Langkah seorang laki-laki terhenti saat mendengar percakapan Vino dengan seseorang di balik teleponnya. Sejak awal dia sudah mencurigai keberadaan Vino.
"Udah gue duga! Gue bener-bener curiga kalau orang itu adalah musuh di dalam selimut! Dan Alvan sudah membawa dia ke dalam masalahnya yang baru! Tapi aku tidak akan membiarkan ini terjadi!" laki-laki tampan itu tersenyum miring sambil menyugar rambutnya.
Sementara itu Qiana sangat terkejut saat masuk ke kantor Alvan. Siang ini Qiana selesai pergi meeting menemani Oma Inge di sebuah café.
"Dia… mirip sekali dengan, Bang Alvan?" batin Qiana saat berpapasan dengan Vino.
"Ngapain lu lihat-lihat gue kayak gitu?" tanya Vino sinis.
"Kamu orang baru?" tanya Qiana tanpa ragu.
"Ya! Gue supir pribadi Pak Alvan!" jawab Vino ketus.
"Haaah… supir pribadi? Sejak kapan Bang Alvan punya supir pribadi? Setahuku dia gak mau punya supir pribadi kalau bukan Kak Gherry, Kak Evan, dan Kak Rayn. Kenapa tiba-tiba Bang Alvan mau punya supir pribadi? Apa karena wajahnya sangat mirip yah!?" batin Qiana menggedikkan bahunya.
"Eh? Lu kenapa sih?" tanya Vino dengan dagu terangkat yang menunjukkan sikap arogan.
Qiana menatap Vino dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semua Qiana perhatikan dan memang benar-benar mirip Alvan.
"Permisi!" Qiana berlalu tanpa ingin menoleh lagi.
"Eh?" Vino jadi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sementara Qiana terus saja berjalan menuju ke ruangan pribadinya yang Alvan siapkan, selama kontrak kerja sama perusahaan Oma Inge dan perusahaan miliknya masih berjalan.
"Bianca…!" sapa Qiana seraya celingak celinguk.
"Ya, Qiana! Ada apa?" tanya Bianca.
"Apa kamu tahu, siapa laki-laki di bawah yang wajahnya mirip Bang Alvan?" Qiana balik bertanya.
"Emmm, kalau aku gak salah dengar. Namanya Vino, dia supir pribadi Bang Alvan yang baru." jawab Bianca.
"Sejak kapan?" tanya Qiana.
"Sejak pagi tadi." balas Bianca kemudian.
"Apa Papi Billy dan Oma Inge tahu?" tanya Qiana lagi.
"Kalau soal itu, aku juga kurang tahu!" Bianca mengangkat kedua bahunya.
Qiana hanya manggut-manggut, sebelum akhirnya dia meninggalkan Bianca dan masuk ke dalam ruangan pribadinya.
"Aku seperti menemukan sesuatu yang aneh dari orang yang bernama Vino itu!" gumam Qiana.
Tok…
Tok…
Tok…
Pintu ruangan Qiana diketk seseorang dari luar. Belum Qiana menyuruh masuk orang itu, pintu sudah terbuka dan muncul sosok Alvan di balik pintu.
"Qiana! Aku harus bicara denganmu!" ucap Alvan tiba-tiba.
"Heuuuh! Ada apa?" tanya Qiana tanpa menoleh.
"Qiana! Kenapa kamu tidak mau jujur padaku, kalau gadis kecil itu adalah kamu?" tanya Alvan membuat Qiana seketika menoleh kepadanya.
"Pertanyaan konyol macam apa itu?" timpal Qiana tidak suka.
"Ini bukan pertanyaan konyol, Qiana! Aku sungguh-sungguh bertanya padamu. Karena aku belum bisa tenang sebelum mendapatkan jawabannya darimu!" Alvan memutari meja kerja Qiana, dan duduk di atas meja menghadap Qiana yang terduduk di atas kursi kebesarannya.
"Aku rasa kalau ingin membicarakan masalah pribadi, sebaiknya aku pergi! Aku datang ke sini untuk bekerja! Bukan membahasa masalah pribadi." Sahut Qiana ketus.
"Ya sudah! Ikut aku sekarang!" Alvan turun dari meja dan menarik tangan Qiana.
"Kemana?" tanya Qiana heran.
"Ikut saja!" Alvan tetap memaksa.
"Aku baru saja sampai di kantor ini! Apa aku harus pergi lagi? Aku cape!" keluh Qiana.
"Aku tak peduli!" jawab Alvan asal.
