Jakarta, September 2020…
Alvan dan Qiana sampai di Bandara Soekarno Hatta. Sedianya mereka akan bertolak ke Bandung, namun hal itu diurungkan karena Alvan dan Qiana harus memenuhi undangan dari koleganya malam ini.
"Kita langsung pulang ke rumah Oma yah!" Alvan tidak melepaskan tautan jarinya di tangan Qiana.
"Oke!" balas Qiana.
"Apa kita naik taksi saja?" tanya Alvan.
"Aku rasa itu lebih baik!" balas Qiana.
Akhirnya Alvan dan Qiana segera pergi dari Bandara menuju rumah Oma Inge, dengan menggunakan taksi. Begitu taksi yang Alvan tumpangi bersama Qiana melaju dan keluar dari Bandara. Saat yang bersamaan seseorang masuk ke dalam Bandara dengan menggunakan mobil lain untuk menjemput Alvan.
"Kenapa datang terlambat?" tanya laki-laki dengan pakaian serba hitam.
"Aku rasa aku datang tepat waktu!" balas laki-laki yang baru saja sampai di Bandara.
"TOLOL! Mereka baru saja pergi dengan memakai taksi!" balasnya dengan geram.
"Sial! Rencana aku kali ini gagal!" laki-laki itu mengepalkan tangannya.
"Tenang saja! Nanti malam ada pesta kita beraksi di sana tanpa ada yang curiga. Kamu lakukan yang terbaik sesuai rencana! Jangan sampai gagal kali ini!" ucap laki-laki berpakaian serba hitam.
"Baiklah!" akhirnya kedua laki-laki itu pergi bersama.
Di tempat lain Rayya tengah mempersiapkan baju untuk menghadiri pesta nanti malam. Kali ini Rayya sudah menyiapkan kejutan besar untuk Alvan. Rayya tidak ingin rencananya kali ini gagal.
"Aku pastikan Alvan akan kembali padaku malam ini!" ucap Rayya.
"Apa kamu yakin?" tanya Vivie.
"Yakinlah! Seseorang membantu aku melakukan ini semua!" balas Rayya tersenyum licik.
"Apa imbalannya?" tanya Vivie.
"Aku menjanjikan uang dan tentu saja menghabiskan satu malam bersamanya!" jawab Rayya enteng.
"Gila kamu! Bagaimana kalau Alvan tahu, atau Tio datang saat kamu melakukan itu?" tanya Vivie.
"Aku akan melenyapkan Tio setelah semua harta Tio menjadi milikku seutuhnya!" jawab Rayya dengan seringai licik.
"Dasar otak licik! Hahaha…" Vivie tertawa keras membuat Rayya bangga pada dirinya sendiri.
"Rayya akan selalu mendapatkan apa pun yang dia mau! Ingat itu, Vivie…!" Rayya bersulang dengan Vivie.
Malam pun tiba di sebuah hotel mewah di Jakarta, acara meriah digelar. Tamu undangan yang hadir bukan orang biasa melainkan kalangan menengah ke atas.
"Gadis kecilku cantik sekali malam ini, sayang!" Alvan tak berkedip sedikit pun menatap Qiana.
"Jangan menatapku seperti itu!" Qiana menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kenapa?" tanya Alvan.
"Aku malu! Nanti kamu bisa jatuh cinta padaku." Qiana terkekeh, sementara Alvan menyingkirkan kedua tangan Qiana yang menutupi wajah cantiknya.
"Gadis kecilku tidak perlu malu! Sebab aku akan selalu jatuh cinta padamu…" Alvan menatap lekat Qiana.
Pandangan mata keduanya bertemu. Debaran di dalam dada kedua insan yang sedang jatuh cinta itu terasa kencang dari biasanya. Wajah Qiana dan Alvan sudah sama-sama merah menahan segala rasa yang ada.
"Kita pergi sekarang!" ajak Alvan.
"Ayo!" Qiana menerima ajakan Alvan.
"Al, Qiana! Kalian sudah siap?" Oma Inge menyambut Alvan dan Qiana yang sedang menuruni anak tangga.
Alvan tersenyum kepada Oma Inge dengan tidak melepaskan tautan jari tangannya dari Qiana. Melihat itu Oma Inge ikut merasa bahagia.
"Kalian pasangan yang serasi!" celetuk Oma Inge membuat Qiana semakin merona wajahnya.
"Lihatlah! Gadis kecil Bang Alvan! Betapa anggunnya dia!" Bi Narsih ikut berkomentar.
"Mereka cocok sekali kan?" Oma Inge menepuk pelan pundak Bi Narsih.
"Benar-benar cocok!" Bi Narsih mengacungkan kedua jempolnya.
Alvan, Qiana, dan Oma Inge segera pergi menuju hotel tempat diadakannya acara mewah dari rekan bisnisnya, dengan mobil yang dikemudikan Vino.
Alvan dan Qiana duduk di bangku belakang, sementara Oma Inge duduk di sebelah kemudi bersama Vino.
"Vino! Kapan kamu mau tinggal di rumah Oma?" tanya Oma Inge memecah hening di dalam mobil.
"Aku belum tahu, Oma! Aku masih butuh waktu." jawab Vino tanpa menoleh.
"Sampai kapan?" tanya Oma Inge.
"Sampai tujuanku tercapai." jawaban Vino terdengar ambigu.
Qiana yang mendengar itu spontan menatap Vino melalui kaca spion. Alvan dan Oma Inge yang tidak peka hanya bersikap santai menanggapi ucapan Vino, namun tidak bagi Qiana.
"Vino sedang merencanakan sesuatu!" Qiana mengirimkan chat pada Evan.
"Apa?" balas Evan.
"Aku belum tahu! Tapi yang pasti malam ini aku harus benar-benar waspada!" Qiana kembali mengirimkan chat kepada Evan.
"Kamu dimana?" tanya Evan.
"Aku, Oma, dan Bang Alvan menuju hotel." Chat Qiana kemudian.
"Oke! Aku, Rayn, Gherry, dan Fahlevi menuju hotel. Kamu bersikaplah biasa saja. Tapi ingat! Jangan matikan ponselmu! Cepat hubungi aku jika ada sesuatu yang mencurigakan!" perintah Evan yang dikirim melalui chat kepada Qiana.
"Oke!" Qiana dan Evan segera mengakhiri berbalas pesan melalui ponselnya.
Evan bersama Gherry, Rayn, dan Fahlevi menuju hotel tempat acara itu diadakan. Tampak dari kejauhan mereka mellihat Rayya datang seorang diri dan berbincang dengan Vino.
"Sepertinya Rayya dan Vino sudah lama saling mengenal!" ungkap Gherry curiga.
"Gue rasa juga begitu!" jawab Evan.
"Tapi sejak kapan?" tanya Fahlevi.
"Itu yang gue gak tahu!" balas Gherry membuat Fahlevi dan Rayn kompak memutar bola mata dengan malas.
"Lalu apa rencana kita?" tanya Rayn.
"Lu sama Alvan lagi gak baik! Biar gak ada yang curiga lu ikuti Alvan dan Qiana bareng Levi. Sementara gue dan Evan awasi yang lain!" ucap Gherry.
"Oke!" jawab Evan, Rayn, dan Fahlevi nyaris bersamaan.
"Jangan sampai lengah! Musuh kita banyak dan kita belum tahu siapa aja mereka dan tersebar dimana! Alvan belum menunjukkan rencananya, tapi kita harus tetap waspada!" bisik Evan saat seseorang melintas di depan mereka.
"Mencurigakan!" bisik Fahlevi menunjuk Om Fariz, Rayya, dan Vino dengan wajahnya.
"Alvan mah bucin! Dia kagak mikirin yang lain, pikirannya cuma Qiana aja!" lanjut Rayn dengan nada cemburu.
"Cembokur lu yah?" celetuk Evan.
"Ho'oh!" ucap Rayn keceplosan.
"Haiiishhh…!" Fahlevi, Evan dan Gherry menatap Rayn dengan tatapan membunuh.
"Apa?" tanya Rayn dengan memasang wajah tanpa dosa.
"Bukan saatnya cembokur apa lagi bucin! Saatnya kita beraksi!" bisik Evan.
"Gue ngerasa kita lagi jadi detektif." Gherry terkekeh membuat Rayn, dan Fahlevi memutar bola mata dengan malas.
Suasana pesta di dalam hotel mewah terlihat benar-benar terkesan glamour. Banyak pegiat bisnis yang hadir dalam undangan itu. Alvan berbaur dengan sesama rekan bisnis dengan mengajak Qiana selalu di sampingnya.
"Hai, Al…!" sapa Rayya yang terlihat seksi dengan dibalut gaun pesta berwarna merah cabe dengan tinggi di atas lutut serta dada yang rendah, sehingga menonjolkan bagian dadanya yang lumayan besar.
"Kamu di sini?" hanya itu yang Alvan katakan. Sementara Rayya jadi geram.
"Al, aku ingin bicara denganmu berdua saja!" Rayya menarik tangan Alvan.
"Jaga sikapmu! Ini tempat umum dan kita harus menghargai pemilik pesta ini!" ucap Alvan penuh penekanan.
"Tapi, Al! Ada hal penting yang ingin aku sampaikan sama kamu!" Rayya mulai memaksa Alvan.
