Qiana melerai pelukannya dari Alvan sang suami. Di tatapnya wajah tampan yang dibungkus dengan tompel, kacamata, dan jambang tipis serta kumis yang mulai terlihat tumbuh.
"Tetaplah jadi Mas Tama di hadapan semua orang sebelum aku mengungkap kebusukan Vino, yang kini menggantikan posisi Abang sebagai Alvan Pratama Putra Wijaya pewaris tunggal di keluarga Pratama Wijaya." Pinta Qiana yang masih menangis di hadapan Alvan.
"Tapi kenapa, Qiana? Aku tidak bisa jauh darimu, bahkan saat sebelum kamu memberitahu semua kebenaran ini. Aku sudah sangat mencintaimu meski dalam ingatan yang hilang. Setiap mimpi, hanya bayangan wajahmu serta namamu yang selalu aku ingat. Tapi saat itu aku tidak tahu bahkan tidak mengerti dengan ingatan dan perasaanku sendiri, hingga kini kamu memberitahu yang sebenarnya." Ucap Alvan panjang lebar.
"Nyawa Abang saat ini sedang dalam bahaya. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan keadaan Abang yang seperti ini. Aku takut Vino dan Om Fariz memanfaatkan kelemahan Abang yang masih belum mengingat apa pun. Jadi aku mohon Abang bersabarlah dulu." tutur Qiana.
"Tapi bagaimana denganmu, Qiana?" tanya Alvan khawatir.
"Abang tenang saja! Ada Kak Evan, Kak Gherry, Kak Rayn, dan Dokter Levi yang membantu aku selama ini. Abang tetap di sini dengan Mas Tama sebagai jati diri Abang untuk sementara waktu." Pinta Qiana.
"Hem. Baiklah!" Alvan mendesah pasrah.
"Jangan sedih begini dong, Abang! Aku akan tetap setia sama Abang. Aku juga melakukan ini demi Abang, agar kita bisa kembali bersama tanpa ada gangguan lagi." Ucap Qiana manja.
"Lalu bagaimana kalau aku rindu sama kamu? Dan ingin bersamamu, menginginkanmu?" tanya Alvan dengan konyol membuat Qiana terkekeh.
"Ihhh, Abang! Dasar mesum!" Qiana memukul dada bidang Alvan dengan pelan, membuat Alvan terkekeh.
"Kalau begitu, kita cari hotel!" Alvan menaik turunkan alisnya.
"Ngapain cari hotel?" tanya Qiana tersipu malu.
"Aku menginginkanmu!" bisik Alvan.
"Aku akan cari alasan agar bisa pergi ke apartemen bersama, Abang." Qiana ikut berbisik.
"Apartemen?" tanya Alvan dengan kening berkerut.
"Ya! Apartemen Abang. Jadi kita tidak perlu pergi ke hotel." Jawab Qiana terkekeh sementara Alvan jadi bersiul senang.
Jakarta, Oktober 2020…
Suasana kantor perusahaan Pratama Wijaya mencekam di pagi buta saat ini. Pak Bambang security yang bekerja pada perusahaan milik Erlangga Pratama Wijaya, dikejutkan dengan penemuan mayat di ruang kerja Qiana.
Semua karyawan dan staf yang sudah datang mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam gedung berlantai tujuh itu, sebab Polisi sudah dihubungi dan saat ini sedang melakukan olah TKP.
Papi Billy dan Oma Inge sedang dalam perjalanan menuju kantornya saat ini. Sedangkan Evan, Rayn, Gherry, dan Fahlevi yang sudah tiba di lokasi kejadian ikut mengamankan kantor dan meminta karyawan untuk tetap tinggal di gedung aula kantor.
"Sepertinya ini bukan perampokan biasa, tapi murni pembunuhan yang menginginkan Angel lenyap dan bungkam untuk selamanya." Gumam Evan yang masih bisa di dengar oleh Fahlevi, Gherry, dan Rayn.
