Qiana terbangun dari tidurnya karena merasa sakit di leher akibat posisi tidur dalam keadaan duduk di dalam mobil. Qiana memperhatikan sekeliling, matanya mengerjap kaget.
"Haaah… kenapa ada tenda, panggung, dan janur kuning di rumahku?" ucap Qiana mengucek matanya lalu menepuk pipinya.
"Kamu gak mimpi, sayang!" ucap Alvan melihat tingkah Qiana.
"Ini… ini siapa yang menikah, Bang?" tanya Qiana heran.
"Mene ketehe! Abang aja heran lihat keadaan rumah kamu, sayang!" jawab Alvan malas.
"Ya udah kita turun!" ajak Qiana segera keluar dari dalam mobil.
Saat Qiana dan Alvan berjalan menuju rumah kedua orang tuanya, seseorang menyapa Qiana dengan ramah terlebih saat tangan Alvan menautkan jarinya di tangan Qiana.
"Eh calon pengantin sudah datang rupanya!" sambut tetangga Qiana yang bicara dalam bahasa sunda.
"Haaah? Calon pengantin? Ini maksudnya apa, bu?" tanya Qiana dengan polosnya.
"Eh? Bukannya besok Qiqi mau nikah yah, sama Abang tampan ini?" celetuk seorang ibu tetangga dari kedua orang tua Qiana.
"Apa?" ucap Qiana spontan melirik Alvan. Pandangan mata keduanya bertemu, seketika mereka saling tatap penuh arti.
Alvan yang tidak mengerti sama sekali bahasa sunda hanya melongo mendengar ucapan Qiana. Sementara wajah Qiana sudah sangat pucat.
"Jangan bengong! Ayo kita masuk!" ajak Alvan yang ingin segera memastikan apa yang sebenarnya terjadi di rumah kedua orang tua Qiana.
Alvan khawatir jika kedua orang tua Qiana salah paham dengan maksud dan tujuan Alvan juga Qiana datang ke Bandung. Mereka berdua hanya berencana tunangan saja, sedangkan untuk menikah mereka belum menyiapkan apa pun.
"Qiqi…! Nak Alvan…!" seru Abah Sambas saat melihat Qiana dan Alvan sudah ada di ambang pintu.
"Abah…!" sapa Alvan dan Qiana nyaris bersamaan.
Alvan dan Qiana masuk ke dalam rumah tak lupa mencium punggung tangan Abah Sambas dan menyalami yang lain, yang berada di dalam rumah kedua orang tuanya.
"Duduklah, nak!" seru Abah Sambas menepuk tempat kosong di sebelahnya, membuat Qiana dan Alvan langsung duduk di samping Abah Sambas.
"Abah, siapa yang mau menikah?" bisik Qiana membuat Abah Sambas tersenyum.
"Keluarga nak Alvan memang senang membuat kejutan buat kalian!" ucap Abah Sambas membuat Qiana dan Alvan saling tatap tak mengerti.
"Maksud, Abah?" tanya Alvan.
"Oma, Papi, dan sahabat kamu sudah menyiapkan ini semua untuk kalian berdua menikah lusa, Al!" ucap Oma inge yang tiba-tiba sudah datang dari arah pintu belakang.
"Oma…? Papi…? Kalian…?" Alvan dan Qiana kini mengerti apa arti semua kejutan yang Abah Sambas katakan.
"Kenapa kalian tidak memberitahu aku sebelumnya? Tahu begini aku akan menyiapkan mas kawin yang banyak buat gadis kecilku ini." Alvan menggenggam tangan Qiana, membuat wajah Qiana jadi merona.
"Papi dan Mami Erlin sudah menyiapkan semuanya, Al! Kalian tinggal bersiap saja besok dan lusa." Ucap Papi Billy membuat mata Alvan berkaca-kaca.
"Terima kasih, Pi!" Alvan memeluk Papi Billy yang sudah duduk disampingnya.
"Maaf, Oma melakukan ini semua tanpa sepengetahuan kalian! Oma tidak ingin kalian menunda pernikahan kalian lebih lama lagi. Kalau kalian sudah cocok satu sama lain dan saling mencintai, Oma pikir sebaiknya pernikahan kalian dipercepat. Apa lagi kejadian akhir-akhir ini sangat membuat kita stress dan banyak pikiran. Jadi sekarang saatnya kita bersenang-senang menikmati pesta pernikahan kalian." Tutur Oma Inge.
Tak terasa air mata Qiana dan Alvan luruh begitu saja membasahi wajah keduanya. Baik Alvan, mau pun Qiana tidak menyangka jika rencana pertunangan mereka harus berakhir dengan pernikahan.
"Terima kasih, Oma!" Qiana menangis haru dalam pelukan Oma Inge.
"Sama-sama, sayang! Semoga kalian bahagia selamanya." Ucap Oma Inge.
Malam pun tiba. Sudah jadi adat istiadat di desa tempat tinggal Abas Sambas sejak dulu, bahwa calon mempelai pengantin harus mengikuti serangkaian perawatan tubuh dengan cara mandi kembang dan luluran sebelum menikah.
"Kulit aku sudah mulus begini, Teh. Ini mau diapain lagi sih?" protes Qiana saat sedang treatmen dan luluran oleh pihak MUA pilihan Teh Qorie, yang tentu saja dengan semua biaya ditanggung oleh pihak keluarga Alvan.
"Abah gak nyangka Qiqi akan menikah dengan nak Alvan. Siapa yang tidak mengenal anak itu dan keluarganya? Coba sekarang Ambu rasakan bagaimana terkejutnya kita kemarin saat tiba-tiba keluarga nak Alvan datang kemari memberitahu rencana mereka, terlebih segala biaya mereka juga yang menanggungnya. Qiqi sangat beruntung bertemu keluarga mereka. Kita sama sekali tidak mengeluarkan biaya apa pun untuk menggelar acara pernikahan semewah ini. Abah benar-benar bersyukur, Abah gak nyangka sama sekali nasib Qiqi begitu beruntung karena mengangkat derajat kita sebagai kedua orang tuanya." Ungkap Abah Sambas panjang lebar.
"Benar, Abah! Ambu juga sempat terkejut dan ragu awalnya, tapi saat Qorie memberitahu kalau Qiqi berencana hanya menggelar tunangan saja. Ambu percaya kalau keluarga nak Alvan sangat serius dengan hubungan Qiqi dan nak Alvan." Mata Ambu Kinanti berkaca-kaca.
"Apa keluarga Besar Kusuma Wardhana sudah Ambu beritahu?" tanya Abah Sambas.
"Belum! Ini acara Qiqi dan nak Alvan. Jadi biarkan saja mereka berdua yang memutuskan. Ambu tidak ingin nantinya akan menjadi masalah besar dengan memberitahu mereka tanpa sepengetahuan nak Alvan dan Qiqi sendiri." ucap Ambu Kinanti.
"Baiklah kalau begitu!" balas Abah Sambas tersenyum.
Pagi tiba dikediaman Abah Sambas sudah mulai ramai oleh ibu-ibu majelis taklim yang diundang untuk menggelar acara pengajian sekaligus siraman untuk calon mempelai wanita.
Alvan yang memilih tinggal di hotel sekitar tempat tinggal Qiana, saat ini sedang bersiap untuk pergi ke rumah Qiana. Sebab Alvan pun akan melakukan ritual siraman nantinya bersama Qiana.
"Oma, apa perlu yah aku melakukan siraman?" tanya Alvan merasa geli.
"Seharusnya memang begitu, Al! Ini tradisi mereka dan adat istiadat kita juga yang memang boleh dilakukan jika kita berkenan." Ucap Oma Inge.
"Kalau aku menolak bagaimana?" tanya Alvan dengan wajah memelas.
"Gak enak lah sama keluarga Qiana, sayang! Jangan bikin calon mertuamu itu menganggap kamu tidak menghargai adat istiadat." Kata Oma Inge lagi.
"Lagian kenapa sih Oma bikin kejutan segala? Padahal rencana aku dan Qiana tunangan dulu. Menikahnya nanti di Jakarta saat urusan perusahaan dan masalah bersama Vino juga Rayya selesai." balas Alvan.
"Tapi itu nanti sudah sangat terlambat dan beresiko, Al! Oma, Papi, dan semua sahabat kamu sengaja melakukannya agar musuh kita tidak tahu rencana ini. Biarlah mereka hanya tahu kalian tunangan saja. Kita juga tidak tahu siapa musuh kita yang sebenarnya." Ucap Oma Inge lirih.
"Maksud, Oma?" tanya Alvan serius.
"Evan dan Gherry sudah mendapatkan informasi dimana Rayya dan Vino bersembunyi saat ini. Yang Oma takutkan mereka akan kembali untuk menghancurkan kita, belum lagi ada Om Fariz yang menjadi ancaman buat kamu, Al!" ucap Oma Inge.
