Chapter 43 - Bab. 43

Vino memerintahkan anak buahnya mengawasi pergerakan Alvan dan Qiana sepanjang waktu. Hingga hal sekecil apa pun dilaporkan oleh anak buah Vino kepadanya.

"Sayang, siang ini kita ada meeting dengan Kakekmu. Kamu tidak lupa kan, sayang?" tanya Alvan saat baru selesai mandi pagi ini setelah pertempuran panasnya dimalam kedua bersama Qiana.

"Gak. Aku pasti ingat, Bang!" jawab Qiana.

"Kalau gitu, selesai sarapan kita langsung pergi yah? Jangan lupa bilang sama Abah juga Ambu kalau kita malam ini pulang ke apartemen." Alvan menatap Qiana di balik pantulan cermin.

"Kenapa harus pulang ke apartemen sih, Bang?" tanya Qiana dengan bibir mengerucut.

"Abang pengen malam ini kita bermain lebih lama lagi, kalau bisa sampai pagi. Abang juga kurang enak kalau tiap malam kita ngadon di sini, sayang." Alvan bicara dengan sedikit berbisik.

"Kenapa?" tanya Qiana dengan kening berkerut.

"Ranjangnya sempit! Udah gitu dindingnya ini loh! Abang ngebayangin kalau tiap kita lagi main, Abah, Ambu, sama Teh Qorie denger suara kita kan Abang malu, sayang." Alvan jadi tersenyum kaku menatap Qiana yang sudah lebih dulu menatapnya tajam.

"Pikiran Abang kok mesum terus sih!" celetuk Qiana.

Alvan terkekeh mendengar ucapan Qiana. Memang sejak Qiana mau membuka hati untuknya, pikiran Alvan selalu seperti itu. Entah kenapa dirinya sendiri tidak mengerti, apa lagi setelah menikah inginnya terus berada di dalam selimut bersama sang istri.

"Kalian mau kemana?" tanya Ambu Kinanti saat melihat Alvan dan Qiana sudah rapi.

"Aku dan Bang Alvan ada meeting di kota, Ambu." Qiana lebih dulu menjawab.

"Eh? Kenapa istriku gak jujur aja sih kalau mau meeting sama Kakeknya sendiri?" batin Alvan.

"Hati-hati kalau begitu. Jangan sampai pulang larut malam." Lanjut Ambu Kinanti.

"Ambu, maaf! Nanti malam kami pulang ke apartemen, gak apa-apa?" tanya Alvan.

"Ya gak apa-apa! Kalian sudah menikah, jadi bebas mau pergi berdua tidur dimana pun gak ada yang larang." Abah Sambas ikut menimpali.

"Maksud aku, kami meeting mulai siang nanti dan kemungkinan sampai malam. Jadi, kalau pulang ke sini terlalu malam takutnya ada apa-apa di jalan, Abah." Kali ini Alvan terlihat kikuk.

"Sebagai orang tua kami tidak keberatan apa pun alasan kalian, kami sangat mengerti kalau kalian ini masih pengantin baru dan butuh suasana baru. Pergilah! Dan tetap hati-hati." Ambu Kinanti menambahkan.

"Abah titip Qiana yah, nak Alvan!" lanjut Abah Sambas.

"Iya Abah, Ambu. Terima kasih sudah mengerti keadaan kami. Kalau begitu aku dan Qiana pami!" Alvan merasa lega dengan penuturan Ambu Kinanti.

Setelah mencium punggung tangan Ambu Kinanti dan Abah Sambas, Qiana dan Alvan pergi meninggalkan rumah panggung tempat dimana Qiana dibesarkan dulu setelah dibuang oleh keluarga besar dari pihak sang ibu.

"Mereka pergi!" anak buah Vino melaporkan kepergian Alvan dan Qiana dari rumah kedua orang tuanya.

"Ikuti!" sahut anak buah yang lain.

Alvan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, saat melihat di balik kaca spion Alvan melihat ada dua mobil berwarna hitam yang mengikutinya sejak mereka keluar dari rumah Abah Sambas.

"Sayang, sepertinya kali ini kita harus lebih hati-hati lagi! Usahakan kita selalu bersama, kalau mau keluar kamu gak boleh sendiri." ucap Alvan.

"Maksud, Abang?" tanya Qiana.

"Di belakang ada dua mobil yang mengikuti kita. Mereka bukan anak buah kita, sepertinya mereka anak buah Vino. Tapi kamu tenang saja, sayang. Anak buah kita tetap mengikuti kita dengan menjaga jarak dari mereka dan kita." Alvan tetap waspada.

