Alvan dan Qiana masuk ke dalam kamar pengantin di rumah kedua orang Qiana. Pesta pernikahan yang sangat melelahkan membuat keduanya ingin segera istirahat dan membuka pakaian pengantin yang masih mereka pakai.
"Abang keluar dulu gih!" Qiana mendorong tubuh Alvan saat seorang MUA masuk ke dalam kamar Qiana untuk membantu Qiana melepas aksesoris serta pakaian yang masih Qiana dan Alvan kenakan.
"Kenapa Abang harus keluar, sayang? Sekarang Abang suami kamu, jadi gak salah dong kalau Abang tetap berada di sini untuk melihat istri Abang yang cantik melepas pakaiannya?" mata Alvan mengerling nakal membuat Qiana mencebikkan bibirnya.
"Pokoknya Abang harus keluar! Aku malu, Bang!" rengek Qiana manja.
"Gak apa-apa atuh, Qi! Biarin aja suami kamu kalau mau tetap di sini. Udah halal ini!" Ucap MUA tersenyum nakal membuat Qiana malu.
Di luar rumah Abah Sambas, Vino dan anak buahnya sedang mengawasi keadaan rumah itu. Vino tersenyum dengan smirk di wajahnya saat keadaan rumah sudah mulai sepi. Tapi Vino masih ingin memberi kesempatan kepada Alvan dan Qiana untuk menikmati malam pertama mereka.
"Aku balik ke hotel! Kalian tetap berjaga di sini! Jangan sampai kehilangan satu informasi penting sedikit pun, dan pastikan keberadaan kalian di sini tetap aman dan tidak ada seorang pun yang curiga dengan kalian!" perintah Vino kepada anak buahnya.
"Siap, Bos! Kami akan lakukan sesuai perintah!" jawab Anak buah Vino serempak.
Vino pergi menuju hotel tempatnya menginap. Kali ini Vino sudah menyusun rencana dengan matang. Vino tidak ingin gagal lagi dalam upayanya melakukan balas dendam kepada keluarga Pratama Wijaya, sekaligus mengambil semua harta milik keluarga Pratama Wijaya.
Sementara itu di dalam kamar Qiana, suasana hening sebab Qiana sudah tertidur pulas begitu juga dengan Alvan. Acara pernikahan yang meriah membuat kedua pasangan pengantin baru itu memilih untuk tidur lebih awal.
"Emmmpppttt…" Alvan membuka kedua matanya.
Cuaca dingin di desa membuat Alvan terbangun dari tidurnya dan mencari kehangatan. Saat melihat Qiana berada di sampingnya, sesaat Alvan terkejut. Namun ketika memperhatikan sekeliling ruangan kecil tempatnya istirahat saat ini, seketika senyum tipis terbit dari sudut bibirnya.
"Akh, ini bukan mimpi! Aku dan gadis kecilku memang benar-benar sudah menikah. Sekarang gadis kecilku adalah pasangan hidupku, aku akan hidup bahagia bersamanya."
Cup…!
Alvan mengecup kening Qiana lembut, lalu merapikan rambut yang menutupi wajah cantik Qiana. Dengan senyum Alvan membelai wajah gadis kecil yang kini sudah halal baginya.
"Gadis kecilku sepertinya kelelahan. Tapi aku saat ini kedinginan, sayang. Bisakah kamu memeluk aku malam ini?" bisik Alvan di telinga Qiana yang mampu mengusik gadis itu.
"Abang? Ngapain Abang ada di kamar aku?" Qiana membuka matanya saat mendengar bisikan di telinganya.
"Tidur!" jawab Alvan datar.
"Haaah? Di sini? Di kamarku? Mana boleh!" tanya Qiana.
"Kenapa kamu kaget seperti itu, sayang?" Alvan menatap Qiana.
"Abang gak boleh tidur sekamar dengan aku. Bagaimana kalau Abah dan Ambu tahu, mereka bisa marah karena Abang sudah berada di dalam kamar berdua denganku." Ucap Qiana tanpa rasa bersalah.
"Sayang, apa kamu lupa sesuatu?" tanya Alvan mengangkat sebelah alisnya.
"Apa?" tanya Qiana polos.
"Kamu terlalu lelah hingga lupa kalau kita sudah…" ucapan Alvan terhenti.
"Sudah apa?" Qiana melihat ke dalam selimutnya dan memperhatikan keadaan dirinya.
"Jangan bilang kalau Abang sudah, hiks… kenapa Abang melakukan itu padaku?" Qiana menangis tersedu.
