Chapter 46 - Bab. 46

Fahlevi bergegas pergi ke rumah Oma Inge setelah mendapat telepon dari Papi Billy. Tidak ingin menunda waktu lebih lama lagi, Fahlevi menggunakan motor sportnya menuju rumah Oma Inge.

"Aku takut, Pi!" hanya itu yang mampu Qiana katakan saat melihat keadaan Alvan.

"Apa yang kamu takutkan, Qiana?" tanya Papi Billy.

"Bang Alvan sudah berubah dan melupakan aku! Aku seperti tidak mengenali suamiku sendiri." jawab Qiana.

"Kita akan tahu semua jika Levi sudah menjelaskan nanti pada kita, setelah dia memeriksa keadaan Alvan." Balas Papi Billy.

Lima belas menit menempuh perjalanan, Fahlevi akhirnya sampai di rumah Oma Inge. Tak ingin membuang waktu, Fahlevi segera masuk.

"Levi, kamu sudah datang?" tanya Oma Inge saat melihat Fahlevi di depan pintu.

"Masuklah!" ajak Papi Billy.

"Dimana, Alvan?" tanya Fahlevi mencari keberadaan Alvan sahabatnya.

"Dia ada di dalam ruang kerja, Oma." Papi Billy mengajak Fahlevi masuk ke dalam ruangan Oma Inge.

"Bagaimana ceritanya bisa terjadi seperti ini, Qiana?" tanya Fahlevi.

Qiana lalu menceritakan kembali dari awal sampai akhir apa yang telah menimpa dirinya dan Alvan, tanpa ada yang ditutupi dari semuanya termasuk Oma Inge.

"Ya Tuhan! Jahat sekali Vino dan Fariz! Oma tidak menyangka obsesi mereka yang besar terhadap harta dan perusahaan Opa membuat mereka berbuat nekad, hendak mencelakai Alvan dan Qiana." Mata Oma Inge berkaca-kaca.

"Lalu bagaimana dengan Alvan sekarang, Lev? Apa kita perlu membawa Alvan ke rumah sakit?" tanya Papi Billy.

"Kita tunggu sampai Alvan bangun, Pi! Tapi kalau mendengar cerita dari Qiana, aku merasa aneh dengan kondisi Alvan!" celetuk Fahlevi membuat semua mata tertuju kepadanya.

"Maksud kamu?" tanya Papi Billy penasaran.

"Kalau memang Alvan dipukul pada leher dan kepala bagian belakang, harusnya ada luka atau memar bahkan bisa saja bengkak. Tapi, aku tidak melihat semua tanda itu pada Alvan!" ucap Fahlevi membuat semua terkejut tidak terkecuali Qiana.

"Tidak mungkin! Aku melihat dengan mata kepala aku sendiri bagaimana mereka memukul bahkan menyiksa Bang Alvan di depan mataku. Tapi memang agak aneh sih saat aku dan Bang Alvan dikembalikan oleh Vino dan Om Fariz ke mobil Bang Alvan malam itu." Tutur Qiana.

"Apa mungkin dia bukan, Bang Alvan?" ucap Qiana kemudian.

"Maksud kamu, dia… Vino?" tanya Fahlevi spontan membuat Qiana mengangguk pelan.

"Gak mungkin!" tangis Oma Inge pecah.

"Oma! Itu hanya pendapat Qiana saja! Oma tenang yah!" Zoya menenangkan Oma Inge.

"Jika dia adalah Vino, lalu dimana Alvan sekarang? Apa ini rencana Vino dan Fariz sebenarnya? Menukar Alvan dengan Vino, agar Oma memberikan semua hak Alvan kepada Vino? Dengan begitu semua harta Opa bisa jatuh ke tangan Vino sepenuhnya, sementara perusahaan Opa jatuh ke tangan Fariz?" ucap Oma Inge membuat semua jadi berpikir hal yang sama.

Hampir tiga jam lamanya Fahlevi berada di rumah Oma Inge berdiskusi dengan Qiana dan keluarga Oma Inge, saat ini Alvan yang masih belum diketahui identitas yang sesungguhnya sudah mulai sadar.

"Hoaaammm… emmmpppttt…" Alvan mengucek kedua matanya lalu mengejap.

"Kamu sudah bangun?" tanya Papi Billy datar.

"Eh? Kenapa Papi menatapku seperti itu?" tanya Alvan.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Oma Inge sinis.

"Oma, kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja aku ini Alvan, cucu kesayangan Oma! Kenapa memangnya, Oma?" tanya Alvan dengan wajah serius.

"Apa kamu tidak sedang membohongi kami?" tanya Qiana meyakinkan.

"Membohongi apa maksud kamu, Qiana?" tanya Alvan.

Deg…!

Jantung Qiana tiba-tiba berdebar dengan kencang saat Alvan menyebut nama Qiana, tidak lagi menggunakan embel-embel kata 'sayang' membuat pikiran Qiana semakin kacau.

"Apa kamu ingat kejadian di Bandung, Al?" tanya Oma Inge.

"Kejadian di Bandung mana, Oma? Banyak sekali kejadian di Bandung yang aku lewati." Jawab Alvan enteng.

"Atau begini saja, siapa nama kamu sebenarnya?" tanya Zoya.

"Kamu apa-apaan sih, Zo? Jelas aku ini Alvan, Abang kamu satu-satunya di dunia ini. Alvan Pratama Putra Wijaya." Jawab Alvan.

"Kalau ini memang benar Abang, dimana, kapan dan tanggal berapa Abang dilahirkan?" tanya Zoya kemudian.

"Ck… kamu mau ngetes Abang? Masa Abang lupa dengan semua itu! Abang lahir di Jakarta, 28 tahun yang lalu tepatnya 9 Agustus 1992, zodiac Abang leo. Abang terlahir dari Rahim seorang Mami bernama Mayang Adisty, walau hingga saat ini Abang belum pernah bertemu sekali pun dengan dia!" tiba-tiba mata Alvan berkaca-kaca penuh dendam.

"Kamu tahu semuanya? Itu artinya kamu memang benar Alvan! Lalu kenapa kamu berubah secara tiba-tiba? Apa yang membuatmu seperti ini, Al?" tanya Papi Billy.

Qiana bisa melihat saat ini Alvan menangis walau dia berusaha menyembunyikan tangis dan tatapan penuh dendam itu, yang entah ditujukan kepada siapa. Yang Qiana tahu saat ini keraguannya pada sosok Alvan tidak beralasan.

"Entahlah, Pi! Aku tidak ingat semuanya!" kilah Alvan.

"Apa karena pukulan di kepalamu?" tanya Fahlevi.

"Bisa jadi!" jawab Alvan.

"Lalu jika memang kamu mengalami pemukulan di bagian leher dan kepala belakang, kenapa luka atau memar di sana tidak ada sama sekali?" pertanyaan Fahlevi membuat yang lain jadi kembali meragukan Alvan.

"Lu apa-apaan sih, Lev? Bukannya bantuin gue ngeyakinin keluarga gue! Lu malah mojokin gue!" sela Alvan tidak terima.

"Bukan gitu, Al! kalau memang lu mengalami siksaan dari Vino dan Om Fariz, seharusnya luka lu segera diobati. Lu juga pasti terluka saat ini." ujar Fahlevi.

"Apa luka bekas cambuk di punggung Abang sudah tidak sakit lagi?" tanya Qiana seperti terdengar mengintimidasi.

Semua yang mendengar tertuju kepada punggung Alvan. Mereka dibuat penasaran dengan ucapan Qiana, dan mereka ingin membuktikan ucapan Qiana.

Bandung, Oktober 2020…

Sementara di tempat yang berbeda saat ini Om Wisnu dan Om Fariz berhasil meringkus seorang laki-laki tawanan mereka yang berusaha kabur. Laki-laki itu sudah banyak mengalami siksaan bahkan Om Wisnu dan Om Fariz hendak membuangnya ke sungai yang airnya mengalir deras.

"Sepertinya anak ini sudah mati! Buang saja dia ke sungai sekarang!" perintah Om Wisnu kepada anak buahnya.

"Ikat tangan dan kakinya sebelum dilempar ke sungai!" perintah Om Fariz.

"Baik, Bos!" jawab salah satu anak buah mereka.

Seorang laki-laki di balik dinding ruangan itu menangis perih mendengar segala percakapan kedua adik kandungnya sendiri, siapa lagi kalau bukan Erlangga Pratama Wijaya.

Laki-laki paruh baya itu tak kuasa menahan tangis, saat mendengar jerit kesakitan dari laki-laki yang menjadi tawanan Om Wisnu dan Om Fariz.

"Hentikan, Wisnu, Fariz!" teriak Opa Erlangga di balik dinding yang memisahkan mereka.

"Tua Bangka sialan! Berisik! Apa perlu aku sumpal mulutmu sekalian, hah?" teriak Om Wisnu dengan emosi.

Tanpa Opa Erlangga tahu, tawanan yang disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi oleh Om Wisnu dan Om Fariz adalah orang yang dia kenal sebelumnya.

Sementara tawanan itu sendiri merasa penasaran dengan orang yang selalu berteriak minta berhenti saat dirinya dianiaya oleh anak buah Om Wisnu dan Om Fariz atas perintah mereka berdua. Yang tak lain adalah Opa Erlangga yang tentu dia juga mengenalnya.

"Dia sudah menderita dan tidak bernyawa! Sekarang buang dia ke sungai! Ingat sebelumnya kalian lepaskan ikatannya, agar tidak ada yang curiga dengan sosok mayat yang hanyut di sungai." Perintah Om Wisnu kepada anak buahnya.

Anak buah Om Wisnu segera membawa tawanannya menuju ke sungai. Mereka melemparkan tubuh tawanan itu hingga berguling ke dasar sungai.

Jakarta, Oktober 2020…

"Kalian bisa lihat ini!" Alvan membuka kaos yang dia kenakan saat ini.

Qiana melihat bekas luka cambuk di punggung Alvan, namun sesaat kemudian Qiana merasa ada yang janggal dengan luka itu.

Tidak ingin membuat keluarga Alvan kecewa, Qiana hanya menghela nafas untuk menutupi kekecewaannya terhadap sosok Alvan yang sedang berada di hadapannya saat ini.

"Aku tidak yakin kalau ini adalah Bang Alvan, suamiku!" batin Qiana merintih pedih.

"Qiana, kamu kenapa?" bisik Tante Erlin.

"Aku tidak apa-apa, Tante! Aku hanya butuh istirahat saja." Jawab Qiana.

Setelah meyakinkan jika Alvan benar-benar hilang ingatan akibat pemukulan saat penculikan itu, Fahlevi segera pamit pulang. Begitu juga dengan Papi Billy, Tante Erlin, dan Zoya.

Tinggallah Qiana, Oma Inge dan Alvan. Saat ini Oma Inge sudah kembali ke dalam kamarnya, sementara Qiana termenung di balkon lantai dua di dekat kamarnya.

"Apa aku harus berkata jujur pada Dokter Levi? Kalau aku curiga dengan luka bekas cambuk di punggung Bang Alvan adalah palsu? Sebab aku tahu betul luka cambuk itu banyak dan membuat punggung Bang Alvan membengkak. Tidak seperti yang aku lihat barusan!" gumam Qiana.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Alvan mengejutkan Qiana.

"Abang?" Qiana terlihat gugup.

"Sudah malam! Tidurlah!" ucap Alvan datar.

