Alvan berjalan gontai menuju ruangannya. Banyak orang yang menyapa dengan ramah, namun Alvan tidak membalas sapaan mereka.
Merasa aneh dengan sikap Alvan yang tidak seperti biasanya membuat mereka saling berbisik dengan penuh tanya.
"Bang Alvan kenapa yah?" tanya seseorang hingga terdengar di telinga Qiana.
"Kalian sedang membicarakan siapa? Pagi-pagi sudah ngegosip aja!" sahut Qiana.
"Itu Bang Alvan, Qi! Aneh gak biasanya dia cuek begitu sama semua karyawan di sini. Biasanya hangat dan suka menyapa, tapi tadi…" ucap Vionita memberenggut.
Qiana yang mendengar keluhan beberapa temannya hanya mengangkat kedua alisnya, lalu kembali pada aktivitasnya.
Tring…
Ponsel Qiana berbunyi. Ada notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Qiana. Saat melihat layar ponselnya, Qiana melihat nama kontak pengirim pesan yang ternyata Oma Inge.
"Qi, tolong jaga Alvan! Hari ini hatinya sedang kacau! Tolong jaga Alvan untuk Oma yah, Qiana!" pesan Oma Inge untuk Qiana.
"Baik, Oma! Oma tenang saja, aku akan menjaga Bang Al untuk Oma." Qiana mengirim pesan balasan kepada Oma Inge.
Setelah membalas pesan Oma Inge, Qiana segera beranjak dari tempatnya untuk menemui Alvan di dalam ruangannya.
"Apa aku boleh masuk?" tanya Qiana yang langsung mendekati Alvan.
Alvan bergeming masih menundukkan wajahnya di atas meja, dengan menyembunyikan diantara lipatan kedua tangannya.
"Apa aku menganggumu? Kalau begitu aku sebaiknya keluar dan menemuimu nanti saja, setelah kamu siap berbicara denganku." Qiana membalikkan tubuhnya.
Tap…
Alvan mencekal tangan Qiana agar tidak pergi dari ruangannya. Namun Alvan masih belum sanggup memperlihatkan wajah di hadapan Qiana.
Alvan menarik tangan Qiana agar duduk di atas meja, dimana Alvan menyandarkan kepalanya di sana.
"Bicaralah! Aku akan mendengarkanmu!" ucap Qiana lirih.
Bukannya bicara, Alvan justru menenggelamkan wajahnya di atas pangkuan Qiana yang sudah duduk di atas meja kebesaran Alvan.
"Temani aku!" hanya itu saja kata-kata yang keluar dari mulut Alvan.
Qiana membelai rambut Alvan dengan lembut. Entah kenapa tiba-tiba Qiana merasa iba melihat Alvan seburuk ini.
Lama Qiana diam dalam pikiran dan perasaan iba terhadap Alvan. Hingga Alvan mengangkat wajah dan menatap Qiana dengan tatap sendu.
"Qiana. Hiks… hiks…" Alvan menangis tersedu dalam pangkuan Qiana.
Merasa kasihan kepada Alvan, Qiana turun dari atas meja dan duduk di samping Alvan pada lengan kursi kebesaran. Dengan erat Qiana memeluk Alvan dan membelainya penuh cinta.
"Menangislah sampai kamu merasa lebih baik. Setelah itu ceritalah padaku, bagikan segala duka dan sesak yang mengganggumu. Aku siap mendengar keluh kesahmu." ucap Qiana lirih.
Alvan benar-benar menangis tergugu di dalam pelukan Qiana. Alvan membenamkan wajahnya di dalam dada Qiana dan membuang sebah di dada.
Saat yang bersamaan Rayn datang membuka pintu ruangan Alvan. Melihat Alvan berada di dalam pelukan Qiana, membuat Rayn mengurungkan niatnya untuk menemui Alvan.
"Bianca! Tolong cegah yang lain jika akan menemui Alvan di dalam. Ini perintah dari aku!" ucap Rayn tegas.
"Baik, Kak!" sahut Bianca.
Rayn melangkah meninggalkan ruangan Alvan dengan perasaan yang campur aduk. Antara cemburu, marah, sakit hati, tapi juga kasihan melihat Alvan yang tidak biasanya seperti itu.
Saat Alvan diputuskan Rayya hampir lima tahun yang lalu, Alvan tidak sehancur itu. Namun hari ini, dapat Rayn rasakan jika Alvan sedang berada dititik terendah saat ini.
Sebagai sahabat yang baik, Rayn mengerti penderitaan Alvan meski dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi, hingga membuat Alvan sampai seperti itu.
"Qiana…!" panggil Alvan.
"Ya!" Qiana menyahut.
"Apa kamu percaya padaku?" tanya Alvan masih menenggelamkan wajahnya di dada Qiana.
"Tentu saja!" balas Qiana.
"Aku harus pergi ke Yogya sekarang! Tapi aku tidak ingin orang lain tahu, terlebih Oma dan Papi. Apa kamu bisa ikut menemani aku pergi?" tanya Alvan.
"Untuk apa?" Qiana menangkup wajah Alvan dengan kedua tangannya menatap jauh ke dalam mata Alvan untuk mencari sebuah kebenaran disana.
"Aku harus menemui seseorang dan aku harus memastikan jika orang itu benar-benar bisa dipercaya." ucap Alvan dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah! Aku aka pergi menemanimu!" balas Qiana.
"Terima kasih, Qiana. Aku sangat mempercayaimu!" Alvan mengecup punggung tangan Qiana.
Saat Alvan sedang bersama dengan Qiana di dalam ruangannya. Om Fariz datang, meski Bianca sudah memberitahu jika Alvan sedang tidak ingin bertemu siapa pun untuk saat ini.
"Bagaimana, Kak Rayn? Om Fariz memaksa untuk bertemu Bang Alvan? Apa aku izinkan saja dia menemui Bang Alvan di dalam?" tanya Bianca.
"Biarkan saja! Toh di dalam ada Qiana juga!" balas Rayn datar.
"Bagaimana kita bisa tahu apa yang Om Fariz bicarakan dengan Alvan?" tanya Evan.
"Minta Qiana mengangkat teleponmu tanpa mereka tahu!" jawab Rayn.
"Baiklah! Aku akan mencobanya." Ujar Evan.
Semenjak pertengkaran Alvan dan Rayn tempo hari, hubungan keduanya sedikit renggang. Hal ini dimanfaatkan oleh Om Fariz untuk terus mendekat kepada Alvan.
Oma Fariz tahu betul kelemahan Alvan. Bukan karena wanita, bukan karena patah hati. Kelemahan Alvan berada pada hubungan persahabatannya dengan Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi. Juga kasih sayangnya terhadap Oma Inge dan Papi Billy.
"Ada apa, Om?" tanya Alvan saat Om Fariz sudah dengan lancing masuk ke dalam ruangan Alvan saat Alvan sedang bersama Qiana.
"Om ingin bicara denganmu, Al! Bisa kita bicara berdua saja?" tanya Om Fariz.
"Qiana adalah tunanganku, dia calon istriku juga orang kepercayaanku saat ini. Jadi, tidak ada salahnya bukan jika aku membiarkan Qiana tetap berada di sini bersamaku? Jika Om keberatan, maka aku dan Qiana akan pergi!" ucap Alvan tegas yang tidak bisa ditolak oleh Om Fariz.
"Baiklah! Terserahmu saja, Al!" timpal Om Fariz sedikit kesal.
"Ada apa sebenarnya, Om?" Alvan mengulang pertanyaannya.
"Ini mengenai perusahaan. Om akhir-akhir ini menemukan sesuatu yang janggal dari laporan keuangan di departeman yang Qiana pegang saat ini." ucap Om Fariz seraya menyerahkan beberapa berkas laporan keuangan.
Alvan menerima berkas itu dan melihat seluruh isinya bersama Qiana. Kening Alvan berkerut saat melihat angka di dalam laporan keuangan itu, tak jauh beda dengan Qiana yang dibuat terkejut dengan hasil laporan keuangan tahunan.
"Sayang, apa kamu tahu sesuatu tentang laporan ini? Tolong jelaskan padaku, kenapa ini bisa terjadi?" ucap Alvan membuat Om Fariz jengah, pasalnya sikap Alvan begitu mesra kepada Qiana.
Dapat Alvan lihat dengan ekor matanya, jika Om Fariz terlihat geram kepada sikap Alvan terhadap Qiana.
"Aku sama sekali tidak tahu soal laporan keuangan ini! Bagaimana bisa pengeluarannya membengkak seperti itu? Sementara pemasukan hanya 30% saja?" ungkap Qiana.
"Apa kamu mencurigai seseorang, sayang?" ucap Alvan penuh sandiwara.
"Entahlah! Sepertinya kita memang harus menyelidiki ini bersama-sama." ucap Qiana membuat Om Fariz panas dingin.
"Om rasa tidak perlu! Biar Oma saja yang melakukannya." Om Faris menimpali.
"Kalau begitu kita bisa bersenang-senang, Qiana! Bukankah kamu ingin kita jalan-jalan berdua ke Yogya?" bisik Alvan di telinga Qiana yang masih bisa di dengar oleh Om Fariz.
"Apa kalian berdua akan pergi berlibur, Al?" tanya Om Fariz seperti mendapat angin segar.
