Alvan mencari keberadaan Qiana di setiap kamar hotel yang berada di lantai 3. Sementara yang lain mencari di lantai bagian lain.
"Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan?" chat Alvan kepada sahabatnya.
"Belum!" jawab Rayn, Evan Gherry. Hanya Fahlevi yang sampai saat ini belum menjawab chat Alvan.
"Lev, lu dimana? Apa lu udah nemui sesuatu?" chat Alvan kemudian.
Setelah beberapa lama menunggu masih belum ada jawaban dari Fahlevi. Alvan, Evan, Gherry, dan Rayn jadi khawatir karena tak ada kabar dari Fahlevi.
"Menurut gue sebaiknya kita fokus nyari Qiana dulu! urusan Levi belakangan! Qiana saat ini dalam bahaya!" chat Rayn.
"Oke! Gue setuju!" balas Alvan diikuti dengan Gherry dan Evan.
Saat Rayn sedang membuka pelan salah satu pintu kamar hotel yang sedikit mengusiknya, Rayn segera mendekat dan mencurigai telah terjadi sesuatu di dalam sana.
"Apa…? Itukan… Qiana!" batin Rayn mengintip tak percaya dengan penglihatannya.
Drttt…
Ponsel Alvan, Gherry, dan Evan bergetar karena mereka memang sengaja menggunakan mode vibration pada ponselnya, agar musuh tidak curiga. Rayn mengirimkan pesan gambar di dalam grup bersama keempat sahabatnya.
"Ini Qiana! Dimana dia?" chat Alvan.
"Gue berada di lantai 5 kamar 2201. Di dalam ada orang bersama Qiana!" chat Rayn kemudian.
"Lu jangan gegabah, Rayn! Tunggu orang itu lengah! Jangan sampai keberadaan lu disana mengancam keselamatan Qiana." Balas Gherry.
"Oke! Gue paham, bray! Gue stay di luar. Kalau situasi aman gue masuk! Kalian semua susul gue ke sini, cepat! Tapi tetap berpencar! Waspada selalu!" chat Rayn sambil terus melihat situasi di sekitar.
Lama Rayn bersembunyi di dekat pintu darurat lantai 5 hotel itu, akhirnya seorang laki-laki bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam keluar dari kamar 2201 yang mana Qiana berada di dalam sana.
"Gue masuk sekarang!" chat Rayn.
"Oke! Hati-hati!" balas Alvan, Gherry, dan Evan serempak. Sementara mereka masih dalam perjalanan menyusul Rayn menuju lantai 5.
"Ya Tuhan! Jaga dan lindungi, Qiana!" batin Alvan terasa sesak setelah melihat foto Qiana yang dikirimkan Rayn melalui grup sahabatnya.
Rayn mengendap masuk ke dalam kamar hotel setelah melacak nomor kartu di kamar 2201 itu. Pintu terbuka seukuran kepala Rayn. Saat dirasa keadaan di dalam aman, Rayn segera masuk dengan hati-hati.
"Qiana…!" bisik Rayn lirih.
Qiana yang berbaring di atas tempat tidur ukuran besar di dalam kamar hotel itu tentu saja tidak sadarkan diri dan dalam keadaan kedua kaki serta tangan terikat ke belakang.
"Qiana, bangun! Ini aku, Rayn!" Rayn menepuk pipi Qiana pelan.
Qiana tetap dalam posisi semula. Sepertinya efek obat bius membuat Qiana susah untuk sadar. Rayn yang menyadari keberadaannya di dalam kamar itu bahaya, segera mencari tempat untuk bersembunyi.
"Haaah…! Gue gak punya pilihan lain! gue harus masuk ke dalam lemari!" gumam Rayn saat mendengar pintu kamar sudah dibuka dari luar oleh seseorang.
"Bray! Tahan di sana! Gue masuk ke dalam lemari! Ada seseorang masuk ke dalam kamar dan mendekati Qiana. Dia cowok bertubuh tinggi besar pakai baju serba hitam! Tetap waspada!" chat Rayn pada grup sahabat itu.
"Lu tahu dia siapa?" chat Alvan memastikan.
"Gue gak tahu! Dia berdiri membelakangi lemari." balas Rayn.
Evan baru saja turun dari lantai 7 dan sudah berada di lantai 5 saat ini, sementara Gherry masih berada di dalam lift dari lantai 9 menuju lantai 5. Alvan sendiri hampir sampai di lantai 5.
"Ini Levi kemana sih?" tanya Alvan saat bertemu Evan di lantai 5.
