Chapter 28 - Bab. 28

Sreeettt…

Brukkk…

Qiana menarik baju Alvan kemudian mendorong tubuh Alvan hingga jatuh terjerembab ke atas tanah yang kasar. Bersamaan dengan suara tembakan itu terdengar.

"Hufffttt…" Qiana bernafas dengan lega karena berhasil mendorong tubuh Alvan tepat waktu.

"Qi… Qiana…! Kamu gak apa-apa?" tanya Alvan kaget.

Kali ini aksi Qiana menyelamatkan Alvan tepat waktu membuat seseorang di seberang sana kembali geram. Usahanya untuk melenyapkan Alvan kali ini digagalkan lagi oleh Qiana.

"Sial!" pekik laki-laki itu.

Semua orang yang berada di dalam café berhambur keluar melihat apa yang terjadi, tidak terkecuali dengan Rayya.

"Apa kalian tidak tahu malu?" umpat Rayya saat melihat posisi Qiana berada tepat di atas tubuh Alvan.

Qiana segera bangkit dan menjauh dari tubuh Alvan. Vino datang lalu menolong Alvan dan Qiana untuk segera berdiri.

"Pak Bos, gak apa-apa?" tanya Vino.

"Aku gak apa-apa!" jawab Alvan saat Vino membantunya berdiri.

"Maaf! Kamu ada yang luka?" tanya Qiana.

"Aku gak apa-apa, Qiana? Aku justru khawatir sama kamu!" Alvan memutar tubuh Qiana untuk memastikan jika Qiana baik-baik saja.

"Drama apa lagi sih ini?" gerutu Rayya kesal.

Seketika suasana di halaman café sudah terdengar riuh rendah. Beberapa orang pihak café mendatangi Alvan dan Qiana lalu menanyakan keadaan mereka.

"Aku dan tunanganku tidak apa-apa!" jawab Alvan.

"Kami mohon maaf jika kejadian ini membuat Pak Alvan tidak nyaman! Kami akan segera melaporkan kejadian ini kepada polisi dan menyelidiki siapa yang sudah melakukan itu kepada kalian berdua, Pak Alvan!" ucap manager café.

Alvan hanya tersenyum getir mendengar penuturan manager café. Alvan sudah bisa menebak jika hasilnya akan sama dengan kejadian saat dirinya di Bandung yang diselamatkan oleh Qiana.

"Qiana, kamu gak apa-apa?" tanya Alvan memastikan.

"Aku gak apa-apa! Tapi tanganmu terluka!" Qiana meniup luka di tangan Alvan.

"Ini tak sebanding dengan pengorbanan kamu untukku, Qiana! Apa kamu melihat wajah pelakunya?" tanya Alvan.

"Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Aku hanya melihatnya memakai pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup masker juga topi." Qiana menuturkan.

Rayya yang baru sadar jika suara tembakan yang baru saja dia dengar adalah ingin mencelakai Alvan, segera saja dia memeluk Alvan tanpa rasa bersalah.

"Al, kamu baik-baik saja? Apa ada yang luka?" Rayya memeluk Alvan dengan erat.

"Lepaskan aku! Aku tidak butuh perhatianmu, Rayya! Ayo kita pergi dari sini, Qiana!" Alvan segera beranjak meninggalkan Rayya.

Alvan mengeluarkan ponselnya di dalam jas yang terlihat kotor, karena insiden terjatuh tadi. alvan segera mengirim pesan kepada para sahabatnya.

"Kita bertemu di markas! Gue tunggu sekarang!" chat Alvan kepada sahabatnya dalam grup.

"Kenapa dia?" tanya Rayn yang dibalas gelengan kepala oleh Evan dan Gherry, sementara di tempat terpisah Fahlevi hanya menjawab 'ok' pada chat yang Alvan kirim.

Alvan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Alvan memilih duduk di belakang bersama Qiana. Alvan tak hentinya menatap wajah Qiana.

"Vino! Antarkan Qiana ke kantor Oma saja! Setelah itu kamu kembali ke kantor." Perintah Alvan yang segera dipatuhi oleh Vino.

Alvan kemudian mengantarkan Qiana sampai di dalam ruangannya. Setelah memastikan Qiana berada di kantornya, Alvan menemui Papi Billy.

"Pi, aku titip Qiana! Kalau bisa tolong jaga dia! Jangan biarkan dia pulang sendiri ke apartemennya. Pastikan dia aman!" ucap Alvan membuat Papi Billy mengerutkan keningnya.

"Ada apa?" tanya Papi Billy.

"Nanti aku jelaskan! Sekarang aku harus pergi!" Alvan pergi meninggalkan Papi Billy yang masih bengong menatap punggung Alvan hingga tak terlihat.