"Rayn dan Levi mendengar jika mereka merencanakan sesuatu untuk menculik kamu dan Qiana sebelum rencana pernikahan kalian, itu yang Oma takutkan. Makanya Oma jadi kepikiran buat merencanakan pernikahan kalian secepatnya, sebelum semua terlambat Al. Dengan begitu, Qiana bisa sepenuhnya bertanggung jawab pada perusahaanmu sementara kamu membantu Oma di perusahaan Opa kamu." Lanjut Oma Inge membuat Alvan menganggukkan kepalanya tanda mengerti tujuan Oma Inge segera menikahkan Alvan dengan Qiana.
Sementara di tempat lain, Oma Fariz, Vino dan Rayya geram saat mendapatkan kabar dari anak buahnya, kalau Alvan dan Qiana akan menikah besok. Dengan begitu, tidak lama lagi harta dan perusahaan sang Kakak akan jatuh ke tangan Alvan. Cucu laki-laki di keluarga Pratama Wijaya.
Vino yang tidak terima dengan kekalahannya kali ini tidak tinggal diam. Dia segera meraih ponselnya dan menghubungi anak buahnya.
"Kirim lokasi rumah orang tua Qiana padaku, sekarang!" kata Vino di balik sambungan teleponnya.
"Baik, Bos!" panggilan itu berakhir, sesaat kemudian ponsel Vino berbunyi apa yang dia inginkan sudah didapatkan.
"Kamu mau kemana, Vino?" tanya Om Fariz saat melihat Vino mengambil kunci motornya.
"Aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan! Om tenang saja! Kali ini aku tidak akan gagal lagi!" Vino pergi tanpa menunggu persetujuan dari Om Fariz, sementara Rayya hanya menatapnya heran tanpa ingin menanyakan apa pun pada Vino.
"Tampang sih boleh cakep mirip Alvan! Tapi kelakuan kayak penjahat kelas kakap!" batin Rayya.
"Semoga saja Vino bisa melakukan semuany dengan baik kali ini. Dengan begitu, kita tidak perlu terlalu sulit untuk masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya dengan mudah bersama Vino." Ucap seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar dengan pakaian serba hitam dan kacamata hitam yang tidak pernah lepas.
"Apa Abang yakin jika Vino akan berhasil kali ini?" tanya Om Fariz.
"Aku sangat yakin! Kita lihat saja nanti!" laki-laki itu tersenyum penuh kelicikan.
"Apa yang akan kalian lakukan pada keluargaku? Jangan pernah menyentuh mereka! Kalau kalian mau seluruh harta dan juga asset miliku, kalian lepaskan aku dan biarkan aku menemui pengacara untuk memberikan semuanya untuk kalian berdua." Seorang laki-laki yang terbaring lemah tak berdaya di atas pembaringannya mulai buka suara.
"Hahaha… apa semudah itu aku percaya dengan kata-kata Abang barusan? Aku tidak percaya lagi pada Abang! Jika aku melepaskan Abang, nanti Abang akan melaporkan aku dan Fariz. Abang akan menangkap kami, tidak mengampuni kami, bahkan Abang bisa kembali kepada keluarga Abang dan berkumpul dengan bahagia bersama mereka. Sementara aku dan Fariz Abang biarkan masuk penjara. Enak saja!" cibir seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
"Abang berjanji pada kalian akan memberikan apa yang kalian mau, asal kalian melepaskan Abang dan membiarkan Abang kembali pada keluarga Abang. Abang mohon!" laki-laki itu menangkupkan kedua tanganya di depan dadanya dengan wajah memelas.
"Fariz! Ikat tangannya dan sumpal lagi mulutnya, agar tidak ngoceh semaunya dia! Bosan aku mendengar dia ngoceh terus!" perintahnya pada Om Fariz.
"Abang terlalu banyak tingkah! Makanya kami kesal pada Abang dan melakukan ini pada Abang." Ucap Fariz seraya mengikat tangan dan menyumpal mulut laki-laki lemah itu.
Laki-laki itu menangis mengingat kekerasan yang sudah hampir 18 tahun lamanya dia terima dari kedua adik kandungnya. Laki-laki itu adalah Erlangga Pratama yang disekap oleh kedua adiknya Wisnu Nugraha dan Fariz Alfiansyah yang tak lain adalah Om Wisnu dan Om Fariz.
"Opaaa…!" teriak Alvan mengejutkan semua keluarga yang sedang berkumpul di rumah kedua orang tua Qiana.
Alvan terbangun dari tidurnya. Mimpinya kali ini terasa begitu nyata. Alvan melihat jika Opa Erlangga saat ini sedang menderita akibat perbuatan orang yang sangat dia kenal, yaitu Om Fariz dan seseorang yang masih samar.
"Kamu mimpi buruk lagi, Al?" tanya Oma Inge.
"Oma, aku melihat Opa disekap dalam sebuah ruangan oleh Om Fariz dan…" Alvan mencoba mengingat.
"Dan…? Siapa, Al?" tanya Papi Billy.
"Entahlah, Pi! Wajahnya tidak begitu jelas." Ucap Alvan lirih.
"Abah…!" seru Alvan.
"Minum dulu, nak!" Abah Sambas membawakan minum untuk Alvan.
"Terima kasih, Abah." Balas Alvan.
Akhirnya hari yang dinanti pun tiba. Hari pernikahan Alvan dan Qiana yang diselenggarakan langsung di kediaman rumah kedua orang tua Qiana.
Walau berada di sebuah Desa, namun acaranya cukup meriah. Membuat para tetangga berdecak kagum melihat acara pernikahan Qiana yang digelar secara besar-besaran itu.
"Bisa kita mulai?" tanya Pak Penghulu kepada calon mempelai dan keluarganya.
"Mulai saja, Pak!" jawab Abah Sambas.
Kali ini Alvan dan Qiana sudah duduk di depan penghulu dan Abah Sambas. Qiana yang cantik terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya putih khas pengantin adat sunda. Begitu juga dengan Alvan yang tampan sempurna.
Berulang kali Abas Sambas meneteskan air mata haru menyaksikan pernikahan putri keduanya yang begitu menarik perhatian para tetangganya. Mas kawin yang fantastis, serta pesta yang meriah membuat nama Qiana mendadak viral.
Saat akan mengucap ijab berkali-kali suara Abah Sambas tertahan dan bergetar. Saat mengucap ijab untuk kedua kalinya, barulah Abah Sambas mulai mampu menguasai emosinya. Hingga akhirnya ucapan ijab pun berjalan mulus.
"Alvan Pratama Putra Wijaya, aku nikahkah dan aku kawinkan engkau dengan putri kandungku Qiana Fathiyya binti Sambas dengan mas kawin seperangkat perhiasan berlian, uang tunai 70 miliar, satu unit apartemen, satu unit mobil, dan satu unit rumah mewah di bayar tunai…" ucap Abah Sambas yang langsung dijawab Alvan dengan cepat.
"Aku terima nikah dan kawinnya Qiana Fathiyya binti Sambas dengan mas kawin seperangkat perhiasan berlian, uang tunai 70 miliar, satu unit apartemen, satu unit mobil, dan satu unit rumah mewah di bayar tunai!" jawab Alvan dalam satu tarikan nafas.
"Bagaimana saksi, sah?" tanya Pak penghulu.
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Jawab para saksi juga hadirin yang hadir. Semua keluarga yang menyaksikan menangis haru atas kebahagiaan pada pernikahan Alvan dan Qiana.
Di saat yang lain menangis haru dan merasa gembira dengan mengucap syukur, di suatu sudut di dekat rumah Abah Sambas. Bi Yeni bibi dari Gilang saat ini tidak sadarkan diri lantaran terkejut mendengar mas kawin yang diberikan Alvan kepada Qiana.
"Membuang batu kali mendapatkan berlian, hiks…" tangis Maryati penuh sesak.
"Beruntung sekali Qiana dinikahi pria itu!" ucap Gilang dengan nada cemburu.
"Kamu menyesal meninggalkan Qiana demi aku dan anak kita, Gilang?" tanya Salsa.
"Qiana sekarang menjadi milyarder semenjak mengenal keluarga Alvan. Seharusnya aku yang ada di posisi Qiana saat ini! Sayangnya aku terlambat menggagalkan pernikahan mereka!" gumam Imelda geram.
"Ini salahmu juga! Kenapa kamu malah membuat Alvan percaya kalau foto dan kalung itu milik Qiana. Dasar BODOH kamu, Imel!" cibir ibu kandung Imelda.
Ahmad Kusuma Wardhana dan istri yang mendengar percakapan cucu dan anak serta mantunya hanya menggelengkan kepala. Sementara sang besan masih menatapnya marah, karena kini mereka mulai bangkrut dan hampir kehilangan perusahaan turun temurun dari tetua mereka.
"Nikmatilah malam pertama kalian! Setelah ini, kalian bersiaplah untuk menerima hadiah terindah dari aku, Alvan!" Vino menyeringai di balik masker dan topi hitam yang menutup wajah dan kepalanya.