Jakarta, November 2020…
Alvan dan Qiana sudah tiba di Jakarta, mereka memilih tinggal di hotel untuk sementara waktu, sebelum akhirnya Qiana datang ke rumah Oma Inge.
"Aku pergi sekarang ke rumah, Oma. Abang, tidak apa-apa aku tinggal sendirian di sini?" tanya Qiana membuat Alvan cemberut.
"Sayang, kenapa sih Abang harus sembunyi dulu di sini? Bukannya lebih baik Abang ikut denganmu? Supaya semua tahu kalau laki-laki yang ada di rumah Oma itu bukan Abang tapi laki-laki lain." ucap Alvan manja.
"Belum waktunya, Bang!" ujar Qiana beralasan.
"Tapi Abang cemburu kalau ada laki-laki lain yang mendekati kamu, sayang." bibir Alvan mengerucut.
"Abang harus percaya sama aku. Gak mungkin aku mau dekat-dekat dengan lelaki lain, apa lagi sudah jelas kalau dia hanya memanfaatkan situasi ini. Dia ingin menjadi Abang karena sudah merencanakan keburukan pada keluarga Abang, dengan niat ingin menguasai harta milik keluarga Abang juga perusahaan milik Pratama Wijaya." Ungkap Qiana membuat Alvan akhirnya diam membisu.
"Kalau begitu, sebelum kamu pergi Abang ingin meminta sesuatu yang bisa membuat Abang senang." ucap Alvan yang membuat sesuatu di balik celananya berkedut dan mengembang.
"Aishhh, Abang! Dasar mesum!" Qiana menepuk jidatnya sendiri.
Tanpa basa basi lagi Alvan segera menarik sang istri ke dalam pangkuannya. Ciuman demi ciuman menghujani Qiana, hingga dirinya sudah pasrah di dalam kungkungan sang suami.
Sementara di hotel yang sama kamar yang berbeda, tak jauh beda dengan yang Alvan dan Qiana lakukan. Vino tengah berbagi peluh dengan Rayya saat ini.
Tring…
Tring…
Tring…
Ponsel Rayya berbunyi keras membuat Vino menghentikan hujamannya di tubuh Rayya, yang sudah siap mengeluarkan lahar panasnya.
"Ganggu aja! Siapa sih malam-malam begini?" Rayya mendengus kesal dengan meraih ponselnya di atas meja.
Matanya terbelalak sempurna saat melihat nama kontak yang menghubunginya melalui panggilan video call, ternyata itu adalah Tio sang suami.
"Akh, sial! Kenapa dia pake video call segala sih?" tanya Rayya geram.
"Angkat saja dulu!" bisik Vino kesal sebab tinggal sedikit lagi dia akan mendapatkan pelepasan itu.
"Kamu sudah gila? Bagaimana aku bisa menjelaskan kalau saat ini kita sedang berada di dalam kamar hotel?" bentak Rayya semakin kesal.
"Pergilah ke kamar mandi!" pinta Vino kali ini.
"Akh, ya! Kamu benar, Al." Rayya akhirnya melangkah menuju kamar mandi.
Setelah berada di dalam kamar mandi dan masuk ke dalam bathtub, Rayya segera menerima video call dari Tio sang suami.
"Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?" tanya Tio dengan marah di balik sambungan Video call nya.
"Tanggung, honey! Aku sedang berendam dulu." jawab Rayya dengan memperlihatkan lekuk tubuhnya di dalam video call nya, membuat Tio jadi menelan salivanya sendiri.
"Kapan kamu pulang ke Belanda? Ini sudah terlalu lama kamu berada di Indonesia? Apa kamu tidak ingat dengan suamimu di sini, hah?" tanya Tio yang terus menatap tubuh seksi Rayya dari balik sambungan video call nya, hingga matanya tak berkedip sama sekali.
"Urusanku belum selesai, honey! Tinggal selangkah lagi aku bisa menghancurkan keluarga Pratama Wijaya, terutama Alvan! Aku masih sakit hati dengan dia dan aku tidak akan pulang sebelum dendamku terbalaskan!" ucap Rayya berapi-api.
"Jangan terlalu banyak alasan, Rayya! Lama-lama kamu berada di dekat Alvan, bukannya balas dendam justru kamu malah jatuh cinta lagi padanya dan menjalin cinta lama yang bersemi kembali." Sindir Tio membuat Rayya mendengus kesal.
"Sial! Kenapa Tio bisa menebaknya? Dia memang tidak bisa aku bohongi!" ucap Rayya di dalam hati.
"Kenapa kamu diam? Apa ucapanku benar? Jangan bilang saat ini kamu memang sedang berada di kamar hotel bersama laki-laki itu?" tebakkan Tio membuat Rayya semakin ketar ketir.