"Eh? Apa dia belum sadar juga yah? Atau memang dia amnesia?" Alvan menepok jidatnya sendiri.
Qiana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat Qiana terdiam dan menatap Alvan lalu tersenyum malu.
"Maaf…! Aku lupa!" Qiana terkekeh sementara Alvan hanya mencebikkan bibirnya dengan kesal.
"Ada yah istri yang modelan begini? Baru beberapa jam menikah udah lupa!" gerutu Alvan yang membuat Qiana kembali terkekeh.
"Ya maaf!" wajah Qiana terlihat memelas seraya menangkup kedua tangannya di depan dadanya.
"Kamu harus dihukum, sayang!" ucap Alvan kesal.
Mendengar ucapan Alvan, spontan Qiana menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala. Qiana bersembunyi di balik selimut dengan membayangkan jika Alvan akan melakukan sesuatu kepadanya malam ini.
"Auh…! Kenapa jantungku berdebar gini yah! Bagaimana ini?aku gugup sekali! Eh! Bukan gugup tapi takut!" batin Qiana lirih.
"Eh? Kenapa istriku menyembunyikan diri di dalam selimut seperti itu? Apa dia sudah mengizinkan aku untuk bermain dengannya saat ini?" batin Alvan senang.
Perlahan Alvan menarik selimut yang menutupi tubuh Qiana. Dengan sekuat tenaga Qiana mencoba menahannya. Merasa jika Qiana menghambat perjuangannya malam ini, Alvan tidak membiarkan itu terjadi.
"Pokoknya malam ini aku harus berhasil menaklukan singa betina ini, hehehe…" batin Alvan dengan smirk di wajahnya.
"Tidaaaaak…!" jerit Qiana di dalam hati.
Perang batin kedua pasangan pengantin itu akhirnya berhenti saat pertahanan Qiana terkalahkan oleh Alvan. Qiana pun harus mengakui kekalahannya malam ini dari Alvan.
"Apa Abang boleh melakukannya sekarang, sayang?" tanya Alvan yang saat ini sudah menguasai tubuh Qiana di dalam kungkungannya.
"Harus yah? Bisa nanti saja tidak?" ucap Qiana ragu.
"Eh? Kenapa?" tanya Alvan semakin mendekatkan wajahnya.
"A… aku… aku takut, Bang!" Qiana mengigit bibir bagian bawah membuat Alvan semakin tergoda untuk segera melakukan kewajibannya malam ini, sebagai seorang suami.
"Kenapa mesti takut? Itu tidak akan menyakitimu, sayang! Abang akan melakukannya dengan sangat hati-hati…" Alvan langsung memburu bibir Qiana yang sudah sangat menggoda.
Pertempuran panas malam itu akhirnya menjadi moment terindah untuk pasangan pengantin baru Alvan dan Qiana. Bukti percintaan keduanya untuk yang pertama kali menjadi saksi bisu di dalam kamar sempit itu.
Tanda merah di atas sprei yang terpasang membuktikan bahwa sang gadis masih terjaga kesuciannya dengan baik, hanya untuk pangeran tampan impiannya.
"Terima kasih, sayang! Kamu sudah menjaganya hanya untuk Abang seorang." Alvan mendekap Qiana dalam pelukannya dan mengecup lembut kening sang istri setelah percintaan panas mereka malam ini.
Di tempat yang berbeda Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi saat ini masih menyelidiki kasus penggelapan sejumlah uang yang masuk ke dalam rekening atas nama Qiana dan Angela. Rayn meyakini jika kedua rekening itu palsu.
Rayn sebagai orang yang bertugas menangani keuangan untuk seluruh pegawai di perusahaan Pratama Wijaya, tahu betul rekening Qiana dan Angela yang asli. Setiap bulan Rayn mengatur keuangan perusahaan dan membayarkan gaji pegawai pada rekening masing-masing.
"Ini mustahil! Benar-benar konyol sih!" celetuk Rayn saat melihat nominal uang yang ditransfer ke rekening atas nama Qiana dan Angela.
"Coba lu cek lagi data rekening atas nama Angela dan Qiana. Apa alamat dan data yang lainnya sama dengan rekening Qiana dan Angela yang asli atau tidak." Ucap Evan.
"Oke!" jawab Rayn.
"Alvan harus tahu ini!" timpal Fahlevi.
"Apa lu mau ganggu dia yang lagi ina inu sama Qiana malam ini?" celetuk Gherry terkekeh.
"Kali aja pas lagi enak-enaknya mau lepas gue telepon jadi melehoy lagi, hahaha…" ucap Evan menahan tawa.
