Chapter 47 - Bab. 47

Pak Samin menatap bingung pada pemuda berwajah tampan, yang kini sudah banyak luka memar di wajahnya. Bahkan hampir seluruh tubuhnya terdapat banyak luka, entah luka apa yang pasti Pak Samin hanya tahu kalau pemuda tampan ini ditemukan hanyut di sungai.

"Apa kamu benar-benar tidak ingat sesuatu sama sekali, anak muda?" tanya Pak Samin.

"Tidak!" jawab pemuda itu.

"Baiklah! Sekarang kamu istirahat saja, biar Bapak menemui Pak RT dulu untuk melapor…" belum selesai Pak Samin berkata, pemuda itu menarik tangan Pak Samin.

"Jangan, Pak!" tolak pemuda itu.

"Kenapa? Bapak memikirkan keluargamu, anak muda! Mungkin saat ini mereka sedang mencarimu, kasihan mereka jika mengira bahwa dirimu sudah tiada atau bahkan…" Pak Samin tidak melanjutkan ucapannya.

"Aku tidak ingat apa pun! Aku tidak tahu kejadian buruk apa yang sudah menimpaku saat ini. Tapi aku mohon, Bapak jangan memberitahu siapa pun mengenai keberadaan aku di sini. Sampai aku benar-benar mengingat semuanya dan aku siap menghadapi kenyataan ini." pinta pemuda tampan itu kemudian.

"Baiklah! Bapak akan melakukan apa pun yang kamu minta. Tapi, sekarang Bapak harus pergi untuk mencari kayu bakar ke hutan agar Bapak bisa mendapat uang untuk kita makan." ucap Pak Samin.

Pak Samin memutuskan untuk pergi mencari kayu bakar ke hutan, sementara pemuda itu duduk termangu di atas dipan di dalam rumah kecil milik Pak Samin.

"Apa Bapak itu bisa dipercaya? Saat ini aku tidak ingat apa pun! Jadi, sebaiknya aku bersembunyi saja dulu di sini." Gumam pemuda tampan itu.

Pemuda tampan bertubuh kekar layaknya seorang atletis itu kembali merebahkan tubuhnya di atas dipan beralaskan kasur tipis nan keras. Matanya terpejam, sesaat pemuda itu pergi kea lam mimpi.

Jakarta, Oktober 2020…

Di tempat lain, Qiana tengah menanti kedatangan Alvan yang semalam tidak pulang. Qiana turun untuk sarapan bersama Oma Inge.

"Qiana, kamu sendiri? Mana, Alvan?" tanya Oma Inge.

"Bang Alvan pergi sejak semalam, Oma." jawab Qiana.

"Kemana?" tanya Oma Inge mengerutkan dahinya.

"Aku tidak tahu! Bang Alvan, tidak mengatakan apa pun saat pergi." Jawab Qiana apa adanya.

"Aneh! Kalian masih pengantin baru tapi kenapa Alvan bersikap seperti itu?" gumam Oma Inge membuat Qiana tak enak hati.

"Maafkan aku, Oma! Mungkin ini semua salahku!" ucap Qiana tertunduk.

Qiana tidak melanjutkan sarapannya, dia bergegas pergi ke kantor bersama Oma Inge. Di dalam mobil Qiana dan Oma Inge tidak banyak bicara, semua terasa kaku setelah Qiana benar-benar menjadi bagian dalam keluarga Pratama Wijaya.

Tring…

Ponsel Qiana berbunyi, keningnya berkerut saat notif pesan masuk ke dalam ponselnya. Qiana membuka pesan dari nomor tak dikenal, sebab memang tidak ada di dalam daftar kontaknya.

Deg!

Jantung Qiana terasa lepas dari tempatnya. Sakit yang Qiana rasakan saat ini, begitu foto kiriman dari orang tak dikenal menampilkan sosok Alvan.

"Ya Tuhan!" gumam Qiana lirih seraya memejamkan matanya.

"Kamu kenapa, Qi?" tanya Oma Inge mulai buka suara.

"Tidak apa-apa, Oma!" Qiana mencoba menahan genangan air mata yang sudah memaksa untuk jatuh ke pipinya jika saja dia berkedip saat ini.

"Yakin tidak ada apa-apa?" tanya Oma Inge penuh curiga.

"Iya, Oma!" jawab Qiana.

"Kalau ada masalah dengan Alvan, jangan tutupi apa pun itu dari Oma! Oma tidak ingin kamu sedih dan sakit hati, karena cucu kesayangan Oma." ucap Oma Inge.

"Baik, Oma." jawab Qiana.

Dua puluh menit kemudian mobil yang membawa Oma Inge dan Qiana sudah sampai di halaman kantor. Qiana dan Oma Inge turun dari mobil dan berjalan beringinan.

"Itu kan, Qiana?" ucap Rayn.

"Ada apa?" tanya Evan, Gherry, dan Fahlevi di balik sambungan video callnya.

"Lihat itu!" Rayn mengganti kamera depan dengan kamera belakang.

"Qiana?" Evan dan Gherry terkejut melihat Qiana berada di kantor Oma Inge.

"Ya! Gue rasa ada yang gak beres sama Alvan dan Qiana! Kenapa Alvan gak ngabarin kita kalau dia udah balik dari Bandung. Kenapa juga dia balik cepat dari Bandung? Bukannya dia mau liburan dua minggu di Bandung yah?" oceh Rayn membuat Evan dan Gherry memutar bola mata dengan malas.

"Lev, lu tahu sesuatu?" tanya Evan tiba-tiba karena sahabatnya yang satu itu terlihat diam seolah menyembunyikan sesuatu dari mereka.

"Sorry, Bray! Gue gak bermaksud menyembunyikan semua ini dari kalian! Gue cuma butuh waktu dan bukti buat ngomong sama kalian." Jawab Fahlevi merasa bersalah.

"Ada apa?" tanya Evan, Gherry, dan Rayn serempak.

"Kita bicara nanti di markas! Lu berdua tetap awasi Alvan di kantor! Kalau ada sesuatu yang janggal hubungi gue!" balas Fahlevi.

"Oke!" jawab Evan dan Gherry nyaris bersamaan.

Rayn, Fahlevi, Gherry, dan Evan sama-sama mengakhiri panggilan video call mereka. Fahlevi kembali bertugas sebagai seorang Dokter, sementara Evan, Gherry, dan Rayn bertugas sesuai tugas mereka masing-masing di perusahaan Alvan dan Oma Inge.

"Sayang! Jam berapa ini?" tanya Alvan dengan mata masih terpejam.

"Sudah jam sepuluh, kenapa?" jawab Rayya masih bersembunyi di dalam selimut tebal di dalam kamar hotel bersama Alvan.

"Aku harus ke kantor! Aku harus memastikan agar Oma segera memberikan surat kuasa itu sama aku, sebagai satu-satunya pewaris tahta keluarga Pratama Wijaya." Alvan bangkit dan memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai.

"Aku ikut!" rengek Rayya dengan manja.

"Ayo!" Alvan tidak menolak keinginan Rayya kali ini.

Alvan dan Rayya sama-sama bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa peluh dan keringat semalam. Mereka bercinta hingga lupa waktu, hingga bangun terlambat.

Tring…

Ponsel Fahlevi, Gherry, dan Evan berbunyi di tempat masing-masing mereka berada saat ini. Rayn mengirimkan pesan bergambar pada ketiga sahabatnya itu, yang membuat mata ketiga terbelalak.

"Ada apa dengan, Alvan? Kenapa dia kembali dengan Rayya setelah menikahi Qiana?" chat Evan geram.

"Gue juga gak tahu!" chat Rayn.

"Itu yang ingin gue katakan pada kalian saat kita di markas nanti, gue ingin bahas masalah Alvan dan Qiana." chat Fahlevi.

"Alvan kesurupan apa dia?" chat Gherry.

"Kesurupan Mbah Jambrong kali!" chat Rayn yang mendapat putaran bola mata dengan malas dari ketiga sahabatnya.

"Kasihan, Qiana!" chat Evan.

"Kalian belum tahu kabar yang lain! Kalau kalian tahu, pasti kalian akan jauh lebih kecewa dan marah kepada Alvan saat ini. Gue gak habis pikir dengan sikap Alvan! Gue beneran kecewa sama dia!" chat Fahlevi yang membuat ketiga sahabatnya jadi penasaran.

"Ya udah! Balik kerja kita ke markas!" chat Evan.

"Oke!" chat Fahlevi, Rayn, dan Gherry sama-sama mengakhiri percakapan mereka.

Qiana duduk termenung di depan layar laptop, dirinya tidak focus bekerja. Qiana masih memikirkan tentang perubahan sikap Alvan yang drastis.

"Aku harus memastikan kali ini rencana Om Fariz dan Vino tidak akan berhasil untuk menghancurkan keluarga Oma dan Bang Alvan! Aku pastikan itu!" ucap Qiana geram.

Qiana mengirimkan pesan kepada Fahlevi. Qiana mengajak bertemu dengan Fahlevi disuatu tempat.

"Bisa kita ketemu hari ini, Dokter?" chat Qiana.

"Dimana?" chat Fahlevi.