"Lu yakin?" tanya Fahlevi.
"Kalau murni perampokan pastinya barang-barang berharga lainnya ikut hilang dirampok juga kan? Lah ini monitor masih ada di meja kerja staf, AC, TV, motor. Dan yang bikin gue curiga, kenapa kejadiannya di tempat ruang kerja Qiana?" ucap Evan
"Kira-kira siapa yang melakukan ini sama, Angel?" tanya Rayn.
"Gue kira itu gak jauh dari masalah perusahaan yang selama ini dibuat kacau Vino dan Om Fariz. Apa lagi kalau korbannya Angel, jelas banget kalau mereka mengincar Angel sebab mereka memakai nama Angel untuk akun dan rekening bank yang mereka pakai saat mencuri uang perusahaan." Tutur Gherry menyimpulkan.
"Lu bener, Van! Gue setuju dengan pendapat lu! Cuma yang jadi masalahnya, kenapa Angel ada di dalam ruang kerja Qiana? Apa ini gak akan membuat polisi jadi curiga dan memeriksa Qiana sebagai saksi atau bisa jadi, akh…!" ungkap Fahlevi khawatir.
"Gak mungkin Qiana jadi tersangka, Lev! Qiana saja saat ini berada di Bandung, gak mungkin jadi tersangka." Jawab Evan.
"Lalu apa motif di balik semua ini? Kenapa Angel yang jadi target?" tanya Rayn penasaran.
"Gue gak tahu! Ini masih menjadi misteri yang harus kita selesaikan." Jawab Evan.
"Cek cctv!" Gherry menjetikkan jarinya.
Tak berapa lama Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi sudah duduk di meja resepsionis dengan menyalakan layar monitor untuk membuka cctv di kantor itu.
Berulang kali Evan mengecek cctv untuk semalam, namun tidak berhasil menemukan file dari rekaman ccvt itu.
"Gimana gue mau cek cctv?" Evan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa? Bukannya lu bisa ngembaliin rekaman cctv yang sudah dihapus yah?" tanya Fahlevi dengan ketidaktahuannya.
"Masalahnya cctv di kantor ini mati saat kejadian semalam." Lanjut Evan.
"Apa?" Gherry, Rayn, dan Fahlevi terkejut.
"Kayaknya bukan mati deh, Van! Tapi sengaja dilepas. Tuuuh…!" tunjuk Gherry dengan dagunya.
"Ah, sialan! Ini benar-benar rencana matang yang sempurna dari musuh kita! Kenapa kita bisa kecolongan seperti ini sih? Dan yang bikin gue yakin kalau semua ini adalah rekayasa, Pak Bambang semalam tiba-tiba tidur lelap. Bahkan saat tadi pagi gue telepon dia gak angkat sama sekali meski gue telepon berulang kali. Itu makanya gue curiga dan langsung datang ke sini secepatnya setelah ngabarin lu semua." ucap Evan geram.
"Kita tanya bagian cctv, kenapa mereka melepas seluruh cctv di kantor ini!" ucap Rayn.
"Ngomong lu gampang banget, bray! Tapi lu mikir gak? Yang ada musuh jadi tahu kelemahan kita, bray!" celetuk Evan.
"Maksud lu?" tanya Fahlevi tak mengerti.
"Ini sebagian dari rencana musuh. Gue rasa bagian cctv gak ada sangkut pautnya dengan rencana itu, kita cuma butuh nyari tahu aja siapa yang udah nyuruh mereka melepas cctv." Jawab Evan.
"Tugas lu itu, Bang Dokter!" tunjuk Gherry.
"Oke! Siapa takut!" balas Fahlevi.
Saat Fahlevi hendak melangkah menuju ruang cctv, terlihat Oma Inge dan Papi Billy berjalan terburu-buru menuju lobi kantor.
"Kalian sudah di sini? Apa yang kalian dapat dari rekaman cctv?" tanya Oma Inge panik.
