Oma Inge dan Papi Billy menatap Alvan dalam. Sebagai orang tua, Oma Inge dan Papi billy tahu betul bagaimana Alvan.
"Al…?" Oma Inge menatap lekat.
"Maafkan aku, Oma, Papi. Ini semua salahku! Evan dan Qiana sudah memperingatkan aku, tapi aku tidak peduli sama sekali. Aku terlalu mempercayai Vino lantaran aku merasa Vino seperti adik bagiku." ucap Alvan penuh penyesalan.
"Jadi ini semua perbuatan, Vino?" ucap Oma Inge geram.
"Ya, Oma!" Alvan tertunduk malu.
"Apa Vino melakukannya sendiri?" tanya Papi Billy yang langsung dibalas gelengan kepala pelan oleh Alvan.
"Lalu?" tanya Oma Inge penasaran.
"Vino bekerja sama dengan Rayya." Jawab Alvan datar.
"Apa…?" Oma Inge dan Papi Billy terkejut kompak menatap Alvan dengan tatapan membunuh.
Suasana hening seketika hanya terdengar suara isak tangis penyesalan Alvan saat ini. Oma Inge mendekati Alvan dan memeluk erat cucu kesayangannya.
"Sudahlah! Sekarang kamu bersihkan dirimu lalu istirahat! Besok kita bicara dengan kepala dingin." ucap Oma Inge.
"Tidak bisa, Oma!" tolak Alvan halus.
"Kenapa?" tanya Oma Inge.
"Levi menghilang saat berada di hotel. Sepertinya mereka mengetahui keberadaan Levi lalu menyekapnya disuatu tempat." sahut Alvan membuat Oma Inge dan Papi Billy kembali terkejut.
"Apa…?" mulut Oma Inge dan Papi Billy menganga lebar sementara mata keduanya membulat sempurna hampir keluar dari tempatnya.
"Ya Tuhan, Al! kenapa kalian membahayakan nyawa kalian seperti itu? Apa sebaiknya kita lapor polisi saja?" tanya Papi Billy.
"Tidak, Pi! Jangan lakukan itu! Ini bukan masalah biasa! Mereka tidak akan bisa masuk penjara begitu saja dengan mudah! Vino bukan orang biasa, sementara Rayya dia punya kekasih seorang mafia yang tinggal di Belanda." ucap Alvan ragu.
"Oh my God!" pekik Oma Inge geram.
"Di belakang Rayya dan Vino ada dukungan orang terkuat. Mereka juga ingin menghancurkan perusahaan kita, Oma, Pi!" ungkap Alvan akhirnya buka suara.
"Benarkah?" Papi Billy menatap tak percaya.
"Aku sudah mengirimkan email sama Papi dan Oma. Semua data itu sudah aku periksa bersama Rayn, Evan, Gherry, dan Levi. Seperti yang Oma tahu, kalau Om Fariz juga terlibat! Qiana dan Angel masih jadi tersangka dalam kasus ini." terang Alvan membuat Papi Billy dan Oma Inge geleng-geleng kepala.
"Apa maksudmu email ini, Al?" Papi Billy menunjukkan data perusahaan di dalam laptopnya.
"Ya! Itu kecurangan yang kami temukan. Bahkan tanda tangan Qiana juga dipalsukan di sini." ucap Alvan.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Mi! Kita harus bertindak lebih cepat!" ujar Papi Billy geram.
"Biarkan Alvan bersama sahabatnya yang melakukan itu semua! Mami sudah tahu dan memberi mandat pada mereka." ucap Oma Inge santai.
"Sejak kapan?" tanya Papi Billy yang tidak tahu apa-apa.
"Sudah beberapa hari ini, sebelum Vino datang. Saat itu Fariz menunjukkan semua data perusahaan yang dia palsukan. Entah siapa orang di balik Fariz, yang pasti Mami sudah tahu kecurangan Fariz saat ini dan kita harus lebih hati-hati lagi! Jangan sampai Fariz mengambil semua harta dan perusahaan milik Papimu, Billy!" Oma Inge memperingatkan Papi Billy.
Papi Billy menatap takjub kepada putra kesayangannya. Alvan yang dulu terlihat cuek dan tidak peduli dengan perusahaan milik Papi Erlangga, kini sudah membuktikan bahwa dirinya sudah bertanggung jawab atas tugasnya yang diberikan oleh Oma Inge kepada cucu kesayangannya.
"Bang Al…! Tolong aku! Aku sudah tidak tahan!" suara Qiana terdengar sampai ke kamar Alvan yang memang bersebelahan dengan kamar Qiana.
Alvan menyimpan ponselnya lalu keluar dari kamarnya untuk menemui Qiana. Mata Alvan membulat sempurna hampir keluar dari tempatnya saat melihat tubuh Qiana yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Ya Tuhan, sayang! Apa pengaruh obat bius itu masih ada?" Alvan segera menghampiri Qiana dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Qiana melepaskan seluruh pakaiannya dan membiarkannya berserakan di atas lantai di dalam kamarnya. Tubuh Qiana meliuk-liuk di atas tempat tidur membuat Alvan susah payah menelan salivanya sendiri.
"Bang…! Bantulah aku! Puaskan aku!" desah Qiana.
Alvan membungkus tubuh polos Qiana dengan selimutnya lalu memeluk Qiana erat. Alvan menangis saat melihat Qiana dalam keadaan seperti itu.
Alvan jadi membayangkan jika saja terlambat menolong Qiana, pastilah Qiana sudah digarap oleh si bandot tua yang menjijikkan itu.
"Sayang, kita ke rumah sakit yah? Abang harap pengaruh obatnya akan cepat hilang kalau kamu segera ditangani oleh dokter di rumah sakit, dan mendapatkan penawarnya." Alvan meraih pakaian Qiana dan mencoba memakaikannya, namun lagi-lagi Qiana berontak.
"Panas, Bang! Ayo lakukan apa yang aku mau!" pinta Qiana memelas.
"Kalau Abang tidak menyayangimu, tentu saja Abang sudah melakukannya sejak tadi. Tapi, Abang tidak mau merusakmu, sayang! Walau sebenarnya Abang sangat ingin melakukannya sebagai laki-laki normal sangat tertarik saat melihatmu seperti ini, penuh hasrat luar biasa." Sesak Alvan pada tubuh bagian bawah.
Qiana mencoba bangkit dan meraih bibir Alvan, namun kali ini tubuhnya sulit untuk digerakkan. Qiana menggapai tangan Alvan dan menariknya.
"Ada apa, sayang?" tanya Alvan cemas.
"Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Kenapa dengan aku, hiks…?" Qiana menangis tersedu.
"Tenanglah! Ini bukan apa-apa! Pengaruh obat bius itu masih ada! Tapi jika sudah seperti ini semua akan baik-baik saja! Sekarang tidurlah…" Alvan menutupi tubuh Qiana dengan selimut.
"Aku takut!" Qiana menahan tangan Alvan.
"Sekarang kamu aman, sayang! Ini di rumah Oma, Abang sengaja membawamu kemari. Karena kalau kamu berada di apartemen, Abang takut Rayya dan Vino akan menculikmu kembali dan menyerahkan kamu kepada bandot tua yang menjijikkan itu!" ucap Alvan geram.
"Ya Tuhan! Jadi Vino dan Rayya yang sudah melakukan ini kepadaku?" pekik Qiana terkejut dengan ucapan Alvan.
"Benar! Tapi kamu tenang saja! Rayn, Evan, dan Gherry sedang mengejar mereka. Kita akan membuat perhitungan dengan mereka berdua! Sekarang tidurlah!" Alvan mengecup lembut kening Qiana.
"Aku takut!" rengek Qiana manja.
"Abang tidak akan meninggalkanmu sendiri, sayang! Abang akan menemanimu di sini! Tidurlah!" Alvan merapikan rambut Qiana yang menghalangi wajahnya, dengan menyelipkan di belakang telinga Qiana.
Qiana tidur dengan memeluk tangan Alvan yang kekar. Alvan membelai rambut Qiana hingga gadis manis itu terlelap di dalam tidurnya. Alvan yang merasa kasihan pada Qiana, akhirnya ikut terlelap di samping Qiana.
"Kemana Alvan? Apa dia tergoda dengan pesona, Qiana?" gerutu Gherry yang membuat Rayn sedikit cemburu.
"Gak mungkin Alvan begitu!" Evan membela sahabatnya itu.
"Coba telepon lagi!" ucap Rayn.
"Nyambung! Tapi masih belum diangkat sama Alvan." balas Gherry.
"Jangan-jangan malah molor nih bocah!" sungut Rayn kesal.
"Ya udah sih! Dia juga cape kali ngadepin Qiana yang masih berada di bawah pengaruh obat bius! Malah lebih cape dia dibanding kita! Dia mesti bisa tahan nafsu saat lihat Qiana begitu sambil grepe-grepe, coba lu ada di posisi Alvan sekarang. Tahan kagak lu?" Evan melempar pertanyaan pada Gherry dan Rayn yang langsung dibalas gelengan kepala cepat oleh kedua sahabatnya itu.
"Ya udah! Sekarang ikut gue cari Levi!" ajak Evan.
"Apa ponsel Levi masih nyala?" tanya Gherry.
"Kalau gue lihat, kayaknya masih nyala! Ini posisinya masih di dalam hotel itu! Tapi gue rasa Levi disekap di dalam gudang atau tempat tersembunyi di hotel itu." Sahut Evan.
"Bagaimana kita bisa masuk ke hotel itu?" tanya Rayn.
"Gue gak bisa lacak lewat cctv. Ini masih mati cctv nya." ucap Evan.
"Terus?" Rayn semakin penasaran.
Evan membisikkan sesuatu kepada Rayn dan Gherry. Tak lama mereka bertiga berpencar mencari gudang dan tempat tersembunyi yang mungkin tidak banyak di lalui oleh orang lain di hotel itu, kecuali hanya petugas hotel dan karyawan lainnya.
"Gue dapat!" chat Gherry.
"Dimana?" balas Rayn dan Evan nyaris bersamaan.
"Rooftop! Di sini ada ruangan sepertinya kosong dan Levi pasti disekap di dalam." Balas Gherry.
"Oke gue datang!" Rayn dan Evan segera pergi menuju rooftop tempat Gherry berada.
"Hati-hati!" balas Gherry.
"Oke!" balas Rayn dan Evan serempak.
Sementara di kediaman rumah Oma Inge, Alvan baru saja membuka matanya dan melihat Qiana yang masih terlelap di dalam pelukannya. Alvan merapikan rambut Qiana, lalu menatap wajah cantik Qiana dari dekat.
"Aku mandi dulu yah, sayang!" Alvan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar yang ditempati oleh Qiana.
Selesai mandi Alvan, segera keluar dari kamar mandi dan melihat Qiana sudah bangun dari tidurnya dengan posisi duduk di atas tempat tidurnya.
"Kamu sudah bangun, sayang?" tanya Alvan mengejutkan Qiana.
"Kenapa Abang hanya memakai handuk saja?" Qiana menutup matanya dengan kedua tangannya.
"Jangan malu-malu. Bukankah semalam kamu sangat menginginkannya, benarkan?" goda Alvan membuat Qiana semakin merasa malu.
"Itu tidak benar!" jawab Qiana terus menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya.
"Hahaha… karena Abang sudah membantumu semalam dan terpaksa menahan hasrat. Bagaimana sekarang cara kamu harus berterima kasih sama, Abang?" goda Alvan menaik turunkan alisnya.
"Terima kasih, Abang!" ucap Qiana dengan manis.
"Itu saja tidak cukup, sayang!" tolak Alvan dengan tegas.
"Lalu, apa yang Abang ingin aku lakukan?" tanya Qiana dengan bibir mengerucut.
"Sayang, kamu pasti tahu apa yang Abang inginkan." Bisik Alvan di telinga Qiana dengan wajah yang sudah sangat dekat.
"Aku akan mentraktir Abang makan malam nanti, mau kan?" tawar Qiana dengan manis.
"Tidak! Abang ingin sesuatu yang lain, sayang." ucap Alvan manja membuat Qiana bergidik ngeri.
"Abang tidak bermaksud memintaku untuk melakukan itu, bukan?" tanya Qiana dengan takut.
"Tentu saja tidak! Abang hanya memintamu untuk menerima lamaran, Abang. Setelah itu kita akan segera pergi ke Bandung, untuk meminta restu dari Abah dan Ambu. Abang ingin segera melamar kamu, sayang!" Alvan mengecup tengkuk leher Qiana yang membuat Qiana jadi geli.
"Eh?" Qiana menatap tak percaya kepada Alvan.
"Kenapa?" tanya Alvan menatap lekat pada Qiana.
"Apa itu tidak terlalu cepat? Sedangkan masalah Vino dan Rayya saja belum selesai." ujar Qiana beralasan.
"Setelah masalah ini selesai, Abang tidak ingin menundanya lagi untuk segera melamarmu, sayang! Jangan menolak Abang lagi. Abang sudah tidak tahan melihatmu ditatap oleh laki-laki lain di luar sana!" ucap Alvan manja bergelayut di bahu Qiana.
Alvan meraih tangan Qiana dan mengecupnya berulang kali. Saat yang bersamaan pintu kamar Qiana terbuka dan Oma Inge melihat pemandangan yang tidak biasa dari Alvan dan Qiana.
"Alvan…! Apa yang kamu lakukan di dalam kamar Qiana, dengan hanya mengenakan handuk saja? Dasar cucu gak ada akhlak! Keluar kamu!" usir Oma Inge membuat Alvan lari terbirit-birit keluar dari kamar Qiana. Sekilas Qiana melihat tanda lahir di pinggang sebelah kanan Alvan.
"Tanda lahir itu…!" batin Qiana mengingatnya.
Alvan membalikkan tubuhnya sebelum benar-benar pergi, tersenyum manis pada Qiana. Namun saat Oma Inge menatapnya tajam, Alvan langsung kabur Qiana jadi terkekeh melihat tingkah Alvan.
