Fahlevi menunjukkan ponsel miliknya pada Oma Inge. Dengan kening berkerut Oma Inge menatap layar ponsel Fahlevi.
"Apa ini?" tanya Oma Inge.
"Maaf, Oma! Aku, Evan, Rayn dan Gherry sengaja mengerjai Alvan untuk memulihkan ingatannya lagi." Ucap Fahlevi.
"Oma gak ngerti!" ujar Oma Inge menyerahkan kembali ponselnya pada Fahlevi.
"Kalau Alvan memang hilang ingatan, kita akan melakukan terapi Okupasi, tes kognitif, maupun pemberian obat. Kondisi Alvan akan membaik jika segera ditangani, kalau dibiarkan terlalu lama bisa berisiko menyebabkan kerusakan otak permanen." cetus Fahlevi.
"Lalu apa tujuan kalian mengerjai Alvan seperti itu?" tanya Oma Inge.
"Saat ini kami mengirim Alvan ke sebuah rumah sakit di daerah Depok. Kami sengaja menjebak Alvan dengan memberitahu jika itu markas besar yang biasa kami pakai untuk tempat berkumpul. Di sana nanti Alvan akan ditangani beberapa temanku, Oma tidak perlu khawatir itu tidak akan menyakiti Alvan sama sekali. Jika Alvan memang ingin pulih ingatannya, tentu dia tidak akan menolak bukan? Kecuali, jika dia…" Fahlevi kembali melirik kepada Evan, Gherry, dan Rayn.
"Kecuali apa?" tanya Oma Inge dengan tatapan tajam.
"Maaf, Oma! Aku curiga kalau dia bukan, Alvan!" ujar Fahlevi.
"Kamu bisa membuktikan pada Oma kalau dia bukan Alvan, Lev?" pertanyaan Oma Inge merupakan angin segar untuk Fahlevi, Rayn, Evan, dan Gherry.
Fahlevi, Rayn, Evan, dan Gherry kemudian menceritakan kepada Oma Inge tentang apa yang Qiana sampaikan, serta kecurigaannya kepada sosok Alvan saat ini. Tidak lupa mereka juga mengatakan yang sejujurnya mengenai apa yang Qiana lalui bersama Alvan saat berada di Bandung.
"Lalu setelah ini apa yang kalian rencanakan selanjutnya?" tanya Oma Inge.
"Anggap saja Oma tidak tahu apa pun yang kita ceritakan barusan. Oma fokus saja membahas perusahaan. Masalah itu biar kami yang melakukan untuk Oma, saat ini kami menunggu Qiana untuk langkah selanjutnya. Qiana mempunyai bukti yang lain untuk membongkar…" belum sempat Evan melanjutkan ucapannya terdengar suara gaduh di depan rumah.
Braaakkk…
Alvin alias Vino membanting pintu dengan keras, matanya menatap nyalang pada Rayn, Fahlevi, Gherry, Evan, dan Oma Inge yang saat ini tengah berkumpul di ruang tamu.
"Al, ada apa?" tanya Oma Inge panik.
Oma Inge panik bukan lantaran khawatir kepada Alvin alias Vino, melainkan takut Vino alias Alvin mendengar percakapan Oma Inge bersama Fahlevi, Evan, Rayn, dan Gherry tentang rencananya membongkar semua kedok Vino alias Alvin.
"Lu udah ngerjain gue? Apa maksud lu ngirim gue ke rumah sakit?" Alvin alias Vino menarik kerah baju Fahlevi.
"Hahaha…" Evan tertawa keras membuat Oma Inge, Rayn, Fahlevi, Gherry, bahkan Alvin alias Vino sendiri menoleh seketika pada Evan.
"Ngapain lu ketawa?" teriak Alvin alias Vino melepaskan cengkraman tangannya.
"Lu kena prank, bray! Sorry ini ide gila dia!" tunjuk Evan pada Fahlevi.