"Jangan-jangan…?" Evan menutup mulutnya dengan mata terbelalak lebar.
"Shittt! Sebenarnya ini kerjaan siapa sih?" Alvan tampak geram.
"Sorry, Al! Gue sejak awal udah curiga sama Vino! Gue yakin ini pasti kerjaan Vino! Siapa lagi kalau bukan dia? Dan yang paling gue takutkan, Vino kerja sama dengan Om Fariz!" tutur Evan dengan wajah tegang.
"Kenapa lu bisa seyakin itu, Van?" tanya Alvan.
"Gue dan Qiana kerja sama untuk mengikuti Vino. Hasilnya gue dan Qiana menemukan sesuatu yang mencurigakan!" bisik Evan lalu menarik tubuh Alvan agar masuk ke dalam pintu darurat saat melihat seseorang tengah berjalan menuju kamar 2201, tempat dimana Qiana berada.
"Satu orang masuk ke dalam! Lu hati-hati di dalam lemari! Jaga pernafasan lu jangan sampai koleps duluan sebelum kita masuk!" chat Evan.
"Mampus! Gue udah engap ini!" chat Evan langsung di balas oleh Rayn.
"Sabar, bray! Please lu bisa bertahan, oke!" chat Alvan.
"Gue bisa bertahan kalau dapat bantuan nafas!" balas Rayn.
"Ntar dah gue bawa Bi Narsih buat bantu lu ngasih nafas buatan!" chat Gherry yang membuat Alvan dan Evan terkekeh, sementara Rayn memutar bola mata dengan malas.
"Anjir lu yah, Gher! Temen lagi menderita gini, lu bisa-bisanya bikin gue tambah bengek! Sialan lu emang! Dasar sahabat kagak punya akhlak!" rutuk Rayn dalam chat nya.
"Hahaha…" Evan, Alvan, dan Gherry kompak mengirim emot tertawa kepada Rayn, sementara Rayn membalas dengan emot menangis.
Seseorang masuk ke dalam kamar hotel nomor 2201, keberadaan mereka direkam oleh Rayn yang masih berada di dalam lemari. Susah payah Rayn berjuang di dalam sana, namun dia tetap bertahan demi menolong Qiana.
"Rayya dan Vino masuk!" chat Rayn disertai foto mereka masuk ke dalam kamar itu.
"Sialan! Kurang ajar sekali Rayya dan Vino! Apa mau mereka?" umpat Alvan geram.
Rayn kemudian merekam semua kegiatan Rayya dan Vino juga dua orang yang bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam.
"Selanjutnya kita apakan gadis ini, bos?" tanya salah satu anak buah Vino yang berpakaian serba hitam.
"Berikan afrodisiak untuknya! Setelah itu biarkan dia lepas dari jeratan tali itu! Sebentar lagi pelanggan kita akan masuk saat gadis ini sadar. Hahaha…!" Vino tertawa puas yang disambut tepuk tangan meriah oleh Rayya.
"Kerja bagus, Vino!" Rayya bergelayut manja di lengan kekar Vino.
"Apa kami boleh mencicipi gadis ini terlebih dahulu, bos?" tanya seorang anak buah Vino.
"Kalian akan menikmatinya setelah pelanggan kita puas! Dia sudah membayar mahal untuk gadis sialan ini!" jawab Vino sinis.
"Rasakan itu gadis gembel!" Rayya tertawa puas akhirnya dia bisa menghancurkN Qiana dengan mudah, dengan begitu dia akan mendapatkan Alvan kembali.
Sementara di luar kamar hotel Alvan sangat geram mendengar rekaman percakapan Rayya, Vino dan anak buahnya yang dikirimkan oleh Rayn.
Jika tidak ditahan oleh Gherry dan Evan, sudah pasti Alvan akan segera masuk ke dalam kamar hotel itu. Tentu saja itu akan membahayakan bagi Qiana yang ada di dalam sana.
Sebab apa pun akan Vino lakukan demi menghancurkan Alvan, sekali pun harus dengan cara melenyapkan Qiana lebih dulu.
"Sabar, bray! Tahan emosi lu! Saat ini Qiana dalam bahaya! Kalau lu nekad Qiana bisa mati di tangan Rayya dan Vino! Oke mereka bisa masuk penjara! Tapi Qiana? Gue gak mau kehilangan adik gue satu-satunya." ucap Evan menahan tubuh Alvan yang sudah memaksa keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Gue juga gak mau calon bini gue sedih kalau tahu adik satu-satunya mati sia-sia di tangan Vino dan Rayya." ucap Gherry keceplosan.
