Chapter 55 - Bab. 55

Qiana duduk di kursi meja makan dengan kepala sedikit pusing dan perut yang masih mual. Qiana tetap memaksakan diri untuk makan meski sebenarnya ingin muntah.

"Aku harus tetap makan agar aku bisa minum vitamin dan obat. Aku juga harus pergi ke kantor sekarang! Aku harus mengurus perusahaan secepatnya, agar aku bisa segera membantu memulihkan kondisi perusahaan. Saatnya tiba, aku juga akan membawa Bang Alvan kembali. Ayo semangat, Qiana!" batin Qiana memberi semangat pada dirinya sendiri.

"Makan yang banyak, Qiana! Jangan lupa minum obat dan vitamin, biar kamu tetap fit." Ucap Oma Inge saat Qiana mengunyah makanan dengan sedikit malas.

"Iya, Oma!" jawab Qiana.

Qiana tidak menghabiskan sarapannya karena perutnya terasa mual kembali. Qiana tidak ingin memuntahkan makanannya, jadi hanya makan sedikit saja dan langsung minum obat juga vitamin.

"Oma, aku harus pergi ke kantor sekarang! Siang ini wartawan akan datang untuk konferensi pers. Aku harap setelah menemui mereka, tidak ada lagi berita miring soal Bang Alvan dan perusahaan." Ucap Qiana lantang membuat Vino alias Alvin menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Apa kamu tidak menghargai aku sebagai suami kamu, Qiana?" teriak Alvin alias Vino melempar sendok ke atas piringnya.

Vino alias Alvin berdiri dari kursinya lalu menatap tajam pada Qiana. Melihat itu, Oma Inge jadi gemetar dengan nafas sesak. Sementara Vino alias Alvin terlihat emosi dengan dada kembang kempis membuat Qiana tersenyum masam.

"Lalu selama ini apa yang sudah Abang lakukan untuk perusahaan? Jika Abang sudah melakukan sesuatu untuk perusahaan, kejadian buruk ini tidak akan ada di perusahaan dan jadi pemberitaan besar di media. Abang kemana saja selama ini? Apa Abang terlalu sibuk memuaskan nafsu Abang dengan seorang pelacur bernama Rayya?" kata-kata Qiana membuat Alvin alias Vino berang.

Plaaakkk…!

Lagi… tamparan keras mendarat di pipi mulus milik Qiana. Entah berapa banyak tamparan itu mendarat di wajah Qiana, sejak Alvin alias Vino mengaku sebagai Alvan suami dari Qiana.

"Al…! Sejak kapan kamu berani berlaku kasar pada, Qiana?" kini Oma Inge angkat bicara.

"Oma tidak usah membela dia! Asal Oma tahu, kenapa aku berbuat kasar padanya! Itu karena dia selingkuh di belakangku, Oma!" bentak Alvan membuat tubuh Oma Inge kian bergetar.

"Apa buktinya kalau aku berselingkuh di belakang, Abang?" Qiana sengaja menantang Alvin alias Vino dengan bukti perselingkuhan dirinya dengan laki-laki lain.

"Sial! Aku lupa kalau aku belum melakukan apa pun pada Qiana, padahal seharusnya aku memakai caraku sendiri untuk membuat bukti perselingkuhan Qiana dengan laki-laki lain! Akh, kenapa aku bisa ceroboh seperti ini? Kalau begini aku bisa gagal lagi menendang Qiana dari rumah ini!" gerutu Alvin alias Vino di dalam hati.

"Kenapa diam?" Qiana tersenyum masam dengan smirk di wajahnya.

"Saat ini aku memang belum bisa membuktikan apa pun, Qiana! Tapi nanti aku akan membawa bukti itu, bahkan aku akan memberitahu semua orang saat itu. Kamu sudah mengandung anak hasil perselingkuhanmu dengan laki-laki lain!" bentak Vino alias Alvin dengan ancamannya.

"Silahkan saja! Aku tidak takut ancaman Abang! Justru aku ingin memberitahu Abang untuk berhati-hati dengan ucapan serta perbuatan Abang kepadaku! Aku bisa saja menuntut Abang dengan kekerasan dalam rumah tangga, dan Abang tahu? Aku bisa menuntut Abang sudah melakukan KDRT kepadaku, itu artinya Abang tidak bisa mengklaim hak waris jika aku menuntut cerai karena kasus KDRT. Bukan begitu, Oma?" jawaban telak Qiana lagi-lagi membuat Alvin alias Vino bungkam, sementara Oma Inge hanya tersenyum tipis.

"Sial! Aku benar-benar mati kutu berhadapan dengan Qiana! makan apa sih cewek licik satu ini? Bisa-bisanya dia mengalahkan aku seperti ini! Dasar ular!" batin Alvin alias Vino mengumpat kesal.

