Chapter 38 - Bab. 38

Fahlevi sudah keluar dari rumah sakit karena kondisinya sudah mulai membaik. Sementara Qiana diminta untuk pindah ke rumah Oma Inge untuk sementara waktu, sampai Vino dan Rayya tertangkap.

"Bagaimana misi kita selanjutnya?" tanya Fahlevi saat dirinya dan semua sahabatnya tengah berkumpul di markas besar mereka.

"Kita cari keberadaan Vino dan Rayya dulu, lalu kita cari tahu siapa saja dalang di balik semua ini." ucap Alvan.

"Lu kenapa diam aja, Al? Biasanya lu paling vocal kalau urusan misi seperti ini!" sindir Rayn yang melihat Alvan sedari tadi hanya diam dan terlihat seperti sedang berpikir.

"Soal urusan Rayya dan Vino, gue serahin sama kalian aja! Gue males lihat wajah mereka berdua! Jujur gue malu sama diri gue sendiri. Bisa-bisanya gue ketipu wajah polos Vino. Udah gitu gue juga gak nyadar kalau Rayy masih ngincer gue dan itu hampir aja bikin cewek yang gue cintai nyaris celaka karena ulah kedua ular itu!" ucap Alvan geram.

"Terus rencana lu apa, Al?" sambung Gherry.

"Gue…" Alvan tidak melanjutkan ucapannya karena masih ragu tentang perasaannya terhadap kebenaran cerita yang disampaikan oleh Mbah Kakung Dharma.

"Kenapa sih, lu?" Fahlevi jadi penasaran.

"Ini soal nyokap gue." Mata Alvan berkaca-kaca.

"Kalau soal itu kita gak ikut campur! Wilayah lu terlalu dalam, Al! Kita gak berani ikut campur kalau urusan itu!" timpal Evan.

"Tapi kalau memang lu butuh bantuan kita, gue siap bantuin lu! Yang penting misi kita tetap tercapai, kan?" Rayn menyikut lengan Alvan yang masih Nampak berpikir.

"Makasih yah! Kalian semua selalu ada buat gue!" Alvan merangkul Evan dan Rayn yang berada didekatnya, lalu disambut Fahlevi dan Gherry.

"Kita semua sahabat lu, Al! Kapan pun lu butuh bantuan, kita pasti akan selalu ada buat lu! Kita juga bisa seperti ini berkat bantuan lu, yang minta Oma buat ngedukung sekolah kita dulu. Kita semua berasal dari jalanan, dan lu yang bikin kita jadi manusia paling berguna sampai saat ini." tutur Gherry yang mendapatkan anggukan kepala dari Rayn, Evan, dan Fahlevi.

"Laga lu kayak orang nomor satu di Indonesia aja! Penting amat posisi lu yah, Gher?" Alvan menoyor kepala Gherry hingga para sahabatnya itu tertawa keras saling berangkulan.

"Pentinglah! Gue sekarang udah jadi orang! Kalau dulu gue cuma anak jalanan yang paing dungu! Sekarang gue punya segalanya berkat lu sama Oma." Gherry terkekeh dan mengeratkan rangkulannya pada Alvan dan sahabatnya yang lain.

"Intinya kita semua ngucapin makasih sama lu juga Oma dengan cara kita bantuin lu setiap ada kesempatan buat bantuin lu! Kita akan selalu bersama selamanya!" Fahlevi mengulurkan tangannya yang disambut oleh Alvan, Rayn, Evan, dan Gherry.

"Sekali lagi, makasih yah!" timpal Alvan penuh rasa bahagia dengan kebersamaan itu.

"Ngomong-ngomong gimana dengan hubungan lu sama Qiana?" celetuk Evan yang diam-diam ngintip story Qiana dan Alvan.

"Kalian doain minggu depan gue dan Qiana mau tunangan. Rencananya gue mau ke Bandung lusa, biar gak terkesan mendadak." ucap Alvan tersenyum sumringah.

"Gila lu! Udah nyuri start duluan aja dari gue! Ini gak bisa dibiarin! Gue gak boleh kalah dari lu, Al! Secara, cewek yang jadi ayang bebeb gue calon kakak ipar lu! Gue gak boleh keduluan lu, Al!" Gherry menatap tajam Alvan, sementara Alvan sendiri hanya memutar bola mata dengan malas yang langsung mendapat toyoran kepala dari Gherry membuat Rayn, Evan, dan Fahlevi terkekeh.

"Cieee… sahabat yang sebentar lagi statusnya jadi calon adik ipar!" canda Rayn membuat suasana semakin hangat dengan gelak tawa mereka.

"Bantuin gue yah! Urusan Vino dan Rayya biar anak buah kita yang ngerjain! Gue saat ini cuma ingin hubungan gue sama Qiana bisa secepatnya diresmikan." Ucap Alvan bahagia.

"Lu tenang aja, Al! Kita pasti bantuin lu!" Rayn, Fahlevi, dan Gherry kompak menyemangati Alvan sementara Evan hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat.

Di tempat lain, Qiana masih berkutat dengan pekerjaan kantornya. Hari ini Qiana diizinkan lembur oleh Alvan, tentu saja dengan pengawasan anak buah Alvan.

"Lu awasin Qiana sampai dia balik ke rumah Oma! pastikan semuanya baik-baik saja!" ucap Alvan di balik sambungan teleppon kepada anak buahnya.

"Siap, Bos!" jawab anak buah Alvan.

"Gimana? Aman?" tanya Evan.

"Aman!" jawab Alvan.

Rayn, Gherry, dan Fahlevi melanjutkan pekerjaannya untuk mencari informasi lain mengenai keberadaan Rayya dan Vino. Sementara Alvan dan Evan terus mengawasi data perusahaan yang akhir-akhir ini banyak hal yang mencurigakan.

"Gue rasa Vino bukan orang biasa, Al! Dia lebih licik dari orang yang udah ngebajak data perusahaan. Gue rasa Vino juga jago meretas kayak kita." Celetuk Evan saat menemukan beberapa akun bank atas nama Vino yang tidak semudah itu dibuka oleh orang lain yang awam. Hanya Alvan dan Evan yang bisa membuka identitas Vino.

"Ini beneran Vino kan?" Alvan menunjukkan data Vino yang sesungguhnya.

"Gue heran kenapa Vino pakai nama lu, Al?" tanya Evan.

"Bukan nama gue! Tapi hampir mirip! Lu lihat Vino pakai nama Alvin dengan nama belakang yang mirip gue Alvin Pratama Putra Wijaya!" seru Alvan dengan kesal.

"Kenapa Vino harus pakai nama lu, Al?" Evan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ini yang ingin gue selidiki sejak tahu kalau Vino nipu gue dan hampir bikin Qiana celaka juga." Sahut Alvan.

"Kayaknya pencarian kita mengenai keberadaan Rayya dan Vini, gak bisa dipisahin dari misi kita mencari dalang di balik pencurian data perusahaan deh, Al! Coba lu lihat!" tunjuk Gherry pada layar laptopnya.

"Sial! Kenapa Vino gercep bikin reputasi gue hancur!" pekik Alvan tak percaya.

"Seharusnya kalau dia salah memasukkan satu huruf aja di alamat IP nya, dia gak bisa masuk dong! Tapi lihat Vino? Waaaw… dia benar-benar jago meretas!" Fahlevi kagum dengan keahlian Vino yang memang setara dengan Alvan dan Gherry.

"Gue udah males ngurusin masalah Vino, ini kenapa malah data perusahaan udah di hack duluan sama Vino? Akh… sialan Vino!" Alvan merasa geram karena tindakan Vino.

"Gue jadi penasaran, siapa Vino sebenarnya?" Rayn menatap layar laptop dengan wajah serius.

Alvan, Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi memutuskan untuk segera pulang ke rumah masing-masing, sebab hari menjelang sore. Mereka tidak ingin ada musuh yang tahu keberadaan mereka dan juga misi mereka saat ini.

"Sial! Ini kenapa kran di kamar mandi gue gak nyala?" gerutu Alvan kesal.

Alvan mencoba menyalakan kran di dalam kamar mandi yang terdapat di dalam kamar pribadinya. Namun usahanya gagal, Alvan tidak bisa menyalakan kran itu.

Karena sudah merasa badannya lengket dan berkeringat, Alvan tidak ada jalan lain. Alvan melihat jam dinding di dalam kamarnya.

"Akh masih lama. Gue mandi di kamar mandi ini aja!" Alvan masuk ke dalam kamar Qiana, lalu mandi disana.

Sementara Qiana yang pulang diantar bodyguard sewaan Oma Inge dan Alvan, sudah sampai di rumah Oma Inge.

"Baru pulang, sayang?" Oma Inge yang duduk di ruang keluarga melihat Qiana datang.

"Iya, Oma!" jawab Qiana.

"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, apa ada kendala?" tanya Oma Inge.

"Seperti biasa, Oma! Akhir-akhir ini server sering eror, jadi banyak pekerjaan yang tertunda, terpaksa aku harus lembur nanti malam. Aku juga sudah minta Kak Evan untuk datang kesini membantu aku menyelesaikan pekerjaan, tidak apa-apa kan Oma?" keluh Qiana.

