Chapter 49 - Bab. 49

Rayn berbalik badan dengan wajah berubah sedih, bukan maksud ingin menghina Qiana. Namun, Rayn tidak ingin membuat Alvan kembali melukai Qiana secara mental.

Cukup sampai detik ini saja Alvan menyiksa Qiana, detik berikutnya identitas Alvan yang sebenarnya akan segera terungkap dan itulah akhir penderitaan Qiana.

"Apa kalian sudah saling memuaskan satu sama lain?" ejek Alvan membuat Qiana marah.

"Jaga mulutmu, Vino!" teriak Qiana.

"Jadi, kamu tahu kalau aku bukan Alvan suamimu?" tanya Vino dengan seringai di wajahnya.

"Eh? Kenapa aku malah membukanya sekarang? Akh, aku benar-benar bodoh!" batin Qiana.

"Tidak! Aku hanya emosi saja! Tentu aku tahu kalau kamu adalah suamiku, Alvan Pratama Wijaya. Itu sebabnya aku masih bisa bertahan walau sebenarnya aku tersiksa dengan perbuatan Abang padaku." Ucap Qiana meralat kalimat sebelumnya.

"Lalu? Kenapa kamu menganggapku Vino? Apa kamu mencurigaiku?" tanya Alvan.

"Tidak! Aku hanya sedang lelah saja!" jawab Qiana.

"Apa kamu lelah karena sudah melayani banyak lelaki di luar sana?" suara Alvan begitu menyakitkan bagi Qiana.

"Abang…?" mata Qiana berkaca-kaca.

"Ucapanku benar, bukan?" Alvan mendekatkan wajahnya pada Qiana.

"Terserah Abang saja!" Qiana berlalu dari hadapan Alvan.

Alvan melihat Qiana masuk ke dalam kamarnya semula, bukan kamar yang Alvan tempati. Alvan segera menyusul Qiana masuk ke dalam kamar Qiana.

"Mau apa Abang masuk ke kamarku?" tanya Qiana saat akan menutup pintu kamar.

"Biarkan aku masuk!" Alvan memaksa masuk ke dalam kamar Qiana.

Qiana mundur karena Alvan mendekat, tidak ingin salah paham Qiana beralasan kalau dirinya ingin membersihkan diri terlebih dahulu.

Qiana segera melarikan diri masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ingin sampai Alvan ikut masuk ke dalam kamar mandi, Qiana terpaksa mengunci pintu kamar mandi dari dalam.

"Bagus, Qiana! Diamlah kamu di tempatmu sekarang! Aku tidak pernah menginginkanmu sampai kapanpun!" ucap Alvan meninggalkan kamar Qiana.

Di tempat lain Evan, Gherry dan Fahlevi mulai menjalankan aksinya. Semua saham dan kepemilikan perusahaan Alvan, diambil alih atas nama Qiana seluruhnya dari perusahaan Pratama Wijaya Putra dalam sekejap mata.

Sedangkan perusahaan Oma Inge sengaja dibocorkan, agar pemilik saham segera menarik semua investasi di perusahaan Oma Inge hingga tak tersisa. Lalu menanam saham mereka di perusahaan Qiana yang baru di Bandung.

"Apa-apaan ini? Kenapa saham di perusahaan kita bisa anjlok?" gerutu Om Fariz saat melihat perusahaan Pratama Wijaya tiba-tiba pailit.

"Siapa yang sudah melakukan itu?" tanya Om Wisnu.

"Aku tidak tahu!" jawab Om Fariz.

"Ini pasti kerjaan anak itu! Siapa namanya?" tanya Om Wisnu.

"Qiana?" jawab Om Fariz.

"Benar! Anak itu! Kurang ajar!" ucap Om Wisnu geram.

"Lalu apa yang harus kita lakukan pada dia?" tanya Om Fariz.

"B*nuh semua yang mengganggu! Lenyapkan siapa saja yang menghalangi jalan kita!" gertak Om wisnu.

"Kalian dengar itu!" perintah Om Fariz kepada anak buahnya.

"Baik, Bos!" anak buah Om Fariz dan Om Wisnu pergi meninggalkan kedua bos besar mereka.

Di tempat lain Qiana baru selesai mandi. Karena tidak ingin laki-laki yang identitasnya masih samar masuk ke dalam kamarnya, Qiana segera mengunci kamarnya dari dalam.

Qiana lalu melakukan panggilan dengan Fahlevi dan memberitahukan rencana Qiana yang akan pergi ke Bandung esok lusa.

"Kamu pergi sendiri, Qiana?" tanya Fahlevi.

"Ya, Dokter! Aku akan pergi ke Bandung sendiri." jawab Qiana.

"Apa Oma, dan Alvan tidak akan curiga?" tanya Fahlevi.

"Aku rasa mereka tidak akan peduli lagi kepadaku! Dan jangan katakan kalau dia adalah Bang Alvan! Dia itu Vino!" ucap Qiana tegas.

"Maaf! Kalau kamu tidak suka aku memanggilnya Alvan, aku akan memanggilnya Alvin saja!" ucap Fahlevi mengejutkan Qiana.

"Kenapa, Alvin?" tanya Qiana tidak suka dengan nama itu.

"Nama Vino sebenarnya adalah Alvin Pratama Putra Wijaya, dia cucu seorang pengusaha meubel terbesar di Yogyakarta. Dan dia adalah satu-satunya pewaris tunggal dari seorang kakek bernama Dharma." Lagi ucapan Fahlevi mengejutkan Qiana.

"Apaaa?" mata Qiana membulat sempurna hampir keluar dari tempatnya.

"Kenapa kamu terkejut seperti itu, Qiana?" tanya Fahlevi.

"Aku mengenal orang yang bernama Dharma! Dia adalah orang kepercayaan Mami Mayang, ibu kandung Bang Alvan." Jawab Qiana jujur.

"Benarkah?" tanya Fahlevi yang kini ikut terkejut dengan penuturan Qiana.

"Iya! Aku bahkan pergi ke Yogyakarta beberapa waktu yang lalu sebelum menikah dengan Bang Alvan. Aku menemani Bang Alvan menemui Mbah Kakung Dharma." Ucap Qiana.

"Ini berita bagus, Qiana!" jawab Fahlevi.

"Apa ini akan menguntungkan kita, Dokter?" tanya Qiana.

"Tentu saja, Qiana! Tapi, itu kita bahas besok. Sekarang sudah malam, kamu sebaiknya tidur! Jangan lupa kunci pintu kamarmu, agar Alvin tidak masuk ke dalam kamarmu!" Fahlevi mengingatkan.

"Terima kasih, Dokter." Ucap Qiana.

"Sama-sama." Jawab Fahlevi.

Qiana dan Fahlevi sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya. Qiana kemudian pergi tidur lebih awal karena besok dia harus segera pergi ke kantor lebih awal, agar siang harinya Qiana bisa izin kepada Oma Inge untuk pergi ke kantor Alvan.

"Mami bingung dengan sikap Alvan sekarang, Billy!" ucap Oma Inge di seberang telepon.

"Mami jangan bingung dan terlalu memikirkan Alvan! Dia sudah dewasa, Mi! Biarkan saja dia seperti itu. Aku gak mau Mami sampai sakit karena memikirkan sikap Alvan. Aku rasa Alvan sedang melakukan sesuatu untuk menyelamatkan perusahaan kita saat ini." balas Papi Billy.

"Entahlah! Oma jadi teringat ucapan Qiana." Kata Oma Inge pelan.

"Ucapan yang mana, Mi?" tanya Papi Billy.

"Qiana curiga kalau dia bukan Alvan, melainkan Vino! Apa kamu percaya itu, Billy?" tanya Oma Inge membuat Papi Billy terdiam sesaat.

