Oma Inge melangkah mendekati Vino. Spontan tubuh ringkihnya segera memeluk pemuda tampan yang sedang berdiri di hadapannya kini.
"Kamu… siapa kamu sebenarnya? Mengapa wajahmu begitu mirip dengan cucu kesayanganku?" tanya Oma Inge menangis tersedu seraya memeluk Vino dengan erat.
"Maaf, Nyonya! Rasanya aku tidak pantas diperlakukan seperti ini olehmu." balas Vino merendah.
"Tidak, nak! Kamu jangan berkata seperti itu!" Oma Inge melerai pelukannya.
Oma inge menatap dalam wajah Vino yang memang sangat mirip dengan Alvan. Oma Inge mengusap lembut wajah tampan Vino seraya melirik Alvan sang cucu kesayangan.
"Kemarilah, Al!" pinta Oma Inge.
Alvan kemudian berdiri di hadapan Oma Inge yang berdampingan dengan Vino. Melihat itu, mata Oma Inge berkaca-kaca lalu memeluk kedua pemuda di hadapannya secara bersamaan.
"Bolehkan kamu menjadi cucuku, Vino?" tanya Oma Inge membuat Vino tertawa senang di dalam hati.
"Tapi, Nyonya…" ucap Vino terputus.
"Oma tidak suka penolakan!" tegas Oma Inge membuat Alvan mengedipkan mata kepada Vino.
"Ba… baiklah, Nyonya." balas Vino tertawa senang di dalam hati.
"Jangan panggil aku, Nyonya! Panggil saja Oma." pinta Oma Inge.
"I… iya, Oma!" seru Vino tertawa girang di dalam hati penuh kemenangan.
Kembali… Dewi Fortuna sedang berada di pihak Vino kali ini. Beruntung Vino memiliki wajah yang sangat mirip dengan Alvan, sehingga dengan mudah dia bisa masuk ke dalam keluarga Alvan.
Tanpa susah payah Vino bekerja keras demi bisa masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya. Hanya modal wajah yang mirip dengan Alvan, Vino mendapatkan tempat khusus di hati Oma Inge.
"Dimana orang tuamu? Apa mereka masih tinggal di Jakarta?" tanya Oma Inge melerai pelukannya pada Alvan dan Vino.
"Aku tinggal sendiri di Jakarta, nyonya! Aku juga sebatang kara. Aku hidup luntang lantung." ujar Vino berbohong dengan wajah memelas.
"Ck… pandai sekali kamu berbohong, Vino! Dasar penipu, hahaha…" batin Vino girang.
"Sayang sekali… tapi kamu jangan sedih lagi, Vino! Mulai saat ini kamu punya Oma, juga ada Alvan dan Papi Billy. Kami adalah keluargamu yang baru. Lihatlah! Kalian benar-benar mirip dan seperti anak kembar sungguhan!" ucap Oma Inge senang.
Papi Billy yang sejak tadi berdiri mematung merasakan hal yang sama dengan Oma Inge. Terkejut, terharu, senang, sekaligus tetap waspada. Papi Billy belum mengenal Vino dan belum tahu apa tujuan Vino saat ini.
"Kenapa aku merasa sangat dekat dengan Vino, seolah memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Tapi aku juga merasa was-was dengan senyuman dan tatapan Vino kepadaku, Alvan, dan juga Mami. Siapa Vino sebenarnya?" batin Papi Billy berkecamuk.
"Pi…!" suara Alvan membuyarkan lamunan Papi Billy.
"Eh? Ya, Al?" jawab Papi gelagapan.
"Apa Papi tidak ingin menyambut Vino sebagai anggota baru dalam keluarga kita?" tanya Alvan.
"Auh… tentu saja! Kenapa tidak!" ucap Papi Billy gusar.
Papi Billy melangkah ragu dan memeluk Vino dengan perasaan yang tidak dapat diartikan. Namun, sesaat setelah pelukan itu merekat. Ada rasa yang tidak pernah hadir sebelumnya.
Jantung Papi Billy berdebar sangat cepat, seolah sudah lama tidak bertemu dengan buah hati yang telah lama hilang. Rasa itu seperti saat memeluk Alvan, setiap kali Alvan pergi untuk waktu yang lama dan kembali setelahnya.
"Ya Tuhan…! Kenapa rasa ini begitu indah! Siapa Vino sebenarnya? Satu sisi aku merasa Vino adalah putraku, tapi di sisi lain aku merasa jika Vino adalah ancaman bagi keluargaku." Batin Papi Billy terus berkecamuk.
