Alvan dan keempat sahabatnya menarik nafas dalam, lalu saling tatap. Hingga akhirnya Fahlevi yang angkat bicara.
"Kami sedang meninjau laporan keuangan perusahaan, Oma." Fahlevi beralasan.
"Tumben!" komentar Oma Inge.
Suasana kembali hening, Alvan yang berharap Oma Inge segera pergi tidur lantas berdiri. Dengan senyum yang dipaksakan Alvan mendekat pada Oma Inge.
"Oma, ini sudah malam! Sebaiknya Oma segera tidur!" Alvan memeluk bahu Oma Inge dengan erat.
"Ya! Ini juga Oma sudah mau tidur! Oma ke sini hanya ingin memberitahu kalian semua, kalau mau kopi atau cemilan tinggal ambil saja di dapur." Tutur Oma Inge.
"Terima kasih, Oma!" Alvan mencium hangat pipi Oma Inge.
Melihat tingkah Alvan kepada Oma Inge, kompak keempat sahabatnya memutar bola mata dengan malas.
"Ngakunya cowok macho! Ternyata aslinya manja banget sama Oma…!" celetuk Gherry terkekeh membuat Rayn, Evan, dan Fahlevi ikut terkekeh. Sementara Alvan jadi mencebikkan bibirnya.
"Ngiri aja lu!" balas Alvan yang melerai pelukannya dari Oma Inge.
"Ya sudah! Oma tidur duluan yah! Kalian jangan tidur terlalu malam." Oma Inge akhirnya turun dan kembali ke kamarnya.
"Hufffttt…!" Alvan, Gherry, dan Evan seketika merebahkan tubuhnya di atas karpet. Sementara Rayn dan Fahlevi hanya geleng-geleng kepala.
Alvan dan keempat sahabatnya melanjutkan pekerjaannya untuk mendapatkan informasi mengenai semua data karyawan. Baik di perusahaan Oma Inge mau pun perusahaan Alvan sendiri bersama keempat sahabatnya.
"Bray! Lihat ini!" seru Evan membuat keempat sahabatnya kompak menoleh.
"Gila…! Ini kan pengeluaran tahun ini untuk beberapa bulan ke belakang?" celetuk Rayn.
"Apa ini ada hubungannya dengan penyerangan saat lu di Bandung, Al?" tanya Fahlevi.
"Jika itu berhubungan dengan penyerangan gue buat nutupin penipuan ini, seharusnya penyerangan itu terjadi saat gue mulai balik dari Belanda. Tapi ini dimulai minggu lalu." ungkap Alvan.
Suasana kembali hening, semua terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. Sementara pencarian akun yang menyerang data perusahaan masih terus dilakukan oleh Alvan dan keempat sahabatnya.
"Mungkin isi email yang Oma kirimkan itu…" ucap Rayn terputus.
"Coba lu cek, Al!" titah Evan.
"Oke!" sahut Alvan.
Dengan cepat Alvan menekan tombol pada laptopnya, dan membuka beberapa email yang masuk ke alamat emailnya yang dikirim dari Oma Inge.
"Lihat ini! Menurut kalian angka penjualan ini lebih rendah dari yang seharusnya?" tanya Alvan menunjukkan data perusahaan di layar laptopnya.
"Benar!" jawab Rayn dan Evan nyaris bersamaan.
"Lu harus ngasih tahu Papi Billy agar dia juga memeriksanya, Al." ucap Gherry.
"Gue kirim laporan ini sama Papi. Kalau ada masalah, seharusnya Papi yang ngasih tahu Oma." sahut Alvan.
"Oke! Gue setuju!" timpal Rayn.
"Om Fariz…?" celetuk Evan membuat Alvan, Rayn, Gherry, dan Fahlevi kompak menoleh.
"Maksud lu?" tanya Alvan.
"Om Fariz mungkin tahu soal penipuan itu, tapi dia gak ingin ngasih tahu lu! Belum lagi posisi Om Fariz di perusahaan. Kalau mempertimbangkan faktor ini, semua masuk akal." imbuh Evan.
"Gak mungkin!" kilah Alvan.
"Ini mungkin, dan lu tahu itu, Al!" cecar Fahlevi.
"Levi…!" Alvan menarik kerah baju Fahlevi.
"Apa bukti yang lu punya kalau Om Fariz dalang di balik semua ini?" ucap Alvan geram.
"Apa bukti yang lu punya kalau Om Fariz bukan dalang di balik semua penyerangan lu, dan juga penipuan ini, Al?" