Evan menggeser tanda hijau pada layar ponselnya. Nafasnya terasa sesak dengan suara sedikit parau. Bisa Evan bayangkan jika saat ini Oma Inge pasti akan marah besar kepadanya, lantaran membiarkan kondisi perusahaan dalam masalah besar.
"Ya, Oma!" sapa Evan di seberang telepon.
"Kamu kemana saja? Oma berulang kali menghubungi tapi kamu tidak mengangkat telepon dari Oma!" balas Oma Inge.
"Aku sibuk, Oma!" ujar Evan mencari alasan.
"Sibuk apa? Pacaran?" tanya Oma Inge membuat Evan terkekeh.
"Emangnya boleh, Oma?" Evan mencairkan suasana.
"Siapa bilang gak boleh? Umur kamu juga udah pantas kok buat kenalin calon istri kamu ke Oma. Emangnya udah ada calonnya?" tanya Oma Inge seketika jadi lupa tujuannya menghubungi Evan.
"Udah ada, Oma!" jawab Evan ragu.
"Siapa?" tanya Oma Inge penasaran.
"Ada lah, Oma!" jawab Evan malu.
"Emang ada yang mau sama kamu?" Oma Inge terkekeh membuat Evan mencebikkan bibirnya.
"Omaaa…! Tunggu saja gak lama lagi aku akan minta doa restu Oma, dan Papi juga Tante Erlin." Ucap Evan.
"Oma pasti mendoakan yang terbaik buat jodohmu, dan calon istrimu juga keluarganya." Ucap Oma inge yang langsung diaminkan oleh Evan.
Tanpa Oma Inge tahu, calon istri yang Evan maksud adalah Zoya. Cucu kandung Oma Inge sendiri, anak dari Papi Billy dan Tante Erlin, adik kandung dari Alvan sahabatnya.
Hubungan Zoya dan Evan sudah berlangsung selama dua tahun terakhir, hanya saja tidak ada yang tahu soal hubungan mereka. Sebab, mereka memang sengaja menutupi hubungannya dari orang lain termasuk keluarga Zoya sendiri.
"Kapan kamu mau ngenalin calon istri kamu sama Oma?" pertanyaan Oma Inge membuat Evan menelan salivanya sendiri yang terasa tercekat ditenggorokan.
"Secepatnya, Oma! Setelah semua tugasku di kantor selesai." Jawab Evan keceplosan yang membuat Oma Inge seketika teringat tujuannya menghubungi Evan.
"Ya sudah kalau begitu! Oma tunggu secepatnya, kabari Oma yah! Dan kamu… sekarang Oma tunggu kamu di rumah! Ada banyak hal yang ingin Oma tanyakan sama kamu, terutama soal perusahaan. Jangan lupa kabari Gherry, Rayn, dan Levi sekalian. Makan malam nanti Oma tunggu kalian! Sejak Qiana pergi ke Bandung, kamu susah sekali Oma hubungi. Rayn juga ikut-ikutan menghilang! Kalian ini kompak yah ngerjain, Oma?" sungut Oma Inge.
"Maaf, Oma!" dua kata yang mampu Evan ucapkan dengan dada berdetak cepat.
"Ya sudah! Oma tutup teleponnya." Oma Inge dan Evan sama-sama mengakhiri sambungan teleponnya.
"Mampus gue!!!" Evan menepuk jidatnya sendiri.
Evan keluar dari kamarnya yang berada di dalam unit apartemennya. Matanya menatap tajam saat melihat Rayn, Gherry, dan Fahlevi tengah asyik makan pizza milik Evan.
"Kurang ajar kalian! Dasar sahabat kagak punya akhlak! Lu semua enak-enakan di sini makan pizza punya gue! Sementara gue, apes kena semprot Oma!" Evan mengambil Pizza ditangan Rayn dan melahapnya dengan cepat.
"Oma bilang apa, Van?" tanya Fahlevi.