Tes…
Tak terasa air mata yang sudah sejak lama kering sejak sepeninggal sang istri 28 tahun yang lalu, kini mulai membasahi netra indah milik Papi Billy.
"Tuan… apa Tuan menangis?" tanya Vino saat Papi Billy melepaskan pelukannya dari Vino.
"Ah, ya! Papi terharu, Vino!" balas Papi Billy menyeka air matanya.
"Maafkan aku, Tuan!" Vino menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Sssttt… jangan bicara seperti itu, Vino! Dan jangan memanggilku, Tuan! Panggil saja aku Papi, karena kita akan menjadi satu keluarga yang saling menyayangi. Berapa usiamu? Apa sama dengan Alvan?" tanya Papi Billy kemudian.
"Aku yatim piatu sejak lahir dan aku tidak tahu kapan, dimana dan siapa kedua orang tuaku. Jadi, aku juga tidak tahu sekarang usiaku berapa?" bohong Vino meyakinkan Papi Billy, Oma Inge, dan Alvan.
"Sudahlah, Vino! Jangan bersedih seperti itu! Mulai sekarang kamu adalah adik kembar Alvan. Dengan begitu hari lahirmu sama dengan Alvan, begitu juga dengan usiamu. Bukan begitu, Al?" ucap Papi Billy tanpa rasa ragu.
"Apa yang Papi ucapkan itu benar, Vino! Mulai sekarang kamu adalah adik kembarku." Sahut Alvan bahagia.
Lagi… Vino merasa menang dengan semua rencana busuknya kali ini. satu langkah Vino berhasil masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya. Tepuk tangan meriah untuk semua orang-orang yang berada di belakang Vino.
"Mari bersulang untuk kemenangan kita kali ini! Vino benar-benar keberuntungan buat kita! Dengan sangat mudah dia bisa masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya! Langkahnya begitu cepat, hahaha…" tawa seorang laki-laki membuat sang kakak menangis tanpa suara.
Melihat sang kakak menangis, pria paruh baya itu mendekat dan menatap lekat sang kakak. Diraihnya dagu sang kakak dengan sedikit kasar.
"Bagaimana, Abangku sayang? Apa Abang sudah melihat itu? Lihatlah Vino! Dia sudah masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya, selangkah lagi dia akan berhasil membuat kekacauan. Cucu kesayangan Abang akan tersingkir. Semua harta kekayaan Pratama Wijaya akan menjadi milikku berkat Vino! Hahaha…" pria paruh baya itu tertawa keras hingga memperlihatkan langit-langit di dalam mulutnya, membuat sang kakak semakin muak melihatnya.
"Tuhan… lindungi keluargaku! Jaga cucuku, Alvan beserta istri dan anakku. Lindungi mereka…" tangis laki-laki paruh baya yang berbaring lemah tak berdaya.
Di tempat lain, Qiana dan Evan sedang berbincang berdua. Kecurigaan Qiana dan Evan kepada Vino sama-sama membuat keduanya was-was.
Qiana tidak ingin berada di dalam situasi yang sulit saat ini, begitu pun dengan keluarga Oma Inge. Sementara Evan masih memikirkan cara untuk membuka kedok Vino sebenarnya.
"Apa kamu bisa membantuku, Qiana?" tanya Evan.
"Apa?" tanya Qiana.
"Vino akan menjadi supir pribadimu, itu Oma Inge dan Alvan yang memintanya. Jadilah orang yang bodoh di hadapan Vino. Kamu mengerti maksudku? Dan lakukan semua yang aku minta, jangan lupa laporkan setiap kamu melihat tindakan Vino yang mencurigakan. Ingat ini rahasia kita berdua." ucap Evan yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Qiana.
Qiana dan Evan tidak ingin ada hal buruk yang menimpa keluarga Oma Inge. Terlebih Oma Inge begitu baik kepada mereka berdua.
Oma Inge adalah sosok wanita penyayang dan selalu bersikap lembut kepada Qiana dan Evan. Bagi Qiana dan Evan, Oma Inge sudah seperti seorang nenek yang begitu penyayang kepada siapa pun terlebih pada Qiana dan Evan.
"Vino! Mulai saat ini kamu bisa tinggal di rumah bersama Oma dan Alvan. Bagaimana?" tawar Oma Inge.
"Aku masih belum terbiasa Oma! Aku masih butuh waktu. Jika aku sudah siap menerima semua itu, aku janji akan segera memberitahu Oma dan Bang Alvan secepatnya." ucap Vino dengan smirk di wajahnya.
