Qiana berdiri kaku menatap laki-laki yang kini berbaring di hadapannya. Wajah teduh laki-laki tampan itu tidak dapat Qiana lupakan begitu saja. Luka memar di wajah dan beberapa bagian tubuhnya yang terlihat oleh Qiana, membuat Qiana kembali terisak.
"Kenapa kamu menangis? Apa kamu mengenalku lebih dari yang aku pikirkan, Qiana?" tanya laki-laki itu.
"Aku bahkan sangat mengenalmu dengan baik." Balas Qiana dengan tatapan kosong.
"Lalu kalau kamu mengenalku dengan baik, katakan siapa namaku? Dimana aku tinggal dan bagaimana dengan keluargaku?" tanya laki-laki itu tampak antusias.
"Namamu…" bibir Qiana bergetar.
Sesaat Qiana berpikir jika keadaan laki-laki itu saat ini sedang dalam bahaya. Tidak mungkin Qiana mengatakan yang sebenarnya, sebab Qiana khawatir musuh akan kembali mencari keberadaan laki-laki itu.
"Qiana…!" laki-laki itu kembali memanggil Qiana.
"Kenapa kamu malah melamun? Apa yang kamu pikirkan? Cepat beritahu aku, siapa aku sebenarnya?" tanya laki-laki itu sudah tidak sabar.
"Namamu Mas Tama. Kamu sebenarnya bukan berasal dari Bandung, asalmu dari Yogyakarta. Aku harus merahasiakan keberadaanmu dari musuh-musuhmu di luar sana! Mereka masih mengincarmu, bahkan bisa saja mereka kembali menyerang dan melenyapkanmu jika mereka tahu kalau kamu masih hidup." Ucap Qiana gugup.
"Jadi, namaku Tama? Aku saat ini sedang dalam bahaya, sebaiknya aku tetap bersembunyi di sini bukan?" tanya laki-laki yang bernama Tama.
"Tidak! Bukan begitu! Aku bisa membantumu keluar dari sini, dan aku juga bisa memberikan kamu pekerjaan agar kamu bisa hidup lebih tenang tanpa tekanan dari musuh-musuhmu. Kamu bisa leluasa keluar dan bekerja tanpa takut diketahui mereka." ucap Qiana.
"Bagaimana caranya?" tanya Tama.
"Sekarang, biarkan aku melakukan sesuatu padamu dengan bantuan Pak Samin. Jangan menolak dan jangan protes! Semua demi kebaikanmu dan kebebasanmu." Ucap Qiana.
"Tunggu di sini! Aku akan berbicara dengan Pak Samin di luar. Ayo, Pak!" ajak Qiana.
Setelah berada di luar, Qiana akhirnya meminta bantuan kepada Pak Samin mengenai rencana Qiana terhadap laki-laki yang bernama Mas Tama. Qiana melakukan itu tentu saja dengan persiapan matang, atas bantuan Pak Samin.
"Bagaimana, Pak? Apa Bapak tidak keberatan?" tanya Qiana.
"Tentu saja tidak, Qiana. Lagi pula kamu sudah menyelamatkan Bapak secara tidak langsung." Jawab Pak Samin.
"Menyelamatkan Bapak bagaimana maksudnya?" tanya Qiana tak mengerti.
"Maafkan Bapak, Qiana. Tadi pagi Bapak bertemu Sambas, dia bertanya banyak hal pada Bapak. Karena Bapak tidak ingin Sambas curiga, akhirnya Bapak membohongi Sambas dengan mengatakan kalau seseorang datang mengaku sebagai putra kandung Bapak. Dan sekarang kebohongan Bapak kepada Sambas ternyata tidak sepenuhnya salah, karena Bapak akan membantumu dengan mengatakan bahwa Tama adalah anak kandung Bapak." Ucap Pak Samin malu.
"Tidak apa-apa, Pak Samin. Aku berterima kasih karena Pak Samin mau membantu aku dan Mas Tama. Dengan begitu orang lain akan percaya kalau Mas Tama adalah anak kandung Pak Samin, bahkan mereka juga tidak akan curiga dengan identitas Mas Tama yang sebenarnya. Jika tidak seperti itu, nyawa Mas Tama dalam bahaya. Di luar sana penjahat yang mengincar Mas Tama masih berkeliaran bebas." Tutur Qiana membuat Pak Samin mengerti.
Qiana dan Pak Samin bekerja sama merubah penampilan Mas Tama. Qiana pergi mencari segela keperluan yang dibutuhkkan untuk Mas Tama. Setelah mendapatkan semuanya, Qiana kembali ke rumah Pak Samin dengan membawa barang keperluan penyamaran Mas Tama.
"Sempurna!" gumam Qiana senang.
"Apa kamu yakin, Qiana?" tanya Mas Tama ragu.
