Alvan berpikir keras siapa hacker yang ada di balik anjloknya saham kedua perusahaan milik keluarganya. Alvan tidak ingin mencurigai siapa pun sebelum semuanya jelas.
"Gue akan urus masalah ini, Al! Lu dan Qiana urus aja acara pertunangan lu berdua. Jangan sampai ditunda lagi." Usul Evan membuat Qiana tak enak hati.
"Aku rasa acara pertunangan kita bisa ditunda, Bang." ucap Qiana.
"Gue gak setuju!" kilah Evan.
"Kenapa?" tanya Alvan dan Qiana nyaris bersamaan.
"Gue rasa semua ini terjadi karena wasiat Oma, Al! Lu sebentar lagi mau tunangan setelah itu married, kalau lu dan Qiana punya anak secepatnya itu artinya semua asset perusahaan dan harta milik Pratama Wijaya jadi milik lu sepenuhnya. Dan itu yang sedang ditunggu musuh di luar! Jadi lu secepatnya putuskan sebelum perusahaan hancur! Lakukan sesuatu, Al!" pinta Evan yang sudah paham dengan situasi sulit dalam keluarga Pratama Wijaya.
"Apa yang Evan katakan ada benarnya juga, sayang! Sebaiknya serahkan urusan kantor sama Evan, Gherry, Rayn, dan Levi. Jadi kita tetap fokus pada rencana pertunangan kita." Alvan mendekap erat Qiana dalam pelukannya lalu mengecup kening Qiana lembut.
"Anjir…! Gak usah pamer kemesraan depan gue juga kali!" Evan menoyor kepala Alvan, hingga membuat Alvan terkekeh sementara Qiana jadi menahan malu.
"Sorry! Gue terlalu bahagia, bray!" Alvan menyikut lengan Evan.
"Udah jangan banyak bacot lu! Buruan hubungi yang lain suruh datang kemari." Pinta Evan yang tidak ingin melihat Alvan bermesraan dengan Qiana di depannya.
"Kenapa lu?" tanya Alvan.
"Panas gue!" celetuk Evan.
"Nasib jomblo ya begitu! Itu sih derita lu, Van!" cibir Alvan membuat Evan mencebikkan bibirnya.
"Anjir songong amat lu! Mentang-mentang udah mau tunangan!" ledek Evan.
Qiana yang tidak ingin mendengar percakapan kakak angkat dan kekasihnya itu, segera pergi dari ruang kerja Alvan.
Qiana lebih memilih kembali ke dalam kamarnya dan memberi kabar kepada keluarganya soal rencana dirinya yang akan pulang ke Bandung lusa bersama Alvan.
"Kalau gitu hati-hati di jalan yah, Qi! Nanti kalau kamu sudah sampai di Bandung kabari lagi." ucap Ambu Kinanti di balik video callnya kepada Qiana, bersama Abah Sambas, dan Teh Qorie.
"Iya, Ambu." Qiana dan keluarganya sama-sama mengakhiri panggilan videonya.
Qiana sudah tidak sabar ingin segera pulang ke Bandung dan bertemu dengan kedua orang tuanya juga sang kakak tercinta.
Dua hari kemudian, akhirnya Alvan dan Qiana pergi berdua ke Bandung. Sementara Oma Inge, Papi Billy, serta yang lainnya akan menyusul sehari menjelang acara pertunangan Alvan dan Qiana.
"Apa kamu bahagia, sayang?" tanya Alvan.
"Sangat… aku sangat bahagia, Bang!" balas Qiana.
"Apa yang membuatmu bahagia, sayang?" tanya Alvan penasaran.
"Aku bahagia sebab pangeran tampan impianku semasa kecil, akhirnya benar-benar akan menjadi bagian terpenting dalam hidupku." Ucap Qiana tulus.
"Benarkah?" mata Alvan berbinar.
"Tentu saja!" jawab Qiana.
"Terima kasih." Alvan mengecup punggung tangan Qiana.
"Untuk?" tanya Qiana.
"Karena akhirnya Abang bisa memenuhi janji pada gadis kecil kesayangan Abang, untuk menikah dengannya." Balas Alvan tersenyum bahagia.
Bandung, Oktober 2020…
"Bang, kenapa kita ke sini? Ini bukan arah menuju desa tempat tinggal kedua orang tuaku!" tanya Qiana dengan kening berkerut.
"Sebelum kita ke rumah Abah dan Ambu. Abang ingin menunjukkan sesuatu padamu, sayang." ucap Alvan.
"Apa?" tanya Qiana.
"Lihat nanti! Abang yakin kamu akan suka, sayang." ucap Alvan.
Alvan mengemudikan mobilnya hingga menuju perusahaan keluarga Kusuma Wardhana. Melihat hal itu Qiana tampak menatap heran kepada Alvan.