"Baiklah! Oma tidak akan memaksamu, Vino! Kapan pun kamu mau, Oma akan selalu menunggumu! Ingat! Pintu rumah Oma akan selalu terbuka untukmu, sayang." Oma Inge membelai puncak kepala Vino dengan lembut.
"Bagus, Vino!" seseorang yang melihat tindakan Vino tersenyum licik dengan seringai di balik wajahnya.
Saat ini Vino memang sudah masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya. Tapi tidak semudah itu keluarga Pratama Wijaya meminta Vino untuk tinggal bersama dengan mereka dalam satu atap.
Vino masih memiliki rencana lain untuk menghancurkan keluarga Pratama Wijaya dari dalam. Tidak ingin penyamarannya terbongkar, Vino memilih tetap tinggal di sebuah kamar kontrakan kecil.
"Mengenai pekerjaanmu, apa kamu tidak keberatan jika Oma memintamu untuk menjadi supir pribadi sementara waktu." ucap Oma Inge ragu.
"Tidak apa-apa, Oma! Mungkin dengan menjadi supir pribadi aku akan banyak belajar. Jika aku menduduki posisi yang aku tidak mengerti sama sekali, aku khawatir jika nantinya justru aku akan merugikan perusahaan." ujar Vino penuh sandiwara.
"Siapa Vino sebenarnya? Mengapa dia begitu terlihat manis di depan Oma Inge, sementara di belakang dia adalah srigala berbulu musang… sangat menyeramkan!" batin Qiana saat berada di dalam ruangan yang sama dengan Oma Inge.
Qiana terus memperhatikan gerak gerik Vino. Untuk sementara ini tidak ada yang mencurigakan sama sekali hingga akhirnya Qiana kembali pada pekerjaannya kali ini.
"Bagaimana? Apa masih ada yang mencurigakan?" tanya Alvan kepada keempat sahabatnya.
"Gue rasa kecurigaan kita selama ini benar! Angel adalah target kita saat ini." sahut Evan.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Gherry.
"Lihat! Banyak jumlah uang yang masuk ke dalam rekening Angel. Gue gak tahu Angel menyadari itu atau gak!" timpal Evan.
"Lalu bagaimana dengan Qiana?" tanya Fahlevi.
"Gue rasa Qiana hanya korban. Lihat ini!" Evan menunjukkan kecurigaan pada akun dan rekening Qiana.
"Gue rasa ini bukan akun dan rekening milik Qiana!" tutur Rayn.
"Kenapa lu bisa begitu yakin? Jangan bilang karena lu cinta sama Qiana, mata lu jadi buta Rayn!" ucap Alvan dengan nada cemburu.
"Hei… maksud lu apaan, Al? Jangan bilang juga kalau lu cemburu sama gue lantaran Qiana lebih respect sama gue!" balas Rayn dengan nada mengejek.
"Sialan lu! Apa lu mau jadi musuh dalam selimut, hah? Atau memang lu yang ada di balik semua ini?" tuduh Alvan membuat Rayn tak terima.
"Lu nantangin gue, Al? Lu udah nuduh gue sembarangan! Asal lu tahu aja, Al! Setiap bulan gue transfer gaji semua karyawan dan gue tahu betul mana rekening dan akun Qiana yang asli, dan mana yang palsu!" ucap Rayn geram.
"Lu pikir gue gak tahu niat lu sama Qiana?" Alvan berdiri dan menarik kerah baju Rayn.
Ketegangan terjadi diantara Rayn dan Alvan, membuat ketiga sahabat yang lainnya ikut melerai persaingan sengit diantara Rayn dan Alvan.
"Kalian berdua kenapa sih? Apa begini caranya kalian menyelesaikan masalah?" Fahlevi melerai keduanya.
"Bukan gue yang mulai! Tapi dia…!" teriak Alvan geram.
"Lu nya aja yang sensi! Lu yang mulai duluan, Al! Kenapa lu malah nuduh gue?" balas Rayn tak terima.
Kini kedua sahabat yang sudah lama menjalin persahabatan sejak masih remaja, akhirnya saling serang dan saling pukul satu sama lain.
Bagh…
Bugh…
Bagh…
Bugh…
Hiaaat…
Serangan demi serangan terjadi pada keduanya. Kini Alvan mau pun Rayn tidak ada yang mau mengalah. Evan, Gherry, dan Fahlevi yang berusaha melerai pun sampai kewalahan memisahkan mereka berdua.
"Stoooppp…!!!" teriak Qiana membuat Alvan dan Rayn seketika berhenti dan menoleh ke arah Qiana.