Alvan pergi dengan menggunakan ojeg online setelah menyuruh Vino kembali sendiri ke kantor dengan mobilnya.

Dua puluh menit kemudian Alvan tiba di markas di sana sudah ada Gherry, Evan, dan Rayn di dalam markasnya.

"Levi belum datang?" tanya Alvan saat sudah masuk.

"Belum!" jawab Rayn.

"Aku datang!" sahut Fahlevi yang baru saja sampai.

Alvan menghela nafas panjang dan membuangnya kasar. Seraya menyugar rambutnya, wajah Alvan terlihat kusut.

"Ada apa?" tanya Evan penasaran.

"Coba cek cctv café! Lihat kejadian di café satu jam yang lalu!" perintah Alvan kepada Evan. Sementara dirinya membersihkan luka di tangan yang belum sempat diobati.

Dengan lincah tangan Evan bergerak di atas tombol laptopnya. Evan membuka cctv di café yang Alvan maksud, keningnya berkerut dengan kepala menggeleng pelan.

"Langsung delete! Tapi gue masih bisa buka, TOLOL!" pekik Evan dengan rahang mengeras.

"Apa seseorang menghapus jejaknya?" tanya Alvan.

"Sepertinya begitu! Tapi aku tidak akan membiarkan mereka lepas!" balas Evan kemudian mengembalikan rekaman cctv itu dalam keadaan semula.

"Coba perhatikan!" Gherry menunjuk pada seseorang dengan memakai pakaian serba hitam dengan wajah ditutupi topeng juga topi.

"Rayya…?" Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak menatap Alvan penuh tanya. Sementara Alvan jadi memutar bola mata dengan malas.

"Gue minta kalian datang ke sini buat menyelidiki kejadian penembakan di café tadi! Bukan menyelidiki keberadaan Rayya! Ini gak ada hubungannya dengan dia!" ujar Alvan kesal.

"Jangan salah sangka dulu, Al! Siapa tahu Rayya ada di balik semua ini?" ungkap Gherry membuat Evan dan Rayn saling tatap.

"Gue rasa gak mungkin Rayya tega menyuruh seseorang untuk melenyapkan Alvan! Secara dia cinta sama Alvan, dan berharap kembali. Menurut gue Rayya akan menggunakan cara licik lainnya buat mendapatkan cinta Alvan kembali, entah dengan menjauhkan Alvan dan Qiana dengan fitnah yang dia ciptakan mungkin! Atau apalah, gitu! Gak mungkin Rayya merencanakan semua itu!" Fahlevi buka suara.

"Gue setuju dengan lu, Lev! Gue yakin ini masih ada hubungannya dengan data perusahaan yang diretas akhir-akhir ini. Gue yakin ini ada hubungannya dengan surat wasiat Oma buat gue!" ungkap Alvan.

"Lalu bagaimana dengan Vino?" tanya Evan tiba-tiba.

"Kenapa lu bawa-bawa Vino dalam masalah ini? Dia orang baru! Jadi gue rasa dia gak mungkin ada di balik semua ini." kilah Alvan.

"Buka mata hati lu, Al! Gue cuma mau ingetin lu aja! Vino datang secara tiba-tiba dan lu terima dia begitu aja! Gue dan yang lain udah nyari informasi tentang Vino." ucap Evan.

"Apa yang lu dapat, hah?" tantang Alvan.

"Lihat ini!" Evan memperlihatkan biodata Vino kepada Alvan.

Kening Alvan berkerut saat melihat wajah seorang laki-laki yang wajahnya memang sangat mirip dengannya. Lebih seperti saudara kembar.

"Apa ini benar-benar Vino?" tanya Alvan penasaran.

"Gue juga gak yakin kalau ini vino! Tapi seperti yang lu bilang kemarin kalau Vino sebatang kara, dia juga baru saja di PHK dari bengkel tempat dia bekerja. Lalu apa artinya dengan ini? Apa Vino tidak sedang menipu lu, Al?" tanya Gherry kemudian.

"Walau bagaimana pun lu harus tetap waspada sama Vino!" Evan mengingatkan.

"Tapi yang gue khawatirkan saat ini justru keselamatan Qiana! Gue takut Qiana jadi inceran mereka karena udah beberapa kali menggagalkan usaha mereka buat melenyapkan gue!" bantah Alvan mencoba mengalihkan percakapan mengenai Vino.

Kring…

Kring…

Kring…

Ponsel Alvan berbunyi. Segera Alvan menyambar ponselnya yang tadi diletakkan di atas meja. Kening Alvan berkerut saat melihat nama kontak yang melakukan panggilan pada ponselnya.

"Om Fariz!" gumam Alvan menatap sahabatnya satu persatu secara bergantian.

"Angkat! Loudspeaker!" pinta Gherry.

"Hallo, Om?" tanya Alvan.

"Al, kamu dimana? Ada yang ingin Om bicarakan denganmu!" sahut Om Fariz di balik teleponnya.

"Aku sedang meeting dengan klien di luar, Om. Ada apa?" tanya Alvan.

"Kita harus ketemu dan bicara banyak hal mengenai perusahaan." Lanjut Om Fariz di seberang telepon.

"Baiklah! Satu jam lagi kita ketemu di kantor. Bagaimana?" tanya Alvan.

"Heuuuhhh… bagaimana kalau Om datang saja ke rumahmu! Om juga ingin bertemu dengan Oma." balas Om Fariz.

"Baiklah!" Alvan dan Om Fariz sama-sama mengakhiri panggilan telepon mereka.

Alvan mengangkat sebelah alisnya. Melihat hal itu Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi mengerti apa yang harus mereka lakukan.

"Bi Narsih…!" teriak Alvan dari tangga.

"Ya, Babang gantengkuh!" sahut Bi Narsih sambil berlari kecil menghadap sang majikan.

"Malam ini Om Fariz akan datang! Masakin makanan kesukaannya ya, Bi!" pinta Alvan.

"Oke, Babang gantengkuh!" ucap Bi Narsih mengerlingkan matanya dengan nakal kepada Alvan. Sementara Alvan jadi geleng-geleng kepala melihat tingkah pengasuhnya itu.

Mendengar percakapan Alvan dan Bi narsih, Oma Inge bergegas keluar dari kamarnya. Oma Inge mencari keberadaan Alvan di antara tangga dan kamar miliknya.

"Kemana anak itu?" gumam Oma Inge.

"Oma mencariku?" Alvan tiba-tiba muncul di belakang Oma Inge sambil membawa beberapa berkas ditangannya.

"Apa Fariz akan datang, Al?" tanya Oma Inge.

"Seperti yang Oma dengar barusan!" balas Alvan tanpa menoleh.

"Ada apa?" tanya Oma Inge heran.

"Entah! Aku juga belum tahu tujuan Oma Fariz datang kemari ingin menemui aku dan Oma." balas Alvan menggedikkan bahunya.

Oma Inge mendelik lalu meninggalkan Alvan di ruang keluarga, dan membantu Bi Narsih membuatkan makan malam untuk mereka.

"Oma, apa Qiana baik-baik saja?" tanya Alvan ragu. Sementara Oma Inge jadi menatap penuh tanya pada Alvan.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Al?" Oma Inge balik bertanya.

"Aku khawatir dengan Qiana. Kejadian saat di Bandung terulang lagi siang tadi, saat aku dan Qiana baru keluar dari café." ucap Alvan membuat mata Oma Inge terbelalak.

"Apa…? Kenapa Qiana tidak cerita sama Oma?" sahut Oma Inge dengan wajah sudah panik.

Alvan menghela nafas kasar lalu menyugar rambutnya pelan. Alvan menatap Oma Inge dengan wajah memelas penuh penyesalan.

"Maafkan aku, Oma! Aku tadi membawa Qiana ke café." ucap Alvan jujur.

"Qiana tidak mengatakan apa pun pada Oma!" balas Oma Inge.

"Oma, aku harus jujur sama Oma! Aku sangat mencintai Qiana, dan aku gak bisa menahan perasaan aku sendiri pada Qiana." ucap Alvan tertunduk lesu.

"Apa jawaban Qiana?" Oma Inge penasaran.

"Qiana selalu saja menolak aku, Oma!" sahut Alvan sedih.

"Apa kamu sudah mengatakan semuanya pada Qiana?" tanya Oma Inge.

"Aku sudah mengatakan semuanya, Oma! Bahkan aku sudah menjelaskan semua mengenai keinginan Oma itu, tapi Qiana tetap saja tidak percaya padaku. Apa Oma bisa membantu aku?" pinta Alvan dengan wajah memelas.

"Oma gak bisa maksa Qiana kalau begitu! Itu sudah keputusan Qiana sendiri. Biarkan dia menentukan keinginannya. Kamu jangan terlalu memaksa Qiana, Al!" ucap Oma Inge lirih.

"Qiana mengira aku hanya memanfaatkan dia untuk mendapatkan warisan Oma! Padahal tanpa warisan dari Oma pun, aku ingin sekali menjadi satu-satunya laki-laki yang dia cintai!" ucap Alvan dengan tatapan kosong.

Sementara di apartemen, Qiana sedang melamun membayangkan kejadian saat di café. Qiana terus mengingat beberapa kejadian saat bersama Alvan.

"Qi, kamu kenapa? Sejak pulang kantor kamu ngelamun terus! Cerita dong sama aku!" Aurel menarik dagu Qiana yang terus menuduk menatap kosong pada lantai di bawahnya.

"Ule, kamu ingat kejadian di Bandung saat aku tertembak?" tanya Qiana.

"Iya, aku ingat walau aku gak tahu bagaimana kejadiannya! Memangnya kenapa?" tanya Aurel.

Qiana lalu menceritakan semuanya kepada Aurel tanpa ada yang dia tutupi sedikit pun dari sahabatnya itu.

"Kira-kira siapa dia? Apa maunya?" Aurel memutar bola matanya seperti sedang berpikir.

"Aku gak tahu! Tapi aku yakin orang itu ingin melenyapkan Bang Alvan. Sebab dari yang aku lihat laras panjang itu memang di arahkan pada kepala Bang Alvan. Jika saja saat itu aku tidak melihat keberadaan orang itu, sudah pasti Bang Alvan akan mati… hiks, aku tidak bisa membayangkan hal itu kalau benar-benar terjadi nanti. Hiks…" Qiana menangis tersedu membuat Aurel jadi khawatir.

"Tarik nafas…. buang… tarik nafas… buang…" begitu Aurel menuntun Qiana agar trauma di masa lalu tidak membuatnya jatuh pingsan lagi.

Aurel mengirim pesan kepada Dokter Fahlevi dan memberitahu keadaan Qiana. Sebelumnya Dokter Fahlevi memang meminta nomor kontak Aurel, sebab khawatir jika suatu hari Qiana akan mengalami trauma kembali.

"Aurel?" gumam Fahlevi saat berada di dalam mobilnya.

"Dokter! Sepertinya Qiana kambuh! Apa yang harus aku lakukan sekarang?" chat Aurel saat melihat Qiana semakin menangis histeris di dalam apartemennya.

"Kirim lokasi kalian! Aku segera datang!" Fahlevi mengirimkan balasan kepada Aurel, setelah itu Aurel mengirimkan lokasi apartemennya.

Lima belas menit kemudian, Fahlevi sudah sampai di pelataran parkir apartemen Aurel dan Qiana. Fahlevi bergegas mencari unit apartemen Aurel, setelah menemukannya kemudian mengetuk pintu.

"Bagaimana?" tanya Fahlevi cemas.

"Qiana masih menangis histeris." Jawab Aurel.

"Biarkan aku memeriksanya!" Fahlevi segera menemui Qiana yang berada di dalam kamarnya.

Melihat kondisi Qiana saat ini, Fahlevi jadi ikut menangis karena tidak tega dengan Qiana yang memiliki trauma di masa lalu.

"Qi… ini aku, Fahlevi!" ucap Fahlevi lirih.

"Aku takut, hiks…! Mereka mau membunuh Tuan besar! Mereka mau melukai Tuan muda! Aku takut, hiks…!" tangis Qiana semakin pecah saat Fahlevi memeluknya.

"Aku ada di sini untuk menjagamu. Kamu tenang yah! Semua akan baik-baik saja!" Fahlevi menenangkan Qiana.

Tak lupa Fahlevi memberikan obat, dengan menyuntikkan pada lengan Qiana. Tak berapa lama, Qiana akhirnya tenang dan tertidur di dalam pelukan Fahlevi.

"Qiana sudah tenang. Aku memberinya obat penenang. Aku harus pergi sebentar! Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku lagi! Setelah urusanku selesai, aku akan datang lagi. Mungkin aku akan bermalam di sini, apa boleh?" Fahlevi meminta izin kepada Aurel.

"Tentu saja! Dokter bisa tidur di kamarku, sementara aku akan tidur di kamar Qiana dan menemaninya." sahut Aurel.

"Baiklah! Aku harus pergi sekarang!" Fahlevi bergegas meninggalkan Aurel dan Qiana di apartemennya.

Sementara di rumah Oma Inge sudah kedatangan Om Fariz yang saat ini baru selesai makan malam bersama Oma Inge dan Alvan.

"Aku ingin menunjukkan ini, Kak!" ucap Fariz menyodorkan beberapa lembar kertas.

"Apa ini?" tanya Oma Inge dengan kening berkerut.

"Ini laporan keuangan perusahaan yang aku rilis bulan ini. Banyak sekali data yang tidak sesuai dengan laporan keuangan." Ungkap Om Fariz.

Oma Inge dan Alvan saling tatap. Sementara Alvan yang sudah tahu sejak awal hanya diam dan berusaha menyimak semua penuturan Om Fariz.