"Kebayang, Alvan pasti bakalan bikin heboh seisi rumah ini!" celetuk Gherry membuat Evan, Rayn, dan Fahlevi kompak menoleh.
"Maksud lu?" tanya Rayn dengan polosnya.
"Lu bayangin Alvan lagi belah duren sekarang, rumah Abah Sambas bisa goyang semua kena getaran gempa di kamar pengantin." Gherry membayangkan setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Idiiih, mesum lu!" Evan menoyor kepala Gherry.
"Udah ah jangan bahas itu! Ngeri gue!" wajah Fahlevi sudah memucat.
"Ngeri kenapa, Lev?" tanya Rayn penasaran.
"Busyeeet… nih junior kenapa jadi berdiri sih!" batin Fahlevi saat barangnya sudah terasa sesak di dalam celananya.
"Lev, lu kenapa?" tanya Evan panik.
"Laper gue!" jawab Fahlevi asal.
Tanpa Evan dan Gherry tahu, Rayn dan Fahlevi sudah membayangkan kebersamaan mereka dengan pasangan mereka masing-masing. Fahlevi membayangkan saat bersama Bianca, sementara Rayn membayangkan wajah cantik Aurel.
Alvan bangun dari tidurnya saat suara ponsel berbunyi nyaring di atas meja rias Qiana. Alvan segera meraih benda pipih miliknya.
"Ada apa?" tanya Alvan yang suaranya terdengar serak.
"Anjaaay… yang udah belah duren semalam! Suaranya sampai serak begitu, mana seksi lagi!" suara Gherry mengejutkan Alvan yang masih memejamkan matanya.
Alvan tersadar saat menatap layar ponsel. Ternyata Gherry melakukan panggilan video call kepada Alvan, dan bisa dipastikan jika saat ini Gherry, Evan, Fahlevi, dan Rayn sudah melihat kondisi Alvan yang hanya menutupi tubuhnya hingga sebatas dada dengan selimut.
"Lu iseng banget pagi-pagi gini pake video call gue segala! Gangu aja lu!" protes Alvan dengan bibir memberenggut.
"Kita kan mau tahu hasil pertempuran lu semalam gimana? Lancer gak?" seloroh Fahlevi membuat Alvan menatap tajam sahabatnya itu.
"Sialan lu! Pake nanya lagi!" ucap Alvan malu.
"Al, cepetan kesini! Ada sesuatu yang penting yang harus kita bahas!" tak ingin membuang waktu, Evan segera meminta Alvan untuk datang ke apartemen miliknya.
Saat ini Gherry, Evan, Rayn, dan Fahlevi memang tengah berada di apartemen Alvan. Mereka memilih menginap di apartemen Alvan, ketimbang ikut menginap bersama keluarga Alvan di hotel.
"Oke! Gue datang!" jawab Alvan yang langsung mengakhiri panggilan video callnya.
"Sotoy nih bocah! Main tutup aja!" umpat Gherry kesal hingga mengundang tawa dari Evan, Rayn, dan Fahlevi.
Alvan segera bangkit dan memakai kembali pakaiannya. Qiana yang masih terlelap di balik selimutnya seketika membuka mata saat merasakan pergerakan di atas kasurnya.
"Abang mau kemana?" tanya Qiana dengan mata yang masih mengantuk.
"Abang harus kembali ke apartemen, sayang!" ucap Alvan.
"Ada apa?" tanya Qiana.
"Entahlah! Gherry meminta Abang segera datang. Kamu tunggu di sini yah!" Alvan mengecup kening Qiana lalu keluar dari kamar untuk pergi ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, Alvan memutuskan untuk segera pergi menuju ke apartemen menemui sahabatnya.
"Nak Alvan mau pergi kemana? Pagi-pagi sekali sudah rapi." Abah Sambas menatap Alvan lekat.
"Aku ada urusan sebentar, Abah! Aku harus menemui sahabat-sahabatku di apartemen. Titip Qiana yah, Abah!" ALvan pamit dan mencium punggung tangan kedua mertuanya.
"Hati-hati, nak!" ucap Ambu Kinanti.
"Yah!" jawab Alvan.
Hampir dua jam perjalanan dari desa tempat kediaman kedua orang tua Qiana, menuju apartemen Alvan. Akhirnya Alvan sampai di apartemennya, dan saat ini sudah berkumpul dengan sahabatnya.
"Kecurigaan kita selama ini benar, Al!" Fahlevi buka suara terlebih dahulu.
