Alvan harus berusaha merelakan jika kasih sayang Oma Inge akan terbagi juga dengan Qiana, jika memang dia ingin memiliki Qiana seutuhnya.
"Mulai saat ini aku tidak akan marah atau benci kalau kamu dekat dengan Oma. Bukankah memang seharusnya sebagai calon cucu mantu Oma, kamu harus dekat dan menyayangi Oma seperti aku? Dengan begitu, aku tidak khawatir saat Oma menghadapi masa tua nanti. Sebab ada kamu yang akan merawat Oma setulus hatimu, dan aku tahu kalau kamu sangat menyayangi Oma." ungkap Alvan panjang lebar.
"Jadi maksud kamu menjadikan aku istri hanya untuk merawat Oma saja?" sahut Qiana.
"Ya elaaah… salah lagi!" Alvan memutar bola mata dengan malas, sementara Qiana jadi terkekeh.
Malam ini Qiana benar-benar tidur berdua di dalam satu kamar hotel yang sama dengan Alvan. Meski masih ada ruangan lain yang terpisah, tetap saja Qiana merasa tidak enak hati karena hanya berdua dengan Alvan.
Tring…
Ponsel Qiana berbunyi. Sebenarnya Qiana sudah memejamkan matanya hendak tidur. Namun saat mendengar suara ponselnya berbunyi, Qiana jadi membuka matanya kembali dan melihat layar ponsel.
"Kamu belum tidur, Qiana?" tanya Alvan mengirim pesan pada Qiana.
"Belum. Ada apa?" balas Qiana.
"Keluar yuk! Kita jalan ke Malioboro! Aku bosan di kamar terus." chat Alvan kemudian.
"Sekarang?" balas Qiana.
"Tahun depan! Ya sekarang dong, sayaaang…!!!" chat Alvan kemudian.
"Heuuuh! Aku keluar kamar sekarang!" balas Qiana.
Alvan dan Qiana bersiap menuju lobi hotel setelah keluar dari kamar hotelnya. Alvan menautkan jari tangannya dengan jari tangan Qiana. Seperti sepasang kekasih, mereka terlihat serasi.
"Kita cari tempat nongkrong!" ajak Alvan.
"Ayo!" balas Qiana tersenyum senang.
"Kalau datang ke sini, aku jadi ingat saat sekolah dulu." ucap Qiana lirih.
"Oh yah?" sahut Alvan.
"Hem. Dulu saat perpisahan sekolah, ada acara pariwisata ke sini. Ada sekitar 15 bus yang berangkat dari sekolahku dulu, berangkat dari Bandung sekitar jam 8 malam. Aku duduk paling belakang karena Gilang yang mengajakku duduk berdua. Kami menginap di hotel itu." tunjuk Qiana pada salah satu hotel terdekat di sekitar Malioboro.
"Jadi kamu dan Gilang sudah lama berhubungan?" tanya Alvan dipenuhi rasa cemburu saat Qiana masih mengingat masa lalu tentang Gilang.
"Ya! Aku kenal Gilang dan Iqbal sejak masih SMP dulu, hingga SMA. Hanya saja kami berhubungan setelah aku kuliah. Aku berani berhubungan dengan Gilang, sebab aku pikir jika aku kuliah maka orang tua Gilang tidak akan menghina lagi karena aku adalah anak dari keluarga miskin.
"Kenapa begitu?" tanya Alvan penasaran.
"Kamu tahu sendiri kan? Jangankan keluarga Gilang, mereka jelas orang lain. Keluarga aku sendiri membuang kami karena kami ini miskin! Abah hanya seorang buruh pabrik biasa di Bandung, sementara Ambu hanya seorang penjahit dengan modal dengkul. Mana ada yang percaya kalau kami bisa hidup layak seperti mereka." tutur Qiana.
"Jadi itu yang membuatmu menjauh dari keluargamu sendiri?" tanya Alvan lagi.
"Bukan! Aku tegaskan sekali lagi! Kami tidak menjauh dari mareka tapi, mereka yang membuang kami karena miskin! Mereka yang tidak mau mengenal kami karena bukan orang yang memiliki apa pun untuk dibanggakan di hadapan kerabat mereka." jawab Qiana.
"Tapi sekarang kamu sudah sukses, Qiana? Aku rasa suatu hari nanti mereka pasti akan menyesal karena telah membuang kalian." ucap Alvan.
"Saat mereka menyesal nanti, itu akan terlambat untuk mereka sadari." ucap Qiana.
"Kenapa?" tanya Alvan.
"Karena saat itu aku akan membawa Abah, Ambu, dan Teh Qorie pergi jauh ke tempat dimana kami tidak akan bertemu lagi dengan siapa pun!" jawab Qiana tegas.
"Kemana?" tanya Alvan benar-benar penasaran.
"Afrika Selatan!" Qiana nyengir kuda, sementara Alvan memutar bola mata dengan malas.
"Aku serius, Qiana!!!" bentak Alvan merasa tertipu dengan ucapan Qiana.
"Sudahlah! Tidak perlu dibahas lagi! Aku rasa tidak ada gunanya sebab aku dan keluargaku sudah memutuskan, apa pun yang terjadi kami tidak akan kembali kepada keluarga Ambu." ungkap Qiana terlihat menarik nafasnya.
Alvan menatap Qiana tanpa berkedip. Hatinya terenyuh dengan penuturan Qiana. Hanya karena keadaan kedua orang tua Qiana miskin, Qiana dan kedua orang tuanya juga sang Kakak dibuang oleh keluarga besarnya.
"Qiana… maaf! Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Alvan.
"Apa?" balas Qiana datar.
"Kalau suatu hari nanti mereka meminta kalian kembali, apa kalian akan memenuhi keinginan mereka?" tanya Alvan hati-hati.
"Entahlah! Rasanya sulit sekali. Semua penghinaan mereka, caci maki, bahkan tuduhan mereka untuk kami saat itu sangat menyakitkan dan tidak mudah untuk dilupakan." mata Qiana berkaca-kaca.
"Tuduhan seperti apa memang?" Alvan terus mengorek kisah hidup Qiana dimasa lalu.
"Dulu waktu kecil, aku sering membantu Tuan Erlangga membersihkan rumah dinas yang beliau tempati. Karena aku dan Teh Qorie memang dekat dengan beliau, maka beliau percaya kepada kami. Suatu hari Tuan Erlangga kehilangan salah satu barang kesayangan milik beliau, dan aku tidak menyadari itu." ungkap Qiana.
"Aku dan Teh Qorie yang dituduh telah mencuri barang kesayangan Tuan Erlangga. Awalnya aku mengira kalau Tuan Erlangga akan mempercayainya, dan membenci kami. Tapi, aku benar-benar salut dengan kebijaksanaan beliau. Ternyata selama kami sering membantu beliau membersihkan rumah dinas, beliau benar-benar memperhatikan kami." Lanjut Qiana.
"Kamu tahu? Barang kesayangan Tuan Erlangga yang hilang adalah bola Kristal dan lencana emas milik beliau hadiah dari perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan beliau dulu, dan kedua barang itu setiap pagi adalah tugasku untuk membersihkannya. Aku sendiri tidak menyadari jika kedua barang kesayangan itu adalah benda berharga dengan nilai yang sangat tinggi kalau aku jual. Selama ini karena kebodohan dan kemiskinan aku, aku hanya sibuk membersihkan barang itu tanpa peduli terbuat dari apa barang itu dan betapa bernilainya barang itu." tutur Qiana.
"Jadi maksud kamu?" Alvan mengangkat kedua alisnya.
"Maksudku adalah, Tuan Erlangga percaya kalau barang itu bukan kami yang mencuri. Karena beliau tahu kami tidak mengerti dengan kedua barang itu. Dan hanya orang yang tahu nilai dari kedua barang itulah, yang pasti mencurinya dengan menjadikan kami alasan yang kuat sebagai pencurinya sebab kami yang sering berada di dalam rumah dinas Tuan Erlangga untuk membersihkannya." Terang Qiana membuat Alvan manggut-manggut.
"Apa kamu tahu siapa pencuri itu sebenarnya?" tanya Alvan penasaran.
"Kepooo…!" jawaban telak dari Qiana membuat Alvan mencebikkan bibirnya.
"Aku serius, Qiana! Aku akan membuat perhitungan dengan orang itu nanti. Saat aku datang ke Bandung, dan aku akan membersihkan nama baik kamu dan kedua orang tuamu!" pinta Alvan.
"Gak mungkin!" balas Qiana enteng.
"Kenapa gak mungkin?" tanya Alvan.
"Sebab hanya Tuan Erlangga yang tahu, beliau punya cara sendiri untuk menghukum pencuri itu. Bahkan sampai saat ini kami tidak tahu siapa pencuri lencana emas dan bola Kristal milik Tuan Erlangga itu." ucap Qiana membuat Alvan menunduk lemas.
"Jadi, kamu memang sudah sejak kecil mengenal Opa yah ternyata!" celetuk Alvan kemudian.
"Ya! Dari sejak kecil aku mengenal Opa mu. Hanya saja aku tidak pernah melihatmu di rumah dinas itu? Kamu ada dimana saat itu?" tanya Qiana penasaran.