"Apa kita perlu membuktikan kebenarannya? Lalu jika itu semua tidak terbukti benar, bagaimana? Apa Mami akan menyalahkan Qiana?" Papi Billy balik bertanya yang membuat Oma Inge jadi terdiam.

Hening, hanya suara helaan nafas dari Papi Billy dan Oma Inge yang terdengar pada sambungan telepon.

"Sudah malam! Mami ngantuk! Kamu juga cepat tidur, besok harus ke kantor pagi-pagi ada banyak hal yang harus kita bahas dengan dewan direksi dan para pemegang saham." Sahut Oma Inge pelan.

Oma Inge dan Papi Billy sama-sama mengakhiri panggilan telepon. Tanpa Oma Inge tahu, Vino sejak tadi menguping pembicaraan Oma Inge.

"Sial! Bisa kacau urusanku kalau semua terbongkar sebelum aku berhasil merampas semua milik keluarga Pratama Wijaya!" ucap Vino yang kini menempati posisi Alvan.

"Bang Alvan, ngapain berdiri di situ? Mau ketemu, Oma?" suara Bi Narsih mengejutkan Vino.

"Sejak kapan kamu jadi mata-mata di rumah ini, hah? Dasar pembantu sialan!" bentak Vino di depan wajah Bi Narsih.

Deg…!

Dag…

Dig…

Dug…

Jantung Bi Narsih berdebar kencang saat mendengar suara Vino membentaknya. Kali ini kecurigaan Bi Narsih benar adanya. Bi Narsih sejak awal mencurigai jika yang berdiri di hadapannya saat ini bukan Alvan melainkan Vino.

"Kamu siapa? Kenapa kamu berpura-pura jadi Bang Alvan? Jangan kamu kira aku hanya seorang pembantu yang bodoh dan tidak tahu apa-apa! Aku sangat mengenal betul peringai Bang Alvan, bahkan sejak lahir aku sudah mengenali Bang Alvan lebih dari ibu kandungnya sendiri! Jangan kamu kira aku tidak tahu siapa kamu, dan aku bisa tertipu dengan semua kebohonganmu!" suara Bi Narsih menggelegar memenuhi seisi ruang keluarga.

"Diam kamu pembantu kurang ajar!" maki Vino.

Plak…!

Sebuah tamparana keras mendarat di pipi Bi Narsih, seketika darah segar keluar dari sudut bibir Bi Narsih. Air mata wanita paruh baya itu ikut menetes seiring rasa sakit di dalam hatinya menerima kenyataan jika pemuda di hadapannya bukanlah sang tuan muda, yang selama ini sangat disayanginya.

"Kamu sembunyikan dimana cucu kesayanganku, bajingan?" teriak Bi Narsih

Tangan Vino mendarat di udara saat hendak melayangkan tamparan sekali lagi di wajah tua I Narsih, namun tiba-tiba Qiana datang dan menghentikan perbuatan Vino.

"Cukup! Siapa pun kamu, apa pun tujuan kamu. Aku mohon! Jangan ada kekerasan fisik lagi yang kamu lakukan pada keluarga ini! Cukup aku saja yang kamu siksa lahir dan bathin! Jangan lagi kamu lakukan itu pada orang lain!" teriak Qiana mencengkram kuat tangan Vino.

"Qiana? Alvan? Ada apa ini?" Oma Inge keluar dari kamarnya saat mendengar keributan di luar.

"Sudah malam, sebaiknya Bi Narsih tidur!" bisik Qiana.

"Tapi, Neng!" Qiana memberikan isyarat agar Bi Narsih segera pergi ke kamarnya.

Bi Narsih meninggalkan Qiana, Vino dan Oma Inge dengan rasa sakit di hatinya. Saat ini Bi Narsih memikirkan keadaan Alvan, yang belum diketahui keberadaannya.

"Qiana!" Oma Inge menatap tajam.

"Hanya salah paham, Oma!" Qiana menarik tubuh Vino pelan dan menjauhkannya dari Oma Inge.

"Ada-ada saja!" ucap Oma Inge.

Vino menaiki anak tangga dengan perasaan marah pada Qiana. Rasanya saat ini Vino benar-benar ingin membuat Qiana segera pergi dari rumah Oma Inge, sebab adanya Qiana di rumah Oma Inge itu akan membuat usaha Vino semakin memakan waktu lebih lama lagi.

Saat sudah sampai di lantai dua, Vino melepaskan tangan Qiana lalu mendorong tubuh Qiana dan emnguncinya di dinding.

"Kenapa kamu tidak pergi saja dari rumah ini, Qiana?" Vino mencengkram kuat rahang Qiana.

"Aku tidak akan pergi sampai kapan pun, kecuali jika Bang Alvan sendiri yang meminta aku pergi dari rumah ini." ucap Qiana menatap Vino dengan tatapan membunuh.

"Kamu sudah berani menentang aku rupanya! Tapi kamu tenang saja, Qiana! Akan aku buat kamu terusir dari rumah ini oleh suami kamu sendiri, Qiana!" ancam Vino.

"Aku tidak akan takut dengan ancaman kamu itu, Vino! Oh, Alvin! Atau siapa pun kamu sebenarnya, aku akan segera membongkar semua kebusukan kamu pada keluarga ini!" Qiana tersenyum dengan seringai di wajahnya.

"Kamu tidak pantas menjadi orang jahat sepertiku, Qiana! Tapi aku pastikan, Oma Inge, Papi Billy, dan keluarga Pratama Wijaya yang lainnya akan melihatmu sebagai seorang mafia jahat!" Vino menghempas rahang Qiana dengan kasar.

Qiana menghela nafas dengan bersandar pada tembok. Tubuhnya tiba-tiba luruh di atas lantai. Hatinya terasa sakit mengingat keberadaan Alvan yang kini belum diketahui.

"Bang, Abang dimana? Aku rindu, Abang. Hiks… Abang pulang, Bang!" tangis Qiana tersedu.

Qiana tidak ingin tangisnya di dengar yang lain, segera saja masuk ke dalam kamarnya. Di dalam kamar Qiana menangis sepuasnya setelah Vino benar-benar mengakui semuanya.

Qiana merasa lega mendengar pengakuan Vino, meski dia sendiri masih khawatir dengan keberadaan Alvan. Tapi setidaknya Qiana sudah tahu jika laki-laki yang kini berpura-pura menjadi suaminya adalah Vino.

Dengan begitu, Qiana tidak akan sakit hati lagi jika Rayya mengirimkan foto kebersamaan mereka saat di dalam kamar sebuah hotel.

Bandung, Oktober 2020…

"Qiana…! Qiana…! Qiana…!" teriak pemuda tampan yang kini masih belum pulih ingatannya itu.

"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Pak Samin.

"Aku melihat gadis itu di dalam mimpiku! Tapi siapa dia?" gumam pemuda tampan itu.

Sudah tiga hari pemuda tampan itu berada di rumah Pak Samin, dengan telaten Pak Samin merawat pemuda itu hingga luka di sekujur tubuhnya beangsur membaik meski belum pulih.

"Minumlah!" Pak Samin memberi minum pada pemuda itu.

"Kapan Qiana akan datang menemuiku, Pak?" tanya pemuda itu.

"Qiana bilang dia akan datang besok. Kamu tunggu saja." Ucap Pak Samin.

Malam semakin larut suasana di luar hening hanya suara jangkrik bersahutan memecah sunyi. Dinginnya kota Bandung di malam hari membuat suasana semakin terasa mencekam.

Pak Samin terbangun pagi hari saat matahari sudah masuk disela-sela dinding kayu rumahnya. Pagi hari udara segar di desa tempat Pak Samin tinggal.

Hari ini Pak Samin pergi mencari kayu bakar di hutan lebih pagi dari biasanya, sebab Pak Samin ingin saat Qiana datang dirinya sudah ada di rumah. Pak Samin tidak akan membiarkan Qiana bertemu sendirian dengan pemuda tampan itu.