"Jam makan siang di café! Aku kirim lokasinya." Chat Qiana lalu mengirim lokasinya kepada Fahlevi.

"Oke!" chat Fahlevi.

Saat Qiana hendak menyimpan ponselnya di atas meja. Pintu ruangan terbuka, sosok Alvan muncul di balik pintu. Dengan wajah sumringah Qiana menyambut Alvan.

"Abang…?" Qiana tersenyum bahagia seraya mendekat.

"Gak usah tebar pesona! Aku tidak tertarik sama sekali!" ucap Alvan ketus.

Senyum Qiana seketika lenyap bukan lantaran ucapan Alvan yang menyakiti hatinya, namun kehadiran sosok wanita lain yang bergelayut manja di lengan kekar Alvan yang tak lain adalah Rayya, mantan kekasih Alvan di masa lalu.

"Hai!" sapa Rayya membuat hati Qiana pedih.

"Apa-apaan ini, Bang?" tanya Qiana dengan bibir bergetar menahan marah.

"Aku hanya ingin memberitahu kamu saja. Mundur atau tetap bertahan denganku, walau tanpa cinta? Aku akan memilih Rayya, karena aku tidak mencintaimu!" ucap Alvan penuh penekanan.

Sesak yang Qiana rasakan saat ini. Qiana harus memilih untuk tetap bertahan demi menyelamatkan keluarga Pratama Wijaya yang sudah banyak berbuat baik kepadanya. Dengan menahan sedikit rasa sakit di hatinya akibat sikap Alvan yang berubah secara tiba-tiba.

Bandung, Oktober 2020…

Pak Samin menyiapkan makan siang untuk dirinya dan pemuda tampan tanpa nama. Pak Samin membantu pemuda tanpa nama itu bangun dan duduk.

"Kondisimu parah, apa kamu tidak ingin berobat ke rumah sakit?' tanya Pak Samin dengan mulut penuh makanan.

"Tidak, Pak! Selain aku tidak ingin merepotkan Bapak, aku juga tidak ingin bertemu siapa pun saat ini. Aku hanya khawatir kalau kejadian yang menimpaku ini adalah akibat ulah penjahat yang masih mengincar aku, atau mungkin di masa lalu aku pernah bersalah pada orang itu dan menyinggungnya. Sehingga dia membuatku seperti ini." ucap pemuda tanpa nama itu.

"Baiklah! Bapak tidak akan memaksamu sampai kamu benar-benar mau keluar dari persembunyianmu. Bapak hanya tidak ingin membuat keluargamu khawatir karena mencarimu, Bapak akan sangat merasa bersalah kalau tidak mengatakan tentang keberadaanmu pada keluargamu." Ucap Pak Samin.

"Tidak, Pak! Di sini Bapak tidak bersalah, justru aku malu karena Bapak sudah menolongku. Apa Bapak merasa terganggu dan terbebani dengan keadaan aku di sini?" tanya pemuda tanpa nama.

"Tentu saja tidak sama sekali! Bapak justru senang kamu ada di sini, karena Bapak jadi punya teman." Pak Samin tertawa lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang sudah mulai sedikit menguning karena termakan usia.

"Bapak tinggal di sini sendiri?" tanya pemuda tanpa nama.

"Iya! Bapak di sini hanya tinggal sendiri." jawab Pak Samin dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah.

"Keluarga Bapak dimana?" tanya pemuda tanpa nama.

"Istri Bapak pergi dengan laki-laki lain saat masih mengandung anak kami. Entah berada dimana dia dan anak kami saat ini. Bahkan Bapak tidak tahu anak itu laki-laki atau perempuan, masih ada atau sudah mati!" jawab Pak Samin.

"Maaf!" ucap pemuda tanpa nama.

"Tidak apa-apa." Jawab Pak Samin datar.

"Kenapa Bapak tidak menikah lagi?" tanya pemuda tanpa nama.

"Bapak tidak ingin menyesal saat nanti bertemu kembali dengan anak dan istri, jika suatu hari nanti mereka mau kembali pada Bapak." Ucap Pak Samin jujur.

"Setia sekali Bapak ini!" celetuk pemuda itu.

Pemuda tampan nan kekar itu sesaat memindai sekeliling, matanya tertuju pada sebuah bingkai foto yang ada di kamar Pak Samin yang terbuat dari bambu.

"Itu foto siapa, Pak?" tanya pemuda itu.

"Oh! Itu foto Bapak sama sahabat Bapak dan keluarganya. Foto itu diambil beberapa hari yang lalu, saat sahabat Bapak menikahkan putri kedua mereka dengan pemuda tampan yang kaua raya. Bahkan pesta pernikahannya digelar sangat meriah, mas kawinnya bikin ngiri orang lain sampai ada yang kejer dengernya." Ucap Pak Samin terkekeh.

"Boleh aku lihat fotonya, Pak?" pinta pemuda tampan itu.

Pak Samin beranjak dari tempat duduknya dan meraih foto yang tertempel di dinding. Pak Samin memberikan foto itu kepada pemuda tanpa nama.

"Ini keluarga Sambas, sahabat Bapak. Dan ini keluarga dari besannya Sambas. Pengantin laki-laki Bapak lupa namanya, kalau penganti perempuan dia anak kedua Sambas dan Kinanti namanya Qiana, ini anak tertuanya Qorie." Terang Pak Samin.

"Qi… Qiana…? Qiana, kenapa nama itu tidak asing buat aku? Siapa Qiana? Dimana dia sekarang? Apa aku bisa bertemu dengannya, Pak?" tanya pemuda itu.

"Kalau tidak salah Qiana sejak dulu setelah lulus sekolah tinggal di Jakarta, karena dia mendapat beasiswa kuliah dan bekerja di Jakarta." jawab Pak Samin jujur.

"Di Jakarta? Memangnya saat ini kita tinggal dimana, Pak? Aku benar-benar tidak ingat apa pun!" ucap pemuda itu mencoba mengingat sesuatu.

"Kita tinggal di Bandung saat ini. Bapak menemukanmu terhanyut di sungai kemarin malam." Ucap Pak Samin membuat pemuda itu tertegun.

"Pak, bisakah aku minta tolong?" tanya pemuda itu ragu.

"Apa?" jawab Pak Samin.

"Aku ingin bertemu Qiana, aku seperti sudah mengenal nama itu sejak lama. Dan hanya nama itu yang terdengar tidak asing diingatanku. Tapi, aku minta jangan sampai keluarganya yang lain tahu tentang aku. Apa bisa, Pak?" tanya pemuda itu.

"Akan Bapak usahakan!" jawab Pak Samin.

Jakarta, Oktober 2020…

Saat ini Qiana tengah makan siang di café bersama Fahlevi dan Rayn. Melihat mata Qiana merah dan sembab, Fahlevi tahu jika itu karena Alvan.

"Apa Alvan menyakitimu lagi, Qiana?" tanya Fahlevi.

"Apa…? Alvan menyakitimu?" Rayn menatap Qiana lekat.

"Bang Alvan membawa Rayya ke kantor." Jawab Qiana.

"Aku yakin bukan hanya membawa Rayya ke kantor! Tapi ada hal lain yang membuatmu menangis, benarkan? Katakan padaku!" bentak Rayn tak terima melihat Qiana disakiti Alvan.

Qiana mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya tertunduk lesu. Qiana menatap Rayn dan Fahlevi bergantian, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya luruh juga.

"Ini tidak bisa dibiarkan! Gue harus menghajar Alvan sekarang juga!" ucap Rayn dengan emosi yang tertahan.

"Sabar, Bray! Lu jangan gegabah dulu. Saat ini kita gak tahu bagaimana kondisi Alvan sekarang. Apakah dia benar-benar hilang ingatan atau justru dia sedang bersandiwara untuk mengelabui musuh, agar mereka keluar dari persembunyian mereka selama ini." ucap Fahlevi mengejutkan Qiana.

"Maksud Dokter, apa?" Qiana tidak mengerti.

"Kita bicara nanti saat di markas! Kamu boleh ikut datang ke markas jam pulang kerja nanti, biar Rayn yang membawamu ke sana! Tapi ingat ini rahasia kita! Aku terpaksa melakukan ini untuk membuktikan keraguan kita terhadap Alvan." Ucap Fahlevi membuat Rayn mengangguk.

"Bagaimana dengan Kak Evan dan Kak Gherry, juga Bang Alvan?" tanya Qiana ragu.

"Itu jadi urusanku nanti! Sekarang cepat selesaikan makan siangmu dan kembali ke kantor bersama Rayn! Jangan buat Oma, Papi Billy, dan Alvan salah paham dengan pertemuan kita!" ucap Fahlevi.

"Baiklah!" balas Qiana.

Tring…

Ponsel Qiana berbunyi, ada panggilan masuk dari nomor tidak di kenal. Qiana mengerutkan dahinya saat melihat kode nomor telepon itu.

"Siapa?" tanya Fahlevi.

"Tidak tahu!" jawab Qiana.

"Angkat saja dulu, siapa tahu penting!" saran Rayn.

Dengan ragu Qiana mengangkat telepon dengan kode berasa dari daerah Bandung. Saat ini jantung Qiana berdebar kencang, entah ada berita apa dari Bandung yang akan membuat hidup Qiana berubah setelah ini.