Chapter 44 - Bab. 44

Mata Qiana terbuka perlahan, samar telinganya mendengar suara teriakan Alvan sedang merintih kesakitan. Penasaran, Qiana mencari sumber suara.

Saat hendak menggerakkan tubuhnya, Qiana baru sadar kalau seseorang tengah mengikatnya dengan kencang pada sebuah kursi dengan kaki dan tangan terikat ke belakang.

"Dimana aku? Siapa yang sudah membawa aku ke tempat ini? Lalu Bang Alvan, dimana dia?" ucap Qiana lirih.

"Aaaaarrrggghhh…!" teriak Alvan kesakitan.

"Bang…! Abang kenapa? Abang dimana? Jawab aku, Bang!" teriak Qiana dari dalam sebuah ruangan.

Drap…

Drap…

Drap…

Suara langkah kaki terdengar mendekat pada ruangan tempat dimana Qiana disekap. Qiana yakin, jika orang yang sudah menyekapnya saat ini adalah Vino dan Om Fariz.

Sebab sejak beberapa hari terakhir Om Fariz dan Vino tengah mengawasi gerak geriknya bersama Alvan. Qiana ingat kejadian saat dirinya dan Alvan melihat korban tergeletak di atas jalan.

"Aaakh, sial! Jadi mereka menggunakan trik receh itu untuk menangkap aku dan Bang Alvan." Ucap Qiana geram.

Kreeekkk…

Suara pintu yang sudah hampir rusak itu terbuka, sesaat muncul sosok Vino dan Om Fariz berdiri dengan gagah menampakkan wajah keji yang membuat Qiana muak.

"Kalian? Lepaskan aku! Dimana kalian sekap Bang Alvan?" teriak Qiana.

Plaaakkk…

Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Qiana, lelehan air mata tidak bisa lagi Qiana bending. Bukan lantaran tamparan Vino padanya, melainkan rasa khawatir tentang keberadaan Alvan saat ini yang membuat Qiana cemas memikirkannya.

"Kamu diam saja perempuan licik!" Vino mencengkram rahang Qiana, hingga Qiana merasakan sakit.

"Kalian yang licik! Kalian yang selama ini mengacaukan perusahaan Oma dan Bang Alvan. Kalian juga yang mencuri data perusahaan, bahkan mencuri uang perusahaan dengan memakai namaku. Dasar pecundang!" umpat Qiana penuh keberanian.

Plaaakkk…

Sekali lagi tamparan keras mengenai pipi Qiana dengan rahang yang masih Vino cengkram dengan kuat.

"Ternyata selain licik kamu juga banyak bicara! Dengar jalang! Aku akan membalas setiap ucapanmu dengan rasa sakit di hatimu. Lihat saja aku akan melakukan sesuatu padamu, yang akan menghancurkan hidupmu dan menyakiti hatimu dengan caraku sendiri." ucap Vino dengan rahang mengeras menatap benci pada Qiana.

Tring…

Suara ponsel Om Fariz berbunyi nyaring, segera saja Om Fariz mengangkat telepon dari seseorang.

"Ada apa?" tanya Om Fariz pada seseorang di balik teleponnya.

"Kenapa kalian berbuat bodoh, hah?" tanya Om Wisnu di balik teleponnya.

"Maksud Abang, apa?" Om Fariz balik bertanya.

"Kenapa kalian dengan bodohnya menculik Alvan dan gadis itu? Bagaimana kalau keluarga curiga saat tahu mereka hilang dan itu akan jadi boomerang buat kalian berdua! Kalian bisa dilaporkan atas kasus penculikan yang sudah mereka perkirakan sebelumnya, karena mereka sudah memcurigai kalian. Sekarang Abang minta kalian berdua lepaskan Alvan dan gadis itu!" teriak Om Wisnu di balik sambungan telepon.

"Abang jangan salah paham dulu dengan kami. Ini rencana Vino yang sangat menguntungkan buat kita, Bang! Oke diawal kita salah tapi Abang pasti akan senang dengan rencana Vino." Tutur Om Fariz.

"Rencana apa kali ini yang bisa membuat Abang senang, hah? Yakin tidak akan gagal lagi kali ini?" tanya Om Wisnu dengan sinis.

Om Wisnu pernah kecewa dengan kegagalan rencana mereka sebelumnya. Untuk itu kali ini Om Wisni tidak mudah percaya begitu saja pada Vino, sebab jika rencananya gagal lagi maka dia tidak akan dapat apa pun dari hasil kerja kerasnya selama ini.

"Aku yakin kali ini rencana Vino tidak akan gagal. Vino…" Om Fariz keluar dari ruangan.

Tidak ingin rencananya didengar oleh Qiana, Om Fariz memilih menceritakan rencana Vino kepada Om Wisnu di luar ruangan dan menjauh dari jangkauan pendengaran Qiana juga Alvan.

"Bagus! Kali ini Abang benar-benar salut pada kalian! Sebaiknya segera lepaskan saja gadis itu dan lakukan sesuai rencana kalian. Abang tunggu kabar selanjutnya dari kalian! Sekarang Abang sedang mengalihkan perhatian sahabat Alvan, Billy, dan Kak Inge dengan menyerang balik server kita yang sudah mereka retas. Kalian hati-hatilah melakukannya." Om Wisnu mengakhiri panggilan itu, sementara Om Fariz segera kembali ke dalam ruangan.

"Bagaimana?" tanya Vino saat melihat Om Fariz datang.

"Kita lakukan rencana selanjutnya." Jawab Om Fariz.

Vino meminta anak buahnya untuk menyerat tubuh Alvan dan membawanya ke hadapan Qiana. Agar Qiana melihat bagaimana menderitanya Alvan saat ini.

Rencana Vino kali ini berhasil membuat Qiana menangis melihat keadaan Alvan. Vino memang ingin menyakiti hati Qiana perlahan, dengan begitu rencananya akan berhasil kali ini.

"Abang…! Bangun, Bang! Abaaang…! Hik… hiks… Abang bangun, Bang!" teriak Qiana.

"Lepaskan dia!" perintah Om Fariz pada anak buahnya.

Saat ini Qiana berusaha membangunkan Alvan yang sudah babak belur karena dipukuli oleh anak buah Om Fariz dan Vino, atas perintah keduanya. Beberapa luka bekas cambukan terlihat di punggung Alvan.

"Bang bangun! Abang harus kuat biar kita bisa keluar dari tempat ini, Bang! Aku mohon Abang bangun, hiks…" Qiana terus menangis.

Saat Qiana sedang memindahkan tubuh Alvan agar berada di pangkuannya, pintu ruangan kembali terbuka. Beberapa anak buah Vino dan Om Fariz masuk, kali ini salah seorang diantara mereka mendekati Qiana dan menutup mulut Qiana dengan sapu tangan.

"Kamu mau ap…" Qiana tidak sadarkan diri.

Vino dan Om Fariz memerintahkan anak buahnya untuk membawa Qiana dan Alvan, agar dikembalikan ke tempat dimana pertama kali mereka diculik.

Dalam keadaan tidak sadarkan diri, tubuh Qiana dan Alvan dikembalikan pada tempat semula di dalam mobil Alvan yang masih terparkir di pinggir jalan.

"Aaarrrggghhh… kepalaku!" pekik Qiana saat efek obat bius sudah hilang.

Perlahan Qiana membuka matanya, namun pusing di kepalanya mendominasi saat ini. Qiana menutup kembali matanya, kali ini terpaksa Qiana terpejam lebih lama untuk menetralkan rasa pusing yang belum kunjung hilang dari kepalanya.

"Qiana…!" suara laki-laki di sampingnya terdengar lirih.

"Bang Alvan?" spontan Qiana membuka matanya.

Mata Qiana terbelalak dengan kepala yang masing terasa pusing. Ditatapnya wajah tampan laki-laki yang berada di sampingnya.

Kini Qiana dan Alvan sudah berada di dalam mobil Alvan kembali, Qiana merasa lega sekaligus heran kenapa Vino dan Om Fariz melepas Qiana dan Alvan begitu saja.

"Apa ini tidak terlalu mencurigakan yah? Mereka menculik aku dan Bang Alvan, sampai menyekap kami bahkan menyiksa Bang Alvan. Tapi kenapa sekarang justru mereka membebaskan kami seperti ini? Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?" batin Qiana.

"Hauuusss…" suara Alvan lirih.

Qiana segera mengambil air minum di dalam botol mineral dan diberikan kepada Alvan. Qiana menatap heran pada Alvan saat membantunya memberi minum.

"Eh? Ada sesuatu yang aneh dari Bang Alvan, tapi apa?" tanya Qiana di dalam hati.

"Di… dimana kita, Qiana?" tanya Alvan dengan suara sedikit terdengar bergetar.

"Kita berada di dalam mobilmu, Bang." Jawab Qiana.

"Aaaaarrrggghhh…!" pekik Alvan.

"Abang kenapa? Apa yang sakit, Bang?" tanya Qiana cemas.

"Kepala Aku sakit." Jawab Alvan.

"Kita ke rumah sakit sekarang yah, Bang? Kita pergi pakai taksi saja. Aku gak mau Abang bawa mobil sendiri, terlalu berbahaya dengan keadaan Abang seperti ini." ucap Qiana.

"Tidak! Jangan bawa Aku ke rumah sakit! Kita kembali saja ke apartemen, atau mungkin sebaiknya kita segera kembali ke Jakarta saja. Jika kita kembali ke rumah orang tuamu, mereka akan khawatir melihat keadaan kita." Ucap Alvan.

"Baiklah! Kalau begitu kita ke apartemen saja dulu. Kita istirahat semalam lagi di apartemen besok kita kembali ke Jakarta." usul Qiana.

"Tidak! Aku ingin kita segera pulang ke Jakarta, sebab Aku tidak ingin membuat Oma dan Papi khawatir juga. Jadi kita ke apartemen sebentar untuk mengobati luka kita, setelah itu kita kembali ke Jakarta secepatnya." ucap Alvan.

"Apa Abang kuat memangnya? Abang kan habis dipukuli oleh anak buah Vino dan Om Fariz, Abang juga sempat pingsan lama. Aku gak mau Abang kenapa-kenapa kalau kita harus kembali ke Jakarta secepatnya." Balas Qiana.

Alvan menyugar rambutnya kasar. Dalam keadaan seperti ini susah sekali menyakinkan Qiana. Entah harus dengan cara apalagi untuk meyakinkan Qiana, agar mau kembali ke Jakarta secepatnya.

"Aku khawatir kalau kita lama berada di Bandung. Aku tidak ingin kejadian ini terulang lagi pada kita. Beruntung mereka masih baik hati mau melepaskan kita." Ucap Alvan.

"Apa? Baik hati kata, Abang? Baik hati darimana, Bang? Yang ada saat ini mereka pasti sedang merencanakan sesuatu pada kita, Bang! Abang jangan lemah pada mereka hanya karena mereka melepaskan kita! Aku yakin di balik semua ini, masih ada rencana jahat mereka lainnya yang tidak kita ketahui." Tutur Qiana.

"Kamu kenapa sih? Orang sudah baik mau melepaskan kita kamu malah gak percaya dan berpikiran buruk pada Om Fariz dan Vino." Gerutu Alvan kesal.

"Eh? Sejak kapan Bang Alvan jadi selembek ini?" batin Qiana.

Qiana akhirnya mengalah dan tidak ingin berdebat lagi dengan Alvan. Meski sebenarnya Qiana merasa ada sesuatu yang berbeda dari Alvan. Qiana masih berusaha menelisik tentang perubahan yang terjadi pada Alvan.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh sama Bang Alvan. Dia kenapa tiba-tiba berubah seperti ini? Apa jangan-jangan…? Akh, tidak mungkin!" batin Qiana cemas.

"Mikir apa kamu?" tanya Alvan.

"Abang kenapa tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke Jakarta? Bukankah Abang ingin kita lebih lama tinggal di Bandung? Abang bilang kita mau menikmati masa-masa indah bulan madu kita selama dua minggu ke dapan, ini masih empat hari tapi kenapa Abang minta cepat-cepat kembali ke Jakarta?" tanya Qiana heran.

"Jangan banyak tanya! Aku pusing!" bentak Alvan membuat Qiana terkejut.

"Hei, ada apa ini? Kenapa Bang Alvan sekasar itu sama aku?" batin Qiana yang akhirnya memilih untuk diam.

Saat ini Alvan dan Qiana sedang berada di dalam perjalanan menuju Jakarta. Alvan memaksa untuk segera pulang, dengan alasan pekerjaan lebih penting saat ini.

Padahal sebelumnya Alvan sendiri yang mengajak Qiana untuk menikmati masa-masa bulan madu mereka. Alvan sengaja mengambil libur selama dua minggu, tapi entah kenapa semua tiba-tiba berubah setelah penculikan itu terjadi.

"Pasti ada sesuatu yang salah pada Bang Alvan. Kenapa dia jadi seperti ini? Bang Alvan sangat menakutkan!" batin Qiana.

Suasana di dalam mobil hening, tidak ada lagi percakapan yang biasanya hangat diantara Qiana dan Alvan. Qiana melihat Alvan begitu serius mengemudikan mobilnya, hingga tanpa sedikit pun menoleh atau mengajak Qiana bicara.

"Ada apa dengan kamu, Bang?" batin Qiana lirih.

"Apa pernikahan kita yang sudah merubahmu? Atau kejadian penculikan semalam yang membuatmu jadi seperti ini? Apa yang sudah Vino dan Om Fariz lakukan pada Abang?" jerit Qiana di dalam hati.

Qiana yang biasanya akan tertidur pulas saat pergi berdua bersama Alvan di dalam mobil, kali ini perasaannya tidak tenang sama sekali. Qiana juga tidak bisa memejamkan matanya sekali pun sangat mengantuk saat ini.

Jakarta, Oktober 2020…

Akhirnya mobil yang dibawa Alvan sampai di kediaman rumah Oma Inge. Tanpa mengajak Qiana, Alvan keluar dari mobil dan pergi meninggalkan Qiana begitu saja yang masih terpaku menatap heran dengan sikap Alvan.

"Kenapa Bang Alvan berubah sekali! Tidak ada sikap manis dan manjanya kepadaku, seperti saat belum menikah. Apa ada yang salah dengan ucapan dan sikapku?" gumam Qiana yang tidak terasa wajahnya sudah banjir dengan air mata.

"Neng Qiana…!"sapa Pak Tatang membuyarkan lamunan Qiana.

"Eh? Iya, Pak Tatang?" Qiana mencoba tersenyum walau tampak sangat kaku.

"Neng Qiana, baik-baik saja?" tanya Pak Tatang heran melihat sikap Alvan dan Qiana.

"Tolong bawa tas kami ke dalam yah, Pak Tatang!" Qiana mengalihkan pembicaraan.

"Baik, Neng!" Pak Tatang segera melaksanakan perintah Qiana.

Qiana melangkah ragu ke dalam rumah, suasana sepi menyelimuti rumah mewah milik Oma Inge. Ada yang Qiana rasakan hilang dalam diri Alvan saat masuk ke dalam rumah mewah milik Oma Inge kali ini, dan Qiana ingat betul kebiasaan Alvan.

"Tumben sekali Bang Alvan masuk tanpa berteriak memanggil, Oma? Apa secepat itu kebiasaan Bang Alvan hilang setelah menikah?" Qiana bicara pada dirinya sendiri.

Tanpa sadar di depan Pak Tatang mendengar apa yang Qiana katakan barusan. Saat ini Pak Tatang hendak keluar dari dalam rumah, sementara Qiana masih berdiri di ambang pintu.

"Neng Qiana, kenapa?" tanya Pak Tatang ramah.

"Eh? Aku gak apa-apa, Pak Tatang!" jawab Qiana gugup.

"Maaf, Neng! Apa Neng Qiana juga merasa heran dengan sikap Bang Alvan barusan?" tanya Pak Tatang tanpa ragu.

"Jadi, Pak Tatang juga memperhatikan saat Bang Alvan masuk tadi?" tanya Qiana.

"Ya, Neng! Pak Tatang merasa Bang Alvan berubah, apa karena terlalu, hehehe…" ucap Pak Tatang tidak melanjutkan kalimatnya.

"Hus! Pak Tatang ini!" Qiana jadi tersipu malu.

"Atau… apa mungkin Bang Alvan mendadak amnesia yah, Neng?" tanya Pak Tatang tiba-tiba.

Deg…!

Jantung Qiana berdebar kencang saat mendengar kalimat yang Pak Tatang ucapkan. Qiana jadi teringat kejadian malam itu, saat seseorang memukul kepala Alvan hingga pingsan.

"Mungkinkah kejadian penculikan semalam mengakibatkan Bang Alvan amnesia? Apalagi anak buah Vino dan Om Fariz memukuli Bang Alvan tanpa ampun, bahkan sesaat sebelum kejadian Bang Alvan mendapatkan pukulan keras di kepalanya hingga jatuh pingsan. Aku harus memastikan semuanya, agar aku bisa memberitahu yang lain tentang kondisi Bang Alvan saat ini." gumam Qiana.

"Apa, Neng? Maaf, Pak Tatang kurang dengar!" ucap Pak Tatang membuat Qiana tersentak.

Qiana lupa saat ini Pak Tatang sedang mendengarkan ucapannya. Qiana harap Pak Tatang tutup mulut sebelum Qiana menjelaskan kepada yang lain mengenai kondisi Alvan saat ini.

Tidak ingin gegabah dalam bertindak, Qiana segera menghubungi Fahlevi dan meminta sahabat Alvan itu untuk datang ke rumah Oma Inge secepatnya demi memastikan kondisi Alvan saat ini.

"Apa…? Kalian berdua sudah kembali dari Bandung? Aneh sekali! Bukannya Alvan berencana libur dua minggu di Bandung yah?" tanya Fahlevi tak percaya.

"Semalam kami mengalami kejadian mengerikan, Dokter!" jawab Qiana.

Lalu Qiana menceritakan kejadian penculikan semalam yang dilakukan oleh Vino dan Om Fariz kepada Fahlevi, yang meyebabkan Alvan jadi bersikap aneh seperti itu.

Fahlevi terkejut dengan penuturan Qiana, Fahlevi tidak hanya mencurigai perubahan sikap Alvan seperti yang Qiana ceritakan. Fahlevi juga menyakini jika ada sesuatu yang tidak beres dengan peristiwa penculikan yang dirasa janggal.