Chapter 48 - Bab. 48

Qiana ragu untuk mengangkat panggilan telepon itu, namun Qiana juga tidak ingin terlambat mengetahui sesuatu jika itu berasal dari Bandung dimana keluarganya tinggal. Saat ini hati dan pikiran Qiana tertuju kepada Abah Sambas, Ambu Kinanti, dan Teh Qorie.

"Hallo…!" sapa Qiana pada seseorang di balik sambungan teleponnya.

"Apa benar ini dengan Qiana?" tanya laki-laki paruh baya di seberang telepon.

"Benar! Bapak siapa yah? Dan ada perlu apa?" tanya Qiana.

"Ini Pak Samin, apa Qiana ingat?" ucap Pak Samin.

"Sahabat Abah?" tanya Qiana yang sudah mulai lemas mendapat telepon dari Pak Samin.

Qiana saat ini benar-benar cemas karena Pak Samin menghubunginya. Qiana jadi berpikiran buruk tentang keluarga, jangan-jangan terjadi sesuatu kepada keluarganya sehingga Pak Samin yang memberitahu Qiana mengenai keadaan keluarganya.

"Ada apa, Pak Samin? Apa Abah, Ambu, dan Teh Qorie baik-baik saja?" tanya Qiana cemas.

"Keluargamu baik-baik saja. Bapak ingin bertemu dan bicara banyak hal dengan, Qiana. Apa bisa bertemu secepatnya?" tanya Pak Samin.

"Baiklah! Aku akan datang hari sabtu nanti." Jawab Qian membuat Pak Samin lega.

Qiana dan Pak Samin sama-sama mengakhiri sambungan teleponnya, sebelum akhirnya Qiana dan Rayn kembali ke kantor. Sementara Fahlevi kembali ke rumah sakit.

"Darimana kamu?" tanya Alvan tiba-tiba saat Qiana baru masuk ke dalam ruangannya.

"Aku habis makan siang." Jawab Qiana tanpa menoleh.

"Apa itu hanya alasanmu saja?" tanya Alvan sinis.

"Maksudnya?" kening Qiana berkerut.

"Kamu selingkuh di belakangku, Qiana?" Alvan mencengkram rahang Qiana dengan kuat.

Dapat Qiana lihat ada kebencian di mata Alvan saat menatapnya. Alvan mendekatkan bibirnya pada Qiana, membuat Qiana berusaha menjauh dari Alvan.

"Kamu sengaja menghindari aku? Kenapa? Apa karena selingkuhanmu?" tanya Alvan.

"Lepaskan, aku!" bukannya menjawab Qiana justru berontak dalam cengkraman Alvan.

"Kenapa?" tanya Alvan dengan smirk di wajahnya.

"Kamu sangat menjijikkan!" teriak Qiana.

"Hahaha…" Alvan tertawa keras.

Plakkk…!

Alvan menampar wajah Qiana dengan keras, hingga pipi Qiana merah dan meninggalkan bekas. Saat yang bersamaan Rayya masuk ke dalam ruangan Qiana.

"Sayang, kita pergi sekarang?" tanya Rayya.

"Tunggu! Aku ingin kita bermain dulu di depan mata istriku, Qiana. Aku ingin dia melihat betapa aku sangat mencintai dirimu, sayangku!" Alvan melepaskan cengkraman pada rahang Qiana lalu menyambar bibir Rayya dengan cepat.

"Aaakhhh…" suara desahan Rayya sengaja dibuat agar membuat Qiana cemburu.

Bukannya cemburu, Qiana justru merasa jijik dengan sikap Alvan dan Rayya. Mereka bercumbu di depan Qiana, yang nyatanya Qiana adalah istri sah dari Alvan sedangkan Rayya hanya seorang selingkuhan.

"Tidak tahu malu!" umpat Qiana melangkah hendak meninggalkan ruangannya.

Tap…!