"Iya, Om!" jawab Alvan tersenyum tipis.
"Kemana?" tanya Om Fariz.
"Rencananya aku dan Qiana akan pergi ke Yogya, Om." ucap Alvan.
Uhuk…
Uhuk…
Uhuk…
Om Fariz tersedak ludanya sendiri mendengar ucapan Alvan. Om Fariz terkejut saat Alvan mengatakan akan pergi berlibur ke Yogyakarta bersama Qiana.
"Ada apa, Om? Apa Om baik-baik saja?" tanya Alvan dengan smirk di wajahnya.
"Ti… tidak ada apa-apa! Om hanya terkejut saat kamu mengatakan akan berlibur ke Yogyakarta. Sungguh Om tidak mengira kalau akhirnya kamu akan mengunjungi kota itu, Al!" ungkap Om Fariz membuat Alvan mengerutkan dahinya.
"Memangnya ada apa di kota itu, Om?" tanya Alvan tiba-tiba.
"Apa Oma dan Papi kamu tidak pernah memberitahu soal apa pun padamu, Al?" Om Fariz balik bertanya.
"Tidak! Apa itu, Om? Boleh aku tahu?" ujar Alvan datar.
"Mengenai Mami mu." ujar Om Fariz kemudian.
"Mami? Apa yang Om tahu mengenai Mami?" mata Alvan berbinar.
Melihat itu, Om Fariz berusaha mencari celah untuk menciptakan rencana baru yang selama ini sudah dia susun sedemikian rupa agar segera terlaksana.
"Apa Om Fariz ini orang yang tulus dan bisa dipercaya?" batin Qiana.
Alvan sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita dari Om Fariz mengenai kebenaran yang terjadi saat kedua orang tuanya berpisah dulu.
"Saat masih bekerja di perusahaan milik Oma kamu, seorang staf keuangan bernama Haris diam-diam menjalin hubungan dengan Mami kamu. Tak lama setelah itu Mami kamu hamil dan entah mengandung anak siapa, sebab selama tiga tahun menikah dengan Papi kamu belum juga hamil. Saat melahirkan kamu, Mami kamu menyerahkan kamu kepada Oma dan dia pergi dengan Haris. Sampai sekarang keberadaan mereka tidak diketahui, bahkan Haris dan Mayang mengambil alih salah satu perusahaan milik Oma kamu, Al." cerita Om Fariz meyakinkan Alvan.
Setelah menceritakan semuanya Om Fariz pergi meninggalkan Alvan dan Qiana di dalam ruangan Alvan. Seolah merasa dibohongi Alvan menjambak rambutnya dengan kasar.
"Ada apa?" tanya Qiana cemas dan menghentikan tindakan Alvan yang menyakiti dirinya sendiri.
"Aku sudah tidak sanggup mendengar cerita yang sebenarnya, Qiana! Siapa yang harus percaya sekarang? Sementara Papi dan Oma tetap bungkam tidak sedikit pun menceritakan semua kejadian yang sebenarnya. Lalu aku harus percaya pada siapa lagi, Qiana? Di saat aku benar-benar ingin tahu kebenarannya dan mempercayai seseorang, tidak satu pun yang bisa aku percaya." Mata Alvan berkaca-kaca, dapat Qiana rasakan jika saat ini perasaan Alvan benar-benar hancur.
"Lalu selain cerita Om Fariz, siapa lagi yang pernah kamu dengar?" tanya Qiana.
"Seseorang yang pastinya dia tidak ada di sini." jawab Alvan.
"Siapa? Dimana dia? Apa kita bisa menemui orang itu sekali lagi?" tanya Qiana.
"Maksud kamu?" Alvan balik bertanya.
"Aku bisa melihat jika Om Fariz bukan orang yang tulus dan dia tidak bisa dipercaya. Aku tahu itu karena aku juga seorang psikolog, walau aku tidak pernah menggunakan ilmu itu untuk diriku sendiri. Tapi, aku bisa menggunakan ilmu untuk mengetahui seseorang." ungkap Qiana membuat Alvan tertegun.
"Baiklah! Kita pergi ke Yogya sekarang! Kita akan menemui orang itu! Aku hanya akan pergi jika kamu ikut bersamaku, bagaimana?" Alvan Nampak antusias.
"Aku akan menemanimu pergi!" sahut Qiana disambut senyum bahagia oleh Alvan.
"Aku tidak ingin menunda keberangkatan kita, sekarang aku akan memesan tiket. Bersiaplah, Qiana!" ajak Alvan.
"Hem." Qiana mengangguk.
Sesuai janjinya, Alvan dan Qiana segera menuju ke Bandara untuk pergi ke Yogyakarta. Tidak ada satu orang pun yang tahu kepergian mereka berdua, kecuali seorang laki-laki yang menginginkan kematian Alvan Pratama Putra Wijaya.
"Bagus, Alvan! Dengan begitu aku akan sangat mudah mendapatkanmu! Kamu berada jauh dari sahabatmu, dan itu akan memudahkan aku untuk melenyapkanmu! Hahaha…" tawa laki-laki itu mengisi ruang di dalam mobilnya.
Akhirnya Alvan dan Qiana sampai di kota Yogyakarta. Setelahnya mereka mencari hotel terdekat dari tempat yang akan Alvan tuju.
"Apa kamu mau memesan satu kamar untuk kita berdua?" tanya Qiana penuh emosi saat tahu Alvan hanya memesan satu kamar hotel presiden suite.
"Tidak masalah bukan? Kamu tunanganku dan juga calon istriku." jawab Alvan dengan entengnya.
"Sejak kapan kamu jadi tunanganku? Apa kamu pernah meminta langsung kepada kedua orang tuaku?" tanya Qiana dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
"Apakah cincin yang kamu pakai itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa aku sudah mengikatmu dulu saat kita berada di Bandung? Lalu apakah ucapan aku kepada Abah dan juga Ambu saat di rumah sakit waktu itu belum cukup, sayang?" goda Alvan menaik turunkan alisnya membuat Qiana mencebikkan bibirnya.
"Terserah…!" jawaban Qiana membuat Alvan terkekeh merasa menang.
"Kamu sangat imut dan menggemaskan sekali kalau seperti ini! Kamu terlalu manis hingga aku tidak bisa sedetik pun melupakan wajah cantikmu dari ingatanku." Alvan memeluk Qiana dari belakang dan menaruh dagunya di atas bahu Qiana. Qiana hanya terdiam mematung mendapatkan perlakuan lembut dari Alvan.
"Harusnya kamu jangan peluk-peluk aku seperti ini!" cebik Qiana dengan kesal.
"Kenapa?" tanya Alvan mengendus leher Qiana yang wangi sabun aroma anggur membuat Alvan rileks.
"Aku gak suka! Aku belum jadi istri yang sah buat kamu, harusnya jangan kamu sentuh sebelum kamu menikahi aku lebih dulu." ucap Qiana tanpa sadar membuat Alvan tersenyum bahagia.
"Itu artinya kamu mau menikah dengan aku, Qiana?" Alvan memutar tubuh Qiana hingga kini mereka sudah saling berhadapan.
"Siapa bilang?" jawab Qiana dengan ketus.
Cup…!
Alvan mengecup kening Qiana lembut membuat Qiana mendorong tubuh Alvan agar menjauh. Tapi Alvan justru menarik pinggang Qiana agar semakin dekat dan membawanya ke dalam dekapannya.
"Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Qiana! Jujur saja aku benar-benar sudah jatuh cinta sama kamu, meski pun sebenarnya jika kamu bukan gadis kecil itu aku akan tetap mencintaimu." ucap Alvan tanpa ragu.
"Gombal! Aku gak suka cowok yang banyak merayu sana sini!" ujar Qiana ketus.
"Aku tidak sedang menggombal dan tidak pernah merayu siapa pun kecuali kamu, wanita satu-satunya yang aku gombali dan aku rayu." sahut Alvan jujur.
"Lalu Rayya?" Qiana mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu bisa tanyakan hal itu kepada Evan, Gherry, Fahlevi, dan Rayn. Atau kalau kamu memang tidak percaya kepada mereka. Kamu bisa bertanya langsung kepada Rayya, aku rasa dia akan jujur saat mengungkapkan bagaimana aku dan Rayya saat berhubungan dulu." tutur Alvan menyakinkan.
"Untuk apa aku harus bertanya kepada mereka? Kalau aku bisa melihat sendiri semua kejujuran itu ada di dalam matamu atau tidak!" ungkap Qiana membuat Alvan tersenyum.
"Kalau begitu itu jauh lebih baik, dan aku semakin yakin jika aku tidak salah memilihmu untuk menjadi ratu di hatiku. Jadilah istriku, Qiana! Ayo kita menikah!." ajak Alvan.
"Semudah itukah? Bukankah kamu sangat membenciku dan tidak suka dengan kedekatan aku dan Oma, yang akan membuat kamu jauh dari Oma dan membagi kasih sayang Oma dengan aku?" tanya Qiana.
Alvan terdiam mematung dengan ucapan Qiana yang membuatnya merasa tak enak hati. Memang benar selama ini Alvan terkadang marah pada Qiana saat dekat dengan Oma Inge, namun tidak bisa dipungkiri jika Alvan begitu mencintai Qiana.