"Apa benar yang melakukan ini Om Fariz?" tanya Alvan.
"Ya! Lu bisa lihat ini." Evan menyodorkan laptopnya.
"Kurang ajar! Jadi selama ini Om Fariz yang udah nusuk gue dan Oma dari belakang!" Alvan geram.
"Jadi, apa rencana lu selanjutnya?" tanya Gherry.
"Gue gak yakin kalau Om Fariz kerja sendiri. Pasti ada orang lain yang menolong Om Fariz melakukan ini semua! Kemampuan Om Fariz masih di bawah kita, sementara orang yang membantu Om Fariz sama dengan kita. Cari orang yang ada di belakang Om Fariz secepatnya!" Rahang Alvan mengeras.
"Oke!" jawab Gherry.
"Lalu Vino dan Rayya?" tanya Rayn.
"Semalam anak buah gue ngasih info. Vino saat ini lagi memata-matai gue dan Qiana. Sepanjang hari Vino dan anak buahnya ada di sekitar rumah mertua gue. Vino tahu kalau gue sama Qiana udah merried, Vino juga meminta anak buahnya buat terus ngawasin gue. Kayaknya si kunyuk itu sekarang ada di bawah." Tanpa sadar Alvan mengepalkan kedua tangannya.
Tanpa menunggu komando, Evan segera mengecek cctv di setiap jalan yang dilalui mereka dari rumah orang tua Qiana hingga apartemen Alvan. Begitu juga hotel yang Vino tempati saat ini.
"Gila, Vino! Dia booking kamar hotel yang bersebelahan dengan Oma dan Papi Billy!" pekik Evan saat menatap layar laptopnya.
"Apa?" Alvan, Gherry, Fahlevi, dan Rayn kompak terkejut.
"Al, lu telepon Oma dan Papi agar mereka cek out dari hotel sekarang sebelum semua terlambat! Kita gak tahu apa rencana busuk Vino!" sebelum Fahlevi melanjutkan ucapannya Alvan sudah menghubungi Papi Billy terlebih dahulu.
Di seberang apartemen Alvan, anak buah Vino berjaga untuk memberikan informasi mengenai pergerakkan Alvan dan sahabat-sahabatnya. Hal yang sama Vino lakukan di rumah kedua orang tua Qiana saat ini.
Vino memang sengaja menyuruh anak buahnya berpencar di tiga titik untuk mengawasi orang-orang terdekat Alvan.
"Bagaimana, Bos? Apa yang harus kami lakukan sekarang?" tanya anak buah Vino di balik telepon.
"Tunggu perintah dariku! Saat ini biarkan mereka menikmati permainan kita." Vino tersenyum miring.
Papi Billy segera mengajak Oma Inge, Tante Erlin, Zoya, dan Bi Narsih untuk cek out dari hotel. Mereka saat ini tengah menuju ke rumah Abah Sambas dengan iring-iringan anak buah Alvan dan orang kepercayaan Oma Inge.
"Sore ini kalian balik ke Jakarta bareng keluarga gue! Sementara Gue dan Qiana masih bertahan di sini sampai urusan selesai." Ucap Alvan.
"Tapi lu mesti bawa anak buah kita, Al!" usul Fahlevi.
"Ya! Kita bagi dua mereka. sebagian tetap di sini, sebagian ikut kalian." Jawab Alvan.
Setelah berhasil melacak rekening palsu atas nama Qiana dan Angela, Alvan dan sahabatnya kembali ke rumah Abah Sambas sebelum akhirnya pulang ke Jakarta bersama keluarga Alvan.
"Al, kamu dan Qiana hati-hati yah!" ucap Oma Inge melerai pelukannya.
"Iya, Oma! Oma juga hati-hati." Balas Alvan.
"Al, kalau ada apa-apa segera hubungi Papi yah!" ucap Papi Billy.
"Iya, Pi!" jawab Alvan.
Keluarga Alvan dan sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Sementara Alvan dan Qiana masih harus tinggal di Bandung selama dua minggu ke depan.
Alvan berencana menghabiskan waktu bersama Qiana di Bandung untuk menyelesaikan kontrak kerja sama dengan perusahaan keluarga Kusuma Wardhana. Selain itu Alvan juga ingin melanjutkan bulan madunya dengan Qiana selama mereka berada di Bandung.
"Bagus! Kita tunggu sampai mereka lengah! Alvan, Qiana… permainan kita baru akan dimulai, sayang! hahaha…" Vino tertawa keras memperhatikan Alvan dan Qiana dari jarak yang sedikit jauh.