Qiana hanya menganggukkan kepalanya pelan lalu mengekor di belakang Alvan menuju kamar Alvan.

Saat Qiana sudah berada di kamar Alvan, segera saja Alvan mengunci pintu kamarnya dan mendekati Qiana.

Jantung Qiana berdebar dengan sangat kencang saat Alvan mencengkram rahang Qiana dengan kuat, kali ini Qiana merasa takut saat Alvan mendekatkan wajahnya pada Qiana.

"Abang mau apa?" tanya Qiana lirih.

"Memangnya aku mau apa sama kamu? Bukankah kita sudah menikah, yah? Tentu saja aku akan menciummu lalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pasangan suami istri, bukan?" tanya Alvan dengan nafas memburu.

Wajah Alvan semakin mendekat membuat Qiana semakin takut. Alvan tersenyum dengan smirk di wajahnya melihat ketakutan di wajah Qiana.

Qiana memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa takut, walau sebenarnya Qiana tahu jika Alvan adalah suaminya namun Qiana tetap saja merasa kalau laki-laki yang saat ini berada di hadapannya adalah orang asing baginya.

"Kamu takut, Qiana?" Alvan menghempas wajah Qiana dengan melepas rahang Qiana dari cengkramannnya membuat wajah Qiana terdorong ke samping dengan keras.

Alvan saat ini benar-benar mempermainkan perasaan Qiana. Hingga membuat hati Qiana terasa sakit atas perbuatan Alvan.

"Jangan harap aku aakn menciummu, Qiana! Bahkan aku tidak sudi menyentuhmu, Qiana!" bentak Alvan membuat Qiana menangis.

Tring…

Tring…

Tring…

Ponsel Alvan berbunyi, seketika Alvan meraih ponselnya setelah membanting tubuh Qiana ke atas kasur.

"Ada apa?" tanya Alvan saat menerima panggilan telepon dari Rayya.

"Kita bisa bertemu, Al?" Rayya balik bertanya.

"Dimana?" balas Alvan.

"Aku kirim lokasinya." Ucap Rayya.

"Oke! Aku segera datang!" jawab Alvan.

Alvan dan Rayya sama-sama mengahkiri sambungan teleponnya. Alvan bergegas mandi lalu bersiap untuk pergi menemui Rayya di sebuah café.

"Abang mau kemana?" tanya Qiana ragu.

"Apa pedulimu, hah?" Alvan mencengkram rahang Qiana dengan kuat dan menghempaskannya kasar.

"Abang, suamiku jelas aku peduli pada Abang!" jawab Qiana tegas.

"Simpan saja rasa pedulimu itu nanti untuk laki-laki yang sangat kamu cintai, bodoh!" maki Alvan membuat Qiana terkejut.

"Abang…?" Qiana menatap tak percaya dengan perubahan sikap Alvan.

Alvan membuka pintu kamar hendak pergi, namun Qiana menahan Alvan dan memeluknya erat.

"Apa-apaan kamu? Lepas!" Alvan menghempas tangan Qiana yang memeluknya dari belakang.

"Abang! Jangan pergi, Bang!" pinta Qiana.

"Kenapa? Apa kamu ingin tidur denganku malam ini, Qiana? Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah sudi menyentuhmu, perempuan jalang!" Alvan memaki Qiana dengan kata-kata yang membuat hati Qiana terasa sakit.

Qiana hanya terpaku dalam diam melihat kepergian Alvan hingga punggung laki-laki itu menghilang dari pandangannya.

Alvan menemui Rayya di sebuah café. Dengan tampak sumringah Alvan mendekati Rayya dengan memeluk dan mencium Rayya, membuat Rayya terkejut.

"Al, kamu tidak sedang sakit kan?" tanya Rayya.

"Kenapa memang kalau aku sedang sakit, hem?" Alvan mencolek hidung Rayya dengan gemas membuat Rayya tersanjung.