Alvan mencengkram tangan Qiana dan melepaskan pagutannya di bibir Rayya. Alvan menatap tajam pada Qiana yang dibalas dengan tatapan yang sama dari Qiana.

"Kamu berani melawanku sekarang?" tanya Alvan.

"Bahkan aku sudah tidak takut akan ancamanmu lagi!" balas Qiana.

"Dasar jalang!" Alvan menjambak rambut Qiana hingga Qiana kesakitan.

"Lepas!" teriak Qiana.

Di luar Rayn terkejut mendengar teriakan Qiana, dia menoleh ke arah Bianca sekertaris pribadi Alvan.

"Qiana di dalam dengan siapa?" tanya Rayn.

"Bang Al dan Rayya." Ucap Bianca gugup.

"Apa…?" mata Rayn terbelalak.

Rayn segera menuju ruang Qiana, saat membuka pintu matanya terbelalak melihat Alvan menjambak rambut Qiana.

"Al, hentikan!" Rayn memaksa Alvan untuk melepaskan Qiana.

"Jangan ikut campur urusan gue!" teriak Alvan.

"Gila lu yah, Al!" Rayn membawa Qiana menjauh setelah Alvan melepaskan Qiana.

Rayn menatap Alvan dengan tatapan membunuh. Sementara Rayya mengajak Alvan pergi dari kantornya. Setelah Alvan dan Rayya pergi, Qiana menangis terisak dalam pelukan Rayn sahabat sekaligus kakak angkat Qiana.

"Ini gak bisa dibiarin! Alvan harus diberi pelajaran!" ucap Rayn geram.

"Dia bukan Bang Alvan, Kak! Dia, Vino!" celetuk Qiana

"Apa…? Apa maksudmu, Qiana?" tanya Rayn tak mengerti.

"Aku akan membuktikan kalau dia bukan Bang Alvan, melainkan Vino!" ucap Qiana dengan wajah yang sudah sangat basah oleh air mata.

"Apa kamu yakin?" tanya Rayn tak percaya.

"Sebaiknya kita pergi sekarang! Aku akan jelaskan semuanya nanti saat kita sudah sampai di markas kalian." Jawab Qiana.

"Baiklah!" balas Rayn.

Tibalah Qiana dan Rayn di markas tempat Alvan dan sahabatnya biasa berkumpul untuk membahas mengenai banyak hal, mulai dari meretas data perusahaan yang melakukan kecurangan dengan perusahaan mereka, baik menyelidiki kasus yang saat ini sedang mereka hadapi.

"Masuk!" ajak Rayn.

"Apa yang lain sudah datang?" tanya Qiana saat berjalan di sebuah lorong sempit yang hanya bisa dilewati oleh satu orang saja.

"Sepertinya mereka sudah datang lebih dulu dari kita." Jawab Rayn.

"Darimana Kakak tahu?" tanya Qiana.

"Itulah rahasia markas kita. Tidak aka nada yang tahu kecuali Aku, Alvan, Evan, Gherry, dan Fahlevi. Jadi kamu jangan khawatir kalau memang ingin membuktikan orang itu Alvan atau bukan kita tunggu saja sebentar lagi!" suara Rayn terdengar jelas di telinga Qiana.

"Benarkah? Bagaimana caranya?" tanya Qiana semakin penasaran.

"Tunggu saja sebentar lagi!" balas Rayn.

Saat mereka sudah sampai di ujung lorong, Qiana melihat ada pintu besi di depan. Itulah ujung dari lorong yang mereka lalui, dari pintu itulah mereka sudah sampai di depan markas.

"Minggir!" Rayn menjauhkan tubuh Qiana dari pintu.

Rayn menempelkan sebuah kartu pada pintu markas, seketika pintu terbuka dan Qiana melihat di dalam sudah ada Fahlevi, Gherry, dan Evan.

"Masuklah!" ajak Rayn yang disambut senyum dari Evan, Gherry, dan Fahlevi.

"Jadi, ini markas besar kalian?" tanya Qiana.