Menyadari sandiwara Evan, kompak Fahlevi, Rayn, dan Gherry tertawa keras. Sementara Oma Inge menghela nafas dengan lega. Dadanya sempat merasa sesak saat melihat sikap Alvin alias Vino kepada Fahlevi.
"Sialan! Ngapain ngeprank gue, hah?" tanya Alvin alias Vino.
"Santai, bray! Ini cuma permainan biar lu gak stress! Tadi siang lu bilang ingatan lu belum pulihkan? Makanya terapi yang bagus biar lu cepat pulih ya ngeprank lu, Al. Biar lu senang dan gak stress lagi. Dengan begitu ingatan lu bisa cepat pulih seperti sebelumnya. Gak enak tahu kalau otak lu masih sengklek, Al! Gak seru ngobrol sama lu yang hilang ingatan, bawaannya serius melulu!" Fahlevi mengerlingkan matanya dengan nakal menggoda Alvin alias Vino.
"Sumpah, gak lucu!" rutuk Vino alias Alvin kesal.
"Lagian kalian kenapa sih ngeprank Alvan harus ke rumah sakit segala? Emang gak ada yang lebih sadis lagi apa?" Oma Inge terkekeh, membuat Evan, Gherry, Rayn, Fahlevi ikut terkekeh sementara Alvin alias Vino mencebikkan bibirnya.
"Qiana dimana, Oma?" tanya Fahlevi.
"Qiana, ada di atas. Sebentar lagi turun untuk makan malam bersama kita." Jawab Oma Inge.
"Oma! Aku sudah lapar!" celetuk Rayn.
"Ya sudah! Ayo kita makan dulu! Kamu juga pasti lapar kan, Al?" Oma Inge bersikap sangat manis kepada Alvin alias Vino yang membuat pemuda tampan itu merasa muak.
"Biar aku panggil Qiana dulu." Alvin alias Vino hendak berdiri, namun Oma Inge menahan laki-laki itu.
"Biar Bi Narsih yang panggilkan, Qiana. Kamu makan saja dulu, Al!" ucap Oma Inge.
Bi Narsih yang mengerti isyarat yang diberikan oleh Oma Inge, segera saja menaiki anak tangga untuk memanggil Qiana.
"Neng, dipanggil Oma untuk makan malam!" Bi Narsih mengetuk pintu kamar Qiana.
Merasa tidak ada jawaban dari dalam kamar Qiana, Bi Narsih kembali mengetuk pintu kamar itu hingga akhirnya Bi Narsih memberanikan diri membuka pintu kamar Qiana.
Mata Bi Narsih terbelalak saat melihat Qiana sudah tidak sadarkan diri, tubuhnya luruh beralaskan lantai yang dingin dengan kondisi wajah yang pucat.
"Neng! Bangun, Neng! Neng Qiana kenapa?" Bi Narsih menepuk pelan pipi Qiana.
Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa istri dari tuan mudanya, Bi Narsih lari ke bawah untuk memberitahu keadaan Qiana kepada Oma Inge.
"Oma…!" teriak Bi Narsih membuat semua yang sedang berkumpul di meja makan kompak menoleh kepada Bi Narsih yang sudah terlihat panic.
"Ada apa, Bi Narsih?" tanya Oma Inge dengan kening berkerut.
"Oma! Neng Qiana, dia pingsan!" ucap Bi Narsih dengan terbata dan nafas tersengal karena berlari.
"Apa…?" Oma Inge, Fahlevi, Evan, Rayn, dan Gherry terkejut. Sementara Vino alias Alvin hanya menyeringai.
Oma Inge dan yang lainnya segera menuju ke lantai dua rumah itu, untuk melihat kondisi Qiana. Benar saja, Qiana sudah tidak sadarkan diri dengan wajah yang sangat pucat.
"Qiana, kamu kenapa?" Oma Inge menepuk pelan pipi Qiana.
"Biar aku periksa keadaan Qiana dulu, Oma!" Fahlevi dengan sigap memeriksa kondisi Qiana.
Fahlevi mengerutkan keningnya saat menekan perut Qiana. Tidak ingin salah diagnosa, Fahlevi menyarankan agar Qiana dibawa ke rumah sakit agar mendapat penanganan yang tepat.
"Bagaimana, Lev?" tanya Oma Inge.
"Aku tidak bisa memastikan kondisi Qiana saat ini, Oma! Sebaiknya kita bawa Qiana ke rumah sakit sekarang!" saran Fahlevi yang langsung disetujui oleh Oma Inge.
"Al, kenapa kamu diam saja? Cepatkan siapkan mobil!" sentak Oma Inge membuat Vino alias Alvin mencebik dengan kesal.
"Edan itu si kutu kupret! Dia udah nunjukkin wajah aslinya sekarang! Awas saja kalau terjadi apa-apa sama Qiana, gue gak akan tinggal diam!" bisik Evan kepada Rayn dan Gherry yang berdiri di sampingnya.
"Kita bongkar malam ini kedok si kunyuk! Kalau terjadi sesuatu yang buruk sama Qiana." ucap Gherry setengah berbisik.
"Kalau gak takut dikutuk jadi batu, udah gue pites itu kutu busuk!" balas Rayn membuat Evan dan Gherry terkekeh.
"Pfffttt… gaya lu! Songong amat, bray!" Evan menoyor kepala Rayn.
Qiana segera dibawa ke rumah sakit oleh Oma Inge dan Fahlevi, sementara Alvin alian Vino dia yang mengemudikan mobil Alvan.
Evan, dan Rayn ikut menemani dengan membawa mobil Evan. Sedangkan Gherry membawa mobil Fahlevi.
Lima belas menit mereka sampai di rumah sakit, Qiana langsung dibawa ke ruang UGD untuk diperiksa dan mendapat penanganan khusus dari dokter.
"Apa Qiana baik-baik saja, Van?" tanya Oma Inge cemas.
"Kita berdoa buat Qiana, Oma! Semoga semuanya baik-baik saja!" jawab Evan.
Sementara di dalam ruangan, Fahlevi ikut menangani Qiana bersama dokter spesialis kandungan yang sudah Fahlevi hubungi saat mereka berada dalam perjalanan.
"Apa diagnosaku benar, Dokter?" tanya Fahlevi penasaran.
"Dari hasil tes darah memang benar kalau saat ini Qiana sedang hamil. Usia kandungannya baru dua minggu, embrio sudah terbentuk berukuran sekitar 0,01-0,02 centimeter. Kehamilan sudah bisa terdeteksi melalui hormon HCG dalam darah. Untuk memastikannya kita bisa melakukan tes urine dengan menggunakan tespack, saat Qiana sadar nanti." Ucap dokter membuat Fahlevi menarik nafasnya dalam.
"Dokter, bisakah kita merahasiakan kehamilan Qiana kepada yang lain?" tanya Fahlevi ragu.
"Lho, kenapa? Bukannya ini berita gembira untuk keluarga Pratama Wijaya? Mereka akan mendapatkan keturunan pertama dari cucu kesayangan sang pengusaha legend di negeri ini. Kenapa harus dirahasiakan?" tanya dokter dengan kening berkerut.
"Saat ini nyawa Qiana dalam bahaya. Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal di sini, tapi yang pasti aku mohon dokter untuk sementara waktu menjaga rahasia ini." pinta Fahlevi dengan penuh permohonan.
"Hah, baiklah! Kalau ini menyangkut keselamatan nyawa Qiana dan bayinya, apa boleh buat?" dokter itu mengangkat kedua bahunya.
"Terima kasih, Dokter!" Fahlevi mengulurkan tangan kepada dokter itu yang tak lain adalah temannya sendiri.
Fahlevi menatap wajah Qiana yang masih pucat, saat ini Qiana masih dalam kondisi lemah. Ada rasa sakit di dalam dada Fahlevi saat menatap wajah istri dari sahabatnya.
Berita kehamilan yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Qiana dan Alvan, terpaksa harus disembunyikan demi keselamatan Qiana dan calon bayi yang berada di dalam kandungan Qiana saat ini.
"Maafin gue, Al! Seandainya lu ada di sini, gue pasti akan memberikan berita gembira ini sama lu juga keluarga lu!" ucap Fahlevi dengan genangan air mata yang sudah menumpuk di dalam kelopak matanya.
"Dimana aku?" suara Qiana lirih.
Fahlevi menyeka kedua sudut matanya yang sudah mulai basah. Tak ingin Qiana melihat dirinya menangis, Fahlevi terpaksa tersenyum walau terasa kaku.
"Lu udah sadar, Qiana?" Fahlevi membelai pucuk kepala Qiana dengan lembut.
"Aku dimana, Dokter?" tanya Qiana.
"Lu di rumah sakit saat ini, Qiana." jawab Fahlevi.
"Aku kenapa?" tanya Qiana.
"Lu… kelelahan dan stress! Dokter bilang lu harus istirahat, jangan terlalu capek, jaga pola makan, lu juga gak boleh stress dan banyak pikiran." Fahlevi mengacak rambut Qiana.
"Kenapa Dokter menatapku seperti itu?" tanya Qiana heran dengan tatapan Fahlevi kepadanya yang terlihat tak biasa.
"Gue udah anggap lu seperti adik gue sendiri, Qiana! Makanya lihat lu sakit gini, gue jadi sedih. Jangan bikin Abang lu ini sedih lagi yah, Qiana!" ucap Fahlevi membuat Qiana terkekeh.
"Kenapa ketawa?" tanya Fahlevi dengan bibir cemberut.
"Dokter lucu kalau begitu." Qiana kembali terkekeh sementara Fahlevi mencebikkan bibirnya.
"Bisa gak sih lu panggil gue Abang Boru! Jangan manggil gue Dokter! Gue ngerasa lu bedain gue dari yang lain deh, Qiana." bibir Fahlevi memberenggut.
"Maksudnya?" Qiana mengangkat sebelah alisnya.
"Lu manggil si Evan, Gherry, juga Rayn pake Kakak. Lah sama gue, manggil dokter! Gue juga mau kali lu panggil Abang kayak mereka!" protes Fahlevi.
"Iya deh Abang Boru!" ledek Qiana membuat Fahlevi seketika tersenyum senang.
"Nah gitu dong! Kan enak tuh di dengarnya." Ucap Fahlevi tersenyum lebar.
Qiana dan Fahlevi tertawa senang, sementara keadaan di luar ruang UGD masih tegang menunggu kabar dari dokter mengenai kondisi Qiana saat ini.
"Kenapa Dokternya lama sekali? Ini juga Levi kenapa gak ngasih kabar di dalam." Gerutu Oma Inge.
"Sabar, Oma! Dokter masih memeriksa Qiana." Evan menenangkan Oma Inge yang masih panik.
Terlihat pintu ruang UGD dibuka oleh dua orang perawat yang disusul seorang dokter keluar dari ruang UGD.
"Bagaimana keadaan cucuku, Dokter?" tanya Oma Inge sudah tidak sabar saat melihat dokter yang menangani Qiana sudah keluar dari ruang UGD.
"Kondisi Qiana saat ini membaik, hanya saja tetap harus dijaga agar tidak banyak pikiran supaya tidak stress. Qiana juga harus makan teratur yang banyak mengandung gizi cukup untuk kebutuhan perkembangan kesehatannya." Ucap dokter membuat Oma Inge bernafas dengan lega.
"Apa kami boleh menjenguk Qiana, Dokter?' tanya Oma Inge sudah tidak sabar.
"Qiana sudah diperbolehkan pulang, jadi sebaiknya menunggu Qiana dan Dokter Fahlevi keluar saja." Ucap Dokter seraya berlalu meninggalkan ruang UGD.
"Baiklah, Dokter! Terima kasih." Lanjut Oma Inge.
Saat Oma Inge dan yang lainnya sedang menunggu Qiana dan Fahlevi keluar dari ruang UGD, Alvin alias Vino menghubungi seseorang untuk membongkar cctv di perusahaan Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra.
"Bilang saja Qiana yang memberi perintah untuk dibongkar karena akan diganti dengan yang baru. Ingat jangan ada yang tersisa satu pun dari setiap sudut ruangan." Bisik Alvin alias Vino kepada anak buahnya.
Saat Vino alias Alvin menutup sambungan teleponnya, Fahlevi mendorong kursi roda yang membawa Qiana keluar dari ruang UGD.
"Qiana! Kamu sudah membaik, sayang?" sambut Oma Inge saat melihat Qiana duduk di atas kursi roda.
"Aku sudah membaik, Oma." jawab Qiana.
"Oma! Aku akan menebus resep obat dan vitamin untuk Qiana." ucap Fahlevi.
"Baiklah. Terima kasih, Levi." Ucap Oma Inge.
Fahlevi menarik tangan Rayn agar ikut bersamanya, sementara Evan dan Gherry dibiarkan bersama Oma Inge untuk menjaga Qiana.
"Gue ambil obat di apotik, lu bayar administrasi yah!" Fahlvei merangkul pundak Rayn dan mengajaknya pergi.
"Dokter bilang apa?" tanya Rayn.
"Qiana baik-baik saja. Hanya Dokter menyarankan agar Qiana banyak istirahat, gak boleh cape, gak boleh stress, jangan banyak pikiran, gak boleh telat makan. Itu aja sih!" Fahlevi membuang pandangannya ke arah lain.
"Lu gak nyembunyiin sesuatu dari gue dan yang lainnya kan, Lev?" tanya Rayn tiba-tiba.
"Apaan sih lu?" Fahlevi menjitak pelan kepala Rayn.
"Gue curiga kalau lu lagi bohongin gue, Lev! Ada rahasia apa sebenarnya?" tanya Rayn penuh selidik.
"Ishhh, apaan sih lu pe-a?" Fahlevi malah menoyor kepala Rayn.
"Lev, kita ini udah lama bersahabat yah dan gue tahu banget kalau lu lagi nyimpen sesuatu dari gue dan yang lain. Cepet lu bilang sama gue atau gue yang cari tahu sendiri, dan saat gue tahu lu berurusan sama gue! Apa ini ada hubungannya dengan Qiana?" Rayn terus mendesak agar Fahlevi bicara sejujurnya.
"Gue ke apotik sekarang! Lu sono bagian administrasi." Fahlevi mendorong tubuh Rayn agar menjauh darinya.
"Lu masih hutang penjelasan sama gue, Lev! Setelah gue selesai ngurus administrasi Qiana, gue pastiin lu ngomong jujur sama gue! Kalau gak, mampus lu ditangan gue!" ancam Rayn membuat Fahlevi memutar bola mata dengan malas seraya mengacungkan jari tengah ke arah sahabatnya itu.
Rayn berjalan menjauh dari Fahlevi menuju bagian administrasi di rumah sakit Bakti Pertiwi. Rumah sakit milik Alard Rumende pria paruh baya asal Belanda, yang masih terlihat tampan dan gagah diusianya yang sudah masuk lebih dari setengah abad itu.
"Gue pastiin lu bakal ngomong jujur nanti, Lev." Ucap Rayn menatap Fahlevi dari kejauhan.
"Maafin gue, Rayn! Saat ini gue harus merahasiakan kondisi Qiana sama lu semua, demi keselamatan nyawa Qiana dan janin yang ada di dalam kandungan Qiana." batin Fahlevi yang melirik Rayn dari kejauhan dengan ekor matanya.