"Sungguh, honey! Ini murni karena aku memang ingin balas dendam kepada Alvan, itu saja! Sekarang aku memang sedang ada di hotel tapi sendiri. Aku selesai meeting menemui klien, pulang terlalu malam kalau harus kembali ke apartemen. Di luar juga hujan, jadi aku memutuskan tidur di hotel malam ini." ujar Rayya berbohong.
"Ya sudah! Kamu istirahatlah. Besok aku ada perjalanan bisnis ke Bali, setelah itu aku langsung ke Jakarta untuk menjemputmu pulang ke Belanda. Aku tidak suka penolakan, Rayya! Jadi aku harap besok kamu tidak lagi memiliki alasan apapun untuk pulang ke Belanda denganku, dan selesaikan urusan dendammu itu dengan mantan pacarmu secepatnya!" Tio mengakhir panggilan teleponnya secara sepihak dan itu membuat Rayya semakin gelisah. Jika sudah seperti itu, pasti Tio sudah mulai curiga kepadanya.
"Akh, sial! Aku belum mendapatkan apa pun yang aku inginkan dari Alvan! Selama aku bermain dengannya aku tidak menggunakan pengaman, semua itu aku lakukan agar tujuanku cepat tercapai. Tapi apa? Sampai saat ini aku belum mengandung anak Alvan sama sekali. Apa dia mandul?" gumam Rayya mematut diri di depan cermin.
"Awas saja, Rayya! Saat aku memergokimu sedang bersama laki-laki itu, aku tidak akan melepaskanmu lagi! Akan ku buat hidupmu menderita, sama seperti aku yang menderita karena perbuatan mantan pacarmu di masa lalu." Tio mengepalkan kedua tangannya dengan gigi gemeratuk.
Tanpa Rayya sadari jika dirinya memang dijadikan umpan oleh Tio, untuk memancing Alvan musuh bebuyutannya yang sudah lama dia incar. Tio selama ini bisnis di dunia hitam bersama jaringan lainnya dalam kelompok Elang hitam.
Selain Tio, masih ada Alexander, Danz, juga Albert. Mereka adalah orang terkuat dan terhebat yang berbisnis di dunia hitam. Mereka juga yang menjadi pemasok penjualan senjata api illegal, pemalsuan barang-barang elektro seperti ponsel, laptop, narkoba, human trafficking, dan barang-barang illegal lainnya.
Tio, Alexander, Danz, juga Albert tertarik dengan bisnis di dunia hitam karena keuntungan yang mereka peroleh dari bisnis haram itu bisa mencapai 870 miliar Dollar AS atau setara 11.500 triliun rupiah dalam kurun waktu satu tahun.
Bisnis haram mereka hampir terendus oleh agen FBI, karena Alvan dan sahabatnya kala itu membongkar kegiatan saat mereka bertransaksi di sebuah pelabuhan di Haiti. Dalam insiden itu Bernadeth salah seorang wanita simpanan Alexander yang juga merupakan adik kandung Tio tertembak mati.
Kejadian itu menyisakan pedih dan rasa sakit hati dari Tio dan juga Alexander, hingga mereka menaruh dendam kepada Alvan dan sahabatnya.
"Ayo kita lanjut!" ajak Vino sudah bergelayut manja di pinggang ramping Rayya.
"Aku sudah tidak bernafsu lagi!" kata Rayya membuat Vino mendengus kesal.
"Lain kali kalau kita sedang bersenang-senang seperti ini, kamu matikan saja ponselnya! Gara-gara keteledoran kamu, kepalaku sampai pusing seperti ini! Akhhh…" teriak Vino frustasi karena hajatnya tertunda, padahal tinggal sedikit lagi dia mendapatkan pelepasan itu.
Sementara di kamar yang berbeda Alvan dan Qiana kini sudah mendapatkan dua kali pelepasan, hingga tubuh Qiana benar-benar ambruk dibuatnya.
"Tidurlah!" Alvan menarik tubuh Qiana masuk ke dalam pelukannya.
"Tapi, Bang aku…" ucapan Qiana terhenti karena Alvan mengunci bibir Qiana dengan menciumnya.
"Tidurlah! Besok Abang akan mengantarmu ke rumah, Oma. Abang janji tidak akan turun dari taksi dan menampakkan diri di hadapan siapa pun sebelum kamu mengizinkannya, sayang. Kamu jangan egois, hanya mementingkan urusanmu saja. Abang juga ingin kamu perlakukan secara adil, sayang. Jadilah istri yang penurut kepada suami." Alvan mengecup puncak kepala Qiana lalu memilih memejamkan matanya seraya mengeratkan pelukan pada sang istri.
