Chapter 50 - Bab. 50

Pak Samin tertawa kaku seperti yang tengah dipaksakan, membuat Abah Sambas ayah kandung Qiana itu semakin curiga dan menatapnya penuh intimidasi.

"Ada apa, Samin?" tanya Abah Sambas menatapnya tajam.

"Ada seseorang yang datang ke rumahku. Dia mengaku putraku, tapi aku masih ragu." Ujar Pak Samin sedikit berbohong.

Pak Samin sengaja mengarang cerita agar Abah Sambas tidak lagi curiga dan bertanya. Pak Samin tidak ingin sahabatnya tahu keberadaan pemuda itu sebelum mendapat izin dari yang bersangkutan dan juga Qiana.

"Ya sudah kalau memang kamu masih ragu, buat orang itu bisa membuktikan kalau dia memang putramu." Ucap Abah Sambas.

"Kamu benar! Kalau begitu aku pulang duluan! Dia akan datang ke rumahku nanti siang, jadi aku harus cepat-cepat pergi untuk menyiapkan sambutan untuknya." Balas Pak Samin membuat Abaha Sambas menganggukkan kepalanya.

Jakarta, Oktober 2020…

Saat ini Qiana sedang mengganti strategi baru dengan perusahaan Alvan yang diambil alih olehnya. Sementara perusahaan Oma Inge tidak jadi dipindah tangankan kepada Zoya, melainkan dibuat pailit.

Sedangkan perusahaan Qiana di Bandung tidak disinggung sama sekali agar saat Alvan kembali, itu tetap menjadi milik Qiana mutlak. Semua diatur secepat mungkin sebab identitas Alvin alias Vino sudah mulai terbongkar.

Selain itu Alvin alias Vino sudah menyusun rencananya sendiri yang ingin mengeluarkan Qiana dari rumah Oma Inge, dengan tuduhan perselingkuhan. J

ika itu sampai terjadi dan Qiana kalah cepat dari Alvin alias Vino, maka Qiana dan sahabat-sahabat Alvan akan terlambat menyelamatkan perusahaan dan keluarga Pratama Wijaya.

"Bagaimana? Apa semua berjalan lancar?" tanya Qiana kepada Fahlevi, Rayn, Evan, dan Gherry.

"Sesuai rencana! Sekarang mereka kebakaran jenggot! Semua saham di perusahaan Pratama Wijaya anjlok. Mereka sejak semalam berkeluh kesah, gue ngasih saran mereka buat invest di perusahaan Pratama Wijaya Putra demi menyelamatkan saham mereka yang tiba-tiba anjlok. Siang ini mereka akan melakukan rapat besar dan peninjauan ulang di perusahaan, mereka juga setuju untuk memindahkan saham mereka ke perusahaan Pratama Wijaya Putra demi menyelamatkan diri dari ancaman kebangkrutan." Ucap Rayn.

"Bagus! Dengan begitu rencana Om Fariz dan Vino akan gagal kali ini! Jangan biarkan mereka membocorkan data di perusahaan Pratama Wijaya Putra. Tutup semua akses agar mereka tidak bisa membobol server kita lagi. Aku ingin membuat mereka sengsara karena sudah mengacaukan keluarga Pratama Wijaya." ucap Qiana berapi-api.

"Edan! Mafia baru yang kejam! Gue suka Qiana yang kuat dan berambisi seperti ini." celetuk Evan membuat Qiana terkekeh.

"Lalu bagaimana dengan perusahaan Pratama Wijaya Putra?" tanya Qiana memastikan.

"Aman! Semua sudah diambil alih atas nama lu, Qi. Pemilik saham tertinggi saat ini punya lu, jadi lu berhak mengambil alih perusahaan." Sambung Gherry.

"Mantap! Aku suka itu! Biar tahu rasa itu si Alvin alias Vino dan Om Fariz! Tapi aku masih penasaran dengan orang di belakang mereka, apa benar itu Om Wisnu atau bukan!" ucap Qiana.