"Sebenarnya mau Vino apa? Kenapa dia menyuruh anak buahnya mengikuti kita? Apa ini ada hubungannya dengan perusahaan Oma dan Abang? Juga surat wasiat Oma?" tanya Qiana membuat Alvan mengangguk pelan.

Qiana menghela nafas panjang, wajahnya sedikit tegang mendengar penuturan Alvan. Qiana khawatir kejadian lalu terulang kembali. Dirinya yang terkadang masih trauma dengan suara tembakan mendadak lemas dan berkeringat dingin.

"Sayang, kamu gak apa-apa?" tanya Alvan saat melihat wajah Qiana pucat dengan keringat sebesar biji jagung di pelipisnya.

"Aku hanya butuh obat penenang untuk sementara waktu, Bang." Ucap Qiana lirih.

"Apa kamu masih punya persediaan obat itu, sayang?" tanya Alvan khawatir.

"Aku sudah jarang menyimpan persediaan obat itu sejak Dokter Levi menangani aku, dia juga sering memberikan terapi padaku." Nafas Qiana mulai tersengal menahan sesak didadanya.

"Kalau begitu Abang telepon Levi minta resep obat untukmu yah, sayang! Kamu bertahan yah!" Alvan menepikan mobilnya dan membuat panggilan untuk Fahlevi sahabatnya yang seorang Dokter.

Beberapa kali Alvan menelepon tapi Fahlevi tidak juga menjawabnya. Alvan mengalihkan pandangannya keluar jendela mobilnya, matanya terbelalak saat melihat mobil yang sangat dia kenali.

"Om Fariz?" batin Alvan. Saat yang bersamaan Fahlevi mengangkat teleponnya.

"Ya, Al?" tanya Fahlevi di balik sambungan teleponnya.

"Lev, Qiana kambuh bisa minta resep obat buat Qiana?" ucap Alvan.

"Kok bisa? Padahal sebelumnya Qiana udah baikan setelah terapi yang dia jalani selama ini." terang Fahlevi.

"Qiana tahu kalau Vino ngikutin gue, di belakang gue saat ini ada dua mobil anak buah Vino. Kayaknya Qiana shock dan keinget kejadian lalu, makanya kambuh." Jelas Alvan.

"Ya udah nih gue kirim resep buat Qiana. Cepat baikan yah! Masih pengantin baru, jangan sampai sakit." Fahlevi terkekeh.

"Ok! Makasih, Lev!" Alvan dan Fahlevi sama-sama menutup sambungan teleponnya.

"Di depan kayaknya ada apotik. Kita ke sana sekarang!" Alvan mengusap tangan Qiana yang terasa dingin dan berkeringat.

Lima menit kemudian Alvan menepikan mobilnya kembali ke pelataran parkir sebuah apotik besar di kota Bandung. Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa sang istri tercinta, Alvan mengajak Qiana pergi bersama ke apotik.

"Ayo turun!" ajak Alvan.

"Aku di sini aja, Bang!" tolak Qiana.

"Gak! Abang gak mau ninggali kamu sendiri, sayang! Abang takut kamu kenapa-kenapa, Abang juga gak mau sampai ada yang nyulik kamu lagi." Tingkah Alvan seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan kesayangannya.

"Gak mungkin, Bang!" bantah Qiana.

"Kalau kamu gak mau turun. Ya udah, Abang juga gak akan turun! Kita langsung ke apartemen aja, biar Abang yang ngasih terapi sama kamu." Goda Alvan dengan tersenyum nakal.

"Ish… Abang apaan sih?" Qiana kesal akhirnya menuruti keinginan Alvan.

Alvan membeli obat untuk Qiana sesuai resep yang berikan oleh Fahlevi. Di belakang anak buah Vino masih mengawasi, Alvan tetap waspada meski sebenarnya anak buahnya jauh lebih banyak berada di belakangnya saat ini.

"Kenapa Alvan masuk ke apotik? Apa dia mau beli obat kuat biar Qiana cepat hamil?" Vino terlihat kesal.

"Kita lihat saja! Om tidak akan membiarkan Qiana dan Alvan sampai memiliki keturunan. Sebelum Qiana hamil kita harus memisahkan mereka terlebih dahulu, bagaimana pun caranya!" ucap Om Fariz di dalam mobil yang masih membuntuti Alvan dan Qiana.

"Lalu kapan kita akan bertindak?" tanya Vino.

"Nanti malam! Kita ikuti terus hari ini kemana saja Alvan pergi." Ucap Om Fariz.

Mobil Alvan kembali melaju dengan kecepatan standar. Alvan penasaran dengan keberadaan Om Fariz di Bandung bersama Vino. Alvan curiga jika mereka berdua akan melakukan sesuatu yang buruk kepada dirinya.