Qiana tidak bisa melepaskan genggaman tangan Alvan di tangannya. Tenaganya terlalu kecil untuk memberontak melawan Alvan yang mempunyai kekuatan lebih besar.
"Bianca! Aku dan Qiana harus pergi sebentar! Kalau ada yang mencari kami, katakan aku dan Qiana menemui klien." ucap Alvan membuat Bianca menatapnya heran.
Bianca merasa ada yang aneh dengan kelakuan Alvan kali ini. Genggaman tanganya yang tidak melepaskan Qiana sama sekali membuat yang lain jadi merasa aneh, begitu juga dengan Bianca.
"Bang Alvan dengan Qiana apa mereka pacaran yah?" bisik seseorang.
Bisik-bisik mengenai hubungan Alvan dan Qiana terdengar santer di kantor Alvan. Hingga akhirnya berita itu sampai ke telinga Evan, Gherry, dan Rayn.
"Ini sih gila, bray! Bisa jadi berita besar kalau sampai awak media tahu!" gerutu Gherry.
"Gue gak tahu apa rencana Alvan kali ini. Disaat kita lagi ada masalah di perusahaan dia malah mikirin masalah pribadi yang gak jelas!" celetuk Rayn membuat Evan dan Gherry kompak menoleh.
"Lu cembokur?" tanya Evan.
"Eh? Siapa bilang gue cemburu?" ucap Rayn gelagapan.
Evan dan Gherry kompak terkekeh melihat sikap Rayn yang wajahnya sudah memerah. Sebagai sahabat, Evan dan Gherry tahu jika Rayn juga sedang mendekati Qiana saat ini.
"Kita mau kemana ini, bos?" tanya Vino.
"Café depan!" balas Alvan.
"Mau ngapain sih?" gumam Qiana kesal.
Vino segera menepikan mobilnya dan memarkirkan di halaman café. Alvan segera turun yang kemudian diikuti oleh Qiana.
"Lu tunggu di sini sebentar, Vin! Gue dan Qiana gak lama!" ucap Alvan.
"Oke, Pak Bos!" sahut Vino tersenyum memberi hormat kepada Alvan.
Alvan segera berlalu sambil menarik tangan Qiana, dan itu menjadi pusat perhatian pengunjung café. Vino yang sedang menyusun rencana jahatnya kepada Alvan, tidak ingin ketinggalan berita.
"Ouh… jadi gadis yang bersama Alvan saat ini namanya, Qiana! Aku harus menyelidiki siapa gadis itu! Dan ada hubungan apa dia dengan Alvan dan Oma Inge, juga Papi Billy." Gumam Vino tersenyum licik penuh kemenangan.
Alvan dan Qiana sudah duduk di sebuah sofa dengan saling berhadapan yang di halangi oleh meja di antara keduanya. Alvan sengaja memesan ruang privat room untuk mereka berdua agar lebih leluasa.
"Qiana, sekarang katakan dengan jujur. Kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya kalau gadis kecil itu adalah kamu?" pertanyaan Alvan membuat Qiana membuang muka.
"Aku tidak ingin menyakiti Imelda. Itu saja!" jawab Qiana datar tanpa menoleh.
"Apa hanya itu?" tanya Alvan penasaran.
"Ya!" sahut Qiana malas.
"Apa kamu tidak mencintai aku? Seperti aku yang sangat mencintai kamu, Qiana?" Alvan perlahan mendekat pada Qiana.
Entah detik yang mana, Alvan sudah duduk di samping Qiana. Bahkan kini Alvan sudah menggenggam tangan Qiana dengan erat.
"Apa…? Cinta…? Hahaha… mana ada cinta diantara kita berdua, Tuan muda?" ledek Qiana dengan tawa bernada mengejek.
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Alvan menatap sayu.
"Aku sudah malas membahas soal cinta! Aku tidak mau sakit hati lagi karena cinta! Kamu tahu sendiri kan kalau aku sudah kecewa dengan dua laki-laki dalam hidupku. Aku tidak ingin memikirkan lagi soal laki-laki mana pun…" ucapan Qiana terpotong.
"Bagaimana dengan aku?" Alvan menangkup wajah Qiana dengan kedua tangannya.
"Kamu juga laki-laki! Itu artinya aku juga tidak mau jatuh cinta atau memikirkan kamu! Sudahlah! Aku sudah lelah! Aku mau kembali ke kantor Oma saja kalau begitu!" Qiana hendak berdiri namun Alvan memeluk tubuh Qiana dengan erat.