"Qiana…?!" ucap Alvan dan Rayn nyaris bersamaan.
"Kalian berdua sudah keterlaluan dan kekanak-kanakan sekali!" umpat Qiana dengan tatapan nyalang.
Sementara di sudut yang berbeda seorang pria paruh baya tersenyum miring dengan smirk di wajahnya. Pria paruh baya itu terus memperhatikan Qiana dan Alvan.
"Rupanya Alvan sangat mencintai gadis itu! Dan gadis itu pun terlihat mencintai Alvan, tapi dia berusaha untuk menghindari perasaannya agar tidak terus tumbuh pada Alvan. Baguslah gadis kecil! Karena jika tidak begitu, nyawamu dalam bahaya!" batin pria paruh baya itu tertawa puas.
Rayn dan Alvan mengakhiri pertempurannya dengan sama-sama unggul. Tidak ada lagi sapaan penuh persahabatan atau pun keramahan pada keduanya.
Alvan dan Rayn tiba-tiba menjadi seorang musuh dan tidak sudi kembali berdamai seperti keadaan semula. Melihat itu Fahlevi, Evan, dan Gherry jadi sedih.
Namun situasi seperti ini justru menjadi sebuah keuntungan besar bagi Vino, dan sosok pria paruh baya yang masih menjadi seorang misterius itu.
"Aku tidak akan membiarkan Rayn mendekati Qiana! Qiana hanya boleh menjadi milikku seutuhnya!" gumam Alvan yang masih bisa didengar oleh Vino.
"Apa laki-laki itu yang sudah membuat Abang seperti ini?" tanya Vino merasa iba kepada Alvan.
"Ya! Sepertinya Rayn ingin memulai permusuhannya denganku!" ungkap Alvan dengan penuh amarah.
"Aku bisa membantu Abang mendekatkan Qiana, dan menjauhkan Rayn dari Qiana." Bisik Vino dengan senyum licik menyeringai.
"Bagaimana caranya?" tanya Alvan penasaran.
"Buat Qiana cemburu!" saran Vino yang langsung mendapat anggukan kepala dari Alvan.
"Hemmm, baiklah! Itu bukan ide yang buruk. Aku akan melakukannya." ucap Alvan datar.
Kali ini Vino mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk menghancurkan persahabatan Rayn dan Alvan. Dengan begitu Vino akan dengan mudah menyerang Alvan saat tidak memiliki sahabat yang melindungi dirinya.
"Pertama kita jauhkan Alvan dari keempat sahabatnya itu. Lalu selanjutnya buat Alvan jauh dari Qiana. Setelah itu buat Oma Inge dan Qiana percaya kalau Alvan sudah berubah dan menjadi seorang penjahat. Dengan begitu Oma Inge akan mudah dipengaruhi, karena sisi lemah Oma Inge adalah Alvan." Bisik pria paruh baya.
"Peperangan segera dimulai… akhirnya aku sebentar lagi akan segera menguasai semua harta keluarga Pratama Wijaya! Dan kamu bisa membalaskan semua dendam dan rasa sakit hatimu kepada keluarga Pratama Wijaya, Vino!" tutur seseorang yang berdiri di samping sosok pria paruh baya yang masih misterius itu.
Keduanya sama-sama serakah dan ingin menghancurkan keluarga Pratama Wijaya. Terutama melenyapkan keluarga Pratama Wijaya hingga keturunannya.
"Jangan kalian pikir kalian akan menghancurkan keluarga aku! Aku yakin Alvan dan Billy tidak sebodoh itu! Dan Qiana, aku yakin gadis itu adalah penyelamat bagi keluargaku!" batin seorang laki-laki paruh baya yang berbaring lemas tak berdaya.
Kehancuran keluarga Pratama Wijaya sudah di depan mata. Masuknya Vino ke dalam keluarga itu adalah boomerang bagi mereka.
Di satu sisi Qiana merasa kasihan kepada Alvan dan Oma Inge. Tapi di sisi lain Qiana juga tidak ingin hubungannya dengan keluarga Pratama Wijaya hancur hanya karena seorang Vino.
"Semoga Oma Inge dan Bang Alvan segera menyadari, jika Vino bukan orang yang baik. Aku yakin Papi Billy adalah orang satu-satunya yang masih ragu dengan Vino. Dan aku akan selalu meminta Papi Billy untuk tetap berhati-hati. Aku tidak akan pernah bosan memperingatkan Papi Billy…" Qiana menghela nafasnya panjang dan membuangnya perlahan…