"Tidak masalah! Selama itu sebatas pekerjaan. Apa lagi Oma tahu hubungan kamu dan Evan sejak dulu memang baik, dan kalian juga sudah seperti kakak beradik bukan?" ucap Oma Inge.

"Iya, Oma! tenang saja, aku dan Kak Evan akan bekerja dengan professional." jawab Qiana.

"Harus! Kalau tidak nanti cucu kesayangan Oma bisa cemburu! Apa lagi pertunangan kalian sebentar lagi." Lanjut Oma Inge mengingatkan Qiana.

"Iya, Oma! Aku pastikan semuanya akan berjalan sesuai rencana. Aku juga sudah memberitahu Abah, Ambu, dan Teh Qorie." balas Qiana.

"Oma percaya sama kamu, Qi! Sekarang cepat kamu istirahat dan bersihkan diri, agar nanti saat Evan datang tubuh kamu sudah segar dan siap kerja lembur." Oma Inge tersenyum lebar ke arah Qiana.

"Oke, Oma! kalau gitu aku ke atas dulu yah!" pamit Qiana lalu berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

Qiana segera masuk ke dalam kamarnya dan tidak lupa mengunci pintu kamarnya, sebelum akhirnya Qiana melepas semua pakaiannya karena hendak mandi dan membersihkan diri.

"Sebenarnya aku lapar sekali sekarang ini! Tapi, badan udah lengket begini mending mandi dulu deh!" gumam Qiana lalu melangkah ke dalam kamar mandi.

Qiana tidak menyadari jika pintu kamar mandi tertutup rapat. Dengan cepat Qiana menarik handle pintu dan membuka pintu kamar mandi dengan segera dia masuk ke dalam kamar mandi.

Saat Qiana sudah berada di dalam kamar mandi, Qiana baru menyadari jika Alvan sedang asyik mengguyur tubuhnya di bawah shower. Hal itu spontan membuat Qiana berteriak saat melihat Alvan tanpa sehelai kain pun berada di tubuhnya.

"Aaaaa…" teriak Qiana dan Alvan bersamaan.

Beruntung semua kamar di dalam rumah Oma Inge terdapat alat pengedap suara. Sehingga suara teriakan Qiana dan Alvan tidak membuat heboh seisi rumah.

Qiana membalikkan tubuhnya dengan segera seraya menutup matanya dengan kedua tangannya. Sementara Alvan segera meraih handuk dan menutupi tubuhnya sebatas pinggang hingga lutut dengan handuknya.

"Abang, ngapain mandi di sini?" pertanyaan Qiana membuat Alvan memutar bola mata dengan malas.

"Di kamar mandi Abang krannya rusak, sayang! jadi Abang terpaksa mandi disini." Jawab Alvan dengan dada masih berdebar kencang.

"Lalu kenapa gak kunci pintunya?" tanya Qiana.

"Sengaja Abang gak kunci pintu biar kamu gak merasa heran. Kali aja kamu ngira nanti ada pencuri masuk ke dalam kamar kamu, lalu…" Alvan menghentikan ucapannya karena merasa lucu melihat tingkah Qiana.

"Gak mungkin ada pencuri masuk ke kamar ini, kecuali pencuri hatiku!" gerutu Qiana kesal.

"Nah itu kamu tahu!" goda Alvan yang mendekat dan mencolek bahu Qiana.

"Abang jangan macem-macem deh!" ucap Qiana masih membelakangi Alvan.

"Lagian kamu lucu amat sih, sayang! kenapa juga masih berdiri di situ? Bukannya cepat keluar nunggu Abang sampai selesai mandi, ini malah nungguin di sini. Emangnya kamu mau main sama Abanga sekarang, sayang?" goda Alvan membuat Qiana tersadar.

"Eh? Benar juga! Ngapain aku masih berdiri disini?" batin Qiana.

Tanpa menunggu Alvan berkata lagi, Qiana segera pergi keluar kamar mandi setengah berlari. Alvan yang melihat itu hanya menyungging senyum di bibirnya seraya geleng-geleng kepala karena merasa lucu dengan tingkah Qiana.

Alvan segera menyelesaikan ritual mandinya dan kembali mengenakan handuk. Setelah itu, Alvan segera keluar dari kamar mandi dan menghampiri Qiana.

"Gimana ini? Aku udah terlanjur memakai handuk begini? Aku juga udah lihat semua tubuh Bang Alvan, hiiiiih…" Qiana bergidik ngeri saat kembali mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.

"Kenapa?" goda Alvan saat sudah selesai mandi.

"Gak apa-apa! Cepat sana keluar!" Qiana membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Alvan.