"Bagaimana?" tanya Fahlevi.

"Luar biasa!" jawab Qiana terpaku menatap isi di dalam markas.

"Selain Aku, Alvan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi. Kamu lah orang pertama yang kami percaya untuk mengetahi markas kami, dan di sini lah kami menyelidiki semua yang selama ini kami curigai. Termasuk apa yang terjadi diantara kamu dan Alvan." Ucap Evan.

"Terima kasih untuk kepercayaannya." Balas Qiana.

"Sekarang lakukan tugas pertama kita!" ucap Fahlevi.

"Oke!" balas Gherry yang segera meraih ponselnya dan melakukan panggilan pada Alvan.

Saat ini Alvan sedang berada di apartemen Rayya. Karena sedang asyik bermain, Alvan membiarkan ponselnya berbunyi tanpa ingin menjawab panggilan dari Gherry.

"Gak diangkat!" seru Gherry.

"Cek gps!" perintah Evan.

Tak menunggu lama Gherry mengecek gps di ponsel Alvan. Keningnya berkerut saat melihat gps di ponsel Alvan.

"Alvan berada di apartemen ini! Bukankah ini apartemen Qiana dan Aurel yah?" tanya Gherry.

"Itu artinya Alvan saat ini masih bersama Rayya!" celetuk Rayn.

"Maksud lu?" tanya Evan, Fahlevi, dan Gherry serempak.

"Tadi Alvan datang ke kantor Oma bersama Rayya, dia menyerang Qiana. Untuk gue datang tepat waktu buat jemput Qiana, kalau gak…" Rayn tidak melanjutkan ucapannya karena melihat Qiana menahan rahangnya yang terlihat mengeras.

"Jadi, apa yang lu tahu Lev?" tanya Evan.

"Gue curiga kalau dia bukan, Alvan! Dari cerita Qiana soal kejadian penculikan malam itu…" belum selesai Fahlevi bicara, ketiga sahabatnya lebih dulu terkejut mendengar ucapan Fahlevi.

"Apaaa…? Penculikan?" Evan, Gherry, dan Rayn kompak bertanya.

"Lebay lu! Biasa aja kali!" Fahlevi melempar kacang di tangannya satu persatu ke wajah tiga sahabatnya.

"Benaran ini, Qiana?" tanya Evan penasaran.

Lalu Qiana bercerita mengenai kejadian penculikan saat bersama Alvan di Bandung. Sementara Evan, Gherry, dan Rayn mendengarkan dengan seksama.

"Sebenarnya saat di rumah Oma Inge, gue juga udah curiga kalau si kunyuk itu sebenarnya Vino. Bukan, Alvan! Tapi kalau gue jujur saat itu, gue khawatir Vino bakal bikin celaka Qiana dan keluarga Alvan. Gue juga gak mau Oma dan Papi Billy kecewa dengan penuturan gue, makanya gue pura-pura percaya kalau itu benar-benar Alvan. Sorry, Qiana! Gue harus lakuin ini demi lu juga keluarga Alvan." Fahlevi meremas bahu Qiana pelan.

"Gak apa-apa, Dokter! Aku tahu saat ini Dokter ada dipihak aku, saat itu pun sebenarnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya kalau luka cambuk di punggung Bang Alvan tidak sama dengan luka cambuk yang ada di punggung Vino! Semua luka di wajah, tangan, kaki, dan bibir Vino, itu juga palsu!" ucap Qiana.

"Darimana kamu tahu, Qiana?" tanya Gherry penasaran

"Aku bisa membedakan mana luka palsu dan mana luka yang benar. Aku sempat melihat seluruh luka di tubuh Bang Alvan. Dan yang membuat aku yakin jika itu bukan Bang Alvan adalah, saat kami dikembalikan ke dalam mobil. Baju Bang Alvan sudah diganti dan tidak ada bekas sobekan sedikit pun. Padahal sebelumnya Bang Alvan memakai kemeja berwarna cream, sedangkan saat kembali Bang Alvan memakai kaos, seperti yang Dokter Levi lihat semalam." Ungkap Qiana.

