Chapter 40 - Bab. 40

Alvan yang melihat Salsa jatuh di lantai dan tidak sadarkan diri segera membantu Salsa, dan membawanya ke dalam mobil bersama Qiana.

"Kamu tidak apa-apa, sayang?" Alvan menatap Qiana yang wajahnya sudah pucat.

"Aku takut terjadi sesuatu dengan Salsa dan bayinya, Bang!" Qiana merasa bersalah.

"Kita bawa Salsa ke rumah sakit sekarang! Semoga saja Salsa dan bayinya baik-baik saja." Alvan menenangkan Qiana karena tubuh gadis itu gemetar.

Saat sampai di rumah sakit, Alvan segera meminta bantuan perawat untuk membawa Salsa ke ruang UGD. Dokter segera datang memberikan pertolongan pada Salsa.

"Bang, aku takut!" wajah Qiana semakin pucat.

"Kamu tenang, sayang! Abang yakin semua akan baik-baik saja." Alvan memeluk Qiana dengan erat untuk memberikan dukungan kepada kekasihnya itu.

Hampir tiga puluh menit Dokter berada di ruang UGD menangani Salsa dan bayinya. Alvan juga mencoba menghubungi Gilang dan memberitahu soal kejadian di café.

"Bagaimana keadaan Salsa sekarang?" tanya Gilang saat baru saja datang bersama kedua orang tuanya juga Bi Yeni.

"Kalau sampai calon cucuku kenapa-kenapa, aku tuntut kamu masuk penjara Qiana! Kamu sudah mencelakai Salsa dan calon cucuku." Ancam Maryati ibu kandung Gilang.

"Qiana tidak bersalah! Salsa yang memulai duluan! Dia menjambak rambut Qiana, dan Qiana hanya mencoba melepaskan diri dari Salsa. Salah sendiri jadi cewek kok bar bar!" Alvan mencibir ibu kandung Gilang yang terlihat mata duitan.

"Jangan membelanya! Sudah jelas di sini Qiana yang salah! Dasar anak miskin! Sok cari perhatian sama Gilang. Kamu sengaja kan datang ke Bandung untuk mencelakai Salsa karena kamu cemburu, dan ingin kembali pada Gilang?" pertanyaan Maryati membuat Qiana tersenyum masam.

"Jaga ucapan anda, Nyonya! Aku tidak pernah tertarik untuk kembali kepada Gilang! Bahkan aku tidak pernah berpikir sama sekali untuk mencelakai Salsa! Aku datang ke Bandung karena ada perjalanan bisnis. Kamu tahu siapa yang sudah sangat menginginkan aku berinvestasi dan membangun kembali usahanya yang hampir bangkrut di perusahaannya? Dia adalah Bapak Ahmad Kusuma Wardhana! Saat ini perusahaannya sedang dalam masalah besar. Mereka terlilit hutang yang besar, sementara mereka tidak memiliki kekuatan lagi. Jadi mereka datang kepadaku, bahkan memintaku untuk menjalankan perusahaannya agar kembali bangkit seperti dulu." ucapan Qiana membuat kedua orang tua Gilang, Bi Yeni serta Gilang menatap tak percaya pada Qiana.

"Gilang! Apa itu benar?" tanya Maryati.

"I… itu… itu benar, Bu!" jawab Gilang terbata.

"Gak mungkin! Itu gak mungkin! Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi, Gilang! Kita akan malu jika sampai orang lain tahu kalau kita punya besan orang miskin dan perusahaan mereka sampai bangkrut." Ucap Maryati dengan wajah pucat.

"Hei, Qiana! Kamu harus melakukan sesuatu pada perusahaan Kakekmu! Jangan sampai itu terjadi karena kami akan sangat malu jika mereka benar-benar jatuh miskin." Ucap Bi Yeni ikut menimpali.

"Aku rasa sepertinya perusahaan Oma Inge dan Bang Alvan tidak tertarik sama sekali dengan perusahaan Kusuma Wardhana! Lagi pula aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka! Aku ini anak orang miskin, bukan? Kalian tahu sendiri kan seperti apa Abah dan juga Ambu? Kami keluarga miskin sedangkan keluarga Kusuma Wardhana yang terkenal kaya raya sekota Bandung itu, tidak mengenal orang miskin seperti kami. Jadi kami tidak selevel dengan mereka, dan aku pun tidak pantas membantu orang kaya seperti mereka karena aku ini orang MISKIN!!!" jawaban telak Qiana membuat semua yang ada di depan ruang UGD kompak terkejut tak percaya dengan apa yang Qiana katakan, kecuali Alvan yang hanya tersenyum dengan smirk di wajahnya.