"Aku harap orang yang bernama Qiana itu benar-benar datang. Dengan begitu aku bisa bertanya banyak hal kepadanya. Aku ingin mengingat semuanya, aku ingin kembali seperti sebelum aku kehilangan seluruh ingatanku." Ucap pemuda tampan itu.

Di tempat yang berbeda Om Fariz dan Om Wisnu terus menatap layar laptopnya. Server perusahaan Pratama Wijaya dan perusahaan Pratama Wijaya Putra benar-benar diserang, bahkan masih saja eror.

Sementara di balik itu semua, tanpa mereka tahu saat ini perusahaan Pratama Wijaya putra sudah berhasil pindah tangan menjadi milik Qiana. Sementara perusahaan Pratama Wijaya sedang berada dalam masalah besar.

"Vino, kurang ajar! Sekarang dia sudah berkuasa di rumah keluarga Pratama Wijaya, tapi dia terlena dengan semua fasilitas dan kemewahan di rumah itu. Dia melupakan semua tugasnya!" ucap Om Wisnu geram.

"Tidak hanya itu! Dia semakin mempersulit langkah kita untuk merebut semua harta dan kekuasaan milik keluarga Pratama Wijaya! Dasar bodoh!" gerutu Om Wisnu.

"Abang lakukan sesuatu kalau begitu! Kerahkan semua kemampuan yang Abang miliki! Lawan mereka dan serang sekalian!" Om Fariz mulai mengompori Om Wisnu.

"Aku sudah berusaha menguasai server mereka, tapi sepertinya mereka menyerang balik server kita. Ilmu mereka sama dengan Alvan, siapa mereka?" ucap Om Wisnu.

"Sepertinya mereka sahabat Alvan yang memang sudah terlatih di dunia hitam sebelumnya. Mereka begitu pintar meretas semua data milik perusahaan bukan hanya Pratama Wijaya saja, tapi data perusahaan yang lain sudah mereka bocorkan! Keparat!" teriak Om Fariz.

"Kurang ajar! Kenapa rekening atas nama Qiana dan Angela tidak bisa diakses? Lalu kenapa ada notif penarikan di ponselku? Arrrggghhh, siaaalll!!!" teriak Om Wisnu.

Di balik dinding yang menghalangi Om Fariz dan Om Wisnu, Erlangga tersenyum senang mendengar kekalahan kedua adik kandungnya yang tidak bisa menghancurkan perusahaan miliknya dan juga milik sang cucu kesayangan.

"Kamu rasakan itu Wisnu! Fariz! Nikmatilah kehancuranmu saat ini! Saat waktunya tiba semua kebusukan dan kejahatan kalian akan terungkap! Kalian akan hancur! Dan aku pastikan kalian akan mendekam di balik jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan kalian padaku, dan saat itu tiba keberadaanku di sini akan ditemukan oleh keluargaku. Aku yakin itu!" batin Erlangga terkekeh senang mendengar detik-detik kehancuran kedua adik kandungnya.

Di tempat berbeda Pak Samin tengah mengangkut kayu bakar untuk dijual. Saat hendak pulang Pak Samin berpapasan dengan Abah Sambas.

"Samin? Kenapa kamu buru-buru sekali? Sudah tiga hari ini aku melihatmu pergi tanpa menyapaku. Ada apa?" tanya Abah Sambas dalam bahasa sunda.

"Aku sedang terburu-buru, Sambas! Aku…" ucapan Pak Samin terhenti.

"Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan dariku, Samin?" tanya Abah Sambas.

Pak Samin terlihat gugup, namun dirinya berusaha untuk tetap terlihat biasa saja di depan sahabatnya itu. Pak Samin tidak ingin memberitahu Abah Sambas, jika Qiana akan datang menemuinya siang ini atas permintaan pemuda yang berada di rumahnya saat ini.