"Jangan pergi! Aku mohon!" pinta Alvan yang terus memeluk tubuh Qiana, dan menguncinya.
"Apa mau kamu?" tanya Qiana dengan suara pelan.
"Aku menginginkanmu! Sungguh aku sangat mencintai kamu, Qiana!" ucap Alvan meyakinkan Qiana.
"Tapi aku tidak mencintaimu!" balas Qiana mencoba melerai pelukannya dari Alvan.
Alvan tidak ingin melepaskan pelukannya dari Qiana. Meski Alvan tahu, Qiana terus meronta ingin lepas dari dirinya.
Sementara di tempat yang lain Rayya sedang uring-uringan, lantaran seseorang sudah mengirimkan foto saat Alvan berjalan bersama Qiana masuk ke dalam café dan berada di dalam private room
"Arggghhh… sial!!!" teriak Rayya melemparkan vas bunga di atas meja.
"Kenapa lagi sih?" tanya Vivie sahabat Rayya.
"Alvan! Dia menolak bertemu dengan aku! Sekarang dia sedang bersama gadis gembel itu di café." balas Rayya penuh emosi.
"Lalu kenapa kamu masih ada di sini? Sana pergi temui dia! Kamu pasti bisa merebut Alvan kembali dari tangan si gembel itu, Rayya!" Vivie mengompori.
"Lalu Tio?" sahut Rayya.
"Dia tidak akan tahu kalau kita bisa menutup mulut." Smirk di wajah Vivie.
Rayya ikut menyeringai bersama Vivie sahabatnya. Rayya segera pergi ke café tempat dimana Alvan berada saat ini.
"Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja, Alvan! Aku memang salah sudah meninggalkan kamu dulu demi Tio! Tapi kali ini aku tidak akan membuat kesalahan yang sama! Aku akan membuatmu kembali kepadaku secepatnya!" Rayya melajukan mobilnya membelah jalan Ibukota.
Lima belas menit menempuh perjalanan, mobil yang Rayya kemudikan sudah berada di café. Tidak ingin membuang waktu, Rayya segera menuju ruang private room tempat Alvan berada.
"Qiana, aku mohon padamu!" Alvan meminta dengan wajah memelas.
"Alvan…!" Rayya membuka pintu dan menatap Alvan yang sedang memeluk Qiana dengan erat.
Alvan dan Qiana sama-sama terkejut dengan kedatangan Rayya. Merasa tidak nyaman dengan keadaannya, Qiana berusaha melepaskan tangan Alvan yang masih melingkar di pinggangnya.
"Lepaskan!" bisik Qiana lirih.
"Tidak akan!" senyum tipis di bibir Alvan.
"Kalian masih saja senang mengumbar kemesraan dimana pun, tanpa tahu tempat!" ejek Rayya membuat Qiana semakin merasa tidak nyaman.
"Kamu mau apa datang kemari?" tanya Alvan sinis.
"Tentu saja aku datang kemari hanya untuk menemui kamu, Al! Apa lagi?" Rayya mendekat dan mencoba membantu tangan Alvan agar melepas pelukannya dari Qiana.
"Kalian berdua sebaiknya bicara saja! Biarkan aku pergi dari sini!" ucap Qiana membuat Alvan sontak melepas pelukannya.
Qiana yang merasa terbebas dari Alvan segera melangkah hendak pergi meninggalkan Alvan dan Rayya. Qiana tidak ingin berurusan lagi dengan Alvan mau pun Rayya.
Tap…!
Alvan mencekal tangan Qiana, membuat Qiana sontak berhenti melangkah.
"Al, kita harus bicara! Biarkan dia pergi!" pinta Rayya.
"Aku rasa sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi! Sudah jelas semuanya dan aku juga akan segera menikah dengan Qiana. Iya kan, sayang?" Alvan menarik pinggang Qiana agar mendekat padanya.
"Aku tahu kalau hubungan kalian hanya sandiwara. Benar begitu?" Rayya menatap tajam pada Qiana.
Qiana hanya diam dalam amarah yang sudah memuncak. Ingin rasanya Qiana menjerit namun, bibirnya terkunci begitu rapat.
"Gue rasa orang yang jadi supir pribadi Alvan harus diselidiki lagi. Gue curiga orang itu bukan orang biasa!" seru Evan. Gherry dan Rayn kompak menoleh.
"Lu yakin, Van?" tanya Gherry.
"Ya!" jawab Evan.
"Kita cari tahu saja siapa dia sebenarnya!" sahut Rayn.