"Al, aku tidak sedang bermimpi kali ini kan?" tanya Rayya semakin penasaran.

"Tidak, sayang!" jawab Alvan tersenyum manis.

"Apa Alvan mau kembali kepadaku seperti dulu? Mungkinkah Alvan tidak bahagia dengan pernikahannya bersama Qiana? Hingga dia datang dan mencariku?" batin Rayya berbunga-bunga.

Alvan meraih tangan Rayya lalu mengecupnya berulang kali, hingga membuat Rayya jatuh cinta kembali berlipat-lipat pada Alvan.

"Al, apa kamu tidak bahagia dengan istrimu?" tanya Rayya.

"Jangan katakan itu! Aku tidak suka! Aku hanya mencintai kamu seorang, Rayya! Sampai kapan pun aku hanya mencintai kamu seorang, bukan orang lain! ingat itu!" ucap Alvan tegas.

"Baiklah! Aku percaya padamu!" Rayya bergelayut manja di lengan kekar Alvan membuat laki-laki itu berulang kali mengendus rambutnya yang wangi.

Alvan dan Rayya menghabiskan waktu berdua di café. Setelah selesai makan dan minum, Alvan mengajak Rayya ke sebuah hotel, tentu saja Rayya tidak menolak ajakan Alvan. Sebab memang itulah yang Rayya harapkan dari Alvan selama ini.

"Apa Oma tidak akan marah sama kamu, Al?" tanya Rayya.

"Biarkan saja! Itu urusan Oma, bukan urusanku!" jawab Alvan enteng.

"Eh? Alvan kenapa? Dia benar-benar sudah berubah! Apa dia amnesia? Tidak apalah! Asalkan Alvan kembali padaku, aku tidak peduli kalau Alvan memang amnesia. Yang pasti aku harus secepatnya memiliki anak dari Alvan, jadi saat Alvan kembali ingat semuanya dia tidak akan menolak aku lagi karena aku akan menjadi ibu dari anaknya." Batin Rayya girang.

Bandung, Oktober 2020…

Di sebuah sungai, seorang laki-laki paruh baya dikejutkan dengan temuan seorang yang berada di tepi sungai dengan luka dan memar di wajah serta sekujur tubuhnya.

Laki-laki paruh baya itu memeriksa orang yang berada di tepi sungai. Saat dia tahu jika orang itu masih hidup, laki-laki paruh baya itu membawa laki-laki muda ke rumahnya.

"Kasihan sekali nasibmu, anak muda! Apa kamu terseret arus sungai? Atau ada seseorang yang berbuat jahat padamu, lalu membuangmu ke sungai?" tanya laki-laki paruh baya dengan suara lirih.

Hampir dua jam laki-laki paruh baya yang bernama Pak Samin itu mengobati luka pemuda tampan yang sudah diselamatkannya, akhirnya pemuda yang wajahnya penuh lebam itu sadar.

"Hauuusss… air… minum…" kata itu terucap untuk pertama kalinya.

"Kamu sudah sadar, nak?" tanya Pak Samin dengan terbata, pasalnya Pak Samin kurang mahir berbahasa Indonesia yang baik.

Pak Samin membantu pemuda itu duduk, lalu memberinya minum. Pak Samin menatap pemuda itu lekat, dia seperti mengenal pemuda itu namun lupa dimana pernah bertemu dengannya.

"Siapa namamu, nak?" tanya Pak Samin.

"A… aku… aku…?" pemuda itu terdiam.

Pemuda itu berusaha mengingat sesuatu, namun tiba-tiba memegang kepalanya yang terasa sakit. Sesaat kemudian pemuda itu tidak bereaksi sama sekali dengan tatapan kosong.

"Apa kamu ingat sesuatu?" tanya Pak Samin.

"Aku tidak ingat apa pun! Aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya? Siapa aku?" tangis pemuda itu tiba-tiba.