"Lu bener, Qiana! Gue inget banget waktu semalam ketemu dia! Si kunyuk itu pakai kaos yang gak pernah gue lihat di pakai Alvan sebelumnya, bahkan luka di kepala yang dia bilang sakit gak gue lihat di kepalanya." Ucap Fahlevi.

"Gila si Vino! Berarti dia udah nipu kita dong!" ucap Rayn.

"Tapi ada yang perlu kalian ingat!" ucap Qiana.

"Apa?" Evan, Gherry, Rayn, Fahlevi serempak menatap Qiana.

"Bang Alvan tidak pernah memakai anting, parfum yang Bang Alvan pakai beda sekali dengan parfum yang Vino pakai saat ini. Di tangan kiri Vino ada cacat sepertinya bekas luka sejak kecil. Satu lagi…" ucap Qiana membuat keempat sahabat Alvan jadi penasaran.

"Apa?" tanya Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi.

"Bang Alvan memakai cincin pernikahan di jari manis sebelah kanan, sementara Vino tidak! Saat kami diculik dan Bang Alvan terluka karena pukulan itu, Bang Alvan masih mengenakan cincin pernikahan kami. Jadi mustahil Bang Alvan tiba-tiba melepasnya begitu saja." Ucap Qiana.

"Tapi yang lebih meyakinkan aku kalau dia bukan Bang ALvan adalah kebiasaan dari Bang Alvan saat masuk ke dalam rumah. Dia akan berteriak memanggil Oma, bukan? Tapi kemarin teriakan itu tidak ada sama sekali, dan jelas itu bukan Bang Alvan. Melainkan, Vino! Bang Alvan juga tidak pernah berbuat kasar pada Oma, apa lagi sampai berani mencengkram rahang Oma dengan kuat." Ucap Qiana kemudian.

"Apa? Kurang ajar sekali, Vino!" ucap Evan geram.

"Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Rayn.

"Aku minta semua kepemilikan saham dan perusahaan atas nama Bang Alvan beralih atas namaku, setelah itu atur agar perusahaan Bang Alvan bangkrut. Untuk perusahaan Oma, aku serahkan pada kalian bagusnya bagaimana. Sebab kalau kita memberitahu Oma dan Papi sekarang, mereka tidak akan percaya semua yang kita katakan! Sebab Oma dan Papi tetap berkeyakinan kalau Bang Alvan kehilangan ingatannya saat terjadi penculikan itu, maka Oma dan Papi sangat memaklumi sikap Bang Alvan yang berubah." Qiana terlihat menghela nafas panjang.

"Ini menarik!" sorak Evan.

"Maksud lu?" Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak bertanya.

"Kita gunakan alasan Alvan palsu yang sedang amnesia untuk mengacaukan perusahaan Oma, sebelum semuanya diambil alih oleh Om Fariz dan Vino! Kita gunakan hilang ingatannya Alvan menjadi penyebab hancurnya perusahaan Oma, dengan begitu Qiana tidak akan menjadi korban ketidak adilan ini dan disalahkan oleh Oma dan Papi. Qiana, mulai atur strategi agar lu punya alasan buat keluar dari perusahaan Oma." tutur Evan.

"Oke!" jawab Qiana tegas.

"Gherry, Rayn! Lu berdua bantu ambil alih perusahaan Alvan atas nama Qiana. Dan Gue ambil alih perusahaan Oma atas nama Zoya, untuk sementara waktu." Ucap Evan.

"Kenapa, Zoya?" tanya Fahlevi.

"Terus kalau bukan Zoya, siapa?" Evan balik bertanya.

"Bingung gue!" Fahlevi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Aku ada ide!" ucap Qiana membuat Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak menoleh pada Qiana.

"Apa?" tanya Evan.