"Bagaimana?" Gherry menatap Evan dan Rayn.
"Boleh!" sahut Rayn dan Evan nyaris bersamaan.
Dengan lincah tangan Evan menari di atas tombol laptop dan mencari informasi mengenai seorang laki-laki bernama Vino.
"Al, bisakah kita bicara berdua saja? Biarkan dia pergi!" pinta Rayya.
"Kamu siapa? Seenaknya memerintahku seperti itu? Qiana calon istriku, aku berhak memintanya untuk tetap berada di sini denganku! Aku tidak ingin calon istriku salah paham saat aku bersama kamu atau siapa pun, yang bisa membuat calon istriku cemburu. Aku harus menghormati Qiana agar tidak sakit hati dan salah paham dengan wanita yang berada di sekitarku." ucap Alvan membuat Qiana sejenak memahami setiap kalimat yang Alvan ucapkan.
"Eh? Ternyata dia tipe laki-laki setia dan sepertinya dia juga sangat menjaga perasan seorang wanita. Tapi kenapa dulu Rayya sampai memutuskan dia?" batin Qiana.
"Tapi, Al… baiklah! Aku akan bicara denganmu di hadapan dia!" tunjuk Rayya dengan dagunya kepada Qiana.
"Terserah!" balas Alvan dingin.
"Al, bisakah kita memulai semua dari awal lagi? Aku ingin kita kembali seperti dulu! Aku masih mencintai kamu, Al!" tanpa malu Rayya mengungkapkan isi hatinya kepada Alvan di hadapan Qiana.
Qiana hanya mendengarkan tanpa mau menatap Alvan atau pun Rayya, yang sudah sama-sama duduk di atas sofa dan saling berhadapan. Alvan tidak sedikit pun mau melepaskan tangan Qiana.
"Aku cuma jadi kambing congek ini!" batin Qiana menggerutu.
"Apa kamu belum mengerti juga, Rayya? Aku ini akan menikah dengan Qiana! Aku sangat mencintai Qiana." balas Alvan dingin.
"Semudah itu kamu melupakan aku, Al?" tanya Rayya dengan tatapan sendu.
"Kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku harus pergi!" Alvan beranjak meninggalkan Rayya.
Qiana yang masih berada di dalam genggaman Alvan, bagai kerbau dicucuk hidung hanya mengikuti kemana Alvan pergi.
"Lepaskan tanganku!" pekik Qiana saat sudah berada di luar café.
"Gak mau!" balas Alvan.
"Apa aku harus berbuat kasar padamu, Tuan Alvan?" tanya Qiana dengan menatap tajam kepada Alvan.
"Aku suka melihatmu seperti itu, Qiana! Kamu sangat cantik!" puji Alvan membuat Qiana marah dan menginjak kaki Alvan.
"Awww… sakit, sayang!" teriak Alvan manja.
Qiana membelalakkan matanya saat mendengar ucapan Alvan. Sementara Alvan jadi terkekeh.
"Kenapa?" tanya Alvan dengan tatapan sayu.
"Sudah berapa banyak wanita yang kamu gombali setiap hari dengan kata-kata itu?" tanya Qiana ketus.
"Kenapa? Kamu cemburu, sayang?" goda Alvan menaik turunkan alisnya.
"Aku bukan cemburu! Tapi… aku muak!!!" ucap Qiana dengan tatapan membunuh.
Glekkk…!
Susah payah Alvan menelan ludahnya yang terasa kering dan tercekat di tenggorokannya. Sesusah itu Alvan menaklukan hati seorang gadis bernama Qiana.
"Apa tidak ada sedikit pun rasa cinta di hatimu untuk aku, Qiana?" tanya Alvan dengan tatapan sayu.
"Tidak!" jawab Qiana tegas.
Qiana kemudian membalikkan badannya hendak melangkah meninggalkan Alvan. Mata Qiana terbelalak saat melihat ada seorang laki-laki berdiri dengan laras panjang yang sudah mengarah kepada Alvan.
"Bang…!" jantung Qiana berdegub kencang.
Qiana membalikkan tubuhnya dan memeluk erat tubuh Alvan. Mendapat pelukan Qiana secara tiba-tiba membuat Alvan terlena hingga tidak sadar memutar tubuhnya.
Dor…!
Suara tembakan terdengar membahana di sekitar halaman café membuat para pengunjung menjerit ketakutan. Sementara Qiana terpana melihat pada tubuh laki-laki di hadapannya dengan gemetaran.