"Aku yakin, Mas! Percayalah! Mereka tidak akan mengenalimu dengan penampilanmu seperti ini. Setelah kamu diperiksa oleh Dokter tadi, aku ingin kamu membiarkan janggut dan kumismu tumbuh, Mas! Biarkan orang lain mengenalmu dengan Mas Tama yang berkumis dan berjanggut, agar mereka benar-benar tidak bisa mengenalimu sama sekali. Dan ingat! Jangan pernah melepas kacamata ini, sebagai identitasmu yang baru. Mas Tama seorang kutu buku dengan kacamata sebagai ciri khas! Ini tompel jangan sampai lepas juga!" Qiana terkekeh bersama Pak Samin. Sementara Mas Tama mencebikkan bibirnya.
"Wajahku yang tampan walau masih banyak lebam dan luka, kenapa jadi culun seperti ini? rasanya aku benar-benar tidak mengenali diriku sendiri!" ucap Mas Tama.
"Tunggu! Kenapa Mas Tama tiba-tiba berkata seperti itu? Apa Mas Tama inget sesuatu? Atau… jangan-jangan Mas Tama pura-pura hilang ingatan untuk mengelabui musuh yah?" tanya Qiana dengan mulut menganga.
"Ish, mana ada aku begitu! Sungguh aku ini tidak ingat apa pun! Aku berkata seperti itu, sebab sudah beberapa hari aku tidak melihat wajahku di depan cermin seperti ini, setelah ingatanku hilang. Baru kali ini aku melihat wajahku di cermin, aku baru tahu kalau wajahku memang setampan ini. Melihat wajah tampanku sendiri di depan cermin, mengingatkan aku pada seseorang." Celetuk Mas Tama.
"Siapa?" tanya Qiana dan Pak Samin penasaran.
"Entahlah! Aku lupa benar-benar lupa! Tapi kalau aku mengingatnya suatu hari nanti, maka aku akan memberitahu kalian." Jawab Mas Tama.
Tiga hari sudah Qiana berada di Bandung. Dengan menempati apartemen yang diberikan Alvan, Qiana mencoba lembaran hidup baru untuk sejenak melupakan sosok Alvan.
Meski tidak akan mampu, tapi Qiana harus bisa melewati hari tanpa Alvan. Kini Qiana akan fokus kepada sosok Mas Tama, yang mampu membuat hati Qiana sedikit terobati dengan kerinduannya kepada Alvan.
Jakarta, Oktober 2020…
"Kapan Qiana akan kembali dari Bandung?" tanya Oma Inge.
"Qiana bilang senin pagi ini dia sudah ada di sini, Mi. Kenapa memangnya?" Papi Billy mengangkat sebelah alisnya.
"Pake nanya lagi! Cuma Qiana yang sekarang bisa kita andalkan, Billy! Sekarang saham Qiana di perusahaan Pratama Wijaya yang paling besar, Qiana adalah pemegang saham terkuat di perusahaan. Tanpa Qiana, perusahaan kita bisa hancur! Jadi, Mami harap Qiana mau membeli saham perusahaan kita dan mengambil alih perusahaan ini secepatnya. Dengan begitu, Mami rasa orang yang ingin menghancurkan perusahaan kita tidak lagi mengganggu hidup kita." Ungkap Oma Inge.
"Lalu Alvan? Bagaimana dia bisa menerima semua keputusan sebesar ini, Mi?" tanya Papi Billy.
"Apa kamu lihat usaha apa yang Alvan lakukan dalam waktu tiga hari ini? Tidak ada! Dia malah asyik tidur dengan jalang gatal itu! Mami sudah tidak ingin memikirkan anak itu lagi! Mami sudah dibuat pusing dengan semua masalah perusahaan. Jadi, jangan buat Mami pusing dengan memikirkan anakmu yang tidak tahu diri itu, Billy! Kecuali kalau kamu sudah siap kehilangan Mami untuk selamanya." Ucap Oma Inge membuat Papi Billy terkejut.
"Mi, jangan bicara seperti itu! Aku gak sanggup kalau harus kehilangan Mami. Cukup aku kehilanga Papi saja, aku gak mau Mami sampai meninggalkan aku juga!" Papi Billy menghambur memeluk Oma Inge.
"Cengeng juga kamu!" ledek Oma Inge.
Papi Billy tidak mempedulikan ucapan Oma Inge, dia justru semakin mengeratkan pelukannya kepada Oma Inge. Di luar kamar Oma Inge, Vino alias Alvin mendengarkan semua percakapan Papi Billy dan Oma Inge.
Bi Narsih yang melihat itu hanya menghela nafas, tanpa ingin menegur Vino alias Alvin. Bi Narsih tidak ingin ada keributan di rumah Oma Inge akibat dirinya yang menegur Alvin alias Vino, karena sudah lancang menggunakan wajahnya yang memang sangat mirip dengan Alvan untuk menghancurkan keluarga Pratama Wijaya.