"Atur supaya seluruh pemegang saham di perusahaan Oma, mengalihkan semua investasi dan menarik sahamnya di perusahaan Oma. Buat mereka bekerja sama dengan perusahaan milik aku di Bandung, bagaimana?" saran Qiana.

"Ide bagus!" sahut Gherry.

"Dan kalian akan bekerja di perusahaan baru milikku di Bandung. Ada satu hal yang kalian harus tahu!" ucap Qiana.

"Apa?" tanya Rayn.

"Aku pastikan di belakang Om Fariz dan Vino ada seseorang yang masih bersembunyi di balik topengnya. Aku masih ragu walau sebenarnya aku mencurigai seseorang. Dan hilangnya Opa 18 tahun yang lalu bisa kita buka kembali kasusnya. Aku curiga di tempat aku disekap saat itu, ada seseorang disana yang mereka sekap juga!" ucap Qiana.

"Apa itu artinya kita harus tetap bersandiwara ada di pihak Alvan palsu?" tanya Gherry.

"Ya! Itu yang harus kita lakukan sekarang." Jawab Fahlevi dan Qiana serempak.

"Lalu gimana dengan kamu, Qiana?" tanya Evan khawatir.

"Kakak jangan cemaskan soal aku, masih ada satu bukti yang ingin aku ungkap dari kebohongan Vino." Ucap Qiana.

"Apa lagi itu?" tanya Evan.

"Di pinggang Bang Alvan sebelah kanan ada tanda berbentuk bulan sabit, jika dia memang Bang Alvan pasti tanda itu akan ada. Tapi jika tanda itu tidak ada, berarti dia memang benar Vino." Ucap Qiana.

"Good job, Qiana!" balas Gherry.

Pertemuan Qiana bersama keempat sahabat Alvan akhirnya selesai, sesuai kesepakatan bersama mulai malam ini mereka akan bekerja mengacaukan perusahaan Oma Inge dan Alvan.

Rayn bertanggung jawab mengantar Qiana kembali pulang ke rumah dengan selamat. Saat Qiana turun dari mobil Rayn, Alvan sudah berdiri di depan pintu dan menghadang Qiana.

"Darimana kamu?" tanya Alvan dengan tatapan mengintimidasi.

Merasa kasihan dengan Qiana, Rayn segera turun untuk membantu Qiana menjelaskan kemana mereka pergi. Namun, belum sempat Rayn berbicara Alvan sudah menyerang Rayn dengan membabi buta.

Bagh…

Bugh…

Bagh…

Bugh…

Serangan Alvan bertubi-tubi memukul Rayn hingga Rayn belum sempat mengelak serangan Alvan. Dengan sudut bibir yang sudah berdarah, Rayn mencoba membalas serangan Alvan.

"Bang, hentikan!" teriak Qiana.

"Kenapa? Kamu merasa iba karena selingkuhan kamu terluka kena pukulan aku?" ucap Alvan membuat Rayn dan Qiana terkejut.

"Maksud Abang apa?" tanya Qiana.

"Sudah jelas kamu selingkuh dengan dia di belakangku, masih juga mengelak! Ingat Qiana, surat wasiat Oma yang menyatakan kalau kamu selingkuh aku boleh menceraikanmu lalu aku akan mendapatkan seluruh harta warisan Opa dan juga perusahaan sekaligus." Ucap Alvan enteng.

Deg!

Jantung Qiana terasa sakit mendengar penuturan Alvan. Rayn dan Qiana saling tatap dan mengerti rencana Vino di balik semua ini. Rayn dan Qiana tidak ingin kalah cepat dari Alvan, untuk segera mengambil alih kepemilikan perusahaan Oma Inge dan Alvan.

"Gue balik! Lu urus aja urusan lu sama bini lu! Gue ogah nyicipin bekas lu! Gue bisa nyari yang masih segel." Ucap Rayn membuat mata Qiana terbelalak, sementara Alvan menyeringai dengan smirk di wajahnya.