Glekkk…
Susah payah Fahlevi menelan ludahnya sendiri yang terasa tercekat di tenggorokannya. Sementara Evan, Rayn, dan Gherry jadi salah tingkah menghadapi pertanyaan Oma Inge. Mereka merasa bersalah karena sudah kecolongan.
"Alamat kena semprot Oma, ini mah!" bisik Gherry.
"Alamaaak…! Kena lagi gue." Balas Fahlevi menggaruk kepalanya yang tidak gatal
"Seseorang sengaja melepas semua cctv di kantor ini, Oma!" Rayn dengan suara lantang memberanikan diri bicara jujur kepada Oma Inge.
"Apa?" Papi Billi dan Oma Inge kompak terkejut.
"Kok bisa? Atas perintah siapa?" tanya Papi Billy.
"Sepertinya sudah direncanakan dan ini merupakan bagian dari rekayasa mereka untuk melenyapkan Angela, agar tidak ada barang bukti dan saksi yang bisa memberatkan pelaku. Aku rasa target mereka sebenarnya bukan Angela." Terang Evan membuat Oma Inge lemas.
"Bagaimana ini, Billy? Qiana baru saja menyelamatkan perusahaan ini dan nama baik keluarga kita. Sekarang ada kejadian ini bagaimana mungkin kita bisa terlepas dari pemberitaan buruk dan serangan awak media." Mata Oma Inge berkaca-kaca.
"Mami tenang dulu! Kita tidak bisa berpikir dengan baik dalam keadaan seperti ini. Sebaiknya kita tunggu hasil dari laporan polisi, apa ada keterlibatan orang dalam atau murni perampokan. Bisa saja dugaan kita salah." Ucap Papi Billy.
"Kamu benar, Billy!" balas Oma Inge.
Evan merogoh saku celananya, dia hendak menghubungi Qiana. Namun saat membuka kontak Qiana dan melihat jejak chatting bersama Qiana semalam Evan baru menyadari sesuatu yang terasa janggal dalam benaknya.
"Gue baru inget! Semalam Qiana chat gue, dia bilang ada berkas penting yang dia simpan di atas meja kerjanya dan dia lupa belum masukkin berkas itu ke brankasnya. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan kematian Angel? Si pelaku tahu kalau Qiana menyimpan berkas itu di atas meja Qiana, lalu dia mau mengambilnya kebetulan di kantor masih ada Angel terus ketahuan Angel jadinya dia melumpuhkan Angel!" tebak Evan membuat Oma Inge, Papi Billy, Rayn, Gherry dan Fahlevi terkejut.
"Bisa jadi tebakanmu itu benar, Van! Tapi pertanyaannya siapa yang melakukan itu?" ujar Papi Billy.
"Kita tunggu hasil olah TKP polisi saja." Sambung Oma Inge.
Setelah menunggu hampir satu jam setengah akhirnya olah TKP selesai dilakukan oleh pihak kepolisian. Berdasarkan keterangan polisi di TKP tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan yang bisa dijadikan alat bukti untuk mencurigai seseorang pelaku di ruangan Qiana.
"Hanya satu yang menjadi bukti kami saat ini." ucap seorang petugas polisi yang melakukan olah TKP.
"Apa?" tanya Papi Billy.
"Ponsel korban. Saat kami melakukan olah TKP, ponsel korban berada tidak jauh dari tubuh korban. Sepertinya saat kejadian, korban berusaha untuk menghubungi seseorang." Ungkap anak buah polisi yang mendampingi.
"Kami juga butuh keterangan semua karyawan yang lembur semalam. Kami akan mengecek karyawan berdasarkan finger print saat mereka pulang. Kami pastikan karyawan yang pulang setelah jam tujuh malam akan kami interogasi terlebih dahulu." Ucap petugas polisi.
"Baiklah! Lakukan yang terbaik untuk mengungkap pelaku yang sebenarnya." Ucap Oma Inge.