"Aku tinggal di Belanda, saat libur baru akan datang ke Jakarta. Dan saat kejadian penyerangan itu terjadi, dimana aku diselamatkan oleh gadis kecil itu. Itulah pertama kalinya aku datang ke Bandung untuk bertemu Opa, karena Opa ingin mengajak aku jalan-jalan di Bandung saat itu. Sayang kejadian tidak terduga terjadi…" kenang Alvan membuat matanya jadi berkaca-kaca.
Qiana menatap Alvan yang wajahnya kini berubah jadi sedih. Jelas ada gurat kesedihan yang bisa Qiana rasakan pada Alvan. Entah kenapa Qiana jadi merasa iba pada Alvan.
"Qiana! Apa kamu mau membantu aku?" tanya Alvan.
"Untuk?" Qiana mengerutkan dahinya.
"Mencari keberadaan Opa. Aku yakin kalau Opa masih hidup dan seseorang menyembunyikan Opa saat ini." ucap Alvan dengan tatapan kosong.
"Apa kamu mencurigai seseorang?" tanya Qiana.
"Ya! Aku rasa orang yang menculik Opa adalah orang yang sama dengan pencuri bola Kristal juga lencana emas milik Opa. Dan dia juga adalah orang yang sama yang ingin menguasai harta milik Opa dan sedang berusaha melenyapkan aku selama ini." celetuk Alvan.
"Apa itu artinya…?" Qiana tidak melanjutkan ucapannya saat melihat sosok laki-laki paruh baya sudah berdiri di hadapannya tepat di belakang Alvan saat ini.
"Ada apa, Qiana?" tanya Alvan heran melihat ekspresi wajah Qiana yang sedikit pucat.
"Alvan…!" suara yang sangat Alvan kenal sontak membuat Alvan menoleh kepada laki-laki paruh baya yang sudah berdiri di belakangnya.
"Om Wisnu…?" mata Alvan terbelalak sempurna melihat sosok paruh baya itu.
"Apa kabarmu keponakan kesayangan, Om?" Om Wisnu merengkuh bahu Alvan dan memeluknya erat.
"Aku baik, Om! Bagaimana dengan Om sendiri?" tanya Alvan.
"Seperti yang kamu lihat!" Om Wisnu melerai pelukannya dan merentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan kepada Alvan jika dirinya baik-baik saja.
"Terakhir aku dengar Om Wisnu berada di Bandung, bukan?" tanya Alvan.
"Ya! Kamu benar! Om ada urusan bisnis di Bandung dan Om juga memilih tinggal di Bandung karena suasana di Bandung begitu damai dan sejuk. Itu yang membuat Om betah berada di Bandung." ungkap Om Wisnu.
"Lalu kapan Om kembali ke Padang?" tanya Alvan tiba-tiba membuat Om Wisnu terdiam.
Wajah Om Wisnu berubah sedih. Alvan merasa bersalah karena bertanya sesuatu yang membuat Om Wisnu jadi kembali mengingat kenangan buruk di Padang.
"Maafkan aku, Om!" ucap Alvan lirih.
"Sudahlah! Tidak apa-apa! Lalu ada ada kamu datang kemari? Apa kalian ada perjalanan bisnis di sini, Al?" tanya Om Wisnu penuh selidik.
"Ya! Aku dan Qiana sedang dalam perjalanan bisnis, Om. Kami akan tinggal beberapa hari di sini." jawab Alvan terpaksa berbohong.
Alvan tidak mengira akan bertemu dengan Om Wisnu di Yogyakarta. Sedianya Alvan dan Qiana tidak memberitahu siapa pun, jika mereka berdua melakukan perjalanan ke Yogyakarta karena ingin mencari informasi mengenai keberadaan dan kebenaran tentang ibu kandung Alvan.
"Kalian tinggal di hotel?" tanya Om Wisnu.
"Ya! Kami menginap di hotel." jawab Alvan.
Om Wisnu menatap Qiana dan mencoba tersenyum ramah walau sebenarnya senyum itu sangat kaku. Dapat Qiana rasakan jika Om Wisnu tidak suka dengan keberadaan Qiana bersama Alvan.
"Al, Om harus pergi! Teman Om sudah menunggu." Om Wisnu pamit kepada Alvan. Namun saat bertemu pandang dengan Qiana, tatapannya begitu tajam membunuh seperti seorang pemburu yang hendak menerkam mangsanya.
"Eh? Kenapa Om Wisnu menatapku seperti itu?" batin Qiana.
"Om Wisnu sepertinya tidak menyukai, Qiana! Tapi kenapa?" batin Alvan.
Alvan dan Qiana menghabiskan waktu malam bersama di Malioboro, sekedar mampir dan nongkrong di café yang menjadi tempat favorit wisatawan di sana.
