Jakarta, Oktober 2020…
Qiana baru saja selesai menggelar konferensi pers untuk menjawab isu soal pailitnya dua perusahaan Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra.
Dengan meyakinkan wartawan, para investor, serta para pemilik saham. Qiana menjelaskan bahwa perusahaan Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra kini berada dalam kendali dirinya sebagai pemegang saham, sekaligus pemilik perusahaan yang baru.
Mengenai Alvan Pratama Putra Wijaya sang pewaris satu-satunya dalam keluarga Pratama Wijaya, Qiana juga sudah menjelaskan bahwa sang suami menyerahkan semua perusahaan itu pada dirinya.
Sementara Alvan sedang merintis usaha baru di luar kota. Untuk itu Alvan menyerahkan tugas dan tanggung jawab perusahaan pada Qiana sebagai seorang istri dan menantu di keluarga Pratama Wijaya.
"Billy, kenapa kamu diam saja saat Qiana berhasil menguasai perusahaan ini?" tanya Om Fariz geram saat mengikuti Papi Billy ke dalam ruangannya.
"Mau bagaimana lagi? Qiana sekarang pemilik saham terbesar di perusahaan ini, dan Qiana juga yang selama ini berjuang mempertahankan perusahaan agar tidak jatuh ke tangan orang lain! Beruntung Qiana adalah istri Alvan dan menantu di keluarga Pratama Wijaya, jadi kami tidak harus kehilangan muka saat perusahaan ini pailit dan diselamatkan oleh Qiana yang merupakan anggota keluarga Pratama Wijaya, meski dia hanya seorang menantu." Ucap Papi Billy penuh penekanan.
"Bangga sekali kamu sepertinya pada menantu kesayanganmu itu, Billy! Apa kamu tidak takut kalau suatu hari nanti Qiana akan menceraikan Alvan dan mengambil semua dari kalian?" tanya Om Fariz mengompori.
"Aku percaya pada menantu kesayanganku! Dan aku tidak perlu takut apa pun! Sebab Qiana sudah menyelamatkan perusahaan, meski dengan cara dia mengambil alih perusahaan sekali pun karena kecerdasan yang dia miliki. Bukan karena hasil kecurangan dia untuk menguasai perusahaan yang bukan hak atas dirinya sendiri." sindiran keras Papi Billy merupakan tamparan bagi Om Fariz.
"Sial!" umpat Om Fariz di dalam hati.
Om Fariz pergi meninggalkan Papi Billy sendiri di dalam ruangannya dengan perasaan dongkol. Om Fariz sangat kecewa dengan sikap Papi Billy yang seolah tutup mata dan telinga dengan sikap Qiana yang sudah mengambil alih semua kekuasaan di perusahaan keluarga Pratama Wijaya.
Tring…
Tring…
Tring…
Ponsel Qiana berbunyi, Qiana segera merogoh tas miliknya untuk mengambil ponsel. Saat melihat nama kontak pada layar ponselnya, spontan senyum mengembang di sudut bibir Qiana.
"Ya, Mas!" sapa Qiana begitu hangat dan manja, membuat Mas Tama mengerutkan keningnya seketika.
"Qiana! Aku harus bicara padamu!" ucap Mas Tama serius di seberang teleponnya.
"Ada apa, Mas?" tanya Qiana saat mendengar suara Mas Tama yang sangat serius.
"Kapan kamu ada waktu supaya kita bisa bertemu?" tanya Mas Tama sinis.
"Mungkin minggu depan saat libur. Apa ini soal pekerjaan?" tanya Qiana penasaran.
"Baiklah! Aku tunggu minggu depan saja! Ada banyak hal yang harus kita bicarakan." Mas Tama menutup sambungan teleponnya secara sepihak.
"Eh? Kenapa dengan Mas Tama? Apa ada masalah?" Qiana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Hari sudah semakin sore Qiana segera membereskan berkas yang akan dia bawa ke rumah, untuk disimpan bersama berkas yang lain di dalam lemari brankas milik Alvan.
Qiana sudah meminta Rayn untuk mengantarnya pulang sore ini. Dengan senang hati Rayn akan mengantar Qiana pulang. Karena tergesa-gesa, Qiana jadi lupa membawa berkas penting yang masih berada di atas meja kerjanya.
"Qiana, kamu baru pulang?" tanya Oma Inge saat melihat Qiana masuk.
"Ya, Oma!" jawab Qiana.
"Bagaimana hasilnya? Apa berjalan dengan lancar?" tanya Oma Inge.
"Semua berjalan sesuai rencana, Oma!" jawab Qiana.
"Lalu bagaimana tanggapan yang lain?" Oma Inge penasaran.