"Bisakah ditunda sampai acara ini selesai?" jawab Alvan dengan tegas dan menepis tangan Rayya.
"Al!" Rayya sedikit berteriak dan itu mengundang orang lain yang segera menatap ke arah Alvan dan Rayya berada.
"Sial!" umpat Alvan.
"Bang! Kamu baik-baik saja?" tanya Qiana yang melihat wajah Alvan tersulut emosi.
"Sayang, aku harus pergi!" Alvan menggenggam erat tangan Qiana.
"Aku ikut!" Qiana tidak akan membiarkan Alvan pergi sendiri.
"Ayo!" Alvan membawa Qiana pergi dari keramaian pesta, sementara Rayya mengikuti dari belakang.
Qiana yang sudah tidak nyaman saat Rayya terus memepet tubuh Alvan, berpindah posisi berdiri diantara Rayya dan Alvan. Melihat tindakan Qiana, Alvan tersenyum bahagia.
"Terima kasih, sayang!" gumam Alvan yang masih bisa didengar oleh Rayya.
"Al, kita duduk di sana!" Rayya menunjuk sebuah tempat dengan posisi kursi yang mengelilingi meja berbentuk bundar.
Alvan masih menggenggam tangan Qiana, sementara tangan yang lain berada di dalam saku celananya.
"Al, bisakah kita hanya bicara berdua saja? Biarkan dia duduk di sini dan kita sedikit menjauh." Pinta Rayya yang langsung ditolak oleh Alvan.
"Aku tidak akan meninggalkan calon istriku sendiri, walau dalam keadaan apa pun! Paham?" ucap Alvan tegas.
"Tapi, Al! Apa yang ingin aku sampai padamu ini berhubungan dengan masa lalu kita! Aku tidak ingin dia marah atau tersinggung mendengar percakapan kita!" ujar Rayya beralasan.
"Jika kalian ingin berbicara hal penting apa pun! Tetaplah di sini! Aku tidak akan mendengarkan percakapan kalian! Aku di sini hanya akan menjaga calon suamiku saja!" ucap Qiana tegas membuat Alvan tersenyum senang mendengar penuturan Qiana.
"Terima kasih, sayang! Tetaplah duduk di sampingku!" perintah Alvan.
"Baiklah! Aku menyerah!" Rayya terlihat kesal.
Saat Rayya hendak berbicara kepada Alvan, seseorang tiba-tiba datang dan menyiram air minum beraroma menyengat ke arah Qiana, hingga pakaian Qiana basah terkena tumpahan air minum.
"Hai… hati-hati kamu! Lihat pakaian tunanganku sampai basah seperti ini!" Alvan langsung berdiri dan menarik tubuh Qiana ke dalam pelukannya.
"Maaf! Aku tidak sengaja!" balas orang itu.
"Sayang, aku antar kamu ke toilet untuk membersihkan bajumu!" Alvan membawa Qiana pergi sementara Rayya tersenyum miring dan memberi kode pada seseorang.
Di dalam toilet Qiana berusaha membersihkan pakaiannya yang basah. Saat sedang membersihkan pakaiannya seseorang datang dan menghampirinya.
"Ada yang bisa aku bantu? Kebetulan aku salah satu pelayan dihotel ini! Mungkin kamu butuh pakaian ganti?" tanya pelayan itu dengan ramah.
"Tidak apa-apa! Sebentar lagi juga kering ini hanya basah sedikit saja!" balas Qiana ramah.
"Tidak bisa begitu! Kamu harus ikut menganti pakaian ini! Kalau kamu sampai masuk angin bagaimana?" pelayan itu menarik paksa tangan Qiana.
Saat sedang berjalan menuju pintu toilet, pelayan itu membawa Qiana melalui pintu lain sehingga Qiana tidak bisa memberitahu Alvan yang sedang menunggunya di depan pintu toilet wanita.
"Hei, tunggu! Aku belum memberitahu tunanganku!" Qiana menahan pelayan yang terus memaksanya pergi.
"Jangan banyak bicara!" balas pelayan itu.
Bugh…!
Tiba-tiba seseorang memukul tengkuk Qiana hingga tubuh Qiana luruh di atas lantai dan sudah tidak sadarkan diri.
Dua orang laki-laki membawa tubuh Qiana ke dalam salah satu kamar hotel, tanpa sepengetahuan Alvan.
"Qiana kemana? Kenapa lama sekali?" Alvan mulai terlihat resah menunggu Qiana yang tak kunjung keluar dari dalam toilet wanita.
Qiana sudah berada di dalam sebuha kamar hotel. Kini pakaian Qiana sudah berganti dengan pakaian yang sangat tipis dan transparan. Tubuh Qiana yang indah terlihat seksi dengan pakaian itu.
