Chapter 45 - Bab. 45

Fahlevi ingin membantu Qiana memeriksa kondisi Alvan, untuk itu dia diam-diam datang ke rumah Oma Inge untuk bertemu Alvan. Malam ini Fahlevi akan bicara dari hati ke hati bersama Alvan.

"Kalau begitu aku beritahu Oma dulu, Dok!" ucap Qiana.

"Jangan beritahu Alvan atau sahabatnya yang lain dulu soal ini. Biarkan aku bicara hanya berdua dengan Alvan, kamu paham?" tanya Fahlevi.

"Aku paham, Dok!" Qiana dan Fahlevi sama-sama mengakhiri panggilan itu.

Qiana segera masuk ke dalam rumah, dan mencari keberadaan Oma Inge. Qiana tidak mendapati Oma Inge di dalam kamarnya, Qiana mencari di tempat lain.

"Neng Qiana sudah pulang?" tanya Bi Narsih mengejutkan Qiana.

"Eh? Iya, Bi. Aku dan Bang Alvan baru saja sampai. Oma dimana, Bi?" Qiana celingak celinguk mencari keberadaan Oma Inge.

"Oma sedang di ruang kerjanya, sejak tadi pagi Oma berada di dalam dan belum juga keluar dari sana." Ucap Bi Narsih.

"Kalau begitu biar aku menemui Oma dulu di ruang kerjanya, Bi!" kata Qiana lagi.

Qiana segera melangkah menuju ruang kerja Oma Inge yang terletak di dekat tangga. Qiana ragu menemui Oma Inge, sebab khawatir Alvan ada di dalam dan menemui Oma Inge terlebih dahulu.

"Al, lepaskan ini sakit!" suara Oma Inge terdengar oleh Qiana di depan pintu ruang kerja Oma Inge.

"Oma…?" Qiana terkejut mendengar suara teriakan Oma Inge.

Dengan keberanian, sekuat tenaga Qiana berusaha masuk ke dalam ruang kerja Oma Inge. Matanya terbelalak saat melihat Alvan tengah mencengkram kuat rahan Oma Inge.

Sementara Oma Inge terlihat kesakitan dan hampir bisa dipastikan sulit untuk bernafas. Qiana yang tidak tega melihat Oma Inge kesakitan segera mendekat dan berusaha menolong Oma Inge.

"Bang…! Lepaskan, Oma! Apa yang Abang lakukan? Abang sudah menyakiti, Oma! Lepaskan Oma, Bang!" Qiana menarik kuat lengan Alvan yang mencengkram rahang Oma Inge.

"Menyingkirlah dariku, bodoh!" teriak Alvan mendorong tubuh Qiana dengan satu tangan yang lain.

Brukkk…

Tubuh Qiana terjatuh sebab Alvan mendorongnya dengan kekuatan tangan penuh. Oma Inge dan Qiana terkejut bukan main, Alvan yang biasanya lembut, sangat menyayangi serta menghormati sang Oma tiba-tiba berubah kasar.

"Al, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu seperti ini?" suara Oma Inge terdengar sesak dan terbata.

"Jangan banyak bicara kecuali segera lakukan apa yang aku mau! Cepat lakukan!" teriak Alvan di depan wajah Oma Inge.

"Bang, kita bisa bicara baik-baik bukan? Sekarang lepaskan dulu, Oma. Biarkan Oma duduk dengan nyaman, setelah itu katakan apa yang ingin Oma lakukan untuk Abang. Abang jangan seperti ini dengan Oma, kasihan Oma!" Qiana perlahan berdiri dan mendekati Alvan kembali.

Air mata membasahi wajah Oma Inge dengan deras. Ini pertama kalinya Qiana melihat air mata wanita paruh baya itu. Setelah hampir 7 tahun Qiana bekerja bersama dengan Oma Inge, ini kali pertama wanita itu terlihat sedih dan rapuh.

"Qiana, kamu tunggu di luar! Biar Oma bicara berdua dengan Alvan." Ucap Oma Inge penuh sesak dengan wajah sudah memerah.

"Tapi, Oma…!" bantah Qiana.

"Tidak, Qiana! Oma tidak apa-apa! Keluarlah!" Oma Inge seperti memberi isyarat kepada Qiana.

"Baik, aku akan keluar tapi jika Bang Alvan mau melepaskan Oma!" ucap Qiana tegas membuat Alvan menoleh.

Perlahan Alvan melepaskan cengkraman tangannya di rahang Oma Inge. Melihat itu Qiana tidak langsung pergi untuk memastikan jika Alvan benar-benar melepaskan Oma Inge.

"Tunggu apa lagi? Keluar!" bentak Alvan membuat Qiana dan Oma Inge tersentak.

"Ada apa dengan cucuku? Kenapa dia tiba-tiba berubah seperti ini?" batin Oma Inge.

"Bang Alvan benar-benar berubah!" batin Qiana yang perlahan mulai mundur dan menjauh.

Qiana keluar dari ruang kerja Oma Inge dengan perasaan cemas. Qiana takut Alvan akan melukai Oma Inge, Qiana tidak punya pilihan lain akhirnya menghubungi Papi Billy.

"Qiana, ada apa?" tanya Papi Billy terdengar bahagia di seberang teleponnya.

"Pi, tolong segera datang ke rumah Oma Sekarang! Aku tidak bisa mengatakan apa pun saat ini!" suara Qiana jelas terdengar cemas oleh Papi Billy.

Tut…

Tut…

Tut…

Qiana sengaja mengakhiri panggilan teleponnya secara sepihak agar tidak didengar Alvan. Qiana tidak ingin terjadi sesuatu di rumah Oma Inge atas perbuatan Alvan. Pikir Qiana, bisa saja Alvan nekad melukai Oma Inge jika keinginannya tidak dipenuhi.

"Eh? Ada apa dengan Qiana? Kenapa dia terdengar cemas seperti itu?" gumam Papi Billy.

"Ada apa, Pi?" tanya Tante Erlin.

"Qiana! Dia telepon Papi dan minta Papi datang ke rumah Mami sekarang. Tapi Qiana tidak mengatakan apa pun pada Papi. Ini aneh!" jawab Papi Billy.

"Qiana bukan orang yang suka bermain teka teki dan rahasia. Kita pergi ke rumah Oma sekarang, Pi! Aku yakin Qiana ingin memberitahu sesuatu sama Papi, tapi dirinya atau mungkin seseorang sedang terancam saat ini!" Zoya yang mendengarkan akhirnya buka suara.

"Kamu benar, Zo! Sepertinya Qiana berada dalam situasi sulit saat ini!" ucap Tante Erlin yang memang mengenal Qiana.

"Tunggu apa lagi? Ayo kita pergi!" ajak Papi Billy seraya menyambar kunci mobil.

Papi Billy pergi bersama Tante erlin dan Zoya menuju rumah Oma Inge. Dalam perjalanan Papi Billy meminta Zoya untuk menghubungi Oma Inge, namun Oma Inge tidak juga mengangkat panggilannya.

"Oma tidak mengangkat teleponnya, Pi!" Zoya mulai cemas dengan Oma Inge.

"Tidak biasanya Mami seperti ini!" gumam Tante Erlin.

"Bersiaplah!" Papi Billy menancap gas mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

Beruntung hari ini libur nasional karena kalender berwarna merah, jalan ibukota terlihat lengang sehingga Papi Billy bisa membawa mobil dengan kecepatan penuh.

Lima menit kemudian mobil yang Papi Billy kemudikan sudah sampai di depan rumah Oma Inge. Papi Billy melihat Qiana berdiri di depan pagar hitam yang tinggi tubuh Qiana.

"Itu, Qiana!" tunjuk Zoya.

"Sepertinya Qiana ingin kita turun di sini, Pi!" ucap Tante Erlin.

"Sepertinya begitu." Balas Papi Billy.

Papi Billy segera menepikan mobilnya di pinggir jalan. Setelah mobil terparkir Papi Billy, Zoya, dan Tante Erlin turun dari mobil dan menghampiri Qiana.

"Apa Oma masih berada di dalam kantornya bersama, Alvan?" tanya Papi Billy.

"Iya, Pi!" ucap Qiana terlihat cemas.

Papi Billy tidak ingin menunda lagi, dia langsung saja lari ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi di dalam ruang kerja Oma Inge, seperti yang Qiana sampaikan.

"Cepat lakukan, Oma!" teriak Alvan terdengar lantang di luar ruangan membuat Papi Billy tertegun.

"Alvan? Kenapa dia berani membentak Mami?" Papi Billy membuka pintu dan melihat Alvan bersama Oma Inge.

"Billy?" ucap Oma Inge lirih.

"Ada apa, Al? Kenapa kamu berani membentak Oma seperti itu? Siapa yang sudah mencuci otak kamu, hah?" Papi Billy menarik kerah baju Alvan.

"Slow, Pi!" Alvan tidak berkutik jika Papi Billy sudah turun tangan.

Greppp…

Oma Inge berhambur memeluk erat Papi Billy. Merasa ada yang tidak beres dengan Oma Inge, Papi Billy mengerti jika Alvan sedang tidak baik-baik saja.

Pintu ruangan terbuka, Tante Erlin, Zoya, dan Qiana mendekat. Papi Billy menyeringai di balik punggungnya. Hanya Qiana yang melihat seringai di balik wajah Papi Billy.

"Qiana, tolong buatkan kami minum! Jangan lupa minuman untuk Alvan juga biar dia lebih rileks. Sepertinya dia kelelahan sampai emosional seperti ini." Papi Billy mengerlingkan mata pada Qiana.

"Baik, Pi!" Qiana seolah mengerti apa yang diminta sang Papi mertua.

Qiana berbalik badan dan meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke dapur, membuatkan minum untuk keluarga sang suami.

Saat hendak membuat minum untuk Alvan, sengaja Qiana memisahkan minuman itu dengan yang lainnya.

"Apa perlu Bi Narsih bantu, Neng?" tanya Bi Narsih.

"Tidak perlu, Bi!" balas Qiana.

"Neng, emmm itu… anu… itu… emmm…" ucap Bi Narsih ragu.

"Kenapa, Bi?" tanya Qiana heran.

"Bang Alvan, dia…" Bi Narsih ragu untuk menanyakan pada Qiana.

"Aku paham, Bi! Itulah kenapa aku meminta Papi untuk datang." Jawab Qiana membuat Bi Narsih mengerti.

Qiana pergi dapur membawa minumannya ke ruang kerja Oma Inge sesuai permintaan Papi Billy. Sementara di dapur, Bi Narsih masih memikirkan keadaan Alvan.

"Dua puluh delapan tahun aku merawat Babang Alvan, baru kali ini dia menatapku seperti itu! Siapa dia sebenarnya? Apa Neng Qiana dan Oma Inge tidak menyadari jika itu seperti bukan sosok Babang Alvan?" Bi Narsih bicara pada dirinya sendiri.

Sementara Qiana sudah memberikan minuman itu kepada Papi Billy, Oma Inge, Zoya, Tante Erlin, dan Alvan.

"Minumlah dulu, Al! Biar kamu sedikit tenang. setelah itu ceritakan pada kami ada apa sebenarnya?" ucap Papi Billy setenang mungkin.

Alvan mengambil minumannya yang sudah diberikan oleh Qiana. Namun Alvan tidak sebodoh yang Qiana dan Papi Billy kira.

"Kita sudah menikah, bukan? Kamu juga harus minum denganku! Kamu sendiri tidak menyediakan minum untukmu sendiri, jadi minumlah dengan gelas yang sama denganku. Kamu minum dulu, setelah itu aku akan meminum dari bekas bibirmu!" Alvan menyerahkan gelas itu pada Qiana.

Di seberang meja Papi Billy terlihat tegang. Papi Billy khawatir Qiana meminum air yang sudah dicampur dengan obat tidur itu.

Sebelumnya Papi Billy memang meminta Qiana untuk memberi obat tidur pada minuman Alvan.

Flashback On…

"Ada apa, Qiana? Kenapa kalian pulang dari Bandung secepat ini?" Tante Erlin mengirimkan chat pada Qiana disepanjang perjalanan menuju rumah Oma Inge.

"Saat berada di Bandung, aku dan Bang Alvan sempat mengalami kejadian kurang menyenangkan! Vino dan Om Fariz menculik aku dan Bang Alvan." Qiana menulis panjang lebar dalam chatnya kepada Tante Erlin.

"Lalu bagaimana keadaan Oma sekarang?" Tante Erlin kembali mengirimkan chat kepada Qiana.

"Minta Zoya cek cctv di dalam ruangan Oma, sekarang!" Qiana mengirim kembali chat kepada Tante Erlin.

"Qiana, tolong siapkan obat tidur untuk Alvan! Saat Papi memintamu membuatkan minuman untuk kami, buatkan sendiri minuman khusus untuk Alvan juga. Berikan obat tidur di dalamnya. Jika tidak seperti itu, Alvan bisa melukai Oma dan kita." Chat Tante Erlin kemudian.

"Baik, Tante!" jawab Qiana.

Flashback Off…

Tanpa ragu Qiana mengambil gelas yang berada di tangan Alvan, lalu Qiana meminum air itu hingga tersisa setengah bagiannya untuk Alvan.

Melihat Qiana meminum air minum di dalam gelasnya, Alvan seketika meminum air itu hingga benar-benar tandas.

"Kenapa Qiana melakukan itu?" batin Papi Billy.

"Oma, minumlah!" Zoya mencairkan suasana tegang diantara Qiana dan Papi Billy.

"Zoya cerdas!" batin Qiana.

Qiana berdiri dan keluar dari dalam ruangan dengan diikuti Zoya dan Tante Erlin, semua itu atas permintaan Papi Billy.

Sebenarnya bisa saja Papi Billy membiarkan mereka ikut mendengarkan apa yang akan mereka bicarakan di dalam, tapi Papi Billy khawatir kalau Qiana tidak bisa menahan air minum terlalu lama di dalam mulutnya.