"Aku rasa mereka juga tidak masalah selama kedua perusahaan masih bisa berjalan normal. Tidak akan ada pengurangan karyawan atau pengurangan produksi. Semua tetap akan berjalan normal seperti biasanya." jawab Qiana.
"Baguslah kalau begitu! Oma percaya kamu bisa melakukan semuanya, walau sekarang Oma harus menyerahkan perusahaan menjadi milikmu seutuhnya." Tutur Oma Inge sedih.
"Ini tidak akan lama, Oma! Saat Bang Alvan kembali, aku akan menyerahkan semua milik Oma dan Bang Alvan seperti semula. Aku tidak menginginkan apa pun dari perusahaan dan keluarga ini. Aku hanya ingin menyelamatkan perusahaan dan keluarga ini saja, agar tidak jatuh kepada orang yang salah." Balas Qiana dengan perasaan bersalah.
"Terima kasih, Qiana. Oma tidak tahu harus dengan cara apa membalas kebaikanmu, kepada Oma dan keluarga ini." ucap Oma Inge mendesah pasrah.
"Sudahlah, Oma! Jangan seperti itu! Selama ini kebaikan Oma kepadaku sudah tak terhitung lagi, rasanya apa yang aku lakukan untuk perusahaan dan keluarga ini sampai kapan pun tidak akan cukup untuk membalas semuanya." Tutur Qiana penuh ketulusan.
Tring…
Tring…
Tring…
Ponsel Qiana berbunyi membuat Qiana seketika menatap layar ponsel yang sedang dipegangnya. Qiana memutar bola mata dengan malas saat melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya.
"Siapa yang meneleponmu, Qiana?" tanya Oma Inge saat melihat ekspresi wajah Qiana yang tidak suka.
"Salsa." Jawab Qiana dengan malas.
"Apa dia sepupumu yang menikah dengan mantan pacarmu itu?" tanya Oma Inge.
"Ya! Makanya aku malas mengangkat telepon darinya, Oma!" jawab Qiana.
"Kenapa memang?" tanya Oma Inge.
"Paling cuma ngebahas masalah yang gak penting! Entah soal hubungannya dengan Gilang, atau soal kehamilannya itu. Aku malas menanggapinya, Oma!" ucap Qiana.
"Apa kamu cemburu?" Oma Inge mengangkat sebelah alisnya.
"Cemburu? Tidak sama sekali! Aku hanya tidak suka mengungkit masa lalu. Bagiku masa lalu bukan untuk dikenang tapi untuk diingat sebagai pelajaran, agar aku tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Aku bisa belajar banyak hal dari masa lalu, tapi bukan berarti aku akan mengenang masa lalu sebagai sesuatu yang bisa merusak masa depanku." Jawab Qiana mantap membuat Oma Inge tersenyum bangga pada cucu mantunya itu.
Tring...
Ponsel Qiana berbunyi lagi, kali ini ada Teh Qorie yang menghubungi Qiana. Melihat nama sang Kakak mau tidak mau Qiana segera menjawab panggilan itu.
"Ya, Teh?" sapa Qiana pada sang Kakak dengan bahasa sunda.
"Kamu kemana saja, Qi? Dari tadi Salsa menghubungi kamu, tapi tidak kamu jawab telepon darinya." Suara sang Kakak terdengar cemas di seberang teleponnya.
"Aku baru sampai rumah. Ada apa, Teh? Apa Ambu, Abah, dan Teteh baik-baik saja?" tanya Qiana.
"Aki masuk rumah sakit dan sekarang kami semua sudah berkumpul di sini. Hanya kamu yang tidak ada di sini, untuk itulah Teteh telepon kamu, Qi. Bisakah kamu datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Aki?" tutur Teh Qorie.
"Kenapa aku harus peduli dengan dia? Kenapa juga Teteh, Ambu dan Abah datang untuk menjenguknya?" tanya Qiana dengan emosi.
"Qi, saat ini Aki sedang sakit dan Aki ingin semua anak, cucu, dan menantunya berkumpul memberikan doa dan semangat untuk kesembuhan Aki. Kalau pun usia Aki tidak lama lagi, setidaknya kita sudah saling memaafkan kesalahan di masa lalu." Ucap Teh Qorie membuat Qiana terdiam.
Oma Inge melihat heran Qiana yang menatap kosong ke depan dengan raut wajah berubah tanpa ekspresi. Padahal sebelumnya wajah Qiana terlihat emosi dan berapi-api, tapi kini bagai manusia tanpa nyawa menatap kosong sekitarnya.
"Ada apa, Qiana?" tanya Oma Inge membuyarkan lamunan Qiana.
"Aku harus ke Bandung sekarang, Oma!' jawab Qiana datar.
"Apa ada masalah?" tanya Oma Inge.
"Aki masuk rumah sakit, semua keluarga sudah berkumpul." Ucap Qiana dengan suara melemah.
