Tring…
Tring…
Tring…
Ponsel Qiana berbunyi saat Mas Tama sedang menanti jawaban dari Qiana. Bagai angin segar dari surga, Qiana merasa terselamatkan dengan panggilan telepon yang masuk ke ponselnya.
"Ya, Abang Boru?" tanya Qiana kepada Fahlevi di seberang teleponnya.
"Kamu sudah baikan, Qiana?" tanya Fahlevi.
"Aku sudah baikan, Abang Boru! Lalu ada perlu apa Abang Boru menghubungi adikmu ini?" ledek Qiana membuat Fahlevi terkekeh.
"Abang cuma mau mengingatkan saja kalau kamu harus minum obat dan vitamin, serta jangan lupa makan yang teratur juga istirahat yang cukup." logat khas medan dari seorang pemuda berwajah tampan itu terdengar cukup jelas di telinga Qiana.
"Baiklah, Dokter! Semua saran dan anjuran Dokter akan selalu aku laksanakan dengan sebaiknya. Terima kasih karena sudah merawatku dengan baik sejauh ini, Pak Dokter!" balas Qiana terkekeh yang ditanggapi dengan bibir cemberut dari Fahlevi.
"Dasar pasien nakal! Ingat aku ini Abangmu juga, Qiana!" protes Fahlevi.
"Iya, Abang Boru…!" ledek Qiana.
Fahlevi dan Qiana sama-sama mengakhiri sambungan teleponnya. Namun sesaat sebelum Qiana memasukkan ponselnya ke dalam tas, Qiana teringat dengan berkas yang masih ada di atas meja kerjanya.
"Aku harus menghubungi Kak Angel! Semoga Kak Angel masih ada di kantor bareng Aurel." Qiana kemudian mencari kontak Angela, setelah menemukannya Qiana menghubungi Angela.
"Hai, baby! Ada apa kamu menghubungiku? Ada sesuatu yang penting kah?" sapa Angela alias Agung Sucipto dengan suara lemah gemulainya.
"Kak, aku mau minta tolong. Boleh?" tanya Qiana.
"Boleh dong, baby! Apa tuh?" balas Angela.
"Kakak masih di kantor bareng Aurel?" tanya Qiana untuk memastikan.
"Ya, kenapa baby? Tapi aku sendiri di sini, say! Aurel udah balik duluan dari tadi. Apa aku harus melakukan sesuatu untukmu, baby?" celoteh Angela membuat Qiana terkekeh.
"Kalau begitu aku minta tolong sama Kak Angel yang cantik. Di dalam ruangan aku masih ada berkas di atas meja, dan itu sangat penting. Tadi siang aku lupa menyimpannya di dalam berangkas. Apa Kak Angel bisa membantu aku menyimpannya di dalam berangkasku?" pinta Qiana tak enak hati.
"Ouh oke, baby! No problem! Kak Angel akan melakukannya untukmu!" sahut Angela dengan senang.
"Makasih Kak Angel yang canthiiik!" ucap Qiana.
"Sama-sama, baby." Balas Angela.
Qiana dan Angela sama-sama mengakhiri panggilan teleponya, sebelum akhirnya Qiana kembali fokus kepada Mas Tama dan perbincangan mereka.
"Maaf, Mas menunggu lama!" ucap Qiana tak enak hati.
"Tolong kamu silent dulu ponselnya, supaya tidak terganggu lagi dengan alasan yang lain. Lagi pula ini sudah malam, aku rasa tidak akan ada lagi yang menghubungi untuk masalah pekerjaan. Kecuali kalau kamu memang menghindari aku, dan tidak mau menjawab pertanyaan aku." Ucap Mas Tama panjang lebar membuat Qiana menghela nafas panjang.
Qiana lalu melakukan apa yang Mas Tama minta. Bahkan tidak hanya mengganti mode senyap pada ponselnya, Qiana juga sengaja mematikan ponselnya agar tidak ada lagi gangguan dari siapa pun, saat dirinya sedang berbicara serius dengan Mas Tama.
