Mbah Kakung Dharma tampak menghela nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Ada rasa sesak saat membohongi cucu kandungnya sendiri dengan mengatakan jika Mami Mayang adalah putri dari majikannya, sementara dirinya sangat ingin memeluk Alvan sebagai seorang Kakek.
"Mbah…!" suara Alvan mengejutkan lamunan Mbah Kakung Dharma.
"Auh! Maaf…!" Mbah Kakung Dharma gelagapan.
"Kenapa, Mbah?" tanya Alvan memastikan ucapan Mbah Kakung Dharma yang terputus.
"Ahhh… sebaiknya kamu tanya saja kepada yang bersangkutan, anak muda! Mbah takut salah bicara nantinya! Itu bukan wilayah Mbah untuk menceritakan, apa yang Mbak Mayang tidak ingin bercerita pada siapa pun." ujar Mbah Kakung Dharma beralasan.
"Sekarang! Katakan dimana Mami Mayang berada, Mbah! Aku ingin bertemu!" pinta Alvan.
"Semalam Mbak Mayang sudah pergi…" jawaban Mbah Kakung Dharma membuat Alvan lemas seketika.
"Kemana?" tanya Alvan tidak semangat.
Mbah Kakung Dharma hanya menggeleng pelan menjawab pertanyaan Alvan. Sementara Alvan mengusap wajahnya dengan kasar karena merasa usahanya gagal untuk mencari kebenaran.
"Mbak Mayang tidak mengatakannya kepada siapa pun. Dia selama ini selalu memilih untuk bungkam demi kebaikan dirimu, anak muda." ucap Mbah Kakung Dharma.
"Sabar yah! Aku tahu ini sulit buat kamu!" Qiana mengusap punggung Alvan.
"Aku harus bagaimana sekarang, Qiana?" mata Alvan kembali berkaca-kaca.
Mbah Kakung Dharma menatap cucu kesayangannya dengan tatapan haru. Ada rasa sakit yang menjalar di dalam hatinya, sebab dirinya tidak tahu entah sampai kapan harus merahasiakan kebenaran kepada sang cucu yang kini duduk di hadapannya.
Sementara jiwanya terus meronta ingin memeluk dan mengatakan yang sebenarnya kepada sang cucu. Namun terhalang oleh keinginan Mayang putri sematang wayangnya yang selalu melarang dirinya untuk mengatakan apa pun, pada siapa pun terlebih kepada Alvan sang cucu.
"Kita pulang!" ajak Qiana, Alvan hanya mengangguk pelan tidak semangat.
"Aku pulang, Mbah!" ucap Alvan sedih.
"Maafkan, Mbah!" balas Mbah Kakung Dharma lirih.
"Mbah tidak salah! Keadaan lah yang memang tidak pernah bersahabat denganku! Mungkin sudah nasibku yang tidak pernah mengenal dan bertemu dengan ibuku kandungku, serta semua kebenaran yang selalu disembunyikan dariku. Aku pamit, Mbah! Permisi…" Alvan meninggalkan Mbah Kakung Dharma dengan deraian air mata kesedihan.
Qiana menautkan jarinya ke tangan Alvan, demi menguatkan laki-laki yang sedang hancur perasaannya itu. Hari ini bisa Qiana saksikan.
Seangkuh apa pun seorang Alvan Pratama Putra Wijaya, sekasar apa pun laki-laki dingin di sampingnya. Saat hatinya terluka dan dunianya hancur, dia akan menangis juga pada akhirnya sama seperti manusia pada umumnya.
"Menangislah!" Qiana membelai rambut Alvan saat kepala pemuda tampan itu bersandar di bahu Qiana.
Saat ini mereka berada di dalam taksi hendak menuju ke hotel tempat mereka menginap. Qiana tidak tega melihat perasaan Alvan sehancur itu, walau bagaimana pun Qiana bisa merasakan kesedihan Alvan saat ini.
"Ternyata kamu bisa menangis juga, Bang Al!" batin Qiana.
"Qiana… jangan tinggalkan aku! Tetaplah bersamaku! Hanya kamu yang tahu betapa hancurnya hidupku saat ini! Jangan katakan apa pun kepada orang lain tentang ini, baik kepada Oma atau Papi…" ucap Alvan dengan wajah yang sudah sangat basah dengan air mata.
Di tempat yang lain, Mami Mayang sudah tidak tahan lagi dengan semua yang dia lakukan. Awalnya dia masih ingin terus bersembunyi dan tidak menampakkan diri di hadapan Alvan.
Namun saat melihat Alvan pergi sambil menangis barulah Mami Mayang tersadar, jika dirinya begitu merindukan sosok Alvan sang putra yang selama ini selalu dirindukannya.
"Romo…! Atur kepergianku ke Jakarta sekarang!" pinta Mami Mayang kepada Mbah Kakung Dharma.
"Apa kamu ingin menemui anakmu?" tanya Mbah Kakung Dharma.
"Sesuai rencana Romo sebelumnya! Biarlah untuk sementara waktu! Demi keselamatan putraku saat ini, hingga semua kejahatan mereka mulai terbongkar nanti. Aku tidak akan diam lagi kali ini, Romo! Aku tidak bisa membiarkan putraku terus menderita dan kehilangan orang-orang yang dia sayangi." ungkap Mami Mayang dengan mata yang berkaca-kaca.
"Sesuai keinginanmu! Romo sudah menyiapkan semuanya! Siang ini kamu bisa terbang ke Jakarta jadi, bersiaplah!" ujar Mbah Kakung Dharma dengan tatapan sendu.
Laki-laki sepuh itu menangis melihat kesedihan putri semata wayangnya, juga cucu kesayangan yang sulit sekali untuk dipeluk dibelai dan diberikan kasih sayang yang selama ini belum pernah dia berikan, mengingat keadaan yang belum bisa bersahabat baik.
"Apa kita akan kembali ke Jakarta hari ini?" tanya Qiana hati-hati.
"Ya! Aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini. Apa lagi nanti malam kita ada acara undangan dari rekan bisnis kita, Qiana." ucap Alvan masih dalam mode sedih.
"Kamu yakin?" tanya Qiana memastikan.
"Ya! Aku yakin!" jawab Alvan.
Qiana hanya menatap cemas ke arah Alvan. Dapat Qiana rasakan tidak ada sinkronisasi antara bibir dan hati. Ketika bibir seolah bicara tegas, namun hati tetap mellow dengan bukti kuat air mata yang terus mengalir deras membasahi wajah tampan Babang Alvan.
"Baru kali ini aku melihatmu menangis." ledek Qiana.
"Kenapa?" tanya Alvan.
"Jelek tahu!" timpal Qiana terkekeh.
"Aku gak peduli!" sahut Alvan.
"Diiih…! Walau pun lagi sedih masih aja ada yah sisi galaknya!" Qiana terkekeh. Sementara Alvan hanya memutar bola mata dengan malas.
Hidung Alvan sudah semerah tomat sementara matanya bengkak, sebab Alvan menangis tiada henti. Qiana yang tidak tega melihat Alvan dengan wajah seperti itu membawa kain untuk mengompres mata Alvan yang bengkak.
"Kamu tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini! kalau Oma dan Papi tahu, mereka mengira aku yang sudah membuatmu menangis seperti ini!" ucap Qiana dengan bibir mengerucut.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Alvan menatap heran pada Qiana.
"Oma dan Papi mengira kamu masih mengejarku sebagai gadis kecil itu, dan aku akan bersikeras untuk menolakmu! Jadilah kamu menangis dan bersedih seperti ini." ucap Qiana tanpa mengalihkan tangannya di mata Alvan dengan mengompresnya.
Tap…
Alvan mencekal tangan Qiana yang masih bergerak lincah diantara kedua matanya. Alvan menatap dalam mata indah Qiana hingga dirinya menemukan cinta yang selama ini dia cari dalam diri Qiana.
"Aku mencintaimu, Qiana…" ucap Alvan spontan.
Lama Qiana diam mematung dengan kedua tangan yang sudah dikunci oleh Alvan. Ada perasaan bersalah karena lama menggantung harapan seorang laki-laki yang sangat mencintainya.
"Kenapa diam?" tanya Alvan.
"Aku… aku…" Qiana gugup.
"Katakan kalau kamu juga sangat mencintai aku, Qiana!" Alvan menatap semakin dalam mata jernih Qiana.
"Ya Tuhan…!" jerit Qiana dalam hati.
"Apa aku salah yang sangat mengharapkan cinta juga kasih sayang darimu, Qiana? Selama ini aku tidak pernah mendapatkan cinta dan kasih sayang dari wanita lain selain Oma, dan Bi Narsih. Apa sekarang aku bisa mendapatkan cinta dan kasih itu darimu, Qiana?" ucap Alvan penuh harap.
Qiana sebenarnya tidak tega melihat wajah memelas Alvan, namun Qiana tidak yakin dengan perasaannya sendiri saat ini. Qiana tidak ingin salah memilih dan terburu-buru dalam menentukan sikap.
"Aku… aku…" ucap Qiana semakin gugup.
"Heeeuuuh… aku apa, Qiana?" desak Alvan yang sudah tidak sabar.
"Arrrggghhh… entahlah!" batin Qiana bimbang.
Alvan tidak melepaskan genggaman tangannya dari Qiana. Alvan tidak ingin kehilangan kesempatan ini saat sedang berdua dengan Qiana.
"Apa kamu meragukan aku, Qiana? Aku benar-benar sangat mencintaimu, Qiana! Aku berjanji tidak akan membuat kamu menangis dan sakit hati. Aku akan selalu membahagiakan kamu, bidadari kecilku!" ungkap Alvan.
"Apa aku boleh meminta syarat padamu?" tanya Qiana ragu.
"Syarat apa?" tanya ALvan seperti mendapat angin segar.
"Kalau kamu memang mencintai aku, bisakah kamu menjauhi Rayya dan menolaknya saat dia berusaha memelukmu seperti saat itu?" tanya Qiana tertunduk malu.
"Kamu cemburu?" tanya Alvan penuh selidik.
"Cemburu katamu? Mana ada aku cemburu sama kamu dan Rayya! Gak mungkinlah! Aku hanya tidak ingin saat kita menjalin sebuah hubungan, ada yang mengacaukannya nanti. Itu saja!" ungkap Qiana malu-malu.
"Aku janji itu semua tidak akan pernah terjadi pada kita nanti, Qiana! Percayalah!" Alvan berusaha meyakinkan Qiana.
"Gombal!" cibir Qiana.
"Aku serius, Qiana! Aku tidak sedang menggombali kamu saat ini. Aku bukan laki-laki seperti itu! Kalau aku memang mencintai kamu, itu karena aku tulus padamu! Bukan sekedar bualan semata!" tutur Alvan.
"Heuhhh…" sahut Qiana.
"heuhhh, apa?" tanya Alvan penasaran.
Alvan menatap Qiana lekat. Tanpa terasa wajah mereka semakin dekat dengan jarak hanya tinggal beberapa inci saja. Saat sadar spontan Qiana mendorong tubuh Alvan agar segera menjauh.
"Stooop!" pekik Qiana.
"Kenapa?" Alvan terkejut.
"Menjauhlah dariku! Kamu itu otak mesum! Aku gak mau kamu selalu mencari kesempatan saat aku sedang lemah!" ucap Qiana membuat Alvan terkekeh.
"Oke! Aku akan menjauh darimu. Tapi sebelum itu, berikan aku jawaban dulu agar aku melepaskanmu!" ucap Alvan.