"Pergilah! Urusan di sini sudah kamu selesaikan dengan baik, sekarang waktunya kamu berkumpul dengan keluarga besarmu walau keadaannya seperti itu. Urusan perusahaan bisa dihandel Evan, Gherry, dan Rayn juga Papi." Ujar Oma Inge.
Tanpa bisa membantah ucapan Oma Inge, akhirnya Qiana memutuskan untuk pergi ke Bandung malam ini juga dengan menggunakan travel. Pak Tatang mengantarkan Qiana hingga ke tempat travel itu berada.
"Apa kesempatan ini aku gunakan juga untuk menemui Mas Tama?" gumam Qiana.
Di dalam travel yang membawanya ke Bandung, Qiana terus memikirkan kata-kata Mas Tama yang terdengar sangat serius. Sampai-sampai Qiana lupa memberitahu Evan, Gherry, dan Rayn untuk mengurus perusahaan selama dirinya berada di Bandung.
Qiana mengambil ponselnya di dalam tas jinjingnya, lalu mencari kontak Evan di sana. Qiana melakukan panggilan telepon kepada Evan.
"Ya, adikku yang pintar!" Evan menjawab panggilan telepon Qiana.
"Kak! Aku harus ke Bandung sekarang, urusan kantor aku serahkan sama Kakak. Tolong ya, Kak! Pleaseee…" ucap Qiana kepada Evan.
"Lalu urusan Vino?" tanya Evan.
"Kakak and the gank tetap awasi dia! Aku lupa berkas perusahaan masih ada di atas meja kerjaku. Kalau memang ada hal mendesak hubungi aku secepatnya." pinta Qiana.
"Baiklah! Kamu hati-hati di jalan, selamat sampai tujuan." Ucap Evan.
"Oke! Makasih, Kak!" Qiana dan Evan sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya.
Setelah Qiana menutup teleponnya, Evan baru tersadar kalau dia lupa menanyakan kepada Qiana. Untuk urusan apa Qiana sampai harus pergi ke Bandung malam hari seperti ini.
"Akh, bego banget! Kenapa gue sampai lupa nanya sama Qiana!" rutuk Evan.
Hampir empat jam perjalanan akhirnya Qiana sampai di kota Bandung. Tidak jauh dari tempat travel itu berhenti, Qiana sudah bisa melihat gedung rumah sakit besar di Bandung yang menjulang tinggi.
Qiana menggunakan ojeg pangkalan yang kebetulan ada di sekitar tempat travel menuju ke rumah sakit. Membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk Qiana sampai di rumah sakit.
"Kenapa baru datang?" tanya sang Bibi ibu kandung Salsa saat melihat Qiana baru saja datang.
Qiana tidak menjawab, dia terus saja melangkah mendekat kepada kedua orang tuanya, dan sang Kakak.
"Kamu datang sendiri, Qi? Mana suami kamu?" tanya Abah Sambas celingak celinguk mencari keberadaan Alvan.
"Emmm, Bang Alvan…" belum selesai Qiana melanjutkan kalimatnya, suara barito di belakang Qiana menggelegar.
"Aku di sini!" seketika Qiana menoleh.
"Vino? Ngapain dia di sini?" batin Qiana frustasi melihat kedatangan Vino alias Alvin.
"Abah kira kamu tidak ikut mengantar Qiqi karena sibuk, Al." sambut Abah Sambas memeluk Vino.
"Aku tidak mungkin membiarkan Qiana pergi sendiri malam-malam begini." Ucap Vino alias Alvin.
"Kamu benar! Memang seharusnya seorang istri harus selalu pergi didampingi suaminya, agar tidak timbul futnah." Sambung Ambu Kinanti.
"Sekarang kamu sudah di sini, Qiqi! Cepat pergi ke bagian administrasi dan urus biaya rumah sakit." Celetuk paman Qiana ayah kandung Imelda.
Qiana menatap tajam kepada sang paman yang tak lain adalah adik kandung dari Ambu Kinanti. Paman yang paling jahat dan selalu menghabiskan uang perusahaan hingga mengakibatkan perusahaan sang Kakek mengalami pailit, jika tidak ditolong oleh Qiana dan Alvan.
"Kenapa harus aku?" tanya Qiana dengan sinis.
"Kamu tahu sendiri kalau perusahaan Aki diambang kehancuran dan hampir bangkrut. Kami sudah tidak uang untuk membiayai perawatan Aki selama di rumah sakit, uang kami hanya cukup untuk makan sehari-hari dan belanja kebutuhan kami tentunya." Jawab sang Paman membuat Qiana memutar bola mata dengan malas.