"Kami juga akan melakukan autopsy pada korban demi memastikan kematian korban, serta sidik jari di seluruh ruangan dan tubuh korban." Lanjut petugas polisi.
Setelah memberikan keterangan dan membawa jenazah Angela, para petugas polisi pergi dengan memberikan garis polisi di depan ruang kerja Qiana. Untuk sementara waktu kantor di tutup sampai polisi selesai melakukan pemeriksaan beberapa hari ke depan.
Bandung, Oktober 2020…
"Abah, Ambu, aku dan Mas Tama pergi ke kantor sebentar! Sekalian mengantarkan Pak Samin pulang." Pamit Qiana kepada kedua orang tuanya.
Tanpa rasa curiga Abah Sambas dan Ambu Kinanti mengizinkan Qiana pergi bersama Alvan dan Pak Samin. Setelah mengantar Pak Samin pulang ke rumah kontrakannya, Alvan mengajak Qiana ke apartemen.
"Bang, ini masih pagi! Kita nanti malam saja ke apartemennya!" bujuk Qiana yang langsung mendapat penolakan dari Alvan.
"Tidak! Aku ingin scepatnya ke apartemen, dengan begitu aku bisa lama-lama memeluk kamu. aku juga mau puas-puasin bulan madu kedua bersama kamu! Siapa tahu dengan kita bercinta seperti saat malam pertama, aku sedikitnya bisa mengingat kembali kenangan kita secara perlahan." Ujar Alvan beralasan.
"Ah, itu mah alasannya Abang aja yang mesum! Padahal mah modus, wleeek!" Qiana menjulurkan lidahnya membuat Alvan terkekeh.
"Kamu tidak boleh menolak keinginan suami kamu, dosa tahu!" Alvan beralasan.
"Eleeeh… bilang aja mesum!" ledek Qiana.
"Tapi kamu juga suka kan? Aku yakin kalau kamu juga kangen sama aku, benarkan?" Alvan menaik turunkan alisnya.
"Terserah, Abang!" Qiana tidak lagi membantah.
"Ya sudah! Sebentar saja yah! Setelah itu kita benar-benar pergi ke kantor, masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan!" ucap Alvan kemudian.
Alvan dan Qiana sudah sampai di apartemen dengan naik taksi online. Alvan yang sudah tidak sabar, segera saja menggendong Qiana ala bridal style masuk ke dalam kamarnya.
"I love you, Qiana!" ucap Alvan saat sudah mengungkung tubuh mungil Qiana.
"I love you more, Abang…!" balas Qiana.
Keduanya sudah dipenuhi gairah yang membuncah, hingga pelukan dan ciuman hangat mereka lakukan untuk melepas rasa rindu yang sudah lama tertahan. Kini mereka lepaskan bersama dengan gelora asmara yang mereka nikmati saat ini, demi mereguk manisnya cinta diantara Alvan dan Qiana.
"Akh, Abang…" desah Qiana.
"Maaf kalau aku terlalu bermain kasar padamu!" ucap Alvan di tengah hujamannya.
"Tidak sama sekali, aku suka!" jawab Qiana.
"Qiana!" panggil Alvan.
"Hem." Jawab Qiana.
"Apa sebelum aku hilang ingatan kamu memanggilku, Abang?" tanya Alvan.
"Ya! Itupun saat pertama kali jadian." balas Qiana.
"Lalu bagaimana aku memanggilmu?" tanya Alvan.
"Abang selalu memanggilku sayang setelah kita resmi menjalin hubungan serius saat berada di Yogyakarta. Itu pertama kalinya aku menerima Abang setelah beberapa kali menolaknya." Jawab Qiana terkekeh.
"Jadi kamu sempat menolak Abang, sayang? Kenapa?" tanya Alvan penasaran.
"Abang dulu galak! Jutek banget malah, sampai aku benci sama sikap Abang. Apa lagi kalau aku lagi dekat sama Oma, Abang kayaknya gak suka gitu sama aku! Abang juga dingin banget sama aku! Tapi kalau sama yang lain mah Abang baik banget, ramah, murah senyum. Cuma sama aku aja yang selalu bikin kesel melulu! Dulu Abang nyebelin banget!" ucap Qiana jujur membuat Alvan malu.
"Oh ya? Segitu bencinya kamu dulu sama Abang, sayang?" tanya Alvan merasa bersalah.
"Iya, tapi itu dulu sebelum Abang berusaha meyakinkan aku kalau Abang benar-benar sayang sama aku dan rela berbagi kasih sayang Oma denganku." ungkap Qiana.
"Maafkan, Abang! Biarlah itukan dulu, kalau sekarang Abang sayang sekali sama kamu." Alvan mengecup puncak kepala Qiana dengan lembut.
Kini Alvan dan Qiana benar-benar menikmati kembali manisnya cinta mereka berdua setelah lama tertunda karena keadaan. Mereka sama-sama terbuai dalam lautan asmara yang membara, menikmati indahnya surga dunia.
"Akhhh, sayang!" desah Alvan membuat Qiana senang.
"Bang." Sapa Qiana.
"Hem." Jawab Alvan.
"Apa Abang masih mau bertahan denganku setelah semua yang kita lewati bersama?" tanya Qiana sedih.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, sayang? Abang suamimu mana mungkin Abang akan membuat istri Abang tercinta ini sedih, Abang akan melakukan apapun untuk membuat istri Abang bahagia meski dengan merelakan berjauhan denganmu untuk sementara waktu." Ucap Alvan tulus.
"Aku sangat mencintai, Abang." Ucap Qiana.
"Abang juga sangat mencintaimu, sayang." balas Alvan, yang sudah kembali mengungkung tubuh Qiana dan mengajaknya bermain untuk kedua kalinya.
Qiana menatap wajah sang suami dengan sayu. Penyatuan cinta mereka telah sampai pada akhir pelepasan bersama. Setelah berbagi peluh keduanya kembali saling berpelukan dengan sejuta rasa cinta yang membuai.
"Terima kasih, sayang! Kamu sudah setia menunggu Abang selama ini. Abang sangat mencintamu, sayang." ucap Alvan yang menarik Qiana masuk ke dalam selimut tebalnya.
"Sama-sama, Bang!" balas Qiana tersenyum bahagia.
"Tapi sekarang kita harus segera mandi, ini sudah waktunya kita pergi ke kantor. Pergi dan mandilah! Abang harus segera pergi bekerja. Jangan terlalu emosional." Lanjut Qiana.
"Bolehkah Abang terlambat?" tanya Alvan manja.
"Tidak! Aku sudah meminta Shandy dan Patri untuk menyiapkan berkas yang akan segera Abang tanda tangani. Ayo pergi!" ajak Qiana.
Alvan menarik kembali tangan Qiana yang sudah hendak bangkit, dan membawa ke dalam pelukannya.
"Ishhh, Abang…!" tolak Qiana.
"Jika kita tidak boleh terlambat, Abang akan membantumu mandi, sayang." ucap Alvan setengah memaksa.
"Serius? Tidak! Aku tidak mau! Abang pergi saja sendiri!" tolak Qiana mencoba meronta.
"Tidak! Bolehkah kita tinggal di sini sedikit lebih lama?" tanya Alvan semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku sudah bilang kepada Shandy dan Patria, kalau kita akan datang ke kantor hari ini. aku akan terlambat ini! Abang…!" Qiana terus meronta, sementara Alvan malah semakin memeluknya erat.
Tanpa Alvan dan Qiana tahu, Vino sudah membuntuti mereka berdua sejak masih berada di kantin rumah sakit. Bahkan sejak semalam, Vino sudah merekam dan mengambil foto saat Alvan dan Qiana berpelukan.