"Dasar cucu durhaka! Tidak tahu balas budi! Masih saja sombong seperti dulu! Memang orang miskin gak ada otaknya!" cibir Maryati membuat Qiana tertawa keras.

"Hahahahah…. sudah tahu aku ini orang miskin gak punya otak, bodoh! Kenapa masih saja meminta tolong dengan merendahkan harga diri kalian seperti itu, kepadaku?" Qiana tertawa puas.

"Menyesal aku sudah meminta tolong padamu, Qiana!" hardik Bi Yeni yang semakin kesal pada Qiana.

Sementara di ruang UGD Salsa sudah kembali sadar. Kondisinya sudah membaik dan diperbolehkan pulang oleh Dokter.

"Salsa! Apa benar perusahaan Kakek kamu bangkrut? Huh, kami sungguh malu kalau memang sampai itu terjadi! Nyesel kami sudah menikahkan kamu dengan Gilang! Kamu itu hanya benalu di keluargaku, malas sekali sepertinya. Masih lebih baik Qiana yang sudah bekerja dan sukses di Jakarta, Qiana juga gadis yang mandiri." celetuk ibu Maryati membuat Salsa terkejut, begitu juga dengan ayah Gilang, Gilang, Bi Yeni, tidak terkecuali Alvan dan Qiana.

"Ibu, maksud ibu apa?" tanya Salsa.

"Kamu tidak bisa seperti Qiana! Kerjamu hanya malas-malasan dan kehamilan sudah membuatmu selalu beralasan untuk tidak mengerjakan apa pun selain menjadi beban buat keluarga kami! Seolah-olah wanita hamil hanya boleh makan, tidur, dan menghabiskan uang suami saja. Tanpa mau bekerja membantu suami!" cibir ibu Maryati sekali lagi membuat semua orang dibuatnya terkejut.

"Sayang, ayo pergi! Kita sudah tidak ada urusan dengan mereka! Lagi pula Salsa tidak apa-apa. Kamu juga sudah membayar seluruh biaya rumah sakit dengan uang yang tidak sedikit, bukan? Sekarang kamu adalah seorang mafia bisnis dan seorang milyarder. Jadi apa pun bisa kamu lakukan dengan uangmu itu, bukan?" ucapan Alvan membuat keluarga Gilang seketika terpesona pada Qiana.

"Ayo!" Qiana tidak menolak dan hendak pergi bersama Alvan.

"Qiana, tunggu!" ibu Maryati menahan kepergian Qiana bersama Alvan.

"Ada apa lagi?" tanya Qiana datar.

"Maafkan Ibu, Qiana! Selama ini Ibu sudah salah menilai kamu. Mau kah kamu kembali kepada Gilang? Biar Ibu meminta Gilang untuk menceraikan Salsa. Lagi pula Ibu tidak yakin kalau bayi yang ada di dalam kandungan Salsa adalah anak Gilang! Ibu tahu betul seperti apa pergaulan Salsa. Dia itu bukan gadis baik-baik sepertimu, Qiana." Lagi ucapan Ibu Maryati membuat semua orang terkejut.

"Qiana sudah menjadi tunanganku! Itu artinya Qiana tidak boleh menerima lamaran orang lain, apa lagi orang yang tidak selevel dengan posisi Qiana saat ini yang seorang milyarder! Qiana bisa membeli apa pun dengan uangnya itu!" ucap Alvan tegas.

"Haaah sumpah yah! Jantung gue dibuat sakit dengernya! Ibu lu itu sakit jiwa atau apa, Gilang?" Qiana tertawa malas menanggapi permintaan ibu Maryati.

"Qiana, apa yang Ibu katakan benar! Belum tentu bayi yang Salsa kandung adalah anakku. Jadi, ayo kita balikkan Qiana!" pinta Gilang membuat Alvan geleng-geleng kepala.

"Keluarga yang gak punya MORAL!" umpat Qiana kesal.

"Sudahlah! Tak penting kita tetap di sini, sayang!" Alvan merengkuh bahu Qiana dan mengajaknya pergi.

"Qiana…! Tunggu, Qiana…!" Ibu Maryati berteriak memanggil Qiana, tapi yang dipanggil tetap pergi hingga menghilang di balik gedung rumah sakit.

Qiana dan Alvan berjalan menuju tempat parkir di rumah sakit. Qiana benar-benar merasa kesal dengan semua kejadian hari ini.

Sementara Salsa menangis histeris atas tuduhan juga hinaan dari keluarga Gilang kepadanya. Bahkan keluarga Gilang juga sudah menuduh jika Salsa sengaja melukai dirinya karena ingin memfitnah Qiana.

Kini saat semuanya terlihat indah di depan mata. Semua gelar kemiskinan yang melekat pada Qiana dan kedua orang tuanya berubah menjadi sebuah penghargaan bahkan pengakuan dari mereka yang dulu sangat membenci Qiana dan keluarganya yang miskin.

"Kita cari makan di tempat lain!" ajak Alvan saat sudah berada di dalam mobil.

"Aku udah gak selera!" jawab Qiana malas.

"Kenapa?" tanya Alvan khawatir.

"Masa Abang sampai segitunya bilang aku milyarder segala! Abang berlebihan sekali!" ucap Qiana kesal.

"Dengar, sayang! Saat kita sudah menikah kamu akan menjadi permaisuriku nanti, perusahaan milikku akan menjadi milikmu! Jika kamu melahirkan anak-anakku, semua harta dan asset berharga milikku akan menjadi milikmu. Sedangkan aku akan menjalankan perusahaan milik Oma, semua harta Oma akan menjadi milikku. Sementara Zoya sudah Oma siapkan bagiannya nanti saat dia sudah menikah. Jadi aku tidak berlebihan, bukan?" ungkap Alvan.

"Tapi aku menikah denganmu bukan karena itu, Bang! Aku tulus mencintaimu apa adanya! Sekali pun kamu terlahir dari keluarga miskin seperti aku sekali pun, aku akan tetap mencintaimu!" Qiana menatap dalam mata Alvan yang memandangnya penuh cinta.

"Makasih, sayang! Aku semakin yakin akan ketulusan cintamu padaku." Alvan menggenggam erat tangan Qiana dan mengecup lembut punggung tangannya, sementara tangan yang lain tetap mengendalikan kemudi.

"Abang jangan terlalu berlebihan seperti itu padaku!" Ucap Qiana.

"Kenapa?" tanya Alvan.

"Aku bukan siapa-siapa! Aku hanya gadis miskin yang beruntung bertemu dengan keluarga Pratama Wijaya yang baik dan berhati malaikat." Ucap Qiana.

Seketika Alvan menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan. Alvan kesal mendengar ucapan Qiana, karena merasa apa yang Qiana ucapkan terlalu berlebihan.

"Kenapa berhenti?" tanya Qiana.

"Abang harus menghukummu, sayang!" Alvan menarik ceruk leher Qiana dan mendaratkan ciuman di bibir Qiana, membuat mata Qiana terbelalak.

Setelah lama mereka berpagut mesra hingga hampir saja kehilangan asupan oksigen, barulah Alvan melepaskan pagutannya di bibir Qiana.

"Kalau kamu masih mengatakan itu lagi, Abang tambah hukuman lebih dari itu." Ancam Alvan membuat Qiana bergidik ngeri.

"Ogah!" balas Qiana yang langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, membuat Alvan terkekeh.

"Sayang, kenapa tadi kamu tiba-tiba jadi seorang gadis yang jahat?" tanya Alvan tiba-tiba.

"Maksud, Abang?" Qiana mengerutkan keningnya.

"Itu tadi kamu seperti seorang mafia yang jahat pada Kakekmu juga keluarga Gilang! Abang dengar semua ucapanmu begitu menyakitkan buat Kakekmu juga keluarga Gilang, terutama ibunya. Walau Abang lihat wajahmu tampak sedih dan kecewa saat mengucapkan kalimat itu." Ungkap Alvan.

"Aku sengaja melakukannya agar mereka tidak benar-benar meminta Gilang menceraikan Salsa, dan menuduh Salsa dengan mengatakan kalau anak yang dikandung Salsa bukan anak Gilang. Aku sakit mendengarnya, Bang! Aku juga tidak ingin merubah pikiran dan perasaan Aki terhadapku. Jika Aki menginginkan aku bekerja di perusahaannya, aku khawatir Imelda dan Salsa tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengurus perusahaan itu." ucap Qiana lirih.

"Jujur Abang salut sama kamu, sayang! Meski Salsa sudah jahat sama kamu, dia juga merebut Gilang dari kamu, tapi kamu selalu saja berbuat baik dan bahkan melindungi Salsa tanpa dia sendiri menyadari itu. Sebenarnya hati kamu itu terbuat dari apa sih, sayang? Kok bisa baik banget! Bikin Abang makin cinta deh sama kamu!" goda Alvan mendekatkan wajahnya pada Qiana.

"Sudahlah, Bang! Saat ini aku tidak ingin apa pun lagi! Aku hanya ingin hidup bahagia dengan Abang, laki-laki yang selama ini sangat aku cintai." Balas Qiana.

"Sejak kapan kamu mencintai Abang seperti itu, sayang? bukankah sebelumnya kamu begitu membenci Abang yah?" tanya Alvan menatap curiga.

"Aku tidak pernah membenci Abang! Aku hanya kesal aja sama Abang!" jawab Qiana asal.

"Kesal kenapa?" tanya Alvan.

"Kepooo!" jawab Qiana membuat Alvan menghela nafas.

"Sayaaang…!" wajah Alvan memelas.

"Udah ah! Ayo cepetan jalan! Aku udah kangen ini sama Abah, Ambu, dan Teh Qorie." Ucap Qiana mengabaikan perasaan Alvan yang masih penasaran dengan jawaban darinya.

Alvan kembali mengemudikan mobilnya dengan perasaan dongkol karena tidak mendapatkan jawaban yang puas dari Qiana. Wajah Alvan terlihat datar dengan bibir memberenggut.

"Wajah Abang jelek gitu tahu!" ejek Qiana.

"Bodo amat!" jawab Alvan ketus.

"Cieee marah!" goda Qiana membuat Alvan tidak tahan untuk tertawa melihat tingkah Qiana saat menggodanya.

"Apa Abang harus memberimu hukuman lagi, sayang?" tanya Alvan.

"Jangan!" balas Qiana yang langsung diam.

Suasan di dalam mobil hening seketika. Qiana tidak lagi menggoda Alvan, sebab ancaman Alvan membuat Qiana takut mendapat hukuman yang tidak Qiana sukai. Namun begitu candu buat Alvan.

"Sebentar lagi kita sampai, sayang!" ucap Alvan tanpa menoleh tetap fokus pada jalan yang sedikit macet.

Tidak mendapat jawaban dari Qiana, membuat Alvan penasaran akhirnya menoleh dan melihat Qiana sudah terlelap dalam tidurnya.

"Akh, gadis kecilku yang sangat imut! Akhirnya aku akan segera mendapatkanmu seutuhnya, sayang!" gumam Alvan lirih menatap Qiana sekilas dalam tidurnya.

Dua puluh menit berlalu kemacetan di jalan sudah mulai terurai. Mobil Alvan sudah memasuki wilayah pedesaan menuju ke rumah kedua orang tua Qiana.

Suasana yang segar dengan pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan, serta keadaan jalan yang tidak begitu ramai membuat Alvan membawa mobil dengan santai.

"Kenapa ada tenda, panggung dan janur kuning segala? Apa Teh Qorie dan Gherry mau nikung aku sama Qiana duluan yah? Mereka langsung nikah gitu?" gumam Alvan lirih saat mobilnya sudah sampai di depan rumah kedua orang tua Qiana.

Merasa heran dengan keadaan di halaman rumah keluarga Abah Sambas, Alvan hanya terpaku menatap keramaian di rumah calon mertuanya.

"Aku harus menghubungi Gherry!" ucap Alvan melakukan panggilan telepon untuk Gherry.

"Ya, Al?" sahut Gherry di balik sambungan teleponnya.

"Gher! Lu sama Teh Qorie mau nikung gue sama Qiana yah? Wah curang lu!" ucap Alvan tak terima.

"Maksud lu apa, Al?" tanya Gherry yang tidak mengerti sama sekali.

"Lu jangan pura-pura bodoh, Gherry! Ini rencana lu kan mau bikin kejutan buat kita, tapi keduluan gue yang udah terlanjur tahu kelicikan lu?" tanya Alvan kesal.

"Sumpah, Al! Gue gak ngerti maksud lu apa?" Gherry balik bertanya.

"Oke! Gue ganti video call biar lu tahu, monyong!" umpat Alvan kesal.

"What? Apaan itu? Kenapa ada tenda segala di rumah orang tua Qiana?" Gherry mengerutkan keningnya saat melihat ada tenda dan janur kuning di sana.

"Kenapa lu kaget gitu, Gher?" tanya Alvan semakin kesal.

"Ya gue kaget lah! Lu yang mau tunangan sama Qiana tapi bikin rumah Qiana kayak orang mau nikahan aja dekorasinya. Apa itu gak bikin gue kaget?" ucap Gherry jujur.

"Jadi ini bukan acara penikahan lu sama Teh Qorie?" tanya Alvan penasaran.

"Ya bukanlah!" jawab Gherry meyakinkan.

"Terus pernikahan siapa?" tanya Alvan bingung.

"Mene ketehe…!" jawab Gherry.

Alvan menatap kosong pada tenda, panggung, serta janur kuning yang ada di depan halaman rumah Abah Sambas dan Ambu Kinanti.