Evan. Gherry, Rayn, dan Fahlevi saling tatap. Mereka ingin mencari tahu mengenai sosok Om Wisnu, namun mereka terkendala data dan informasi mengenai siapa itu Om Wisnu.

"Apa lu tahu siapa Om Wisnu sebenarnya?" tanya Evan yang sedang mencari data mengenai Om Wisnu.

"Aku tidak tahu persis. Tapi coba Kakak cari nama Opa Erlangga atau silsilah keluarganya. Siapa tahu nama Om Wisnu akan muncul di sana." Saran Qiana membuat Evan tidak menunggu lama, pria tampan itu langsung saja membuka data Erlangga Pratama Wijaya.

Semua mata tertuju pada laptop yang ada di depan Evan, saat wajah salah satu adik kandung Erlangga Pratama Wijaya muncul di layar laptop spontan Qiana menghentikan gerakan tangan Evan.

"Itu dia Om Wisnu!" tunjuk Qiana.

"Kalau sudah tahu wajah pecundang ini, gue bisa menemukan datanya." Ucap Evan.

"Aku percaya pada kalian! Siang ini aku akan pergi ke Bandung. Kemungkinan aku kembali senin pagi, pastikan semua tidak ada yang curiga kalau kalian sudah membantuku membuat perusahaan Pratama Wijaya koleps sementara waktu sampai aku bisa mengembalikan Bang Alvan kepada Oma dan Papi Billy. Saat itu aku akan menendang Alvin atau Vino dari keluarga Pratama Wijaya. Aku juga ingin membuka kedok Om Fariz dan Om Wisnu. Soal rekening dan akun palsu atas nama aku dan Kak Angel, kembalikan ke perusahaan dan blokir aksesnya agar mereka tidak lagi bisa seenaknya mengambil uang perusahaan." Ucap Qiana panjang lebar.

"Anjay! Kecerdasan lu di atas rata-rata, Qi. Gak salah Oma Inge dan Papi Billy milih lu jadi asisten pribadi sekaligus menantu di keluarga Pratama Wijaya. Alvan juga beruntung banget punya bini yang bisa menyelamatkan perusahaan dan keluarganya dari kehancuran atas kecurangan saudaranya sendiri." puji Gherry membuat Qiana memutar bola mata dengan malas.

"Gak usah lebay! Gak usah berlebihan! Biasa aja kali, calon Kakak ipar!" celetuk Qiana membuat Gherry menutup mulutnya.

"Ish, dasar adik gak punya akhlak!" protes Gherry membuat Qiana terkekeh.

"Lu ke Bandung dalam rangka apa, Qi?" tanya Rayn.

"Aku ada urusan bisnis di perusahaan Kakekku di Bandung. Saat waktunya tiba aku beritahu kalian soal perusahaan itu." Ucap Qiana tidak ingin menyembunyikan apa pun dari sahabat Alvan yang sudah dianggapnya sebagai Kakak angkatnya sendiri.

"Oke! Apa perlu gue antar?" tanya Fahlevi.

"Boleh! Kita ke Bandara sekarang! Ayo!" ajak Qiana.

"Apa Oma dan Papi Billy tahu?" tanya Rayn.

"Semalam aku memberitahu mereka, tapi aku minta mereka merahasiakan ini dari Alvin alias Vino. Dan mereka mengerti, aku rasa Oma dan Papi Billy sudah mulai curiga dengan gerak-gerik Alvin alias Vino. Tapi biarkan saja Oma dan Papi Billy tahu dengan sendirinya nanti saat semua sudah terlambat dan mereka menyadari kesalahannya karena mempercayai bajingan Alvin alias Vino!" ucap Qiana geram.

"Gue setuju!" ucap Rayn, Fahlevi, Gherry, dan Evan serempak.

"Ya sudah! Aku pergi sekarang!" Qiana pamit meninggalkan Evan, Gherry dan Rayn. Sementara Fahlevi mengantar Qiana ke Bandara sebelum akhirnya kembali ke rumah sakit.

Di tempat yang berbeda Oma Inge dan Papi Billy sedang bingung. Pasalnya perusahaan mengalami pailit secara tiba-tiba, bahkan pemilik saham ingin menarik diri dari perusahaan itu. Semua berjalan sesuai rencana Qiana dan sahabat-sahabat Alvan.