"Haaah…?" Alvan dan Evan kompak menatap Gherry.
"Kenapa? Masalah buat lu berdua? Kalau gue dan Qorrie udah pacaran diem-diem tanpa sepengetahuan kalian?" Gherry nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Anjay! Ternyata lu diem-diem main belakang sama Teh Qorrie?" Evan menoyor kepala Gherry, sementara Gherry sendiri jadi terkekeh.
Saat suasana sedang tegang di dalam kamar hotel. Rayn mengirim pesan dan memberitahu jika Rayya dan Vino sudah keluar dari kamar hotel dan seseorang masuk ke dalam menggantikan mereka.
"Sekarang kita masuk saja! Urusan Rayya dan Vino itu belakangan! Yang penting Qiana selamat dari bahaya dan buaya bunting itu!" ucap Alvan yang sudah tidak sabar untuk membawa Qiana pulang.
"Aaaaah… dimana aku?" Qiana memegang kepalanya yang terasa pusing.
"Kamu sudah bangun, sayang?" seorang laki-laki bertubuh gempal mendekati Qiana yang sudah tidak memakai sehelai kain pun. Tubuh polosnya hanya ditutupi selimut tebal.
"Aaah, siapa kamu? Kenapa kamu berada di sini?" tanya Qiana dengan kesadaran yang belum sepenuhnya.
"Tidak penting siapa aku! Karena malam ini kita akan bersenang-senang, sayang!" suara menjijikkan dari mulut kotor laki-laki bertubuh gempal itu memancing Rayn untuk segera keluar dari tempat persembunyiannya.
"Kurang ajar!" teriak Rayn.
Bugh…!
Rayn menendang bokong laki-laki bertubuh gempal hingga terhuyung ke depan, terjatuh tepat di atas kasur dimana Qiana berada.
"Kak Rayn…?" mata Qiana terbelalak saat melihat Rayn keluar dari dalam kemari
"Jangan sentuh, Qiana!" Rayn menarik tangan bandot tua itu hingga memelintirnya ke belakang.
Saat yang bersamaan ketiga anak buah bandot tua itu turun tangan menyerang Rayn seorang diri. Lawan yang tidak seimbang membuat Rayn kewalahan menghadapi bodyguard si bandot tua.
"Kak Rayn, awas!" teriak Qiana.
Bugh…
Kepala Rayn seketika mengeluarkan darah segar karena sepatu salah satu bodyguard si bandot tua mengenai wajah dan kepala Rayn.
"Sial!" pekik Rayn saat merasakan sakit di kepalanya akibat tendangan anak buah si bandot tua.
Qiana yang masih berada di bawah pengaruh obat bius hanya bisa melihat perkelahian itu, tanpa bisa berbuat apa pun. Tubuh Qiana lemas namun gairahnya terus memuncak.
Sekujur tubuhnya sudah dipenuhi oleh keringat yang semakin deras seiring hasratnya yang sudah menggebu.
"Aaah…" desah Qiana mencuri perhatian si bandot tua.
Saat bandot tua itu mendekati Qiana, tiba-tiba pintu kamar hotel dibuka oleh Alvan yang diikuti Gherry juga Evab di belakang Alvan.
"Bang Al! Tolong aku, aaah…" Qiana sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya.
"Van, Gher bantu Rayn! Gue bantu, Qiana!" seru Alvan.
"Mau apa kamu anak muda?" bandot tua itu menahan langkah Alvan.
"Minggir bandot tua!" hardik Alvan.
Dengan satu kali tangkis di wajahnya, bandot tua itu langsung tersungkur di atas lantai. Saat berusaha bangkit, Alvan menendang bokongnya kembali hingga dia kesulitan berdiri.
"Alaaah cemen lu! Burung lu aja yang gaya bangun gak lurus! Tapi keberanian lu cuma segitu aja?" ledek Alvan membuat bandot tua itu mencelos kesal.
"Bang Al, tolong aku… Ahhh!!!" desahan sensual Qiana membuat Alvan sempat terpancing hingga tidak sadar saat wajahnya terkena pukulan si bandot tua.
"Anjir bajingan lu! Berani nyerang saat gue lengah! Rasakan ini bandot tua bau tanah! Mati aja lu masuk kubur!" Alvan sekali menendang bokong bandot tua itu hingga tersungkur kembali di atas lantai.
Bandot tua itu meringis kesakitan lalu kembali berdiri dan menyerang Alvan saat Alvan hendak menolong Qiana.