"Jawaban apa?" tanya Qiana.
"Aku sangat mencintaimu, Qiana! Mau kah kamu menikah denganku?" tanya Alvan.
"Kalau aku tidak mau? Kamu mau apa?" Qiana tidak peduli sehancur apa perasaan Alvan saat ini. Qiana hanya ingin menguji sejauh mana keseriusan Alvan padanya.
"Maka aku akan memaksa! Pulang dari sini aku akan langsung ke Bandung! Aku akan meminta izin untuk menikahimu langsung pada Ambu dan Abah. Atau kalau bisa, aku akan mengambil penerbangan langsung ke Bandung saja, dan tidak perlu ke Jakarta lebih dulu!" ucap Alvan tegas.
"Benarkah? Kamu gak becanda kan? Kamu serius?" tanya Qiana tak percaya.
"Kapan aku pernah becanda sama kamu, hah?" balas Alvan menatap tajam.
Qiana tidak berkedip saat tatapan keduanya bertemu dan terkunci untuk beberapa detik. Qiana akhirnya tertunduk malu bertatapan dengan Alvan, seketika Alvan menarik dagu Qiana agar tetap menatapnya.
"Jangan mengalihkan pandanganmu dariku, Qiana! Aku ingin kamu selalu menatapku, bahkan hingga mataku tertutup untuk selamanya." ucap Alvan membuat Qiana terperangah.
"Jangan katakan itu! Aku tidak bisa kehilanganmu lagi! Aku takut jika harus pergi lagi dariku, Pangeran tampanku! Aku memang sangat mencintaimu sejak kecil dulu, saat pertama aku menolongmu dulu. Aku tidak pernah bisa melupakanmu sejak saat itu, bahkan aku selalu merindukan pelukanmu itu. Itu alasan kenapa aku tidak pernah menolak saat kamu menciumku, karena aku tahu itu adalah kamu…" mata Qiana berkaca-kaca.
"Apa aku tidak sedang bermimpi, Qiana?" Alvan mencubit tangannya sendiri.
"Tidak pangeran tampanku! Kita berada di alam nyata dan apa yang aku katakan benar adanya!" air mata Qiana meleleh di kedua pipinya, Alvan membantu menyeka air mata Qiana.
"Ah, Qiana…" Alvan membawa Qiana ke dalam pelukannya. Di dekapnya tubuh mungil Qiana penuh cinta.
"Aku sangat mencintaimu, Pangeranku!" ucap Qiana tulus.
"Aku pun sangat sangat sangat mencintaimu, Gadis kecilku!" balas Alvan semakin merekatkan pelukannya.
"Jangan pergi lagi dari hidupku, Pangeran tampan!" ucap Qiana menenggelamkan wajahnya di dalam dada bidang Alvan.
"Tidak akan, Gadis kecilku!" balas Alvan mengecup puncak kepala Qiana lembut.
Kini dua hati yang saling mencintai sudah bersatu dalam ikatan kasih sayang. Bahkan sejak lama Qiana selalu menanti Pangeran tampan impiannya dulu. Sama halnya dengan Alvan yang merindukan Gadis kecilnua itu.
"Apa kita jadi ke Bandung?" tanya Qiana saat sedang berkemas di kamar hotelnya.
"Ya! Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Abah juga Ambu. Terlebih aku akan meminta restu kepada Abah dan Ambu untuk segera menikahimu, gadis kecilku!" Alvan mengapit gemas hidung mancrit Qiana.
"Secepat itu?" tanya Qiana.
"Ya! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, sayang! Aku tidak mau kehilangan gadis kecilku lagi…!" ucap Alvan manja.
"Ah yah, baiklah! Terserah kamu saja!" balas Qiana.
"Sayang…!" panggil Alvan.
"Hem." Balas Qiana.
"Bisakah kamu memanggilku jangan seperti itu?" pinta Alvan memelas.
"Eh?" Qiana mengerutkan dahinya tak mengerti.