"Masih ada lagi?" tantang Qiana membuat Vino alias Alvin mengepalkan kedua tangannya.

Prokkk…!

Prokkk…!

Prokkk…!

Dari kejauhan Bi Narsih bertepuk tangan seorang diri dengan perasaan senang. Bi Narsih bahagia mendengar ancaman Qiana kepada Alvin alias Vino.

"Bi Narsih akan ada di belakang, Neng Qiana! Saat waktunya tiba Bi Narsih akan katakan kebenarannya, tunggu saja!" ucap Bi Narsih tersenyum masam mengejek Vino alias Alvin.

"Oma, aku pergi!" pamit Qiana tidak menyelesaikan sarapannya yang sudah hilang nafsu makannya sebelum berdebat dengan Vino Alias Alvin.

Qiana segera keluar dari rumah. Saat hendak masuk ke dalam mobil, Bi Narsih menghampiri Qiana melalui pintu belakang. Qiana menghentikan langkahnya kemudian menatap Bi Narsih.

"Ada apa, Bi Narsih?" tanya Qiana mengerutkan keningnya.

"Bi Narsih tahu kalau itu bukan Bang Alvan, Neng!" ucap Bi Narsih mengejutkan Qiana.

"Darimana Bi Narsih bisa tahu?" tanya Qiana penuh selidik.

"Sejak awal Bi Narsih sudah curiga kalau dia bukan Bang Alvan, tapi Bi Narsih belum bisa menjelaskan sekarang. Nanti saja kita bicara saat dia pergi! Sekarang Neng Qiana pergi saja ke kantor! Bi Narsih akan menjaga Oma dan mengawasi parasit itu, selama Neng Qiana pergi. Kalau ada apa-apa nanti Bi Narsih kabari, Neng Qiana." ucap Bi Narsih dengan tulus.

"Baik, Bi! Terima kasih! Kalau begitu aku pergi. Bi Narsih hati-hati dan tolong jaga Oma yah!" Qiana mengusap lembut bahu Bi Narsih.

Qiana pergi setelah Bi Narsih masuk kembali ke dalam rumah melalui pintu belakang. Sepanjang jalan Qiana jadi memikirkan semua perkataan Bi Narsih. Pak Tatang yang melihat di balik kaca spion melirik sekilas wajah Qiana yang terlihat gusar.

"Neng Qiana, gak apa-apa?" tanya Pak Tatang.

"Aku gak apa-apa, Pak!" jawab Qiana tersenyum kaku.

"Apa yang bisa Pak Tatang lakukan untuk membantu, Neng Qiana?" celetuk Pak Tatang spontan membuat Qiana menoleh ke arah spion dimana Qiana bisa melihat wajah Pak Tatang.

"Pak Tatang sudah berapa lama bekerja dengan, Oma?" tanya Qiana.

"Sebelum Oma dan Opa Bang Alvan menikah, Pak Tatang sudah bekerja sebagai supir pribadi Tuan Erlangga. Hampir seperempat abad lebih, Pak Tatang bekerja untuk keluarga Pratama Wijaya." Ucap Pak Tatang jujur.

"Haaah? Benarkah?" mata Qiana jadi berbinar.

Pak Tatang tersenyum saat melihat raut wajah Qiana yang berubah dari terkejut menjadi senang. Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh menit, Qiana sampai di depan kantor perusahaan Pratama Wijaya.

"Pak Tatang kembali saja ke rumah, aku akan meminta Kak Rayn mengantarku pulang nanti sore. Jika ada sesuatu, Pak Tatang tahu apa yang harus Pak Tatang lakukan, bukan?" tanya Qiana seolah tahu jika Pak Tatang akan berpihak kepadanya.

"Tentu saja, Neng! Pak Tatang tidak akan membiarkan Bang Alvan KW melukai Oma, dan melakukan hal buruk pada keluarga Pratama Wijaya." Ucap Pak Tatang mengejutkan Qiana.

"Eh?" Qiana terkejut dengan penuturan Pak Tatang.

"Pak Tatang sudah tahu semuanya, Neng Qiana tenang saja! Wajah boleh copi paste, tapi sikap, sifat sangat jauh berbeda." Ucap Pak Tatang terkekeh.

Pak Tatang segera pulang setelah mengantar Qiana. Saat kembali ke rumah Oma Inge, Pak Tatang dikejutkan dengan tindakan Vino yang membongkar semua cctv yang ada di rumah majikannya.

Tidak ingin mengancam nyawa Oma Inge, Pak Tatang hanya diam dan pura-pura tidak peduli meski di dalam hati dia tetap khawatir pada Oma Inge dan Bi Narsih yang berada di dalam rumah.