"Kenapa Abang membawaku ke sini?" tanya Qiana tak suka.
"Kamu akan tahu sendiri setelah kita masuk dan bertemu dengan pemilik perusahaan ini, sayang." ucap Alvan tenang, sementara dada Qiana merasa tak karuan dibuatnya.
"Abang jangan macam-macam! Aku tidak suka dengan kejutan ini!" Qiana terlihat kesal.
"Tidak! Abang yakin setelah ini kamu akan senang, sayang." ucap Alvan enteng.
Setelah memarkirkan mobilnya Alvan segera mengajak Qiana turun dan menemui pemimpin perusahaan milik keluarga Kusuma Wardhana, yang tak lain adalah keluarga kakek buyut Qiana dari Ambu Kinanti.
"Masuk!" seorang wanita muda mengajak Qiana dan Alvan masuk ke dalam ruangan utama pemilik perusahaan.
"Qi… Qiana…?" mata Ahmad Kusuma Wardhana terbelalak saat melihat Alvan menggandeng mesra tangan Qiana.
"Anda mengenal calon istriku?" tanya Alvan pura-pura.
"Qi… Qiana ini…" ucapan Ahmad terhenti saat menyadari Qiana sang cucu kandung yang tidak pernah diakuinya sama sekali.
"Qiana adalah calon istriku, beberapa hari lagi kami akan mengadakan acara pertunangan di kediaman rumah kedua orang tua Qiana. Jika anda tidak keberatan, kami mengundang anda untuk hadir di acara itu nanti. Bukan begitu, sayang?" tutur Alvan membuat Ahmad tersentak kaget.
"Selain itu, Qiana juga merupakan manager desainer dari Perusahaan Pratama Wijaya Putra serta asisten pribadi di perusahaan Pratama Wijaya. Jadi kehadiran Qiana dalam meeting kita kali ini sangatlah penting. Karena proyek ini akan langsung ditangani sendiri oleh Qiana. Di perusahaan kami Qiana adalah orang yang sangat penting, jadi apa pun keputusan Qiana nanti kami setuju dan tidak bisa membantahnya." Ungkap Alvan panjang lebar membuat Ahmad panas dingin bermandikan keringat.
"Ka… kalau begitu, kita segera saja mulai." kalimat Ahmad terbata dengan suara bergetar.
"Tentu saja! Ayo, sayang!" Alvan menyungging senyum.
Pertemuan kali ini membuat Ahmad Kusuma Wardhana semakin takjub dengan Qiana. Dirinya tidak pernah menyangka, jika Qiana cucu kandung yang tidak pernah diakuinya kini menjelma menjadi seorang gadis yang luar biasa.
Selain cantik, Qiana juga memiliki kecerdasan serta membuat kesan bahwa cucu kandungnya itu adalah seorang mafia wanita yang super tangguh dalam dunia bisnis. Tidak salah jika Alvan dan Oma Inge mempercayakan beberapa proyek kepada Qiana.
"Qiana…!" seru Ahmad dengan bibir bergetar.
"Ya, Tuan?" balas Qiana dengan tatapan dingin.
"Kenapa kamu memanggilku, Tuan? Aku ini kakekmu, Qiana." Ucap Ahmad membuat Qiana tertawa keras.
"Hahaha… sejak kapan anda memiliki seorang cucu seperti aku? Seingatku, aku juga tidak memiliki seorang kakek seperti anda. Aku hanya terlahir dari kedua orang tua yang miskin, keluarga besar ibuku sudah lama membuang kami karena miskin. Sejak saat itu kami sudah tidak memiliki keluarga apa lagi kerabat yang kaya raya seperti anda, Tuan!" Qiana menahan sesak di dadanya.
"Qiana, jangan seperti itu nak! Maafkan Kakek karena telah bersalah pada kalian. Sekarang Kakek sadar jika perbuatan kakek dulu pada kalian tidak bisa dimaafkan, tapi Kakek mohon beri Kakek kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kakek mohon, Qiana…" Ahmad menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya dengan wajah memelas penuh harap.
"Cukup! Aku harus pergi!" Qiana melangkah meninggalkan Ahmad yang sudah tak kuasa menahan tangisnya, membuat Qiana muak.
Kali ini Qiana tidak lagi bisa menahan air mata kebencian yang selama ini dia tahan sendiri. Qiana berjalan cepat meninggalkan ruang pribadi Ahmad Kusuma Wardhana sang Kakek, sementara Alvan jadi merasa bersalah kepada Qiana.
"Maafkan Abang, sayang! Abang tidak bermaksud membuatmu marah dan sakit hati seperti ini, sayang. Sungguh!" ucap Alvan merasa bersalah.
"Sudahlah, Bang! Lagi pula ini bukan salah, Abang! Aku tahu maksud Abang dan Oma melakukan ini kepadaku, agar Aki bisa menyadari semua kesalahannya yang sudah membuang bahkan tidak mengakui kami sebagai keluarga sekaligus keturunannya." Tangis Qiana penuh sesak.
Alvan tidak tega melihat Qiana menangis seperti itu. Dengan cepat Alvan mendekap Qiana erat dan membawa tubuh mungil gadis yang sangat dia cintai itu ke dalam pelukannya.
Cup…!
Alvan mengecup kening Qiana dengan lembut, berulang kali membelai punggung gadis kecil kesayangannya itu.
"Kita pergi!" Alvan melerai pelukannya saat Qiana sudah tenang.
"Hem." Qiana hanya membalas dengan gumaman.
Alvan kembali mengemudikan mobilnya menuju ke apartemennya. Tanpa Qiana tahu, saat ini Alvan sedang melakukan sesuatu kepada Qiana untuk memberikan kejutan manis dihari pertunangannya lusa.
"Bangun, sayang!" Alvan mengelus pipi mulus Qiana.
"Hemmm…" mata Qiana masih terpejam saat Alvan membangunkannya.
"Masih ngantuk? Kalau gitu Abang gendong yah masuk ke dalam?" goda Alvan spontan membuat Qiana memaksa membuka matanya yang masih ngantuk.
Qiana mengerutkan keningnya saat tahu Alvan membawanya ke apartemen miliknya, bukan ke rumah kedua orang tuanya di desa.
"Kenapa Abang membawaku ke sini?" tanya Qiana heran.
"Abang ngantuk, Qi! Abang gak kuat lagi. Kalau dipaksakan membawa mobil dalam keadaan ngantuk, Abang khawatir kita kecelakan. Jadi sebaiknya Abang istirahat sebentar di sini. Setelah jauh lebih baik baru kita ke rumah Abah dan Ambu." Ujar Alvan beralasan.
"Tapi…" ucap Qiana terpotong karena Alvan meletakkan jari telunjuknya di bibir Qiana.
"Makanya belajar nyetir mobil, biar nanti bisa gentian kalau nyetir. Gak cuma Abang doing yang bawa mobil. Kali-kali kamu juga nyetir buat Abang." Ucap Alvan yang tidak bisa dibantah oleh Qiana.
Qiana hanya menghela nafas panjang dan membuangnya kasar. Dia hanya bisa pasrah dengan apa yang Alvan lakukan padanya kali ini.
Qiana pikir apa yang Alvan ucapkan ada benarnya juga. Jika memaksakan menyetir dalam keadaan ngantuk takutnya mereka akan mengalami hal buruk. Akhirnya Qiana memilih untuk diam.
"Abang tidur yah!" pamit Alvan masuk ke dalam kamarnya saat sudah berada di apartemennya, sementara Qiana duduk di atas sofa.
"Aku harus segera menghubungi Teh Qorie kalau begini! Bisa-bisa Abah, Ambu, dan Teh Qorie cemas karena aku belum datang." Gumam Qiana yang mencoba menghubungi sang kakak melalui sambungan teleponnya.
Sudah tiga kali Qiana mencoba menghubungi Teh Qorie, namun sampai Qiana bosan teleponnya tidak diangkat juga oleh Teh Qorie.
Karena kesal, akhirnya Qiana memilih tiduran di atas sofa sambil memainkan ponselnya. Diam-diam Qiana membuka bursa saham indeks harian, mata Qiana terbelalak saat melihat saham keluarga Kusuma Wardhana.
"Jadi, ini alasan Oma dan Bang Alvan mau menerima kerja sama dengan perusahaan Kakek buyut?" ucap Qiana serius menatap pada layar ponselnya.
Sementara di tempat yang lain seorang laki-laki tengah menghubungi Vino melalui sambungan telepon. Memberikan informasi penting kepada Vino.
"Bagaimana? Ada kabar apa dari Alvan?" tanya Vino di balik sambungan telepon.
"Alvan ada di Bandung sekarang. Dia dan pacarnya sedang berada di apartemennya. Dari berita yang aku dengar, Alvan dan Qiana akan bertunangan lusa." Jawab laki-laki bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam.
"Sial! Mereka lolos lagi! Kalau seperti ini rencana kita bisa gagal!" umpat Vino yang mendapat tatapan tajam dari Om Fariz yang saat ini sedang bersama Vino dan Rayya di tempat tersembunyi.
"Kamu ini bodoh atau tolol, hah? Kenapa bisa semua rencana kamu gagal lagi?" Om Fariz mulai kesal dengan rencana Vino yang selalu gagal.
"Aku harus gimana, Om? Semua sudah aku lakukan, dan hampir saja berhasil! Tapi mereka jauh lebih licin dari yang aku duga." Ujar Vino beralasan.