"Aku harus waspada! Apa lagi saat ini aku dan Qiana sudah menikah! Kecurigaan Levi dan Evan terbukti, kalau Om Fariz dalang di balik penculikan Opa dan penyerangan aku. Om Fariz juga yang udah mengacaukan perusahaan. Kali ini aku tidak akan membiarkan Om Fariz berhasil melakukan kejahatan itu lagi!" batin Alvan geram.

"Bang, aku tidur dulu yah! Kalau sudah sampai bangunkan saja." Ucap Qiana.

"Tidurlah!" jawab Alvan.

Alvan tersenyum mendengar ucapan Qiana yang terakhir. Mana mungkin Alvan bisa membangunkan Qiana, dia saja kalau tidur sudah seperti beruang kutub susah dibangunkan kalau gak dia sendiri yang terbangun.

Mengingat perjalanan yang lumayan jauh dan memakan waktu hampir dua jam setengah, Alvan tidak khawatir saat tiba nanti harus membangunkan Qiana. Karena saat tidurnya sudah cukup, Qiana akan bangun sendiri.

"Kamu sudah bangun, sayang?" Alvan membelai wajah Qiana yang baru saja membuka matanya.

"Kita dimana, Bang?" Qiana melihat sekeliling di luar jendela mobil.

"Kita sudah sampai di tempat yang dijanjikan oleh Aki. Kita turun sekarang!" ajak Alvan.

"Ayo!" balas Qiana.

Dengan percaya diri Qiana melenggang bersama Alvan menuju sebuah restoran mewah di kota Bandung. Alvan sengaja memilih restoran itu untuk meeting kali ini bersama Kakek kandung Qiana, Ahmad Kusuma Wardhana.

Alvan ingin menunjukkan pada sang Kakek, jika istrinya itu adalah wanita berkelas. Tanpa sepengetahuan Qiana, Alvan lah yang meminta sang Kakek untuk memilihkan tempat mereka meeting saat ini. Sang Kakek setuju dan menyerahkan semua kepada Alvan.

"Qiana…!" Ahmad menyapa Qiana terlebih dahulu.

Ada perasaan yang berbeda saat melihat sang cucu kali ini. Jika kemarin dirinya merasa bersalah dan ingin meminta sang cucu membantunya, kini perasaan yang adalah malu sekaligus takut mendapatkan penolakan dari Qiana.

"Sudah lama menunggu?" tanya Alvan mencairkan suasana, pasalnya Qiana hanya diam tanpa ekspresi saat bertemu dengan sang Kakek.

"Baru saja. Silakan!" Ahmad menunjukkan tempat duduk untuk Alvan dan Qiana terlebih dahulu dengan ramah. Setelahnya barulah dia sendiri yang duduk berseberangan dengan Qiana.

Tak berapa lama pelayan datang membawakan buku menu di meja mereka. Alvan segera memsan makanannya, begitu juga dengan Qiana dan Ahmad Kusuma Wardhana.

Di luar, Vino dan Om Fariz serta anak buahnya menunggu kabar dari salah satu mata-mata yang dimintainya masuk ke dalam restoran.

"Alvan dan Qiana makan siang bersama seseorang, Bos!" mata-mata Vino melaporkannya.

"Apa mereka mencurigaimu?" tanya Vino.

"Sepertinya tidak, Bos! Aku membuka bajuku dan menggantinya dengan kaos biasa." Jawab orang yang menjadi mata-mata Vino.

"Bagus! Lakukan pekerjaanmu dengan baik!" balas Vino.

Selesai makan siang, Ahmad mengungkapkan kembali keinginannya kepada Alvan dan Qiana. Kali ini Qiana menyetujui kerja sama yang ditawarkan sang Kakek kepadanya.

"Bagaimana dengan perjanjian kontraknya, apa kamu setuju?" tanya Ahmad ragu.

"Aku minta seluruh saham perusahaan diganti dengan namaku, bukan nama Bang Alvan atau pun Oma Inge. Karena aku yang akan membeli saham perusahaan seluruhnya!" ucapan Qiana membuat dua bola mata Ahmad terbelalak sempurna nyaris keluar dari tempat.

Alvan tidak menyangka jika sang istri akan menjadi ganas jika berhadapan dengan Kakeknya sendiri yang dianggapnya sebagai musuh, bukan partner kerja.

"Kenapa bengong? Apa anda berubah pikiran untuk bekerja sama denganku? Aku tidak pernah main-main untuk urusan bisnis. Biarkan perusahaan ini menjadi milikku sepenuhnya dengan uang yang kemarin diberikan oleh suamiku sebagai mas kawin, dan akan aku investasikan pada perusahaan ini." ucap Qiana tegas.