Alvan melihat bayangan bandot tua itu di dalam cermin, dengan sigap Alvan menendang kemaluan sang bandot tua hingga dia meringis kesakitan dan akhirnya jatuh pingsan.
"Qiana sayang, kamu tahan sebentar!" Alvan meraih pakaian Qiana yang berserakan di atas tempat tidur dan memberikanya kepada Qiana.
Qiana yang sedang di bawah pengaruh obat bius, bukannya menerima pakaiannya dia justru menarik tubuh Alvan ke dalam pelukannya. Alvan yang belum siap menahan tubuhnya ikut terjerembab di atas kasur.
"Qiana sayang! jangan lakukan itu, aku mohon!" Alvan menahan tangan Qiana dan mengunci tubuh Qiana, lalu mencoba memakaikan baju Qiana.
Qiana terus memberontak dan memaksa Alvan untuk melayani hasratnya yang sudah memuncak.
"Bang, tolong aku! Aku sudah tidak tahan lagi ini!" rengek Qiana dalam pengaruh obat biusnya.
"Tidak, sayang! aku tidak mungkin menghancurkan masa depanmu dengan cara seperti ini! Kalau pun aku mau, aku akan menikahimu terlebih dahulu! Aku mohon, sayang! kamu tahan yah!" Alvan terus mencoba memakaikan baju pada Qiana meski Qiana terus berontak dan sesekali mengigit bibir merah Alvan.
Rayn yang tidak tega melihat keadaan Qiana, dan Alvan kemudian mendekat lalu memukul pelan tengkuk leher Qiana hingga gadis itu tidak sadarkan diri dalam pelukan Alvan.
"Maafkan aku, Qiana. Hiks…" Rayn menangis melihat Qiana seperti itu. Sementara Alvan menepuk bahu Rayn penuh persahabatan.
Dengan cepat Alvan memakaikan baju pada Qiana. Setelah semua baju terpasang di tubuh Qiana, Alvan segera membopong tubuh Qiana dan membawanya keluar dari kamar hotel.
Alvan, Qiana, dan Rayn sudah menunggu di dalam mobil. Setelah meringkus si bandot tua dan ketiga anak buahnya. Gherry dan Evan menghubungi seseorang untuk mengurus tawanan baru mereka.
Evan dan Gherry kemudian menyusul masuk ke dalam mobil yang sama dimana Alvan, Qiana, dan Rayn berada.
"Gimana, Qiana?" tanya Gherry.
"Aman!" balas Alvan.
"Gak ada yang lecetkan?" lanjut Evan.
"Ini berkat kalian semua, Qiana aman!" Alvan memberi salam persahabatan pada ketiga sahabatnya.
Kini persahabatan Alvan dan Rayn kembali membaik setelah kejadian ini. Bahkan demi kebahagiaan Qiana, Rayn rela mengalah membiarkan Qiana bersama Alvan pangeran tampan pujaan Qiana sejak dulu.
"Lu bawa Qiana masuk ke rumah! Gue, Evan, dan Gherry masih ada urusan! Gue juga mau nyari keberadaan Levi. Kayaknya Levi sekarang berada di tangan mereka. gue curiga kalau Levi tertangkap basah." ungkap Rayn.
"Thank's yah, bray!" Alvan menarik bahu Rayn dan membawanya ke dalam pelukannya.
Alvan, Rayn, Evan, dan Gherry saling berpelukan setelah membawa Qiana masuk ke dalam rumah Oma Inge. Tiada yang lebih berarti bagi mereka kecuali persahabatan. Segalanya mampu terkalahkan oleh rasa saling memiliki dan setia kawan.
"Bagaimana keadaan Qiana, Al?" tanya Oma Inge.
"Qiana sudah aman, Oma! aku sudah membawa ke dalam kamarnya." Jawab Alvan.
"Apa kalian akan melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib?" tanya Papi Billy.
"Aku rasa tidak, Pi! Ini hanya akan membuat nama Aku dan Qiana hancur di mata publik, dan ini akan berpengaruh pada perusahaan dan bisnis kita saja. Biar aku dan sahabatku menyelesaikan semua ini dengan cara kami sendiri, tanpa melibatkan pihak lain." balas Alvan.
"Oma setuju! Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas semua kekacauan yang diperbuat ini?" tanya Oma Inge.
Alvan tertunduk malu. Ada rasa penyesalan karena tidak mendengarkan ucapan Evan dan Qiana. Bahkan Alvan percaya begitu saja pada Vino yang baru saja dikenalnya beberapa hari yang lalu.