"Om gak mau tahu, Vino! Setelah ini kamu harus berhasil masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya apa pun caranya! Buat Alvan dan kekasihnya berpisah dan tidak ada pernikahan diantara mereka! Jangan sampai Kak Inge mengeluarkan wasiatnya karena kebodohan kamu, Vino!" gertak Om Fariz membuat Vino jadi geram.
Vino, Rayya, dan Om Fariz kini bergabung menjadi satu membuat sebuah kekuatan baru untuk menjatuhkan Alvan, hingga kedua perusahaan keluarga Pratama Wijaya jatuh ke tangan Om Fariz.
Begitu juga semua harta Pratama Wijaya yang akan Vino ambil alih untuk membalaskan dendam dan sakit hatinya, atas penderitaan sang ibu.
"Kali ini aku tidak akan gagal lagi, Om! Aku pastikan itu!" Vino mengepalkan tangannya dengan rahang yang mengeras dan gigi gemeratuk.
"Aku juga gak mau kalau sampai kekasihku tunangan dengan wanita lain! Kamu harus mencegah agar semua itu tidak terjadi Vino!" ucap Rayya geram.
"Kamu diam saja, Rayya! Apa yang akan aku lakukan semua demi kebaikan kita bersama!" Vino menatap tajam Rayya.
Alvan terbangun dari tidurnya saat menjelang sore. Badannya kali ini terasa lebih fit lagi dan juga bugar.
"Oiy… perut aku lapar banget ini!" Alvan mengelus perutnya yang keroncongan.
"Apa aku pesan makan online aja yah? Atau ngajak Qiana makan di café sebelum ke rumah Abah dan Ambu." Pikir Alvan.
Alvan keluar dari kamarnya dan melihat Qiana tertidur pulas di atas sofa. Alvan mendekat dan merapikan rambut Qiana yang menutupi wajahnya. Alvan menyelipkan rambut Qiana di belakang telinganya lalu membelai wajah Qiana lembut.
"Kita cari makan yuk! Abang lapar, sayang!" ajak Alvan saat melihat Qiana membuka matanya.
"Nyari dimana?" Qiana langsung duduk dan merapikan bajunya.
"Kita pergi ke café!" jawab Alvan.
"Lalu kapan kita ke rumah Abah dan Ambu? Aku udah kangen sama mereka." imbuh Qiana.
"Sekarang kita mandi dulu, setelah itu nyari makan di café. Selesai makan kita langsung ke rumah Abah dan Ambu." Ucap Alvan yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Qiana.
Qiana berdiri dan hendak melangkah menuju kamar tamu di ruang apartemen milik Alvan. Tapi Alvan menahan tangan Qiana dan menarik tubuhnya ke dalam pelukannya.
"Kenapa?" tanya Qiana saat Alvan mendekapnya erat.
"Mandi bareng yuk!" ucap Alvan spontan yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Qiana.
"Modus! Dasar mesum! Mandi aja sendiri!" Qiana melepaskan pelukannya dari Alvan, tapi Alvan justur semakin kuat memeluk Qiana.
"Kalau gitu cium aja, boleh?" tanya Alvan.
"Gak!" Qiana mendorong bibir Alvan yang sudah semakin mendekat ke bibirnya.
Alvan mundur dan melepaskan pelukannya dari Qiana. Tak ingin sang kekasih marah, akhirnya Alvan memilih menahan diri walau sebenarnya sudah sangat ingin mencium bibir Qiana yang selalu membuatnya candu.
"Kita pergi sekarang!" ajak Alvan saat sudah kembali segar selepas mandi.
"Oke!" balas Qiana senang.
Alvan dan Qiana pergi ke sebuah café di dekat apartemen Alvan. Langkah kaki Qiana terhenti saat seseorang memanggil namanya.
"Qiana…?" suara itu sangat Qiana kenal dan tidak asing ditelinganya.
"Apa kabar, Qiana? Akhirnya kita bertemu lagi!" Salsa tersenyum licik dengan smirk di wajahnya.
"Aku baik." Jawab Qiana datar.
"Kamu lihat perutku sudah mulai terlihat, bukan? Sekarang Gilang sudah benar-benar melupakan kamu, Qiana." Salsa tersenyum mengejek.
"Baguslah! Itu artinya kamu tidak perlu khawatir kalau Gilang masih mengejar cintaku, dan meminta aku kembali menjadi kekasihnya." Jawaban telak Qiana membuat Salsa marah.
"Dasar wanita jalang!" Salsa menjambak rambut Qiana.
"Lepaskan, Salsa! Ini sakit!" pekik Qiana.
Alvan mencoba melepaskan tangan Salsa yang menjambak kuat rambut Qiana. Karena merasa sakit di kulit kepalanya, Qiana terpaksa memukul kencang perut Salsa. Seketika Salsa tidak sadarkan diri dan itu membuat Qiana takut.
"Bagaimana ini?" Qiana panik.