Qiana akhirnya hanya bisa pasrah mendapat perlakuan hangat dari Alvan. Apa yang dikatakan Alvan benar adanya, saat ini Qiana lebih baik menuruti apa yang dikatakan Alvan sang suami. Qiana dan Alvan sama-sama terlelap dalam tidurnya, hingga pagi menjelang dan Qiana terbangun karena suara ponselnya.
"Ya, Kak?" tanya Qiana masih dalam mode malas khas orang bangun tidur.
"Lu dimana?" tanya Evan dibalik sambungan teleponnya.
"Aku di jalan menuju rumah, Oma. Ada apa?" tanya Qiana yang sudah mulai membuka matanya dengan sempurna.
"Oke! Kita ketemu di rumah, Oma." Evan menutup panggilan teleponnya secara sepihak membuat Qiana mengerutkan keningnya.
"Siapa?" tanya Alvan yang baru saja membuka matanya mendengar suara Qiana.
"Kak Evan." Jawab Qiana.
"Evan?" Alvan mengerutkan keningnya.
"Kak Evan salah satu sahabat Abang. Apa Abang ingat?" tanya Qiana.
"Kalau mendengar namanya seperti tidak asing lagi bahkan wajahnya bisa Abang bayangkan. Apa kamu ada fotonya?" pinta Alvan.
Qiana kemudian menyerahkan ponselnya kepada Alvan, yang sudah berada di dalam galeri ponsel miliknya.
"Apa mereka semua sahabat Abang, sayang?" tanya Alvan menatap satu persatu wajah sahabatnya Evan, Gherry, Fahlevi, dan Rayn.
"Ya! Mereka semua adalah sahabat Abang. Ini Kak Evan, Kak Rayn, Kak Gherry, dan Dokter Fahlevi." Qiana kemudian menggeser layar ponselnya.
"Ini Oma, dan Papi bersama Zoya dan Tante Erlin." Tunjuk Qiana pada slide foto berikutnya.
"Oma… Papi… lalu dimana seorang lagi?" tanya Alvan membuat Qiana mengerutkan keningnya.
"Siapa? Vino?" tanya Qiana menebak.
"Bi Narsih…" satu nama itu keluar dari mulut Alvan.
"Bi Narsih? Jadi Abang ingat dengan Bi Narsih? Padahal aku sama sekali tidak menunjukkan foto Bi Narsih kepada Abang, tapi Abang benar-benar mengingat Bi Narsih dengan sangat baik." Mata Qiana berkaca-kaca.
"Itu karena sejak kecil Abang sangat dekat dengan Bi Narsih, bahkan setiap kali Papi dan Oma ada urusan bisnis keluar kota. Abang lebih memilih tinggal dan akan tertidur pulas di dalam pelukan Bi Narsih, Abang juga selalu minta disuapi sarapan nasi goreng buatan Bi Narsih setiap pagi. Kalau Abang sakit, Bi Narsih juga yang merawat Abang. Bagi Abang, Bi Narsih adalah ibu asuh yang tidak bisa tergantikan oleh siapa pun. Bi Narsih selalu menjaga dan melindungi Abang, setiap kali Oma dan Papi sibuk dengan urusan bisnisnya. Jika tidak ada Bi Narsih, Abang sudah pasti hidup terlantar meski pun Oma dan Papi adalah seorang pengusaha yang sukses dan kaya raya, tapi mereka tidak pernah ada waktu untuk Abang." Mata Alvan sudah sangat basah dengan genangan air mata yang perlahan turun membasahi wajah tampannya.
"Abang jangan sedih lagi yah! Ternyata ikatan diantara Abang dan Bi Narsih terjalin begitu kuat, melebihi apa pun. Di rumah Oma, hanya Bi Narsih yang percaya kalau laki-laki yang berada di rumah Oma saat ini adalah Vino, bukan Abang. Dan aku yakin Bi Narsih akan membantu aku untuk bisa mengembalikan Abang ke rumah Oma secepatnya. Sekarang kita mandi, setelah itu aku akan ke rumah Oma secepatnya dan Abang bisa melihat Bi Narsih dari jauh." Qiana menangkup kedua sisi wajah tampan Alvan sang suami.
"Terima kasih sayang, karena kamu dan Bi Narsih sudah percaya kalau laki-laki itu bukan Alvan yang kalian kenal. Tapi, bagaimana bisa kamu mengenali Abang dengan baik, sayang? sementara kamu bilang kita baru saja dekat setelah berada di Yogyakarta, itu artinya kita belum lama ini saling mengenal." Ucap Alvan.
"Sebagai seorang istri tentunya aku sudah tahu semua apa yang ada di dalam tubuh suamiku. Aku hafal dengan tanda bulan sabit di pinggang sebelah kanan Abang, itu adalah ciri khusus yang Abang miliki." Ucap Qiana tersenyum senang.
"Apa itu artinya kamu dan laki-laki itu sudah pernah…?" Alvan menatap Qiana dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.
"Jangan buruk sangka dulu! Aku tidak pernah melakukan ini dengan laki-laki lain, selain dengan Abang. Aku melihat tubuh Vino saat dia ingin membuktikan luka di tubuhnya setelah penculikan itu, demi membuktikan kalau dia itu Abang." Jawab Qiana membuat Alvan bernafas dengan lega.
Setelah bercerita banyak hal, Alvan mengantar Qiana ke rumah Oma Inge. Saat ini mereka sudah sampai di depan gerbang rumah kediaman Pratama Wijaya.
"Abang menangis?" tanya Qiana.
"Sampaikan salam Abang untuk Bi Narsih, sayang." ucap Alvan sedih.
"Akan aku sampaikan! Sekarang Abang pergilah sebelum ada orang yang curiga dan mengenali Abang." Ucap Qiana.
"Hem. Baiklah! Kamu hati-hati, sayang!" Alvan melambaikan tangannya saat Qiana sudah turun dari dalam taksi.
"Pak, menjauh sedikit dari sini. Kita akan tetap menunggu sampai penghuni rumah ini keluar menggunakan mobil, setelah itu kita ikuti kemana mereka pergi. Aku harus memastikan istriku baik-baik saja. Soal bayaran jangan khawatir, aku akan membayar tiga kali lipat." ucap Alvan tegas.
"Baik, Pak!" sahut supir taksi dengan senang hati.
Cukup lama Alvan menunggu pergerakkan dari rumah Oma Inge, Alvan juga melihat mobil Evan dan Fahlevi memasuki halaman rumah Oma Inge. Tak berapa lama mobil Evan dan Fahlevi kembali ke luar dengan Oma Inge dan Qiana ikut berada di dalam mobil itu.
"Ikuti, Pak!" pinta Alvan.
Tiga puluh menit mobil Evan dan Fahlevi masuk ke dalam kantor polisi, itu membuat Alvan terkejut sebab Qiana juga ada di dalam salah satu mobil itu. Qiana segera masuk ruangan ditemani Oma Inge, Evan, Fahlevi, Rayn, dan Gherry. Disusul kemudian Papi Billy, Zoya dan Tante Erlin.
"Apa Nona yang bernama Qiana?" tanya polisi.
"Benar!" jawab Qiana.
"Ada dimana Nona saat terjadi pembunuhan dari saudari Angela?" tanya polisi.
"Aku berada di Bandung, tepatnya di Rumah Sakit. Kakekku sakit dan dirawat di ruang ICU." Jawab Qiana.
"Apa Nona mengenal orang ini?" tanya polisi menunjuk salah seorang karyawan di perusahaannya.
"Tentu saja aku mengenalnya!" jawab Qiana.
"Lalu, mengapa Nona memerintahkan dia untuk membongkar semua cctv yang ada di perusahaan?" pertanyaan polisi kali ini membuat Qiana membelalakkan matanya.
"Apa…? Membongkar cctv perusahaan? Bagaimana mungkin!" jawab Qiana tak percaya.
"Anton mengatakan kalau beberapa hari sebelum malam pembunuhan itu terjadi. Nona meminta Anton untuk membongkar semua cctv yang ada di perusahaan, dengan dalih akan diganti dengan yang baru. Dengan alasan itu pula, kuat dugaan bahwa Nona adalah dalang di balik pembunuhan Angela. Bukti percakapan antara Nona dan Angela sudah kami temukan dalam ponsel milik korban. Nona bahkan sempat mengancam korban jika permintaan Nona tidak dituruti oleh korban." Ungkapan polisi membuat Qiana hilang kendali.
"Tidak mungkin! Aku bahkan mematikan ponselku setelah menghubungi Kak Angel, aku juga tidak pernah memerintahkan seseorang untuk membongkar cctv di perusahaan dengan dalih apapun. Ini pasti hanya rekayasa agar aku menjadi tersangka, ini seperti sengaja dilakukan seseorang. Aku tidak mungkin mengancam dan membunuh Kak Angel! Aku tidak melakukan itu! Tidak! Itu bukan ulahku!" Ucap Qiana yang sudah diliputi amarah.
"Apa ada saksi yang bisa membantu meringankan tuduhan terhadap Nona Qiana?" tanya polisi.
Qiana terdiam membisu, saat itu hanya ada Alvan yang masih berstatus Mas Tam yang tahu kalau Qiana mematikan ponselnya. Tapi tidak mungkin jika Qiana mengatakan yang sebenarnya, kalau malam itu Qiana bersama Alvan.