"Jangan panggil aku 'kamu'. Bisakah sedikit lebih mesra lagi, sayang?" Alvan bergelayut manja di pinggang ramping Qiana.
Qiana hanya tersenyum malu mendengar penuturan Alvan. Sebenarnya Qiana ingin memanggil Alvan dengan sebutan 'sayang', tapi karena gengsinya yang tinggi, Qiana jadi menahan diri untuk memanggil Alvan dengan kata 'sayang'.
"Kenapa diam?" tanya Alvan.
"Aku ngantuk! Apa boleh tidur sebentar sebelum kita kembali?" pinta Qiana.
"Aku juga ngantuk. Tidurlah!" Alvan menarik Qiana masuk ke dalam pelukannya.
"Aku tidak mau!" Qiana menolak dan mendorong tubuh Alvan.
"Aku tidak akan melakukan apa pun padamu, sayang! Aku hanya ingin memelukmu saja." Alvan mengeratkan pelukannya pada Qiana.
Sementara di tempat yang berbeda Evan dan Gherry dengan ditemani Rayn dan Fahlevi sedang meretas akun dan rekening atas nama Angela dan Qiana.
"Lihat ini! Udah gue duga sebelumnya!" tunjuk Evan.
"Kecurigaan lu benar, Van! Tapi bagaimana dengan Alvan? Apa perlu kita memberitahu dia sekarang?" tanya Fahlevi.
"Gue rasa kita belum saatnya memberitahu Alvan! Bahkan saat ini kita tidak tahu dia ada dimana? Jadi biarkan saja dulu." balas Evan.
"Lalu Qiana? Dimana dia?" tanya Rayn.
"Terakhir gue lihat Qiana pergi bareng Alvan." jawab Gherry.
"Kemana?" tanya Rayn.
"Cek cctv!" perintah Evan.
Gherry dengan lincah mengikuti perkataan Evan mengecek cctv. Saat melihat Alvan dan Qiana menuju Bandara, dan naik pesawat menuju Yogyakarta Gherry menyipitkan matanya.
"Yogyakarta!" pekik Gherry.
"Untuk apa mereka pergi ke Yogyakarta? Apa ada perjalanan bisnis?" tanya Rayn.
"Gue rasa gak ada!" jawab Evan.
"Lalu?" tanya Fahlevi.
"Sepertinya Alvan dan Qiana sedang merencanakan sesuatu tapi mereka tidak ingin melibatkan kita!" sahut Evan.
"Baguslah!" timpal Rayn dengan nada malas.
"Kenapa begitu nada bicara lu, Rayn?" tanya Fahlevi.
"Alvan udah gak peduli dengan persahabatan kita!" balas Rayn.
"Lu ngomong gitu karena cemburu! Coba lu pikir dengan menyampingkan rasa cemburu itu! Situasi kita saat ini lagi dalam masalah." Lanjut Gherry.
"Sportif dulu, bray! Oke!" Fahlevi menepuk pelan bahu Rayn.
Dari kejauhan seseorang sedang tertawa mengejek dengan keadaan persahabatan mereka yang mulai renggang. Perginya Alvan tanpa memberitahu sahabatnya membuat laki-laki itu tertawa penuh kemenangan.
"Aku pastikan persahabatan kalian akan hancur! Sama hancurnya dengan dua perusahaan besar Pratama Wijaya! Hahaha… akhirnya semua harta Erlangga akan jatuh ke tanganku!" laki-laki itu mengepalkan tangannya dengan tatapan membunuh kepada keempat sahabat Alvan.
"Apa kita akan menculik Qiana dan Alvan sekarang?" tanya pemuda di sampingnya.
"Lakukan saat mereka sudah sampai di Bandara!" perintahnya kemudian.
"Baiklah! Aku tidak akan menunda waktu lagi! Aku pergi sekarang!" laki-laki itu melangkah jauh meninggalkan kantornya menuju Bandara.