Chapter 29 - Bab. 29

Sementara Om Fariz dan Oma Inge memeriksa berkas laporan keuangan perusahaan, Alvan mengirimkan chat kepada keempat sahabatnya.

"Kalian dimana?" chat Alvan.

"Aku dan Gherry sudah di atas. Bi Narsih membuka pintu belakang." Evan membalas chat Alvan.

"Aku masih di jalan!" balas Rayn.

Alvan dan ketiga temannya menanti jawaban Fahlevi, namun sahabatnya yang satu itu masih juga belum menjawabnya.

"Lev, lu ada dimana? Jangan bilang lu masih di rumah sakit ngurusin pasien lu!" chat Alvan membuat yang lain memutar bola mata dengan malas.

Lima menit sudah Alvan dan yang lainnya menanti jawaban Fahlevi, namun Dokter tampan itu masih belum juga membalas chat dari sahabatnya yang sudah mengunggu.

"Kemana lu, Lev?" batin Alvan.

Sementara Om Fariz tengah menunjukkan hasil laporan keuangan kepada Oma Inge dan Alvan dengan penuh keyakinan.

"Perusahaan kita menghadapi masalah. Aku ingin kalian memikirkannya. Ada keluhan dari klien dan konsumen, tentang produk kita yang tidak memenuhi standar. Mereka bilang produk kita tidak stabil. Terbuat dari bahan berkualitas rendah tapi harga yang ditawarkan terlalu tinggi. Lebih buruk lagi produk kita memiliki kesamaan dengan barang yang ada di aplikasi online shop, sebelum perusahaan kita merilis produk itu. Lihat ini!" Om Fariz menunjukkan beberapa kejanggalan di dalam beberapa dokumen juga yang berada di dalam laptopnya.

Alvan dan Oma Inge menatap layar laptop milik Om Fariz dengan serius. Sesekali Om Fariz menunjukkan produk yang sama persis dengan produk yang dibuat oleh perusahaan Oma Inge.

"Aku memesan beberapa produk untuk membandingkan dengan produk milik perusahaan. Dan itu memang produk milik perusahaan kita." Om Fariz menghela nafas panjang dan mengeluarkan perlahan.

"Kamu sudah memeriksa bagaimana produk kita bisa keluar sebelum kita merilisnya bulan depan?" tanya Oma Inge penasaran.

"Sudah! Produk kita mungkin keluar selama proses produksi. Aku juga memeriksa peralatan yang rusak di beberapa divisi. Masalah itu terjadi selama proses seleksi material, hasilnya produk yang terlalu mahal sementara kualitasnya sangat rendah." ungkap Om Fariz.

Om Fariz kemudian menyerahkan beberapa lembar bukti lain yang terdapat di perusahaan kepada Alvan dan Oma Inge.

"Apa ini?" tanya Alvan.

"Orang yang bertanggung jawab adalah manager desain dan manager pengembangan. Semua bukti mengarah pada Qiana dan Angela. Mereka berdua kemungkinan pelakunya." Tutur Om Fariz.

Alvan dan Oma Inge nampak terkejut dan berpikir jika yang dikatakan Om Fariz tidaklah benar. Apa lagi Oma Inge sangat mengenal Qiana dengan baik. Jika Angela, Oma Inge sedikit meragukan.

"Penanggung jawab, Qiana Fathiyya. Peninjau, Angela." gumam Oma Inge membaca bukti laporan yang ada ditangannya.

Alvan dan Oma Inge sama-sama menghela nafas dengan berat dan membuangnya kasar. Keduanya sama sekali tidak percaya dengan tuduhan dan bukti yang dibawa oleh Om Fariz.

"Karena kini kita punya bukti yang kuat, kita harus menyelidikinya dan menghubungi polisi." ucap Oma Inge menegaskan.

"Kurasa kita belum perlu melibatkan polisi untuk menyelidiki kasus ini, Oma! Biar aku tangani dulu sendiri masalah ini. Aku akan menemukan siapa dalang sebenarnya dibalik semua ini!" ucap Alvan tegas.

"Tapi, Al…" ucapan Om Fariz terpotong karena Alvan mengangkat tangannya.

"Aku butuh kekuasan penuh untuk menyelidiki kasus ini." Alvan menatap lekat pada Oma Inge.

"Baiklah! Siapkan laporan tentang kasus ini untuk Oma, Al." sahut Oma Inge.

"Baik, Oma!" balas Alvan tegas.

Alvan dan Oma Inge saling tatap dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Setelah semua laporan yang disampaikan oleh Om Fariz kepada Oma Inge dan Alvan, dia pun akhirnya pamit pulang.