"Dimana Alvan? Kenapa dia sepertinya tidak peduli dengan kondisi perusahaan saat ini?" ucap Oma Inge cemas.

"Sejak pagi tadi aku berusaha menghubungi anak itu, tapi ponselnya tidak aktif! Baru kali ini dia seperti itu!" Papi Billy mulai geram.

Zoya datang dengan wajah yang sudah merah menahan marah, pasalnya Zoya mendapati kabar dari temannya kalau semalam Alvan cek in di sebuah hotel bersama Rayya. Zoya tidak ingin berita ini menyebar luas dan berpengaruh pada perusahaan keluarganya.

"Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, Zo?" tanya Oma Inge.

"Aku kesal sama Bang Alvan, Oma!" bibir Zoya cemberut.

"Apa lagi yang Abang kamu lakukan kali ini?" tanya Papi Billy.

"Papi lihat sendiri!" Zoya memberikan ponselnya dan menunjukkan video kiriman dari temannya yang melihat Alvan dan Rayya cek in di sebuah hotel.

Papi Billy melihat video itu dengan wajah merah menahan kesal. Baru kali ini Papi Billy merasa dipermalukan dengan kelakuan putra sulungnya. Selama ini Alvan tidak berbuat seperti itu, apalagi membuat malu keluarga dimuka umum.

"Apa dia mabuk dan berbuat mesum dengan perempuan di hotel?" tanya Oma Inge tidak ingin melihat Video yang Zoya tunjukkan.

"Ya! Itulah kelakuan Bang Alvan sekarang! Aku jadi mulai ragu kalau dia Abang aku sendiri!" ucap Zoya kesal.

"Lalu bagaimana kita bisa membuktikan kecurigaan kalian pada Alvan?" tanya Oma Inge.

"Kalian? Maksud, Oma? kalian siapa?" Zoya mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Oma Inge.

"Kamu, Papimu, dan juga Qiana." Jawab Oma Inge.

Zoya menatap Papi Billy lekat. Apa yang Zoya pikirkan saat ini sama dengan yang ada di dalam pikiran Papi Billy, juga Qiana.

"Aku rasa Qiana tahu sesuatu soal Bang Alvan. Kenapa kita tidak tanya Qiana langsung!" usul Zoya.

"Terlambat!" ucap Oma Inge.

"Terlambat bagaimana, Oma?" tanya Zoya.

"Qiana sudah pergi ke Bandung." Jawab Oma Inge datar.

"Haaah? Pulang maksudnya?" Zoya terkejut.

"Bukan! Ada pekerjaan yang harus dikerjakan di Bandung. Ini soal kerjasama Qiana dengan perusahaan Kakeknya." Terang Oma Inge.

"Apa itu lama?" tanya Zoya.

"Qiana bilang hanya tiga hari, itu pun kalau masalahnya sudah selesai dia akan segera kembali." Jawab Oma Inge.

Tok…

Tok…

Tok…

Suara pintu diketuk oleh seseorang dari luar saat Zoya, Oma Inge, dan Papi Billy tengah berbincang di ruang kerja Oma Inge.

"Masuk!" perintah Oma Inge.

Angela dan Aurel masuk ke dalam ruangan Oma Inge. Melihat kedua orang kepercayaan Qiana, kening Oma Inge dan Papi Billy berkerut.

"Ada apa?" tanya Oma Inge dan Papi Billy serempak.

"Diluar banyak wartawan, Oma, Papi." Kata Angela dengan wajah cemas diliputi rasa takut.

"Kenapa ada wartawan segala? Bagaimana ini? Apa ini ada hubungannya dengan kelakuan Alvan sekarang?" tanya Oma Inge.

Angela dan Aurel sama-sama diam, pasalnya mereka tidak tahu harus mengatakan apa kepada sang pemilik perusahaan. Wartawan di luar sudah mengetahui jika kondisi perusahaan saat ini tengah pailit.