"Kamu lucu banget sih kalau lagi gitu, sayang!" goda Alvan kemudian.

"Abang apaan sih? Cepat keluar! Aku mau mandi!" Qiana mendorong tubuh Alvan yang terus menggodanya.

"Mau Abang temani mandinya? Biar hangat…" goda Alvan coba merayu Qiana.

"Gak!" jawab Qiana ketus.

"Galak amat, Yang!?" bibir Alvan mengerucut.

"Buruan keluar!" Qiana segera mengunci pintu setelah Alvan keluar dari dalam kamarnya.

Selesai mandi dan berpakaian rapi, Qiana mau pun Alvan segera turun ke bawah untuk makan malam bersama. Di meja makan sudah ada Oma Inge yang menanti mereka.

"Qi, di depan sudah ada Evan. Ajak dia makan sekalian!" ucap Oma Inge membuat Alvan mengerutkan dahinya. Pasalnya Alvan merasa tidak meminta Evan datang ke rumahnya dan janjian dengan sahabatnya itu.

"Ngapain Evan datang kemari, Qi?" tanya Alvan.

"Ini malam minggu, Bang! Kak Evan mau ngapelin aku kali…" ucap Qiana iseng membuat Alvan cemburu.

"Mana bisa begitu, sayang? Kamu kan calon istri Abang. Ngapain malah minta diapelin sama, Evan?" bibir Alvan mengerucut saat Evan muncul dan tersenyum manis kepada Qiana.

"Hai, Qiana…!" sapa Evan.

"Eh? Gak usah lebay deh lu! Ngapain pake nyapa gitu sama calon bini gue?" Alvan merengkuh bahu Evan dan menutup mata Evan agar tidak menatap Qiana lebih lama.

"Ish, apaan sih? Cembokur lu keterlaluan banget, Al!" Evan menepis tangan Alvan.

"Terus ngapain lu ke sini? Gue gak nyuruh lu datang kan?" tanya Alvan.

"GR banget lu! Lagian siapa yang datang ke sini buat nemuin lu? Gue ke sini mau ketemu, Qiana. Puas, lu?" sahut Evan.

"Ngapain coba?" tanya Alvan.

"Masalah kerjaan lah! Apaan lagi?" ucap Evan santai.

"Awas lu macem-macem sama ayang gue!" ancam Alvan.

"Bodo ah!" Evan langsung saja masuk dan membiarkan Alvan tetap berdiri di tempatnya.

Oma Inge tersenyum kepada Evan lalu mengajaknya makan malam bersama. Suasana makan malam kali ini terasa begitu hangat karena perbincangan antara Oma Inge, Qiana, Evan, dan Alvan mengenai pekerjaan.

"Bagaimana bisa server perusahaan kita eror terus, Qi?" tanya Evan saat mereka sudah selesai makan malam, dan kini berada di ruang kerja Alvan di lantai 2.

"Aku juga gak tahu, Kak! Coba Kakak lihat ini!" tunjuk Qiana pada layar laptopnya.

"Sejak kapan server kita eror seperti ini?" tanya Alvan yang ikut bergabung bersama Qiana dan Evan.

"Gue rasa semenjak kejadian di hotel itu, Al!" pendapat Evan meyakinkan Alvan dan Qiana.

"Bisa jadi!" balas Alvan.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan?" tanya Qiana.

"Aku akan menyerang mereka yang membuat server kita eror seperti ini!" balas Evan.

"Lho! Bukannya itu akun milik…" ucapan Qiana terhenti karena Evan berhasil menyerang balik orang yang sudah membuat data perusahaan kacau.

"Gue berhasil melumpuhkan mereka. Setidaknya sampai kita tahu siapa dalang dibalik semua ini!" ucap Alvan yang dengan mudah menyerang balik hacker yang meretas data perusahaannya.

Sementara orang di balik peretas data perusahaan Alvan dan Oma Inge kini sedang panik. Sebab kini servernya yang berbalik eror dan data dirinya sebentar lagi akan terkuak setelah Alvan dan Evan meretas semua data miliknya.

"Sial! Mereka berhasil menyerang balik! Dan sekarang data yang gue punya hangus semua karena virus yang mereka sebar! Kurang ajar!" laki-laki itu mengepalkann tangannya seraya menutup laptopnya.

"Bang, lihat ini! Saham perusahaan kita anjlok!" pekik Qiana saat kembali mengoperasikan data perusahaan.

Alvan, Qiana, dan Evan saling tatap saat tahu saham di kedua perusahaan Pratama Wijaya benar-benar anjlok. Dan penyebabnya belum bisa mereka ketahui secara pasti.