Qiana diam tak lagi menanggapi ucapan sang Paman. Qiana sudah malas untuk berdebat dengan keluarga dari Ambu Kinanti. Mereka membutuhkan Qiana hanya saat ada kebutuhan mendesak yang berurusan dengan uang.
"Kamu bisa menggunakan uang kita untuk biaya perawatan Aki selama di rumah sakit." Ucap Vino alias Alvin tiba-tiba.
"Suami kamu benar, Qi! Lagi pula uang suami kamu juga banyak apa susahnya kalian memberikan sedikit saja untuk biaya perawatan Aki selama di rumah sakit." Ucap Bibi yang lain yaitu ibu kandung Imelda.
Qiana tidak ingin berdebat panjang, akhirnya pergi dengan diantar sang Kakak untuk membayar biaya rumah sakit ke bagian administrasi menggunakan black card milik Alvan.
Seluruh keluarga besar Qiana sudah pulang dari rumah sakit setelah tahu jika biaya rumah sakit ditanggung oleh Qiana sepenuhnya.
Kini tinggal Qiana, Abah Sambas dan Vino alias Alvan yang tinggal di rumah sakit menemani Ahmad Ksuma Wardhana.
Tring…
Ponsel Vino alias Alvin berbunyi, lebih tepatnya ponsel milik Alvan yang dipakai Alvin alias Vino. Dengan segera Vino alias Alvin menjauh dari Qiana dan mengangkat panggilan masuk dari Rayya.
"Ada apa, sayang?" bisik Vino alias Alvin.
"Aku sudah memesan kamar hotel untuk kita malam ini. Kemarilah!" suara Rayya terdengar sensual.
"Oke! Sebentar lagi aku datang! Kamu tunggu aku, sayang!" balas Vino alias Alvin tak kalah sensual dan menggoda.
Setelah meminta izin kepada Abah Sambas dengan alasan bertemu klien, Alvin alias Vino meninggalkan Qiana dan Abah Sambas di rumah sakit.
Saat yang bersamaan Mas Tama dan Pak Samin datang dari arah yang berlawanan dengan kepergian Vino alias Alvin.
"Mas Tama?" bibir Qiana bergetar wajahnya pucat.
"Kamu kenapa, Qi?" tanya Abah Sambas di depan ruang ICU tempat Ahmad dirawat saat ini.
"Eh? Aku tidak apa-apa, Abah! Aku hanya lelah saja." Jawab Qiana berbohong.
"Kamu seperti baru melihat hantu." Celetuk Abah Sambas.
Tak lama Mas Tama dan Pak Samin sudah berdiri di hadapan Abah Sambas dan Qiana. Mas Tama menatap Abah Sambas dengan kening berkerut seperti mengingat sesuatu.
"Samin! Kamu di sini?" sapa Abah Sambas.
"Iya, Sambas! Aku dengar mertuamu masuk rumah sakit." Jawab Pak Samin.
"Tahu dari siapa? Bukannya sudah sepuluh hari kamu pergi dari desa yah?" tanya Abah Sambas.
"Anakku Tama yang memberitahuku, dia kerja di perusahaan mertuamu saat ini." jawab Pak Samin.
"Apa dia anak yang kamu ceritakan itu, Samin?" tanya Abah Sambas menatap intens pada Mas Tama.
"Ah ya! Dia Tama anakku." Ucap Pak Samin.
Mas Tama meraih tangan Abah Sambas dan mencium punggung tangan laki-laki paruh baya itu, yang membuat dadanya bergetar saat menjabat tangan itu.
"Eh? Ada apa dengan anak ini? Kenapa dia sepertinya sangat dekat denganku? Padahal baru kali ini bertemu." Batin Abah Sambas.
"Qiana!" sapa Mas Tama saat sudah berkenalan dengan Abah Sambas.
"Ma… Mas Tama?" balas Qiana gugup.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Abah Sambas menatap keduanya dengan sorot mata tajam.
"Aku mengenal Mas Tama karena perusahaan tempatku bekerja memang ada kontrak kerjasama dengan perusahaan Aki saat ini." terang Qiana membuat Abah Sambas mengangguk pelan.
"Qiana! Aku ingin bicara berdua denganmu! Ikut aku!" ucap Mas Tama dengan wajah serius.
Qiana pergi bersama Mas Tama setelah berpamitan kepada Abah Sambas dan Pak Samin. Mas Tama mengajak Qiana ke kantin dan mereka berbicara seraya memesan minuman.
"Katakan padaku! Siapa kamu sebenarnya, Qiana?" tanya Mas Tama dengan tatapan tajam membuat Qiana tak kuasa membalas tatapan membunuh dari Mas Tama.
Qiana diam mematung dalam ketakutan, bibirnya bergetar lidahnya kelu. Sementara dadanya berdebar dengan sangat kencang saat ini, seolah orang yang berada di hadapannya saat ini akan menerkamnya.