"Be… benarkah?" kini binar di mata Ahmad terlihat begitu bahagia.

"Apa aku terlihat sedang main-main dengan anda?" ucap Qiana tanpa menoleh dengan mengangkat dagunya.

Alvan hanya tersenyum bangga kepada Qiana. Kini istrinya benar-benar berubah menjadi seekor betina yang buas. Dalam sekejap saja sang Kakek terpana melihat kecerdasan Qiana yang berada di atas rata-rata.

"Ba… baiklah! Aki akan mempersiapkan berkasnya untukmu, Qi!" ucap Ahmad dengan suara bergetar.

"Kita partner kerja! Bukan keluarga! Jadi bersikaplah professional, Tuan!" ucap Qiana dengan formal.

"Baiklah kalau itu maumu." Ucap Ahmad tertunduk lemas tidak mendapat pengakuan dari Qiana.

"Ada satu syarat lagi!" ucap Qiana tiba-tiba.

"Syarat?" Alvan dan Ahmad kompak bertanya dan menatap Qiana heran.

"Jangan beritahu keluargamu jika pemilik perusahaan saat ini adalah aku. Rahasiakan semua dari mereka. Jika suatu hari nanti mereka bertanya, katakan saja aku hanya membantu memulihkan perusahaan ini dengan tenaga dan kemampuanku, sedangkan dana yang perusahaan dapat itu murni investasi dari perusahaan Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra." ucap Qiana membuat Alvan dan Ahmad terkejut sekaligus bangga.

"Sayang, apa itu tidak apa-apa nantinya?" tanya Alvan cemas.

"Tidak, Bang! Hanya secara lisan saja. Toh berkas dan dokumennya nanti tetap milikku dan atas nama aku. Abang tidak perlu khawatir soal itu, aku sudah sering menangani masalah ini di perusahaan Oma sejak tahun 2013, cukup lama bukan?" Qiana tersenyum manis kepada Alvan, membuat Ahmad senang bukan main melihat senyum sang cucu yang sudah dibuangnya karena miskin.

Ahmad sungguh menyesal dengan segala perbuatannya dulu kepada Qiana dan kedua orang tuanya. Hanya karena menantunya Sambas itu miskin, Ahmad membuangnya bersama Kinanti dan juga kedua cucunya Qorie dan Qiana.

Kini gadis miskin yang dulu dibuangnya menjelma menjadi seorang yang begitu dia kagumi. Sosok yang tegas, mandiri, kuat, dan tentu saja sangat cerdas dan berkompeten. Ada rasa bangga di dalam hatinya kini kepada Qiana.

"Apa…?" pekik Om Fariz dan Vino terkejut mendengar laporan yang disampai mata-matanya di dalam restoran.

"Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus segera bertindak, Om! Bagaimana pun juga kita tidak boleh kehilangan perusahaan itu!" Vino mengepalkan tangannya.

"Nanti malam kita lakukan sesuatu! Jangan sampai gagal lagi dan pastikan semua berjalan lancar!" ucap Om Fariz tegas.

Qiana dan Alvan akhirnya menandatangani kontrak kerjasama dengan perusahaan Kusuma Wardhana sebagai formalitas, sementara dokumen penting menjadi milik Qiana sepenuhnya. Dalam waktu dua minggu ke depan perusahaan itu akan berganti kepemilikan dari Ahmad Kusuma Wardhana menjadi Qiana Fathiyya.

"Kenapa berhenti, Bang?" tanya Qiana.

"Di depan sepertinya ada korban tabrak lari." Alvan menunjuka jalan dan Qiana melihat seseorang tergeletak di jalan.

"Abang turun sebentar untuk melihatnya, kamu tunggu di sini saja sayang!" perintah Alvan.

"Tapi, Bang…!" Qiana berhenti bicara sebab telunjuk Alvan sudah menutup bibirnya.

"Abang turun! Kamu tetap disini, oke!" ucap Alvan tegas.

"Hati-hati, Bang!" dada Qiana tiba-tiba berdebar kencang saat Alvan keluar dari mobil.

Saat Alvan mendekat pada korban yang tergeletak di jalan, tiba-tiba seseorang berpakaian serba hitam yang menutup wajahnya dengan kupluk hitam menyerang Alvan dan memukul kepala belakang Alvan dengan balok kayu, hingga Alvan jatuh tersungkur di jalan aspal.

"Abaaaaang…!" teriak Qiana di dalam mobil.

Qiana tidak berpikir panjang, segera saja dia keluar dari mobil. Saat pintu mobil terbuka seseorang memukul kepala Qiana, hingga tubuh Qiana ikut luruh di jalan beraspal itu. Seseorang membawa Alvan dan Qiana pergi dari tempat itu.