"Maaf, Mas! Apa tadi pertanyaannya?" ulang Qiana.
"Kamu terlalu banyak minta maaf, sehingga hanya membuang waktu dengan kata maaf!" ucap Mas Tama dengan kesal.
"Eh? Kenapa sifat asli Mas Tama keluar lagi?" batin Qiana.
"Malah bengong lagi!" ucap Mas Tama ketus.
Qiana mencebikkan bibirnya karena kesal pada Mas Tama, akhirnya karena menunggu terlalu lama Mas Tama mengulang lagi pertanyaannya tadi.
"Siapa kamu sebenarnya, Qiana? Ada hubungan apa antara kamu, dan dua orang laki-laki yang bersamamu saat konferensi pers siang tadi?" tanya Mas Tama membuat jantung Qiana berdebar dengan kencang.
Greppp…
Qiana sudah tidak kuasa menahan segala penderitaannya seorang diri, dengan berani Qiana memeluk Mas Tama dan menangis di dalam pelukan laki-laki tampan yang masih hilang ingatannya itu.
"Maafkan aku, Mas Tama!" ucap Qiana dengan cucuran air mata yang sudah membasahi wajahnya.
"Eh?" Mas Tama terkejut saat Qiana memeluk tubuhnya dengan erat.
"Kamu baik-baik saja, Qiana?" akhirnya Mas Tama luluh dan membiarkan Qiana menangis di dalam pelukannya.
Mas Tama tidak tega melihat Qiana menangis tersedu, akhirnya membalas pelukan Qiana dan mengusap lembut punggung Qiana berulang kali.
Tanpa Qiana dan Mas Tama tahu, seseorang sedang tersenyum sinis penuh kemenangan melihat adegan mesra keduanya.
"Kita bicara besok saja. Sekarang sebaiknya kita kembali ke ruang ICU. Kamu bisa istirahat di sana." Ajak Mas Tama.
"Tidak, Mas! Aku harus memberitahu yang sebenarnya kepada Mas Tama. Aku tidak bisa memendam rasa ini sendiri terlalu lama." ucap Qiana lirih dalam tangisnya.
"Sudah malam! Sebaiknya besok saja di kantor kita bicara lagi. Aku bukan laki-laki kejam yang membiarkan seorang wanita tertekan sampai menangis karena sikapku. Aku tidak seegios itu, Qiana! Sebaiknya sekarang kita kembali ke ruang ICU." Ajak Mas Tama yang dibalas anggukan kepala oleh Qiana.
Di depan ruang ICU, Qiana melihat Abah Sambas dan Pak Samin masih terjaga sambil berbincang banyak hal.
"Qi, sini duduk dekat Abah!" Abah Sambas menepuk tempat duduk kosong di sampingnya.
Qiana lalu duduk di samping Abah Sambas, dengan menyandarkan kepalanya di pundak Abah Sambas. Sementara Mas Tama duduk di samping Pak Samin yang berada di kursi seberang Abah Sambas dan Qiana.
"Tidurlah!" ucap Abah Sambas membelai kepala Qiana penuh kasih.
'Iya, Abah." Jawab Qiana seraya memejamkan matanya.
Mas Tama menatap Qiana dan Abah Sambas bergantian. Hatinya bergetar saat melihat kedekatan ayah dan anak itu. Bayangan sebuah kejadian yang terlihat samar terus berputar di dalam ingatannya membuat Mas Tama kehilangan kesadarannya seketika.
"Tama?" suara Pak Samin panik, membuat Abah Sambas seketika menoleh dan Qiana membuka matanya.
"Samin, kenapa dengan anakmu?" tanya Abah Sambas terkejut.
"Dia…" Pak Samin menatap Qiana.
"Biar aku panggilkan Dokter jaga saja, Pak Samin." Tawar Qiana yang dijawab anggukan kepala oleh Pak Samin.
Qiana segera pergi mencari dokter jaga, lalu menerangkan kepada dokter jaga mengenai kondisi Mas Tama. Beberapa perawat yang berjaga segera datang dengan sebuah brankar untuk membawa Mas Tawa.
"Bapak tidak perlu khawatir. Biarkan Dokter dan perawat yang menangani Mas Tama saat ini." Qiana mengangguk pelan memberi isyarat kepada Pak Samin.
Setelah mengantar Mas Tama ke dalam ruangannya, Qiana kembali ke ruang ICU untuk menemani Abah Sambas. Sedangkan Pak Samin menemani Mas Tama di dalam ruangannya.
"Kamu sebaiknya tidur, Qi. Biar Abah saja yang berjaga." Ucap Abah Sambas.
"Abah tidak apa-apa kalau aku tidur?" tanya Qiana.
"Tidak apa-apa, Qi. Tidurlah!" ucap Abah Sambas.
Qiana tidur di atas kursi di depan ruang ICU dengan berbantalkan paha Abah Sambas. Kondisi yang sudah lama Qiana rindukan. Setelah dirinya lulus sekolah hampir delapan tahun yang lalu. Tak berapa lama Qiana terlelap dalam tidurnya, dalam belaian sang ayah.
Jakarta, Oktober 2020…
Angela masuk ke dalam ruangan Qiana seorang diri. Keadaan kantor yang sudah sepi sejak satu jam yang lalu terasa mencekam, tapi itu tidak menyurutkan Angela untuk menyelesaikan tugasnya seorang diri di dalam ruangan Qiana.
Brakkk…
Suara benda terjatuh dari ketinggian membuat Angela terkejut, spontan laki-laki yang merubah dirinya menjadi seorang wanita itu melihat sekeliling. Matanya menatap tajam pada keadaan sekita.
"Siapa di situ?" tanya Angela dengan dada berdebar-debar.
Tidak ada suara, Angela pun kembali melakukan aktivitasnya. Angela memasukkan berkas penting yang ada di atas meja kerja Qiana ke dalam lemari brankas yang ada di dalam ruang kerja Qiana.
Plaaappp…
Tiba-tiba lampu di dalam ruang kerja Qiana mati, namun di luar ruangan masih remang-remang membuat Angela mengerutkan dahinya.
"Hei, siapa di situ? Jangan membuat akika takut yah! Nanti kanua, akika gigit loh batang terongnya." Ucap Angela cekikikan.
Dalam gelap Angela menangkap bayangan sosok laki-laki bertubuh kekar dan tegap. Matanya samar dapat menangkap jika sosok itu mengacungkan pistol ke arahnya.
"Siapa dia? Apa perampok? Oh my God! Sejak kapan perampok bisa masuk ke dalam perusahaan ini?" bisik Angela kepada dirinya sendiri.
Dengan cepat Angela bersembunyi di balik pintu ruang kerja Qiana. Bayangan itu semakin mendekat, sebelum akhirnya Angela menuliskan sebuah pesan dan mengirimkannya kepada nomor kontak secara acak.
Bugh…
Sebuah kayu balok besar menghantam kuat kepala Angela, hingga laki-laki setengah wanita itu jatuh terkulai di atas lantai yang dingin. Ponsel yang ada di tangan Angela ikut jatuh terhempas dari jari-jari lentik seorang Angela.
"Aaahhh…" teriak Angela.
Bagh…
Bugh..
Bagh…
Bugh…
Hantaman kayu itu membabi buta mengenai kepala bagian belakang Angela. Seolah tidak puas melihat korbannya yang sudah tak berdaya, laki-laki itu mengeluarkan pistol dari balik celananya.