Para investor dan pemilik saham menarik mundur dari perusahaan, dan membatalkan semua kontrak kerja sama yang sudah mereka sepakati sebelumnya.

Yang membuat mereka terkejut adalah perusahaan Pratama Wijaya Putra kini sudah beralih kepemilikan dari Alvan pemegang saham tertinggi menjadi menjadi Qiana penguasa seutuhnya, sementara saham milik Alvan benar-benar anjlok berada diurutan paling bawah.

"Siapa yang sudah melakukan ini pada perusahaan suamiku?" teriak Oma Inge geram.

"Oma, sabar Oma!" Zoya memeluk Oma Inge yang mulai histeris.

"Kenapa disaat seperti ini Alvan justru malah senang-senang dengan perempuan licik seperti Rayya! Ini lagi Rayn kemana dia?" ujar Papi Billy mulai geram.

"Aku di sini, Pi!" Rayn tiba-tiba datang.

"Kamu darimana?" tanya Papi Billy ketus.

"Aku dari Bandara mengantar Qiana." Jawab Rayn berbohong.

"Qiana! Telepon dia! Katakan padanya kita butuh bantuan dia saat ini!" perintah Papi Billy kepada Rayn.

"Baik, Pi!" jawab Rayn langsung menghubungi Qiana.

Saat ini Qiana sudah berada di dalam pesawat yang membawanya ke Bandung. Qiana sudah mematikan ponselnya sebelum masuk ke dalam pesawat.

"Ponsel Qiana tidak aktif, Pi. Sepertinya Qiana sudah berada di dalam pesawat." Rayn mengabarkan hal itu kepada Papi Billy.

"Aaarrrggghhh… terlambat!" teriak Papi Billy kesal.

"Siapa lagi yang akan menyelamatkan kita kalau tidak ada Qiana, Billy?" mata Oma Inge kembali berkaca-kaca.

"Aku tidak tahu, Mi! Saat ini hanya Qiana yang bisa kita andalkan." Ucap Papi Billy lemas.

"Bagaimana dengan Evan dan Gherry?" tanya Oma Inge.

"Entahlah! Kita coba saja mereka. Rayn kamu hubungi mereka, minta datang ke sini secepatnya." Pinta Papi Billy yang langsung dilaksanakan oleh Rayn.

Bandung, Oktober 2020…

Pesawat yang membawa Qiana dari Jakarta sudah sampai di Bandung. Saat ini Qiana sedang menunggu taksi yang melintas agar segera membawanya ke tempat tujuan.

Jarak dari Bandara ke desa tempat tinggal keluarganya hanya memakan waktu hampir dua jam lebih. Qiana duduk di belakang setelah mendapatkan taksi.

"Sesuai rute yah, Pak!" pinta Qiana kepada supir taksi.

"Baik, Neng!" jawab supir taksi.

Qiana tersenyum senang saat Evan Fahlevi menghubunginya dengan nomor ponsel yang lain, sementara nomor ponsel lama milik Qiana sengaja tidak diaktifkan untuk menghindari Oma Inga dan Papi Billy sementara waktu.

Qiana belum siap menjelaskan apa pun kepada Oma Inge dan Papi Billy kalau belum menemukan bukti kuat untuk membongkar kelicikan Alvin alias Vino, Om Fariz, dan Om Wisnu.

"Ini rumahnya, Neng?" suara supir taksi mengejutkan Qiana.

"Sepertinya benar ini rumahnya! Kalau begitu bapak tunggu di sini, biar aku cek dulu ke sana. Takutnya malah nyasar." Ucap Qiana.

Qiana turun dari taksi untuk memastikan jika alamat yang Pak Samin berikan tidak salah. Qiana melihat sekeliling rumah kecil yang terbuat dari dinding bambu.

"Qiana!" Pak Samin menyapa Qiana.

"Pak Samin!" Qiana menyahut.

Setelah bertemu Pak Samin, Qiana langsung memberikan ongkos kepada supir taksi dan memberikan sisa kembaliannya yang membuat supir taksi itu senang dan berkali-kali mengucap terima kasih pada Qiana.