"Benar-benar mencurigakan sekali! Kenapa dia membongkar semua cctv di rumah ini? Apa dia sedang merencanakan sesuatu? Aku harus waspada dan tetap berjaga." Ucap Pak Tatang kepada dirinya sendiri.

Di kantor, Qiana dan Papi Billy menemui wartawan dan melakukan konferensi pers mengenai kondisi perusahaan. Di samping itu, para investor dan pemilik saham ikut menghadiri acara itu yang digelar terbuka secara umum namun, tetap dibatasi beberapa pihak saja yang bisa masuk.

"Anak itu! Kenapa dia bisa dengan mudah menguasai perusahaan secepat kilat? Dia hanya anak gadis kemarin sore, tapi kecerdasannya bisa mengalahkan aku? Tidak mungkin!" rutuk Om Wisnu saat melihat berita besar di tv.

"Sial! Qiana benar-benar sudah merebut kekuasaan Pratama Wijaya di perusahaan. Bahkan Billy hanya diam duduk manis di samping Qiana, tanpa mau berjuang mempertahankan hak dia sebagai anak satu-satunya dari Bang Erlangga." Om Fariz mengepalkan kedua tangannya geram di samping Qiana.

Sementara di dalam markas besar Evan, Rayn, dan Gherry ikut menyaksikan berita besar di perusahaan yang membesarkan nama mereka bertiga.

Tak terasa air mata Evan mengalir deras di kedua sisi wajah tampan pemuda itu. Rayn yang melihat itu menepuk pelan bahu sahabatnya.

"Lu kenapa mewek, Van?" tanya Gherry dengan konyol.

"Qiana sudah membahayakan dirinya sendiri! Dia tidak tahu musuh yang sedang dihadapinya saat ini! Dia melakukan ini untuk menyelamatkan perusahaan dan keluarga Alvan. Gue salut sih dengan kerja keras Qiana, tapi gue benar-benar khawatir dengan keselamatan Qiana saat ini." celetuk Evan dengan mata sembab.

"Kedengarannya lu lebay amat, Van! Tapi gue akui, gue juga khawatir sama calon adik ipar gue. Gue takut dia kenapa-napa. Hiks… hiks…" Gherry menyembunyikan tangisnya di balik punggung sahabatnya.

"Anjir… mellow, bray! Jiwa hello kity kalian keluar juga akhirnya! Selama ini gue gak pernah lihat lu berdua mewek, sumpah! Tapi hari ini gue bisa tahu kalau air mata lu berdua adalah sejati karena rasa khawatir akan keselamatan Qiana istri dari sahabat kita, Alvan." Mata Rayn kini ikut berkaca-kaca.

"Kita harus menjaga Qiana buat Alvan! Mulai sekarang kita akan menjadi bodyguard buat menjaga Qiana." ucap Evan yang dijawab anggukan kepala oleh Rayn dan Gherry.

Evan, Gherry, dan Rayn keluar dari markas besar mereka untuk melindungi dan menjaga Qiana, dari kejahatan musuh yang masih bersembunyi. Mereka tahu bagaiman perjuangan Qiana selama tujuh di perusahaan itu.

Bandung, Oktober 2020…

Mas Tama tidak sengaja melihat berita di tv, mengenai konferensi pers yang dilakukan oleh Qiana. Matanya terbelalak saat melihat kedua sosok yang duduk di sebelah Qiana, ada Om Fariz di sebelah kiri Qiana dan Papi Billy di sebelah kanan Qiana.

"Qiana…! Kedua orang itu? Siapa mereka? Kenapa aku merasa tidak asing dengan kedua orang itu? Aaaaahhh…" Mas Tama berteriak saat kepalanya kembali terasa sakit.

Shandy dan Patria yang menjadi kaki tangan Qiana saat ini, segera melihat ke dalam ruangan Mas Tama saat mendengarkan teriakan dari dalam ruangan.

"Apa sakit kepala Pak Tama kambuh lagi?" tanya Patria, sementara Shandy membawakan minum untuk Mas Tama.

"Ambilkan obat!" pinta Mas Tama.

Shandy memberikan obat di dalam laci meja kerja Mas Tama. Setelah meminum obat Mas Tama menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam.

"Shandy, Patria, jawab pertanyaanku dengan jujur! Apa kalian tahu siapa Qiana sebenarnya?" tanya Mas Tama tiba-tiba mengejutkan Shandy dan Patria.

Shandy dan Patria saling tatap dengan mengedikkan bahu. Shandy mengelengkan kepala pelan memberikan isyarat yang bisa Patria tangkap.

"Qiana adalah pemilik perusahaan ini, Pak! Memangnya ada apa dengan Qiana?" tanya Patria hati-hati.