Setelah puas nongkrong dan ngopi di café, Alvan mengajak Qiana kembali ke hotel karena waktu sudah mulai larut malam.
"Tidurlah! Besok kita akan menemui seseorang di suatu tempat!" ucap Alvan mengacak pelan rambut Qiana.
"Oke!" balas Qiana seraya berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Sesuai janjinya, selepas sarapan pagi Alvan mengajak Qiana pergi ke suatu tempat untuk menemui seseorang yang bisa dipercaya untuk memberinya informasi mengenai kebenaran tentang perpisahan kedua orang tuanya.
"Ini tempat apa?" tanya Qiana.
"Ini rumah tinggal biasa. Hanya saja pemiliknya adalah keturunan bangsawan berdarah biru. Jadi rumah mereka seperti keraton." ungkap Alvan.
"Istananya mewah sekali!" bisik Qiana.
Alvan hanya mengulum senyum melihat kekaguman Qiana. Setelah mendapat izin masuk, Alvan dan Qiana menuju ke sebuah tempat dimana mereka akan menemui seseorang disana.
"Selamat pagi, anak muda!" sapa seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian adatnya.
"Mbah Kakung!?" Alvan menghambur ke dalam pelukan laki-laki paruh baya yang dipanggil Mbah Kakung itu.
"Apa kabarmu, anak muda?" tanya Mbah Kakung yang tak lain adalah Dharma, ayah Kandung dari Mami Mayang.
"Aku baik, Mbah!" jawab Alvan.
"Siapa dia?" tanya Mbah Kakung Dharma memperhatikan Qiana.
"Dia calon istriku namanya Qiana, Mbah!" ucap Alvan tanpa ragu.
Qiana yang dikenalkan Alvan sebagai calon istrinya hanya menatap Alvan dengan wajah datar. Sementara Mbah Kakung hanya terkekeh bisa menebak reaksi wajah Qiana.
"Ada apa gerangan kamu datang ke tempat ini, anak muda?" tanya Mbah Kakung Dharma.
"Sebelumnya aku minta maaf sama Mbah, kalau aku datang tiba-tiba dan tidak memberitahu Mbah sebelumnya." ucap Alvan segan.
"Mbah senang kedatangan tamu istimewa sepertimu, anak muda." senyum ramah tidak lepas dari wajah Mbah Kakung Dharma.
"Mbah… aku ingin tahu kebenaran mengenai perpisahan kedua orang tuaku dulu. Bukankah Mbah adalah orang yang sangat dekat dengan ibu kandungku? Bukankah Mami Mayang adalah putri tunggal dari majikan Mbah Kakung?" tanya Alvan.
Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat darah di dalam tubuh Mbah Kakung mendesir hebat hingga membuat hawa panas seketika dirasakan oleh laki-laki paruh baya itu.
"Apa yang ingin kamu ketahui tentang ibu kandungmu, anak muda?" tanya Mbah Kakung Dharma mencoba bersikap tenang.
"Semuanya, Mbah! Apa pun itu! Aku ingin tahu semua kebenarannya! Benar atau salah Mami Mayang tetaplah ibu kandungku, wanita yang sudah melahirkan aku! Aku berhak tahu semuanya, Mbah! Setelah aku tahu semuanya, aku akan pergi…" mata Alvan berkaca-kaca.
"Kedua orang tuamu berpisah karena tuduhan seseorang mengenai perselingkuhan Mayang dengan Haris. Kebenarannya adalah Mayang tidak pernah berselingkuh, dan anak yang dia kandung adalah anak dari suaminya! Hanya saja Papi dan Oma kamu terlalu bodoh karena sudah mempercayai orang lain, bahkan menghalalkan segala cara untuk mengambil kamu dari Mayang. Saat kamu lahir, Oma melakukan tes DNA padamu dan Billy. Setelah tahu kamu adalah darah dagingnya, mereka menculikmu saat masih bayi dan memisahkanmu dari ibu kandungmu sendiri." ungkap Mbah Kakung Dharma.
"Tapi dari cerita yang aku dengar tidak seperti itu, Mbah!" sahut Alvan.
"Itu karena mereka ingin menutupi kebenaran darimu, anak muda!" seru Mbah Kakung Dharma.
"Maksud, Mbah?" Alvan semakin penasaran.
"Seseorang ingin menghancurkan Erlangga Pratama Wijaya dengan melenyapkan keluarganya, dan menguasai semua kekayaan milik Erlangga hingga keturunannya." ucap Mbah Kakung Dharma.
"Kenapa Mbah sangat yakin akan hal itu?" tanya Alvan penasaran.
"Itu karena…" Mbah Kakung Dharma tidak melanjutkan ucapannya.
"Karena apa, Mbah? Katakan padaku…!" Alvan menanti dengan wajah tegang.