Oma Inge lalu mendekat pada Qiana yang masih bersembunyi di balik selimutnya. Qiana malu tehadap Oma Inge karena keadaan dirinya yang belum berpakaian.
"Maafkan aku, Oma!" ucap Qiana tertunduk lesu.
"Sudahlah! Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Oma Inge.
"Aku sudah baikan, Oma." jawab Qiana.
"Kalau begitu cepat pakai bajumu! Setelah itu kamu mandi dan bersiap sarapan." kata Oma Inge.
"Baik, Oma." Qiana segera memakai baju dan pergi ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah Oma Inge keluar dari kamarnya.
Sementara saat ini Rayn, Gherry, dan Evan sedang berusaha menyelamatkan nyawa Fahlevi dengan membawa sahabatnya itu ke rumah sakit.
Fahlevi hampir kehilangan nyawanya karena terkurung di dalam ruangan yang tidak memiliki lubang angin sama sekali. Fahlevi mengalami sesak nafas dan hampir saja kehabisan oksigen, beruntung Evan, Gherry, dan Rayn cepat datang dan menolong Fahlevi.
"Gimana, bray? Apa Levi sudah ketemu?" Alvan melakukan panggilan video call dengan mode konferensi pada keempat sahabatnya.
"Levi disekap dalam ruang tertutup di rooftop. Sekarang dia ada di rumah sakit." balas Gherry.
"Sebentar lagi gue nyusul! Ada yang mau gue bahas sama kalian!" Alvan dan sahabatnya mengakhiri panggilan itu.
Setelah pamitan kepada Oma Inge dan Qiana. Alvan segera pergi ke rumah sakit untuk menemui sahabatnya dan melihat keadaan Fahlevi.
"Lu kemana aja semalam, Al? Gue sampe gempor hubungin lu melulu tapi kagak lu angkat juga!" ucap Gherry.
"Kaki lu kali gempor!" Alvan mencebikkan bibirnya.
"Laaah! Pan tangan gue juga gempor jalan mulu di atas layar ponsel, sambil berselancar nyari nomor kontak lu!" celetuk Gherry dengan bibir mengerucut.
Alvan menoyor kepala Gherry lalu menggigit kecil telinga Gherry dengan gemas. Sementara Evan dan Rayn jadi bergidik ngeri melihat tingkah Alvan.
"Lu kenapa, Al?" Rayn menatap Alvan dengan tatapan tak biasa.
"Kenapa emangnya?" Alvan balik bertanya.
"Semalem lu gak ngapa-ngapai Qiana kan?' celetuk Evan yang langsung mendapat toyoran kepala dari Alvan.
"Sialan! Lu kira gue kucing garong, hah? Semalaman gue tersiksa banget nahan hasrat, demi apa coba???" ucap Alvan kesal.
"Seriusan lu kagak ngapa-ngapain, Qiana?" dengan bodohnya Rayn mencengkram rahang Alvan dan bertanya hal yang paling sensitive.
"Anjir! Lu kagak percaya amat sama gue! Gue gak bodoh, Rayn! Punya gue udah ngaceng tapi gue tahan demi Qiana! Gue gak mau sampai ngerusak cewek yang paling gue cintai! Gue beneran sayang sama Qiana." Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut ALvan, setelah sekian lama Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi menunggunya.
Mendengar ucapan Alvan yang benar-benar tulus membuat Gherry, Evan, dan Rayn akhirnya dapat bernafas dengan lega. Lalu saling tatap dan tertawa bersama.
"Eh? Lu pada kenapa sih? Aneh banget?" tanya Alvan.
"Akhirnya lu jujur juga dengan perasaan lu sama Qiana, Al!" celetuk Fahlevi yang sudah sadar dan mendengarkan percakapan keempat sahabatnya itu.
"Jadi…?" Alvan menatap sahabatnya bergantian.
"Alaaah gak usah munafik lu! Kalau emang suka ya tinggal bilang aja suka!" Rayn menjitak kepala Alvan pelan.
"Tahu nih susah amat buat jujur sama perasaan sendiri!" sahut Gherry terkekeh.
"Giliran diembat orang duluan ngamuk dah!" timpal Evan meninju lengan Alvan.
"Wah lu pada udah melakukan kekerasan dalam persahabatan! Gue gak bisa tinggal diam ini! Gue harus laporin kalian karena udah main kasar sama gue!" Alvan merengkuh bahu Evan dan Rayn yang berdiri di sampingnya.
Setelah melewati kekacauan yang sudah dibuat oleh Rayya dan Vino, akhirnya persahabatan Alvan, Gherry, Evan, Rayn, dan Fahlevi kembali menghangat dan tetap terjalin baik seperti dulu.
Tanpa mereka tahu, di depan akan ada masalah baru yang muncul dan membuat persahabatan mereka kembali merenggang, bahkan akan menimbulkan pertumpahan darah diantara Alvan, Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi.