Chapter 31 - Bab. 31

Qiana menatap tajam kepada Rayn yang masih berdiri dan menghadang langkahnya. Berulang kali Qiana mencoba meminta Rayn memberinya jalan, namun Rayn tidak melakukannya hingga tanpa sadar sebuah tinju melayang di pundak Rayn kuat menghantamnya.

Bugh…

"Awww…" pekik Rayn

"Minggir!" teriak Alvan.

"Ish… apaan sih lu?" tanya Rayn berusaha menahan tubuhnya agar tidak semudah itu disingkirkan oleh Alvan.

"Ini lagi!" Qiana memutar bola mata dengan malas.

Qiana benar-benar sudah kewalahan menghadapi sikap Alvan dan Rayn yang kekanakkan seperti itu. Alvan dan Rayn sama-sama ingin mendapatkan simpati dari Qiana. Sementara Qiana memilih untuk tidak peduli kepada keduanya.

"Bagaimana?" tanya Rayya kepada seseorang di balik teleponnya.

"Malam ini aku sudah mengatur rencana. Aku yakin kali ini tidak akan gagal! Mungkin saat itu Alvan masih bisa lolos karena gadis bernama Qiana adalah alasannya. Tapi kali ini kita akan membuat hubungan keduanya semakin jauh." balas seorang laki-laki di balik telepon.

"Tapi ingat! Jangan sampai membuat Alvan terluka! Aku tidak ingin kekasihku celaka! Aku sangat mencintainya dan aku tidak mau sampai kehilangan dia lagi!" ucap Rayya penuh penekanan.

"Kamu tenang saja! Itu tidak akan terjadi. Aku bisa pastikan itu!" balasnya kemudian.

Malam pun tiba, di kediaman Oma Inge suasananya terasa hangat dan akrab. Kali ini Vino ikut makan malam bersama Oma Inge, Alvan, Papi Billy, Tante Erlin, dan Zoya.

Selesai makan malam, mereka berbincang di ruang keluarga. Saat bersamaan Om Fariz datang dengan membawa sebuah undangan di tangannya.

"Apa semua rekan bisnis mereka undang juga?" tanya Oma Inge.

"Sepertinya iya, Kak! Aku sendiri baru mendapatkannya tadi saat hendak pulang dari kantor. Kakak dan Billy sudah tidak ada di kantor, jadi mereka menitipkan undangan ini kepadaku." ujar Om Fariz menyerahkan undangan itu kepada Oma Inge.

"Siapa saja yang diundang?" tanya Papi Billy.

"Seluruh kolega sepertinya. Hanya satu undangan untuk satu perusahaan dan sepertinya bisa siapa saja yang hadir asalkan membawa undangan ini saat datang." Sahut Om Fariz.

"Kalau begitu biar Mami saja yang datang di temani Alvan, bagaimana?" tanya Papi Billy.

"Kenapa kamu tidak ikut sekalian?" tanya Om Fariz.

"Aku tidak terlalu suka acara seperti itu! Kamu tahu sendiri kan?" balas Papi Billy datar.

"Ayolah, Billy… itu sudah lama berlalu! Masa iya kamu belum bisa move on?!" Om Fariz mengangkat kedua bahunya.

Suasana mendadak hening, Papi Billy menghela nafasnya panjang lalu menyugar rambutnya. Saat yang bersamaan Vino datang dari arah dapur menghampiri dan membuka percakapan.

"Oma, Papi, dan semuanya! Aku pamit pulang!" suara Vino tiba-tiba.

"Lho! Bukannya kamu mau menginap di sini, Vin?" tanya Alvan.

"Ini siapa?" tanya Om Fariz saat menatap wajah Vino yang sangat mirip dengan Alvan keponakannya.

"Dia Vino! Apa kamu merasakan sesuatu padanya, Fariz?" tanya Papi Billy.

"Maksudmu?" Om Fariz balik bertanya.

"Eh? Maksudku apa kamu bisa melihat jika Vino dan Alvan terlihat seperti anak kembar, bukan begitu?" ucap Papi Billy tersenyum miring.

"Yah! Kamu benar, Billy! Mereka benar-benar sangat mirip. Jika melihat sekilas saja aku bisa tertukar melihat wajah mereka! Tapi bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" ucap Om Fariz merasa takjub dengan wajah Alvan dan Vino yang memang seperti anak kembar itu.

"Ini terlihat sangat aneh! Tapi itulah kenyataan." Sahut Papi Billy pelan.

"Aneh bagaimana maksud Papi?" tanya Alvan penasaran.

"Dunia kalian berbeda, kedua orang tua kalian berbeda, tapi wajah kalian. Lihatlah! Bagai pinang tak berbelah! Hahaha… ini seperti lelucon tapi bukan!" celetuk Om Fariz membuat semua menatap Alvan dan Vino bergantian.

"Bagaimana kalau memang benar Vino adalah adik kembarmu, Bang? Bisa saja dulu Tante Mayang memang melahirkan bayi kembar, tapi Tante Mayang menutupi semua ini dari kalian. Karena Tante Mayang ingin menuntut balas dendam pada Papi dan Oma melalui Vino!" celetuk Zoya membuat semua terdiam.

"Apa maksudmu, Zoya?" Alvan yang peka langsung menatap Zoya dengan tatapan nyalang.

"Ah, mana mungkin seperti itu! Apa yang Zoya katakan tidak benar! Aku terlahir yatim piatu. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu siapa orang tua kandungku. Aku juga sejak kecil tinggal di panti asuhan." Vino berusaha menutupi sesuatu namun itu masih bisa ditangkap oleh Zoya yang peka dengan gerak tubuh Vino.

"Vino benar! Mana mungkin Mayang berbuat seperti itu, Zoya! Om tahu betul bagaimana Mayang. Dia tidak mungkin melakukan itu." Om Fariz membela Vino.

"Mayang? Siapa dia?" tanya Vino dengan mengerutkan dahinya.

Alvan, Papi Billy, juga Oma Inge seketika raut wajah mereka berubah tidak suka saat mendengar pertanyaan Vino.

"Sudah gak usah dibahas lagi! Itu masa lalu yang tidak penting!" ucap Oma Inge.

"Kenapa wajah mereka berubah saat nama Mayang disebut?" batin Vino.

"Aku yakin dengan menyebut nama Mayang, kalian semua akan mengingat masa lalu yang menyakitkan. Terutama kamu Alvan! Pewaris satu-satunya di keluarga Pratama Wijaya" batin Om Fariz.

Malam semakin larut dan Vino sudah kembali ke rumah kontrakannya. Vino tidak ingin penyamarannya terbongkar sebelum waktunya tiba.

Untuk itu Vino lebih memilih tinggal di dalam rumah kontrakan yang pengap dan sempit. Dari pada harus berdiam di rumah yang mewah dengan kamar besar dan ruangan ber-Ac, tapi itu akan membuka penyamaran dirinya.

"Aku harus bertahan dengan keadaan ini sampai benar-benar aku sudah berhasil menghancurkan keluarga Pratama Wijaya!" ucap Vino penuh dendam.

Yogyakarta, September 2020…

Sementara di tempat yang berbeda, hati Mami Mayang sejak semalam terus saja merasa gelisah dan tidak enak hati. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya, atau pada orang-orang yang dia kasihi baik yang jauh atau yang dekat sekali pun.

"Ya Tuhan… kenapa akhir-akhir ini aku selalu merasa gelisah, bayangan wajah kedua putraku selalu saja menari-nari di pelupuk mataku. Tuhan… aku memang bukan ibu yang baik, aku tidak bisa menjaga anak-anakku. Aku mohon kepada-Mu Tuhan… jaga dan lindungi kedua putraku dimana pun mereka berada saat ini, jauhkan kedua putraku dari marabahaya! Jika boleh meminta, tukar saja kesedihan dan penderitaan mereka untukku. Biarkan mereka berdua tetap bahagia, walau tanpa kasih sayang aku…! Aku tidak bisa tidur. Entah kenapa aku terus kepikiran dengan kedua putraku." ucap Mami Mayang lirih dalam doa dan tangisnya.

"Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah hingga menangis lagi seperti ini, nak?" tanya Mbah Kakung Dharma, laki-laki tua yang sudah memutih sebagian rambutnya dan mulai keriput kulit tangan dan wajahnya.

"Romo…!" Mami Mayang menyeka air matanya melihat sang ayah datang menghampirinya yang sedang menangis, dalam rasa sedihnya.

"Apa kegelisahanmu itu ada hubungannya dengan kedua putramu itu, Mayang?" tanya Mbah Kakung Dharma sang ayah yang bisa menebak apa isi dari hati dan pikiran sang putri.

"Hem." Mami Mayang mengangguk pelan dan kembali menangis.

"Apa kamu tidak ingin kembali ke Jakarta, dan tinggal di sana agar lebih dekat dengan kedua putra kesayangan kamu itu? Dengan begitu kamu bisa mengetahui keadaan mereka dari dekat, walau tidak bisa menampakkan dirimu di hadapan mereka, dan tetap tinggal di tempat persembunyian saja!" tawar Mbah Kakung Dharma yang merasa iba pada sang putri.

"Tidak, Romo! Aku belum siap kembali ke Jakarta, aku tidak ingin orang-orang kepercayaan Mas Billy dan Mami Inge mengetahui keberadaan aku dan menganggu aku kembali seperti dulu!" sesak dada Mami Mayang dipenuhi tangis dan kesedihan mengingat masa lalu yang menimpanya.

"Jika kamu berubah pikiran, beritahu Romo! Romo akan membantu kamu untuk bisa kembali ke Jakarta dengan atau tanpa ada yang melihat jejak kamu disana! Romo pastikan tidak akan ada orang suruhan Billy dan Nyonya Ingerda yang tahu keberadaanmu di Jakarta nanti." Mata Mbah Kakung Dharma menatap kosong pada jendela di hadapannya, membayangkan kesedihan yang dirasakan sang putri.

"Maksud Romo?" tanya Mami Mayang penasaran.

"Kamu bisa pergi ke Jakarta bukan sebagai diri kamu sendiri, paham maksud Romo?" Mbah Kakung Dharma menaikkan sebelah alisnya berusaha menjelaskan maksud dan tujuannya kepada sang putri.

"Aku paham, Romo!" gumam Mami Mayang menatap lekat pada wajah sang ayah dengan wajah berbinar.

"Hem." Mbah Kakung Dharma tersenyum bangga melihat binar di wajah sang putri.

"Baiklah, Romo! Akan aku pikirkan lagi semua rencana Romo itu, sekarang aku akan menghubungi anak bujangku dulu. Sudah satu minggu dia tidak memberi kabar, aku khawatir dengan keadaannya. Romo tahu sendiri sifatnya! Dia keras kepala, apapun keinginannya harus saja selalu dituruti, kalau tidak dia akan terus merajuk." ungkap Mami Mayang mengingat sosok sang putra.

"Sifat anak kamu yang satu itu sama persis seperti kamu, Mayang!" cibir Mbah Kakung Dharma, yang membuat Mami Mayang terkekeh.

"Hehehe… Romo bisa saja!" Mami Mayang hanya terkekeh malu mendengar ucapan sang ayah.

Mami Mayang berusaha menghubungi putra kesayangannya yang sudah satu minggu berada di Jakarta. Tidak ada kabar berita atau pun sekedar mengiriminya sebuah pesan.

Hal itu membuat Mami Mayang semakin khawatir dengan keadaan sang putra kesayangan. Ditambah keadaan di Jakarta masih merasakan trauma yang mendalam bagi seorang Mami Mayang saat ini.

"Apa aku salah sudah mengizinkan putraku pergi ke Jakarta? Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa putraku. Cukup aku saja yang menderita karena perbuatan mereka, jangan sampai putraku ikut menderita karena perbuatan mereka juga! Bahkan sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengan putraku yang lain…" mata Mami Mayang berkaca-kaca.

Jakarta, September 2020…

Dag…

Dig…

Dug…

Dada Alvan berdebar kencang membuat dirinya tidak bisa tidur sama sekali akhir-akhir ini. Seperti malam sebelumnya Alvan sering bermimpi didatangi seorang wanita yang tidak pernah dikenalnya sama sekali.

Malam ini Alvan kembali terbangun karena mimpi itu. Bahkan hingga larut malam, Alvan kembali tidak bisa tidur.

"Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa dia selalu hadir dalam mimpiku? Lalu apa hubungannya dengan Om Fariz?" pikiran dan hati Alvan terus berkecamuk menemukan jawaban dari mimpinya itu.

Pagi menjelang suara kicauan burung membuat suasana pagi semakin ceria. Alvan yang semalaman tidak bisa tidur terbangun kesiangan saat Bi Narsih membuka jendela kamarnya dan menyikap tirai hingga cahaya matahari masuk menyilaukan mata.

"Emmmpppttt…" Alvan menggeliatkan tubuhnya yang sedikit terasa kaku.

"Tumben bener Babang gantengnya Bi Narsih bangun kesiangan? Apa semalam kurang tidur?" Bi Narsih membelai lembut puncak kepala Alvan yang masih bersembunyi di balik bantal.

"Semalam aku gak bisa tidur, Bi!" Alvan bangun dan mengucek matanya.

"Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu, kesayangku?" tanya Bi Narsih menatap lekat anak asuhnya.

"Bi…! Apa Bi Narsih tahu yang sebenarnya, alasan apa yang membuat Mami dan Papi berpisah? Lalu sekarang dimana Mami berada? Aku ingin bertemu dengan Mami, aku…" mata Alvan berkaca-kaca.

"Maafkan Bi Narsih, Bang Al! Tidak mungkin Bi Narsih ungkit masa lalu kedua orang tuamu. Itu hanya akan menambah luka untuk keluarga ini. Biarlah Bi Narsih simpan luka itu sendiri…" batin Bi Narsih meringis pedih.

"Kenapa Bi Narsih diam? Apa Bi Narsih tahu sesuatu?" tanya Alvan menelisik.

"Bi Narsih tidak tahu apa yang Bang Al rasakan saat ini. Hanya saja Bi Narsih tidak suka kalau melihat Bang Al sedih seperti ini." tutur Bi Narsih.

"Aku hanya sedang berpikir saja. Bagaimana rasanya memiliki seorang ibu yang bisa memeluk aku disaat aku sedang merindukan kasih sayangnya. Kapan aku bisa menerima pelukan hangat dari seorang ibu… sejak kecil, bahkan sampai saat ini aku belum pernah melihat seperti apa wajah Mami. Aku hanya tahu kesalahan Mami dari apa yang aku dengar saat orang lain mengatakan kesalahan Mami di masa lalu." Mata Alvan kembali berkaca-kaca.

"Jangan pernah mencari tahu apa pun mengenai Mami kamu, Al! Kalau kamu tidak ingin menyesal." Suara Oma Inge sontak membuat Bi Narsih dan Alvan menoleh seketika.

"Tapi kenapa, Oma?" tanya Alvan dengan raut wajah sedih.

"Untuk apa jika kebenaran itu hanya akan membuatmu sedih, marah, sakit hati, dan juga kecewa? Oma hanya tidak ingin cucu kesayangan Oma kecewa dengan semua kenyataan yang ada." ungkap Oma Inge.

"Tapi, Oma! Aku ingin tahu apa penyebab Mami dan Papi berpisah?" tanya Alvan penuh harap.

"Cukup, Al! Pertanyaanmu itu hanya akan membuka luka lama bagi Oma dan Papi kamu. Oma harap setelah ini kamu tidak lagi menanyakan apa pun mengenai perpisahan Mami dan Papi mu!" Oma Inge berlalu dari hadapan Alvan dan Bi Narsih.

Greppp…

Alvan memeluk Bi Narsih sangat erat. Hanya itu yang selalu Alvan lakukan setiap kali ingin mengetahui kebenaran mengenai perpisahan yang terjadi diantara kedua orang tuanya.

Dan hanya Bi Narsih lah yang setiap kali selalu ada disaat Alvan merasa terpuruk seperti saat ini. Alvan sebenarnya tidak meminta lebih kepada Oma Inge atau pun Papi Billy.

Alvan hanya ingin meminta sekali saja untuk bertemu dengan Mami ibu kandungnya, wanita yang sudah menjadi jalan dirinya terlahir ke dunia ini. Walau hanya untuk bertemu dan memeluknya sesaat saja.

"Yang sabar ya, Bang Al! Suatu hari saat semua kebenaran terungkap dan waktunya tiba, maka Bi Narsih pastikan Bang Al akan bertemu dengan Mami bahkan lebih dari itu. Bang Al akan bisa merasakan pelukan Mami." Bi Narsih memeluk erat anak asuhnya itu penuh kasih.

"Bi Narsih… apa pelukan Mami itu, seperti ini rasanya?" ucap Alvan dalam pelukan Bi Narsih.

Bukannya menjawab pertanyaan Alvan, Bi Narsih justru menangis tersedu hingga tak kuasa lagi membendung air mata yang sejak tadi berusaha ditahan.

Sementara Oma Inge menatap Alvan dalam pelukan Bi Narsih dengan perasaan teriris sedih di balik dinding yang memisahkan antara ruang makan, dan ruang keluarga.

Oma Inge menangis seraya meremas kuat dadanya yang benar-benar terasa sakit. Bukan tidak ingin berkata jujur tentang apa pun, namun Oma Inge tidak ingin membuat Alvan membenci ibu kandungnya sendiri.

"Maafkan Oma, Al…!" tangis Oma Inge di balik dinding.