"Oma minta malam ini kita datang ke rumahnya saat makan malam. Gue rasa Oma dan Papi Billy mau membahas masalah perusahaan juga Qiana yang sampai saat ini gak ada kabar dan gak bisa dihubungi." Kata Evan dengan mulut yang penuh dengan pizza.
"Apa Qiana sedang merencanakan sesuatu?" tanya Rayn.
"Bisa jadi!" seru Evan.
"Kira-kira apa rencana Qiana?" tanya Fahlevi penasaran.
"Gak tahu!" jawab Evan.
"Gher, tanya cewek lu! Tapi jangan ungkit soal Qiana, lu pancing aja cewek lu. Siapa tahu dia duluan yang ngomongin soal Qiana." Pinta Rayn.
"Oke!" sahut Gherry.
Gherry lalu menghubungi Teh Qorrie dan berbincang banyak hal mengenai rencana hubungan mereka ke depan, setelah dirasa tidak ada percakapan mengenai Qiana. Gherry mengakhiri panggilan teleponnya bersama Teh Qorie.
"Anjir, kita jadi kambing congek orang yang LDR-an. Tahu gitu tadi gue mending molor aja! Daripada dengerin yang pacaran bikin hati gue panas!" celetuk Ryan.
"Lah! Pake ngomel lagi! Lu yang minta gue hubungin cewek gue! Lu juga yang panas! Gimana sih!?" protes Gherry membuat Rayn mencebikkan bibirnya. Sementara Fahlevi dan Evan terkekeh.
Bandung, Oktober 2020…
"Pak Samin dan Mas Tama untuk sementara waktu tinggal di rumah kontrakan ini saja yah! Kalau di desa aku takut Abah, Ambu, dan Teh Qorie curiga. Apa lagi nanti aku juga akan sering datang untuk membawa Mas Tama terapi. Selain itu, Mas Tama juga lebih dekat pergi kerja dari sini." Ucap Qiana.
Saat ini Qiana menyewa satu buah rumah dengan ukuran sederhana di daerah kota Bandung, jauh dari desa tempat tinggal Pak Samin yang berada di daerah Kabupaten Bandung.
Qiana sengaja membawa Pak Samin bersama Mas Tama, untuk menutupi identitas dari Mas Tama. Pak Samin berperan sebagai ayah dari Mas Tama selama Mas Tama kehilangan seluruh ingatannya.
"Qiana, terima kasih! Kamu sudah memberikan aku tempat tinggal dan pakaian. Kamu juga memberikan aku pekerjaan, meski aku belum yakin bisa menjalankan tugasku di perusahaan kamu. Aku tidak tahu dimasa lalu aku bekerja seperti apa, bagaimana keseharianku. Maaf, kalau suatu hari aku mengecewakanmu dalam urusan pekerjaan." Ucap Mas Tama tulus.
"Sudahlah, Mas! Tidak perlu sungkan seperti itu kepadaku. Saat Mas Tama sudah mengingat semuanya nanti, Mas Tama akan tahu alasanku membantu Mas Tama. Soal pekerjaan, aku yakin Mas Tama juga pasti bisa karena di masa lalu Mas Tama adalah orang hebat." Qiana tersenyum menatap sosok laki-laki tampan yang duduk di hadapannya saat ini.
Qiana dan Mas Tama saling tatap sesaat. Ada perasaan tak biasa dalam hati Mas Tama saat menatap intens ke dalam mata Qiana. Mas Tama mencoba menyelami isi hatinya saat ini, namun tidak menemukan jawabannya di sana.
"Kenapa perasaanku pada Qiana bisa sedalam ini? Siapa Qiana sebenarnya di masa lalu aku? Ada hubungan apa aku dan Qiana? Aku merasa sangat dekat dengan Qiana" batin Mas Tama saat tatapan matanya kembali beradu pandang dengan Qiana.
"Eh? Kenapa Mas Tama menatapku seperti itu? Apa dia ingat sesuatu?" tanya Qiana di dalam hati.
Tidak ingin larut dalam perasaannya sendiri, Qiana segera mengajak Mas Tama pergi ke perusahaan miliknya yang diambil alih dari sang Kakek setelah menikah dengan Alvan, beberapa waktu yang lalu.
"Mulai besok Mas Tama bisa langsung masuk kerja di sini. Patria, Shandy, tolong bimbing Mas Tama. Bawa Mas Tama keliling kantor ini dan beritahu apa saja tugasnya!" perintah Qiana pada anak buahnya.
"Baik, Bu!" sahut Patria dan Shandy anak buah Qiana yang sebelumnya merupakan kaki tangan sang Kakek.
Ahmad Kusuma Wardhana sengaja meminta Qiana untuk tetap mempekerjakan Patria dan Shandy di perusahaan yang kini menjadi milik Qiana. Sebab, Ahmad ingin Patria dan Shandy menjaga Qiana sebaik mereka berdua menjaga Ahmad dan perusahaannya dulu.
Qiana tidak menolak permintaan Ahmad sang Kakek, sebab Qiana juga memang butuh orang kepercayaan yang sudah berpengalaman bekerja di perusahaan sang Kakek dulu, sebelum akhirnya perusahaan itu jatuh ke tangannya.
"Qiana!" suara seseorang yang sangat Qiana kenal memanggilnya.
Qiana menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki tampan yang memiliki mata sipit itu tersenyum kepada Qiana.
"Kamu di sini, Qiana? Apa ada urusan bisnis?" tanya Iqbal.
"Ya! Aku sedang dalam perjalanan bisnis. Kenapa?" dengan wajah ketus Qiana tidak menampakkan senyum di wajahnya sedikit pun.
"Apa kamu tahu kalau perusahaan ini milik Kakek kandungmu, Qiana?" tanya Iqbal.
"Ya! Aku tahu!" jawab Qiana datar.
"Lalu? Dimana suami kamu?" tanya Iqbal penasaran.
Deg…!
Jantung Qiana berdebar kencang saat Iqbal mengungkit soal Alvan. Ingin rasanya Qiana berteriak dan menangis saat setiap orang yang ditemuinya menanyakan kabar dan keberadaan Alvan sang suami.
"Suamiku sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri." Jawab Qiana asal untuk menetralkan perasaannya saat ini.
"Apa kita bisa makan siang bersama?" tiba-tiba Iqbal mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku tidak bisa! Aku sedang sibuk! Permisi!" Qiana membalikkan badannya hendak meninggalkan Iqbal.
Saat yang bersamaan Iqbal menarik tangan Qiana cepat, hingga tubuh Qiana seketika masuk ke dalam dekapan Iqbal. Secepat kilat Iqbal sudah memeluk tubuh Qiana dengan erat.
Qiana meronta dan mencoba berontak melepaskan diri dari Iqbal. Namun, tenaga Qiana kalah kuat dari Iqbal.
"Lepaskan aku, Iqbal!" teriak Qiana.
"Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, Qiana! Kamu harus ikut denganku!" Iqbal menyeret tubuh Qiana membawanya menuju mobil.
"Apa yang akan kamu lakukan kepadaku, Iqbal? Lepaskan aku!" Qiana terus meronta membuat Iqbal semakin menggila dengan penolakkan Qiana.
"Terus saja meronta, sayang! Semakin kamu meronta, semakin aku berhasrat padamu. Tubuhmu terlihat menggairahkan jika meronta seperti ini." mendengar ucapan Iqbal akhirnya Qiana hanya diam.
"Kenapa diam, sayang?" Iqbal mengendus leher jenjang Qiana, membuat Qiana muak.
Bugh…
Qiana menyiku perut Iqbal saat dia lengah, seketika Qiana bisa melepaskan diri dari pelukan Iqbal. Detik berikutnya Qiana lari, namun Iqbal terus mengejarnya.
Brukkk…
Kaki Qiana tersandung batu hingga tubuh mungil itu terjatuh. Iqbal yang melihat itu tersenyum dengan smirk di wajahnya.
"Mau lari kemana, sayang? Tadinya aku ingin membawamu ke dalam mobil, tapi sepertinya kamu ingin kita bermain di sini rupanya? Kantor ini sedang sepi. Semua karyawan libur jadi kita bisa bersenang-senang sedikit, bukan?" Iqbal mencengkram rahang Qiana hingga wajahnya semakin dekat.
"Lepas!" Qiana mendorong tubuh Iqbal saat bibirnya mendekat.
"Sudah aku bilang, Qiana! Aku tidak akan melepaskanmu kali ini! Apa lagi saat ini suamimu sedang tidak bersamamu, bukan? Jadi dia tidak akan datang untuk menolongmu. Lalu, ayo kita bersenang-senang Qiana!" Iqbal sudah mengungkung tubuh Qiana di atasnya.
"Jangan gila kamu, Iqbal! Lepaskan aku!" teriak Qiana.
"Kamu terlalu sombong, Qiana! Kamu selalu saja menolakku! Kali ini kamu tidak bisa menolakku lagi, Qiana!" oceh Iqbal membuat Qiana marah.
"Tolooong!" teriak Qiana.
"Berteriaklah!" Iqbal tersenyum masam.
"Tolooong!" Qiana kembali meminta tolong, berharap Mas Tama, Shandy, dan Patria segera datang menolong.
Mendengar suara teriakan Qiana, spontan Mas Tama bersama Shandy dan Patria mencari keberadaan Qiana. Mata Mas Tama terbelalak saat melihat Iqbal akan mencium bibir Qiana.
Bugh…!
Satu tendangan mengenai pinggang Iqbal, hingga laki-laki bermata sipit itu terhuyung ke samping berguling dengan tangan memegang pinggangnya yang terasa sakit.
"Mas Tama!" Qiana bangkit, spontan memeluk tubuh Mas Tama dan bersembunyi di balik tubuh kekar Mas Tama.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Tama.
Sementara Iqbal di bawa Patria dan Shandy ke pos keamanan untuk ditahan oleh pihak keamanan perusahaan.
Qiana tidak sadar berada di dalam dekapan Mas Tama begitu lama. Ada kenyamanan yang Qiana rasakan saat tangannya mendekap erat tubuh Mas Tama. Kerinduan kepada Alvan sang suami sedikit terobati dengan dekapan hangat Mas Tama.
"Terima kasih, Mas Tama!" suara Qiana lirih dengan deraian air mata yang sudah tak kuasa lagi untuk dibendung, seiring dengan rasa rindu yang Qiana pendam untuk Alvan.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, Qiana!" kata-kata itu semakin membuat hati Qiana sakit.
Perlahan Qiana melepaskan pelukannya dari Mas Tama. Dapat Mas Tama lihat jika wajah Qiana sudah sangat basah oleh air mata yang mengalir deras. Mas Tama membantu menyeka air mata Qiana.
"Jangan menangis lagi, Qiana! Aku tidak akan mengizinkan kamu menangis seperti ini lagi." Ucap Mas Tama tulus membuat tangis Qiana semakin pecah.
Qiana sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi, bukan karena sosok Mas Tama yang sama-sama tampan seperti Alvan sang suami. Namun karena sikap, dan ucapan Mas Tama yang mengingatkan Qiana pada sosok Alvan.
"Bang Alvan, maafkan aku!" mata Qiana terpejam dengan bisikan lirih yang masih bisa di dengar oleh Mas Tama.
"Apa itu nama suami kamu, Qiana?" tanya Mas Tama membuat Qiana spontan menoleh lalu menganggukkan kepalanya pelan.
Setelah keadaan hati Qiana membaik, Mas Tama dan Qiana kembali ke rumah Pak Samin. Sedangkan Iqbal diberi peringatan oleh Shandy dan Patria agar tidak menganggu Qiana lagi, jika tidak maka Iqbal akan sangat menyesal.
Qiana bersiap untuk pergi ke apartemen setelah memastikan jika Pak Samin dan Mas Tama sudah terpenuhi kebutuhannya untuk beberapa hari ke depan.
Qiana berjanji akan lebih sering datang ke Bandung untuk meninjau perusahaannya, sekaligus memantau perkembangan kesehatan Mas Tama dan ingatannya, selama melakukan terapi oleh dokter dan psikiater yang Qiana tunjuk khusus untuk membantu kesembuhan Mas Tama.
Jakarta, Oktober 2020…
Evan. Gherry, dan Rayn tiba di kediaman rumah Oma Inge. Sesuai janjinya mereka datang saat makan malam. Fahlevi yang sudah lebih dulu datang, saat ini sedang menikmati kopi dan cemilan yang Oma Inge siapkan.
"Alvan kemana, Oma?" tanya Evan basa basi.
"Anak itu gak tahu kemana! Oma juga gak ngerti dengan sikap dia akhir-akhir ini! Selalu saja bikin hati Oma jengkel. Tiba-tiba menghilang kalau dibutuhkan, lalu datang saat butuh uang. Oma jadi curiga, benar kata Qiana. Jangan-jangan…" Oma Inge menghentikan ucapannya.
"Jangan-jangan apa, Oma?" Fahlevi dengan mulut penuh makanan begitu penasaran menantikan kelanjutan ucapan Oma Inge.
"Lev, kalau orang hilang ingatan memang dia juga bisa lupa yah dengan pin m-banking atau yang lainnya?" tanya Oma Inge membuat Fahlevi menghela nafas.
Pasalnya Fahlevi sedang menunggu kelanjutan ucapan Oma Inge, yang sempat terhenti tadi. Nyatanya Oma Inge benar-benar tidak melanjutkan ucapannya.
"Busyeeet! Bengek gue! Gue kira Oma mau lanjut ngomong yang tadi." bisik Evan membuat Rayn terkekeh.
"Berarti kita mesti kerja keras lagi buat bongkar kebusukan si kunyuk Vino alias Alvin." Balas Gherry ikut berbisik.
"Hei! Kalian bisik-bisik apa sih?" tanya Oma Inge mengejutkan Evan, Rayn, dan Gherry.
"Eh?" Evan jadi tegang, sementara Gherry dan Rayn jadi salah tingkah mendapat tatapan membunuh dari Oma Inge.
"Aku punya saran, Oma." ucap Fahlevi tiba-tiba memecah ketegangan diantara Oma Inge dan ketiga sahabatnya.
"Apa?" tanya Oma Inge.
"Aku akan memastikan jika Alvan benar-benar hilang ingatan, maka dia akan merasakan sakit di kepalanya saat dia berusaha mengingat sesuatu. Bagaimana kalau kita pancing Alvan untuk mengingat sesuatu, Oma?" usul Fahlevi.
"Boleh juga ide kamu, Lev! Tapi apa itu beresiko buat Alvan?" tanya Oma Inge.
"Itu akan sedikit beresiko, Oma. Tapi kalau tidak kita coba, maka Alvan akan tetap seperti itu. Trauma pasca pemukulan di kepala memang memberikan efek cedera bahkan sampai hilang ingatan, tapi itu tidak akan lama. Ingatan Alvan bisa pulih jika kita memberikan stimulus dan sugesti yang baik untuk ingatan Alvan." Terang Fahlevi membuat Oma Inge manggut-manggut.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Oma Inge penasaran.
Fahlevi melirik pada Evan, Gherry, dan Rayn bergantian. Dengan smirk di wajahnya keempat sahabat Alvan itu sudah menyiapkan sebuah kejutan besar untuk Oma Inge, dan Alvin alias Vino.