"Ada apa, Pak Samin? Apa semua baik-baik saja?" tanya Qiana saat sudah duduk di dalam rumah Pak Samin yang hanya ada satu ruangan kecil untuk ruang tamu, yang disekat dengan dinding kayu. Ada kamar ukuran kecil dan dapur yang terpisah.

Rumah Pak Samin jauh lebih kecil dari rumah kedua orang tua Qiana. Rumah Pak Samin dan rumah kedua orang tua Qiana berjarak 100 meter, Qiana bisa melihat rumah kedua orang tuanya dari rumah Pak Samin yang berseberangan jalan.

"Maaf sebelumnya, Qiana. Bapak tidak mengatakan apa yang sebenarnya pada kamu, tapi Bapak yakin setelah ini kamu mau membantu Bapak." Ucap Pak Samin sedikit cemas.

"Bantuan apa, Pak?" tanya Qiana penasaran.

"Beberapa hari yang lalu Bapak menemukan seorang laki-laki yang terhanyut di sungai, bawa membawanya kemari dan mengobati lukanya. Sekarang dia ada di dalam sedang tidur, karena Bapak sudah memberinya obat. Lukanya cukup parah di sekujur tubuhnya, tapi…" Pak Samin berhenti bicara.

"Tapi kenapa, Pak?" tanya Qiana.

"Laki-laki itu sepertinya kehilangan ingatannya. Dia benar-benar tidak ingat apa pun kecuali namamu, Qiana." Lanjut Pak Samin.

"Namaku? Tapi kenapa hanya namaku, Pak?" Qiana semakin penasaran.

"Dia tak sengaja melihat foto pernikahan kamu, di sana bapak menceritakan tentang keluargamu…" Pak Samin lalu menceritakan semuanya kepada Qiana yang membuat Qiana jadi terharu.

"Apa aku boleh melihat laki-laki itu, Pak?" pinta Qiana.

"Tentu saja! Mari…" Pak Samin membawa Qiana ke dalam kamarnya dimana laki-laki itu berbaring saat ini.

Mata Qiana terbelalak saat melihat sosok laki-laki yang sangat dia kenal. Mulutnya menganga dengan dengan lelehan air mata yang sudah basah membasahi wajahnya.

Qiana tak percaya dengan penglihatannya lalu mendekat pada laki-laki itu. Saat yang bersamaan laki-laki itu membuka matanya dan menatap Qiana lekat.

Qiana dan laki-laki itu saling tatap dan cukup lama pandangan keduany terkunci dalam diam. Qiana mencubit tangannya yang terasa sakit. Ini nyata dan bukan mimpi.

"Apa kamu mengenalnya, Qiana?" suara Pak Samin membuyarkan khayalan Qiana.

"Tentu saja aku sangat mengenal, Pak!" jawab Qiana.

Laki-laki itu mencoba mengenali wajah Qiana, bentuk tubuh Qiana, sampai suara Qiana yang benar-benar tidak asing baginya. Tapi laki-laki itu masih belum sepenuhnya mengenali siapa Qiana sebenarnya.

"Kamu kah gadis yang bernama, Qiana?" tanya laki-laki itu dengan suara terbata.

"Ya! Aku Qiana. Apa kabarmu?" tanya Qiana dengan genangan air mata yang sudah tidak kuasa lagi dibendungnya.

"Maukah kamu membantuku untuk mengingat semua?" pinta laki-laki itu.

"Tentu saja!" jawab Qiana dengan bibir bergetar.

"Siapa aku? Darimana asalku? Siapa keluargaku? Apa yang kamu tahu tentang aku? Kenapa aku berakhir di sini? Apa hubunganku denganmu?" laki-laki itu memberondong pertanyaan kepada Qiana.

"Nama kamu…" ucap Qiana ragu.

"Siapa namaku?" ulang laki-laki itu.

Air mata Qiana kembali luruh membasahi wajahnya. Qiana sudah tidak sanggup lagi menahan penderitaan ini sendiri, tapi Qiana harus melakukannya demi menyelamatkan orang-orang yang dia cintai dari serangan musuh di luar sana.