"Cuhhh…" Qiana segera berlari ke wastafel dan membuang air minum yang tertahan di dalam mulutnya.

"Jadi ini yang Papi dan kamu rencanakan, Qiana?" Zoya menatap kagum pada Qiana.

"Ya!" Qiana mengangguk pelan dengan nafas sedikit tersengal.

Tante Erlin mendekati Qiana dan mendekapnya ke dalam pelukannya. Qiana membalas pelukan itu dengan erat. Tante Erlin membelai lembut punggung Qiana.

"Sebentar lagi kita melihat Bang Alvan pasti tertidur pulas." Bisik Zoya dengan senyum kecil.

"Apa kamu baik-baik saja, Qiana?" tanya Tante Erlin.

"Aku sedang tidak baik-baik saja, Mi! Bagaimana mungkin aku baik-baik saja melihat Bang Alvan berubah dengan drastis, hiks…" tangis Qiana akhirnya pecah setelah semalam dia tahan.

"Ini sudah pasti sangat sulit buatmu, Qiana! Kamu yang sabar yah!" Tante Erlin mengusap lembut punggung Qiana untuk memberinya sedikit kekuatan.

"Masih penganten baru udah ada huru hara dalam rumah tangga mereka! Kasihan sekali, Neng Qiana." Batin Bi Narsih.

Saat ini di dalam ruang kerja Oma Inge sedang berlangsung perbincangan serius antara Alvan, Papi Billy, dan Oma Inge.

"Kalian baru saja menikah beberapa hari yang lalu, Al! Oma tidak mungkin mengeluarkan surat wasiat itu secepatnya. Lagi pula perjanjiannya setelah enam bulan kamu menikah, baru Oma akan memberikan seperempat harta Opa. Setelah kalian punya anak barulah…" ucapan Oma Inge terhenti lantaran Alvan memotongnya.

"Oma jangan berharap aku memiliki anak dari Qiana! Aku tidak mencintai Qiana! Bahkan aku akan membuat Qiana meminta cerai dariku terlebih dulu! Aku akan melakukan apa pun agar Qiana mundur! Dan aku, tentu saja aku akan mendapatkan seluruh harta Opa." Alvan tersenyum dengan smirk di wajahnya yang membuat Oma Inge dan Papi Billy menatap heran.

"Ada apa dengan, Alvan?" batin Papi Billy dan Oma Inge berkecamuk.

"Kamu keterlaluan, Al!" tunjuk Papi Billy.

"Kenapa? Papi tidak suka? Kalau begitu Papi coret saja nama Alvan Pratama Putra Wijaya dari kartu keluarga!" ucap Alvan membuat Papi Billy lepas kendali.

"Alvaaan…!" tangan Papi Billy melayang di udara.

Wushhh…

Papi Billy hendak menampar Alvan, namun tamparan itu tidak mengenai pipi Alvan. Sebab Alvan sudah terlebih dahulu jatuh tersungkur ke atas sofa. Obat tidur yang Qiana berikan rupanay sudah mulai bereaksi.

"Alvan sudah tidur, Qiana! Sekarang katakan apa yang membuatmu curiga?" tanya Papi Billy setelah meninggalkan Alvan di ruang kerja Oma Inge dengan tangan dan kaki yang terikat ke belakang.

"Aku curiga jika Vino dan Om Fariz akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi pada keluarga ini. Aku juga curiga kalau penculikkan kemarin adalah salah satu rencana yang belum bisa kita pahami. Tapi sekarang sepertinya Bang Alvan mengalami perubahan, aku takut Bang Alvan terkena amnesia saat ini." ucap Qiana.

Papi Billy mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya. Papi Billy segera melakukan panggilan telepon untuk Fahlevi.

"Ya, Pi?" tanya Fahlevi diseberang teleponnya.

"Datang ke rumah Oma, sekarang! Alvan sudah Qiana lumpuhkan! Biarkan kamu memeriksa Alvan dalam keadaan seperti itu, agar dia tidak berontak lagi!" ucap Papi Billy membuat Fahlevi terkejut.

"Separah itukah?" tanya Fahlevi tak percaya.

"Alvan sepertinya mengalami hilang ingatan parah akibat pukulan keras di kepalanya, seperti yang Qiana ceritakan. Papi khawatir dia akan menyakiti Qiana dan Oma seperti ancamannya sebelum tidur barusan." Ucap Papi Billy.

Qiana yang mendengar ucapan Papi Billy pada Fahlevi di telepon, hanya tertegun dengan hati yang penuh sesak.

Baru saja Qiana merasakan indahnya dunia dalam pernikahan yang dimimpikannya akan terasa bahagia, seketika semua harapannya hancur sebab Alvan benar-benar kehilangan ingatannya saat ini.