"Aku tahu kalau Qiana adalah pemilik perusahaan ini! Yang aku ingin tahu, apa aku dan Qiana memiliki hubungan khusus dimasa lalu? Aku merasa Qiana sangat dekat dengan aku, bahkan orang-orang yang ada di sekitar Qiana, aku seperti sangat mengenal mereka." tunjuk Mas Tama pada kedua orang di samping Qiana, yaitu Papi Billy dan Om Fariz.

"Bagaimana ini?" bisik Shandy.

"Apa kita beritahu saja yang sebenarnya?" balas Patria yang sama-sama berbisik.

"Kenapa kalian malah asyik berbisik seperti itu? Apa kalian tahu sesuatu, mengenai hubungan aku dan Qiana?" tanya Mas Tama dengan tatapan tajam.

"Ma… maafkan kami, Pak! Kami hanya menjalankan tugas sebagai asisten pribadi Bapak, dan orang kepercayaan Qiana saja." Ucap Shandy terbata.

"Kalau aku hanya orang biasa bagi Qiana, kenapa dia sampai menyewa kalian sebagai asisten pribadi untuk menjagaku?" tanya Mas Tama dengan sorot mata tajam.

"Kami tidak tahu apa-apa soal itu, Pak!" jawab Patria gugup.

Mas Tama meraih ponselnya lalu mencari nama kontak Qiana di dalam ponselnya. Setelah menemukan nama Qiana di dalam kontaknya, Mas Tama lalu menghubungi Qiana.

"Kalau kalian tetap bungkam, jangan salahkan jika aku bertanya sendiri pada Qiana." ucap Mas Tama datar.

Glekkk…!

Shandy dan Patria menelan ludahnya sendiri dengan susah payah yang terasa mencekat tenggorokannya. Pasalnya Qiana sudah berpesan pada Shandy dan Patria, agar tidak mengizinkan Mas Tama untuk melihat berita apa pun mengenai Qiana baik di tv atau sosial media lainnya.

"Bagaimana ini?" keringat mengucur di dahi Shandy.

"Mampus kita!" Patria mengusap dadanya yang berdetak kencang.

Mas Tama menghubungi Qiana, namun berulang kali panggilan itu tidak Qiana angkat. Mas Tama akhirnya menyimpan kembali ponselnya di atas meja.

Shandy dan Patria dapat bernafas dengan lega setelah melihat Mas Tama menyimpan kembali ponselnya. Itu artinya Mas Tama tidak akan menghubungi Qiana dan mengatakan apa pun soal berita yang di lihatnya di tv baru saja.

"Kalian kembali saja bekerja! Kalau aku butuh bantuan kalian, aku akan menghubungi kalian." Ucap Mas Tama.

"Baik, Pak! Kami permisi." Jawab Shandy dan Patria nyaris bersamaan.

Saat Shandy dan Patria menjauh dari ruangan Mas Tama, seseorang mendekat dan masuk ke dalam ruang Mas Tama tanpa izin sama sekali dari siapa pun.

"Apa kamu orang baru di sini?" suara Imelda menggelegar di dalam ruangan.

"Kamu siapa?" tanya Mas Tama terkejut saat melihat Imelda berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang.

"Aku Imelda cucu dari pemilik perusahaan ini." ucap Imelda lantang.

"Imelda?" gumam Mas Tama.

"Ya! Apa kamu tidak tahu siapa aku?" tanya Imelda dengan pongah.

"Aku tidak tahu siapa kamu, jadi tolong keluar dari ruanganku sekarang juga!" usir Mas Tama membuat Imelda terkejut.

"Kamu mengusirku dari perusahaan milik Kakekku sendiri? Hei, berani sekali kamu mengusirku dari sini! Siapa yang sudah mempekerjakan laki-laki sombong sepertimu? Sudah culun, pipi tompel, kutu buku, masih juga belagu! Ngaca dong!" bentak Imelda tak terima lalu keluar dari ruangan Mas Tama dengan marah seraya menyentakkan kakinya.

Mas Tama menghela nafas panjang. Hari pertama bekerja di perusahaan ini sudah membuatnya pusing dengan sikap bar bar Imelda, belum lagi dengan berita viral hari ini.

Mas Tama jadi ingat kembali kalau dirinya hendak menghubungi Qiana dan bertanya banyak hal mengenai kebenaran yang belum dia ketahui, dan masih Qiana rahasiakan darinya.

"Angkat, Qiana!" gumam Mas Tama geram.

Mas Tama terus menghubungi Qiana. Kali ini dia tidak ingin menyerah, sebab dia memang ingin mengetahui apa yang belum Qiana katakan kepadanya. Dan itu semakin membuat rasa penasaran terus berkecamuk di dalam dadanya hingga saat ini.