"Kalian dengar itu? Periksa semua jenis produk yang keluar dan beberapa laporan yang mencurigakan pada data perusahaan. Cari tahu siapa mereka, lokasi mereka, dan tempat mereka mendapatkan produknya." Perintah Alvan kepada keempat sahabatnya.

"Oke!" Evan menyahut cepat dan langsung mengoperasikan laptopnya.

"Apa Oma ingin memberitahu polisi?" tanya Rayn.

"Tidak! Sesuai saran Alvan, Oma masih ingin kalian menyelidiki semuanya terlebih dahulu. Oma yakin jika Qiana tidak ada hubungannya dengan semua ini." balas Oma Inge dengan wajah lesu.

"Bagaimana dengan Angela?" tanya Gherry.

"Jika Angela terlibat, Oma tidak akan bisa membantunya." Oma Inge terlihat sedih.

"Lalu Qiana? Apa yang akan kita lakukan pada Qiana?" tanya Rayn.

"Aku percaya kalau Qiana tidak terlibat! Dia hanya korban. Mungkin saja pelaku sengaja menciptakan fitnah pada Qiana karena usahanya gagal untuk membuat Alvan celaka. Ingat kejadian siang tadi?" tanya Fahlevi membuat semua saling menatap satu sama lain.

"Oma rasa ucapanmu benar, Levi! Seseorang sengaja menjadikan Qiana sebagai tersangka, karena ingin menyingkirkan Qiana yang selalu berusaha menggagalkan rencana mereka. Kalau Qiana menjadi ancaman terbesar mereka saat ini… itu artinya kalian harus melindungi Qiana!" ucap Oma Inge membuat suasana jadi semakin tegang.

"Apa Qiana akan tetap bekerja di perusahaan kita, Al?" tanya Evan.

"Gue rasa Qiana akan tetap berada di kantor kita untuk beberapa waktu, sampai kita selesai menyelidiki semuanya. Gue gak mau mengambil resiko sekecil apa pun yang bisa membuat Qiana celaka. Untuk Angela kita juga harus mengawasi dia!" jawab Alvan.

"Itu artinya kalian harus ekstra hati-hati dalam menjaga Qiana. Saat ini Oma yakin jika Qiana bukan pelaku sebenarnya! Lindungi Qiana dan jaga dia baik-baik untuk Oma!" pinta Oma Inge.

Alvan menatap lekat pada Oma Inge. Tergambar jelas wajah lelah pada wanita paruh baya di sampingnya. Perlahan Alvan meremas lembut tangan Oma Inge.

"Bagaimana dengan permainan aku saat ini, Bang? Apa Abang suka? Lambat laun aku akan berhasil menghancurkan keluarga Abang, aku juga akan segera mengambil alih perusahaan Abang dari tangan Kak Inge dan Alvan. Hahaha…" laki-laki itu tertawa puas dengan disaksikan sang kakak yang tertunduk lemas di hadapannya.

"Ka… mu…! Ja… ngan… sen... tuh… me… re… kahhh…" ucap laki-laki paruh baya dengan suara terbata, sementara badannya masih terbaring lemah tak berdaya.

"Aku tidak akan menyentuh mereka, jika saja mereka juga tidak pernah mengusik hidup aku!" pekik laki-laki itu setengah berteriak di depan wajah sang kakak.

Laki-laki paruh baya yang terbaring lemas di atas pembaringannya, hanya bisa menitikkan air mata kesedihan saat mendengar sang adik mengancam akan melukai keluarganya dan mengambil alih perusahaannya.

"Lihat ini!" seru Evan membuat Alvan, Gherry, Rayn, Fahlevi dan Oma Inge kompak menoleh.

"Lu nemuin sesuatu?" tanya Alvan penasaran.

"Surat yang Om Fariz tunjukkan palsu! Qiana tidak pernah menandatangani perjanjian apa pun untuk produk baru yang belum kita rilis. Tapi Angela…" Evan menunjukkan layar laptopnya.

"Kurang ajar!" Alvan mengepalkan tangannya.

"Al, tenang dulu! Evan belum selesai bicara!" sela Oma Inge mencekal tangan Alvan.

Oma Inge tahu persahabatan Alvan dan Angela terbilang paling lama diantara Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi. Apa lagi Angela memang bersahabat dengan Alvan sejak masih kecil. Bisa dibilang jika Angela adalah teman masa kecil Alvan.

"Kita belum tahu kebenaran semua ini, Al! Gue rasa Angela dan Qiana sama-sama korban! Kita masih butuh bukti yang lain yang bisa menunjukkan jika pelaku masih bersembunyi di balik keberadaan Qiana dan Angela." ungkap Fahlevi.

"Maksud lu?" tanya Alvan.

"Sesuai rencana kita kemarin. Aku tadi menemui Qiana di apartemen Aurel. Qiana saat ini sedang kambuh, trauma yang dia alami kembali menyerangnya…" Fahlevi kemudian menceritakan bagaimana dia bisa terlambat datang itu karena menolong Qiana terlebih dahulu.

"Oma ada rencana untuk Angela dan Qiana." Usul Oma Inge.

"Apa…?" Alvan, Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak bertanya dan menatap Oma Inge bersamaan.

Setelah menjelaskan rencana yang Oma Inge susun, Alvan dan sahabatnya beralih ke ruangan kerja Alvan yang berada di lantai dua. Sementara Oma Inge kembali ke dalam kamarnya untuk istirahat.

"Al, supir pribadi lu mana? Dia belum datang?" tanya Evan dingin.

"Gue minta Vino untuk menjemput Qiana di apartemennya. Biar Qiana kerja diantar jemput Vino. Gue juga minta Vino yang jagain Qiana." Sahut Alvan enteng.

"Apa?" tanya Evan dan Gherry serempak.

"Lu gila, Al? Kenapa lu semudah itu percaya dengan orang yang baru lu kenal buat jagain, Qiana?" tanya Gherry tak habis pikir.

"Vino orang baik dan gue percaya kalau dia bisa melindungi Qiana! Kenapa lu ngeraguin gue soal itu, Gher?" Alvan tak terima dengan tudingan Gherry sahabatnya.

"Siapa Vino?" ucap Oma Inge tiba-tiba.

"Oma…?" Alvan terlihat gugup.

Alvan takut jika Oma Inge tahu dirinya sudah mempekerjakan Vino sebagai supir pribadi, tanpa sepengetahuan Oma Inge dan Papi Billy akan membuatnya kena marah sang Oma dan sang Papi.

"Kenapa kamu gak jawab pertanyaan Oma, Al?" tanya Oma Inge kemudian.

"Nanti Oma bakal tahu siapa Vino sebenarnya! Dan aku yakin Oma akan setuju kalau aku memberi Vino pekerjaan, setelah Oma dan Papi bertemu Vino nanti di kantor." Alvan nyengir kuda seraya menggaruk ceruk lehernya yang tidak gatal sama sekali.

"Lihat! Anak manja sedang merajuk!" tunjuk Gherry dengan bibirnya dibuat monyong menunjuk Alvan yang tengah merayu Oma Inge agar tidak marah kepadanya.

"Menurut lu bertiga, Oma akan setuju dengan tindakan gegabah Alvan atau justru mendukungnya? Setelah melihat wajah Vino yang memang sangat mirip dengan Alvan? Secara mereka seperti kembar seiras…" Evan meminta pendapat Rayn, Fahlevi, dan Gherry.

"Upin Ipin kali kembar seiras!" ledek Fahlevi terkekeh membuat yang lain ikut terkekeh.

"Gue rasa Oma, mau pun Papi Billy akan setuju dengan Alvan. Apa lagi Alvan dan Vino benar-benar seperti anak kembar. Lu lihat kan profil Vino? Gue sendiri kalau lihat sekilas pasti mengira kalau itu Alvan." Tutur Evan kemudian.

"Itu artinya…?" keempat sahabat itu kompak saling tatap bergantian satu sama lain.

"Kita tetap harus menjaga persahabatan kita. Kita juga harus melindungi Alvan dan keluarganya dari Vino, siapa pun dia sebenarnya. Satu lagi! Kita juga harus menjaga dan mengawasi Qiana dari Vino." tutur Rayn yang langsung mendapat anggukan kepala dari ketiga sahabatnya.

Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi tidak akan membiarkan Alvan dalam bahaya. Seegois egoisnya Alvan, mereka tetap setia kepada Alvan. Sebab Alvan mereka menjadi seperti sekarang.

Kesamaan nasib mereka dengan Alvan, sebagai anak broken home yang kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang sudah bercerai membuat mereka selalu merasa kehadiran Alvan adalah penolong bagi mereka saat mereka tengah terpuruk di masa lalu.

"Vin! Lu bawa Qiana ke kantor Oma aja! Oma dan Papi juga ingin ketemu sama lu." Pinta Alvan disambungan teleponnya kepada Vino.

"Oke, Boss!" balas Vino.

"Lu jangan manggil gue, Bos! Gue gak suka! Panggil aja gue Abang, biar enak didengarnya! Toh semua anak buah gue juga manggil gue Abang. Lebih akrab dan enak didengar." Usul Alvan membuat Vino terkekeh di balik telepon.

"Oke, Boss!" jawab Vino keceplosan.

"Vino…!" geram Alvan.

"Eh? Iya, Bang Al!" Vino tertawa keras. Lalu keduanya sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya.

Vino menyeringai di balik senyum liciknya. Saat ini dia merasa berada di atas angin. Bagaimana tidak? Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak kepadanya.

Rencana jahat dan balas dendam kepada keluarga Pratama Wijaya akan berjalan dengan mulus saat dirinya sebentar lagi akan masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya dengan sangat mudah, melalui Alvan.

"Aku sudah menantikan ini, Tuan Billy Pratama Wijaya dan Nyonya Ingerda Sophia Willemina Wijaya!!!" rahang Vino mengeras giginya bergemeratuk sementara tangannya mengepal kuat di balik kemudi.

Vino tidak akan pernah bisa melupakan dendamnya terhadap keluarga Pratama Wijaya. Terlebih apa yang sudah dilakukan oleh Papi Billy dan Oma Inge terhadap ibunya di masa lalu.

"Aku harus berterima kasih kepada Om. Karena Om sudah memberitahu aku semua kebusukan Tuan Billy dan Nyonya Inge." ucap Vino pada seseorang di balik sambungan teleponnya.

"Tentu saja, Vino! Om akan lakukan demi kamu dan mami kamu! Om tidak mungkin membiarkan kalian menderita selama ini karena perbuatan Billy dan Kak Inge. Om tidak akan membiarkan mereka bahagia di atas penderitaan kamu dan mami kamu!" suara berat laki-laki itu terdengar begitu merdu di telinga Vino.

"Aku sudah berhasil masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya, melalui Alvan dengan sangat mudah tanpa mereka sadari. Itu semua karena rencana Om yang menunjukkan arah untuk aku. Setelah itu aku akan merebut semua harta mereka dengan tangan aku sendiri!" ucap Vino penuh dendam.

"Lakukan, nak! Lakukanlah apa yang kamu inginkan untuk membalaskan sakit hati mami kamu. Dengan membalaskan dendam itu, maka hidupmu akan lebih tenang! Dan kamu berhak mendapatkan semua yang Alvan miliki saat ini." suara laki-laki di balik telepon it uterus mengompori Vino dengan pikiran busuk dan rencana liciknya.

"Aku tutup teleponnya, Om! Gadis itu sudah datang!" ucap Vino mengakhiri panggilan teleponnya secara sepihak.

Qiana yang melihat mobil Alvan di depan apartemennya langsung berjalan menuju mobil Alvan. Tanpa Qiana sadari di dalam mobil itu tidak Alvan, melainkan Vino yang sedang menunggunya.

"Ka… kamu?" tanya Qiana gugup.

"Ya! Ini gue! Lu tenang aja! Gue gak bakal ngapa-ngapain lu! Gue cuma diminta anterin lu ke kantor Oma Inge atas perintah Bang Alvan." Sarkas Vino.

Qiana tidak lagi bisa berkutik. Hanya diam dan menuruti semua perintah Alvan yang ditugaskan kepada Vino.

"Oma, Papi, ini Vino! Dia supir pribadi aku yang baru." ucap Alvan mengenal Vino kepada Oma Inge dan Papi Billy.

"Ka… kamu…?" Oma Inge dan Papi Billy kompak menatap wajah Vino dengan mulut menganga dan mata terbelalak.

"Aku Vino!Tuan, Nyonya!" sapa Vino ramah.

"Kenapa bisa mirip sekali?" tanya Oma Inge gugup.

Sementara Papi Billy tidak berkedip sama sekali menatap wajah Vino yang memang benar-benar sangat mirip dengan Alvan sang anak semata wayang.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Kalian seperti anak kembar dan jika kalian memakai pakaian dan gaya rambut yang sama, Papi akan sulit untuk membedakan kalian berdua!" ucap Papi Billy dengan bibir yang bergetar.

Vino tersenyum licik di balik punggungnya saat menjabat tangan Papi Billy dan Oma Inge. Dua orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dengan sang mami tercinta.

Tanpa mereka sadari, setelah ini aka nada kejutan besar yang Vino berikan untuk keluarga Pratama Wijaya. Semua sudah Vino rencanakan dengan bantuan seseorang yang sangat dekat dengan keluarga Pratama Wijaya.

"Mami… selangkah lagi aku akan menuntaskan tugasku! Membalaskan dendam kepada keluarga Pratama Wijaya!" batin"Vino penuh dendam.