"Al, sedang apa kamu di sini?" Oma Inge heran melihat Alvan berada di depan pintu utama toilet wanita.
"Aku menunggu Qiana, Oma! Apa Oma mau masuk?" ucap Alvan resah.
"Kamu tunggu di sini! Biar Oma yang mencari Qiana di dalam!" perintah Oma Inge yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Alvan.
Oma Inge segera masuk ke dalam toilet wanita. Saat berada di dalam, Oma Inge tidak melihat Qiana sama sekali. Bahkan semua pintu sudah Oma Inge periksa, tapi Qiana tidak ada di sana.
"Kemana, Qiana?" Oma Inge mulai resah.
"Bagaimana, Oma? Qiana mana?" tanya Alvan dengan wajah khawatir.
"Qiana tidak ada di dalam, Al!" jawab Oma Inge dengan wajah pucat.
"Apa? Lalu dimana, Qiana?" Alvan merasa tubuhnya mulai lemah mengetahui Qiana tidak ada di dalam.
"Apa yang terjadi dengan Qiana?" Fahlevi datang bersama Rayn.
"Kalian di sini?" tanya Oma Inge.
"Qiana mengirim pesan kepada Evan, seseorang sedang merencanakan sesuatu pada kalian!" kata Rayn penuh penekanan.
"Siapa?" tanya Alvan menatap nyalang.
"Vino!" balas Fahlevi.
"Tidak mungkin!" sahut Alvan tak percaya.
"Ini bukan waktunya berdebat! Cepat cari, Qiana!" perintah Oma Inge.
Evan yang mendapat pesan dari Rayn segera memeriksa cctv di sekitar hotel. Evan menggelengkan kepalanya pelan berulang kali.
"Sial! Mereka sengaja mematikan semua cctv di hotel ini!" ucap Evan geram.
"Lalu bagaimana kita bisa menemukan Qiana?" tanya Gherry.
Sebelum menjawab pertanyaan Gherry, Evan segera menghubungi Alvan, Fahlevi, Rayn, termasuk Gherry sendiri dengan menggunakan mode konferensi.
"Ada kabar apa?" tanya Alvan, Rayn, dan Fahlevi nyaris bersamaan.
"Kita berpencar! Terakhir Qiana bilang ada di dalam toilet wanita! Periksa pintu utama dan pintu darurat di sekitar toilet wanita! Kita masuk dan telusuri jalan itu! Mungkin saja ada jalan rahasia menuju ke tempat Qiana berada sekarang!" perintah Evan kepada kelima sahabatnya itu.
"Oke!" Alvan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak menjawab.
Mereka segera beraksi berpencar untuk mencari keberadaan Qiana. Sementara Oma Inge segera menghubungi Papi Billy untuk datang dan menjemput Oma Inge, sebab pesta sebentar lagi selesai.
"Oma sebaiknya pulang! Aku dan sahabatku akan mencari Qiana! Jika Oma masih di sini akan sangat berbahaya untuk keselamatan Oma! Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa Oma!" ucap Alvan sebelum Oma Inge pulang.
"Alvan benar, Oma! situasi di sini sudah mulai tidak aman untuk, Oma!" Rayn membenarkan ucapan Alvan.
"Oma pulang saja dan tenanglah! Kami pasti akan menemukan Qiana dalam keadaan baik-baik saja! Pastikan Oma aman pulang bersama Papi, dan hubungi kami saat sudah sampai di rumah!" ucap Fahlevi.
"Kalau begitu kalian hati-hati! Oma pergi sekarang! Papi sudah ada di depan hotel menunggu Oma di sana!" balas Oma Inge.
Fahlevi yang khawatir kepada Oma Inge, lebih memilih mengantarkan Oma Inge terlebih dahulu menuju mobilnya. Setelah meyakinkan jika Oma Inge sudah pergi bersama Papi Billy, barulah Fahlevi kembali ke dalam hotel untuk membantu mencari keberadaan Qiana.
"Vino…? Ngapain dia di sana?" telisik Fahlevi saat Vino hendak keluar dari salah satu kamar hotel.
Fahlevi diam-diam mengikuti Vino sambil mengendap karena takut seseorang mencurigai keberadaannya. Suasana hotel sudah hampir sepi karena pengunjung pesta sebagian sudah pulang.
"Rayya dan Vino? Ada apa dengan mereka? Lalu Om Fariz dan empppttt…" Fahlevi merasakan ada seseorang yang menutup mulutnya lalu menyeret tubuhnya menjauh dari hotel itu.
Kini Fahlevi tidak sadarkan diri sebab kain yang menutup hidung dan mulutnya sudah dibubuhi dengan serbuk dari obat tidur. Seseorang membawa Fahlevi menjauh dari hotel sehingga satu penyelamat Qiana berkurang.