"Dendam apa dia sama keluarga ini sampai begitu besar niatnya ingin menghancurkan. Apa orang tuanya…" ucapan Bi Narsih terhenti, seketika Bi Narsih menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangannya.
"Jangan-jangan dia…!?" Bi Narsih menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Gak! Gak mungkin! Gak mungkin dia! Gak mungkin anak itu!" Bi Narsih menangis membayangkan apa yang dia takutkan selama ini.
Pergolakan batin Bi Narsih cukup mengguncang hatinya, membuat Bi Narsih tiba-tiba terkapar di lantai dapur rumah mewah Oma Inge.
Di tempat yang lain, Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi tengah berkumpul di markas besar mereka. Saat ini mereka berempat sedang memancing Alvin alias Vino untuk datang ke markas besar mereka.
"Bray, kalian dimana? Gue tunggu di markas! Ada hal penting yang mau gue sampaikan!" chat Evan di dalam grup terlebih dahulu membuat Fahlevi, Rayn, dan Gherry tersenyum masam di hadapannya.
"Gue masih di rumah sakit! Ada apa?" balas Fahlevi terkekeh di sebelah Evan.
"Buruan datang ke markas!" chat Evan kemudian.
"Oke! Jam makan siang gue otw." chat Fahlevi.
"Woiiiyyy, pada kemana nih? Gue tunggu lu semua di sini! Sekarang!" chat Evan. Tak lama Gherry membalas.
"Gue baru selesai boker, bray! Ini gue langsung otw!" chat Gherry tertawa keras membuat Rayn dan Fahlevi kompak menoyor kepalanya.
"Jangan lupa cuci tangan lu dulu, jorok! Bau lagi! Baru lu datang ke sini! Cebok sekalian jangan sampai bawa tai lu kemana-mana, bray!" ledek Fahlevi membalas chat dari Gherry.
"Sialan lu, Gher! Gue lagi makan, anjir! Jijik gue bacanya! Sumpah yah lu, Gher! Bener-bener dah bikin gue mau muntah." chat Rayn.
"Salah lu sendiri baca sambil makan!" chat Gherry terkekeh.
"Al, lu dimana? Lu bisa datang ke markas sekarang? Jangan bilang lu lagi ena ena nyelup timun panjang sama bini lu?" chat Evan dengan mencebikkan bibirnya.
Tidak ada jawaban dari Vino alias Alvin yang saat ini memang mengendalikan ponsel milik Alvan. Tanpa Vino alias Alvin sadari, ponsel milik Alvan sudah disadap dan dipasang GPS sejak dulu.
Bahkan saat ini sudah diretas oleh Evan ketika tahu Alvan diculik dan menghilang, sementara Vino alias Alvin yang kini berada di posisi Alvan masih bingung membuka m-banking Alvan yang ada di ponsel milik Alvan.
"Sampai sekarang si kunyuk Vino alias Alvin, dia belum bisa membuka m-banking Alvan. Gue juga gak mungkin sampai membiarkan hal itu terjadi! Sumpah yah gue gak ikhlas banget kalau si kunyuk Vino alias Alvin makan duit milik sahabat gue!" umpat Evan kesal.
"Apa si kunyuk itu bisa meretas juga kayak kita, Van?" tanya Gherry.
"Gue rasa dia bisa! Cuma kemampuan dia masih di bawah rata-rata!" ucap Evan setengah mengejek.
Alvan yang sedang kesal setelah mendengarkan percakapan antara Oma Inge dan Papi Billy, menatap layar ponselnya yang terus berbunyi.
"Sial! Apa lagi ini? Gak mungkin juga gue bilang sama mereka kalau gue gak tahu markas mereka dimana? Yang ada mereka bisa curiga sama gue! Selama ini cuma Qiana yang tahu kalau gue Alvin alias Vino, dan juga si pembokat tua itu yang rese udah mulai curiga sama gue! Tapi sampai sekarang gue belum dapat apa-apa! Gue gak boleh gegabah dan bikin rencana balas dendam gue gagal lagi!" Vino alias Alvin mengepalkan kedua tangannya.
Tidak ada yang tahu siapa Alvin yang sebenarnya. Yang Qiana tahu Alvin Pratama Putra Wijaya adalah cucu dari Mbah Kakung Dharma, yang kebetulan sangat menghormati Mami Mayang Adisty sebagai putri majikannya.
Sehingga Mbah Kakung Dharma memberikan nama kepada cucunya sama persis dengan anak kandung Mami Mayang yaitu Alvan. Kemiripan inilah yang dimanfaatkan Vino untuk membalaskan dendamnya pada keluarga Pratama Wijaya.
Selain Bi Narsih yang tahu rahasia mengenai siapa Vino alias Alvin yang sebenarnya, setelah Mami Mayang dan Mbah Kakung Dharma, ada juga Om Fariz dan Om Wisnu yang tahu kebenaran mengenai Vino alias Alvin.
"Apa si kunyuk membalas chat nya?" tanya Rayn geram.
"Gue rasa dia lagi mikir, gimana caranya supaya kita gak curiga sama dia dan percaya dengan segala tipu muslihat dia!" ucap Evan.
"Kebanyakan mikir itu si kunyuk!" umpat Rayn.
"Lihat!" seru Gherry membuat ketiga sahabatnya menatap layar laptop di depannya.
"Alvan sedang mengetik… kira-kira si kunyuk mau jawab apa yah?" Rayn dengan geram menebak balasan chat dari Vino alias Alvin.
"Paling si kunyuk izin gak masuk kelas hari ini, karena selangkangannya lecet kebanyakan genjot si jalang itu! Hahahahaha…" tawa Evan mengejek kesal pada Vino alias Alvin.
Evan bisa saja tertawa di hadapan ketiga sahabatnya, padahal yang sebenarnya jika saat sedang sendiri dia menangis di dalam kamarnya yang sunyi. Evan begitu merindukan kehangatan persahabatan dengan sosok Alvan di sampingnya.
Evan terlihat paling kuat dan tangguh diantara sahabatnya yang lain saat sedang berkumpul, namun saat sedang sendiri jiwa melownya keluar juga. Evan sedih harus kehilangan sahabatnya Alvan dengan cara seperti itu, bahkan keberadaan Alvan sampai saat ini tidak diketahui.
"Sorry, gue lupa jalan ke markas! Habis diculik ingatan gue belum pulih sepenuhnya. Bisa lu kirim lokasinya ke gue sekarang?" Vino alias Alvin menjawab chat Evan.
"Lebay amat alasan receh si kunyuk Vino! Apa gak ada alasan yang lebih elegan lagi gitu?" ledek Fahlevi.
"Noh makan tai si Gherry, Al! Biar ingatan lu cepet pulih!" chat Rayn dengan emot marah.
"Anjir, gitu amat lu sama gue!" chat Vino dengan emot wajah memelas.
Evan, Rayn, Fahlevi, dan Gherry memutar bola mata dengan malas mendapat balasan chat dari Vino alias Alvin. Dengan iseng mereka mendapat ide jahil untuk mengerjai Vino alias Alvin.
"Sampai ketemu di markas!" Vino alias Alvin mengakhiri chat nya.
"Anjir, beneran ini kita mau ngerjain si kunyuk supaya datang ke tempat ini?" tanya Fahlevi.
"Ini gak seberapa dengan penipuan yang udah dia lakukan sama kita dan semua orang! Sebenarnya kalau gue gak kasihan sama Qiana dan keluarga Alvan, udah gue bongkar kedok si kunyuk Vino alias Alvin!" ucap Evan yang sudah di penuhi emosi.
"Apa lu gak bisa nyari jejak keberadaan Alvan dimana, Van?" tanya Fahlevi.
"Maunya gue sih gitu! Tapi cctv disekitar jalan tempat Alvan diculik waktu itu sengaja dimatikan seseorang yang gue yakin itu Om Fariz atau Om Wisnu seperti yang pernah Qiana bilang sama kita." Balas Evan.
"Lalu soal Mbah Kakung Dharma dan Mami Mayang?" tanya Rayn.
"Kita tunggu Qiana balik dari Bandung. Qiana yang tahu rencana kita selanjutnya, Qiana juga sekarang yang lebih berhak memutuskan semua. Sebab di sini kita hanya membantu Qiana menyelamatkan perusahaan dan juga keluarga Alvan sahabat kita." Ucap Evan dengan rahang yang mengeras.
Ponsel Evan berbunyi, segera saja pemuda tampan itu melihat layar ponselnya. Keningnya berkerut saat melihat nama kontak di layar ponselnya.
"Siapa?" Gherry, Fahlevi, dan Rayn yang penasaran dengan kompak bertanya.
"Oma!" jawab Evan dengan wajah tegang.
Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi saling tatap dengan wajah yang sudah tegang dan menelan air liur masing-masing yang tercekat di tenggorokan.
Mereka yakin jika Oma Inge menghubungi Evan saat ini ingin menanyakan mengenai kondisi perusahaan, juga kebenaran soal Alvan yang hilang ingatan.
"Bagaimana ini?" tanya Evan.
"Kabuuuuurrrrr…..!!!!!" Rayn, Gherry, dan Fahlevi kompak pergi meninggalkan Evan sendiri yang sudah bermandikan keringat dingin sebesar biji jagung.