Dor…
Dor…
Dor…
Tidak cukup sampai di situ, tiga tembakan mengenai kepala dan dada tepat pada jantung Angela. Kini Angela si cewek alay itu mati mengenaskan di ruang kerja Qiana dengan bersimbah darah. Begitu sebutan Angela untuk teman-temannya.
Di samping Angela ada ponsel miliknya yang ikut tergeletak. Sosok laki-laki pembunuh berdarah dingin itu mengambil ponsel Angela dan melihat kontak terakhir yang dihubungi Angela sebelum dilumpuhkan.
Laki-laki itu menyeringai dengan penuh kemenangan. Setelah dia mendapatkan apa yang dicarinya di perusahaan Pratama Wijaya, dia kemudian pergi dari tempat itu tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
"Selamat menjelang esok pagi, Qiana. Hahaha…" laki-laki itu tertawa puas seraya meninggalkan ruang kerja Qiana dengan melangkahi tubuh Angela yang sudah kehilangan nyawanya.
Bandung, Oktober 2020…
Qiana terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik di sekitar ruang ICU. Saat matanya terbuka, Qiana melihat Ambu Kinanti, Teh Qorie, Pak Samin, Mas Tama, juga beberapa orang perawat dan Dokter berada di sana.
"Ada apa, Abah?" tanya Qiana.
"Aki sudah sadar, Qi." Ucap Abah Sambas tersenyum senang.
"Syukurlah." Qiana ikut senang meski sebenarnya masih ada rasa kecewa atas perbuatan sang Kakek dulu kepada kedua orang tua dan juga dirinya dengan sang Kakak.
Karena keadaan Ahmad Kusuma Wardhana sudah membaik, akhirnya pihak rumah sakit memindahkan ke ruang perawatan.
Qiana memilih ruang perawatan VIP agar keluarga yang menjenguk atau yang berjaga nyaman, tidak terganggu dengan adanya pasien lain di dalam ruangan yang sama.
"Apa semua tagihannya sudah kamu bayar lunas, Qi?" tanya Abah Sambas.
"Sudah semalam, Abah. Kalau memang masih kurang atau perlu biaya tambahan Abah beritahu aku saja." Ucap Qiana.
"Maafkan Ambu yah, Qi. Kamu jadi terbebani dengan biaya rumah sakitnya Aki, karena Adik dan Kakak Ambu tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini." ucap Ambu Kinanti merasa tak enak hati dengan putrinya itu.
"Tidak apa-apa, Ambu! Itu sudah rezekinya Aki melalui aku." Jawab Qiana.
"Oh yah, Qi. Alvan kemana? Semalaman Abah tidak melihat Alvan bersamamu?" tanya Abah Sambas membuat wajah Qiana jadi pucat.
"I… itu Abah, semalam Bang Alvan bilang sakit kepala jadi dia kembali ke apartemen sendiri dan istirahat." Jawab Qiana gugup.
Mas Tama memperhatikan mimik muka Qiana yang sudah pucat dan gugup menjawab pertanyaan Abah Sambas. Karena merasa kasihan kepada Qiana, Mas Tama mengalihkan pembahasan mengenai Alvan.
"Qiana, kita cari sarapan di kantin yuk!" Mas Tama mengajak Qiana pergi.
"Aku dan Mas Tama ke kantin dulu." Qiana menerima tawaran Mas Tama.
Di kantin Qiana terlihat tidak tenang setelah mendapat pertanyaan dari Abah Sambas. Melihat itu Mas Tama paham situasi yang Qiana hadapi saat ini.
"Kamu kenapa, Qiana?" tanya Mas Tama.
Dengan bibir yang bergetar dan mata sembab Qiana akhirnya menangis di hadapan Mas Tama. Air mata yang sudah tidak dapat dibendung lagi, membuatnya ingin menangis di dada bidang Mas Tama.
"Kenapa menangis lagi?" tanya Mas Tama.
"Apa Mas Tama percaya kepadaku?" tanya Qiana tiba-tiba.
