengan gigi gemeratuk.
Qiana merapikan pakaiannya yang masih berada di dalam kopernya, lalu menyimpan dokumen penting ke dalam tas besar miliknya.
"Besok aku harus segera menyimpan berkas penting ini, sebelum Vino menemukannya. Aku juga harus bisa membuka lemari besi milik Bang Alvan untuk menyimpan berkas ini. Dengan bantuan Kak Evan aku harus berhasil membobol berangkas Bang Alvan secepatnya." Ucap Qiana pada diri sendiri.
Saat ini Qiana tengah merencanakan sesuatu agar besok pagi Vino alias Alvin benar-benar pergi dari rumah untuk beberapa waktu, agar Qiana bisa masuk ke dalam kamar Alvan.
Qiana tidak ingin Vino alias Alvin membongkar brankas Alvan yang berada di dalam kamar sang suami yang saat ini ditempati oleh Vino alias Alvin.
"Aku harus mengendap masuk ke dalam kamar Bang Alvan, saat Vino tidak ada! Aku harus menyimpan berkas penting ini di dalam brankas Bang Alvan, bersama dokumen penting yang lainnya." Gumam Qiana.
Qiana meraih ponsel dan membuka galeri di dalam ponselnya. Ditatapnya wajah tampan Alvan sang suami pada layar ponselnya.
Foto saat kebersamaan mereka berdua yang sengaja diabadikan sebelum menikah, ketika berada di Yogyakarta. Serta foto saat pernikahan mereka berdua di Bandung beberapa waktu yang lalu.
Hueeekkk…
Hueeekkk...
Hueeekkk…
Tiba-tiba Qiana merasa perutnya mual, kepalanya kembali pusing hingga sedikit berputar seperti saat hendak makan malam tadi malam.
"Kenapa sudah dua hari ini setiap pagi aku selalu mual yah? Apa karena cuaca saat di Bandung yang dingin membuat aku masuk angin?" Qiana menghela nafasnya.
Qiana yang belum tahu kalau dirinya tengah mengandung janin di dalam rahimnya, hasil buah cintanya dengan Alvan. Hanya mengira jika dirinya saat ini sedang masuk angin dan kelelahan seperti yang Fahlevi katakan kepadanya.