"Kalau aku tidak percaya kepadamu, untuk apa aku meminta Pak Samin menghubungimu saat pertama kali aku diselamatkan oleh Pak Samin." Jawab Mas Tama.
"Bukan karena namaku yang terlintas dalam pikiran Mas Tama? Yang membuat Mas Tama ingin menemuiku." Tanya Qiana penuh selidik.
"Itu salah satu alasan kenapa aku percaya kepadamu, sebab hanya kamu dan Pak Samin yang saat ini memang aku percaya. Selain kalian berdua, aku tidak percaya siapa pun saat ini. Termasuk Shandy dan Patria." Jawab Mas Tama jujur.
"Kenapa dengan Shandy dan Patria?" tanya Qiana heran.
"Jangan bahas mereka! Aku membawamu ke sini karena ingin membahas mengenai kita berdua, Qiana!" ucap Mas Tama tegas.
"Baiklah! Maafkan aku!" kata Qiana.
"Sekarang jawab jujur, Qiana! Sebelum aku kehilangan seluruh ingatanku, apa yang terjadi denganku di masa lalu? Siapa aku sebenarnya? Dimana keluargaku? Bagaimana statusku? Apa hubunganku denganmu?" pertanyaan Mas Tama membuat Qiana menghela nafas panjang.
"Aku harap kamu tidak lagi menyembunyikan semua itu dariku, Qiana! Meski pun aku kehilangan ingatanku, tapi aku ingin berada di dekat keluargaku walau dengan penyamaran seperti ini. Aku akan meminta keluargaku untuk menutupi jati diriku yang sebenarnya sebelum ingatanku kembali." Ucap Mas Tama yakin.
"Aku ingin kembali kepada keluargaku, Qiana. Aku ingin dekat dengan orang-orang yang aku sayangi, meski ingatanku belum pulih. Setidaknya aku bisa tenang berada di dekat keluargaku, bagaimana pun keadaan keluargaku saat ini." ungkap Mas Tama membuat Qiana semakin menangis tersedu.
"Maafkan aku jika pertanyaan dan keinginanku akan melukaimu, Qiana! Tapi, aku butuh jawabmu sejujurnya." Ucap Mas Tama.
"Bicaralah! Aku akan memaafkan apa pun yang sudah kamu lakukan kepadaku. Berhentilah menangis, karena aku tidak bisa melihat wanita menangis." Akhirnya kalimat itu terucap dari bibir Mas Tama yang membuat Qiana akhirnya menyerah dengan keadaan.
"Maafkan aku…! Aku melakukan ini karena aku takut kehilangan kamu untuk kedua kalinya…" Qiana tak kuasa menahan tangis.
"Ma… maksud kamu apa, Qiana?" tanya Mas Tama tak mengerti.
"Kamu adalah suamiku, Alvan Pratama Putra Wijaya! Dan aku adalah Qiana Fathiyya istrimu, Bang! Hiks…" tangis Qiana pecah membuat Mas Tama membelalakkan matanya tak percaya dengan penuturan Qiana.
"Kamu tidak sedang menipuku, Qiana?" tanya Mas Tama yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Qiana.
Qiana lalu membuka tas miliknya dan mengeluarkan ponsel. Qiana membuka galeri di dalam ponselnya dan menunjukkan foto kebersamaan mereka saat di Yogyakarta sebelum menikah juga saat mereka menikah di Bandung.
"Qi… Qiana…!" ucap Alvan terbata.
Alvan menatap layar ponsel Qiana yang penuh dengan foto kenangan mereka berdua. Kini wajah tampan Alvan sudah basah dengan deraian air mata.
Greppp…
Spontan Alvan menarik tubuh mungil Qiana masuk ke dalam dekapannya. Alvan memeluk erat tubuh sang istri dalam tangis dan bahagia. Meski ingatannya belum pulih, namun Alvan percaya jika saat ini Qiana berkata jujur.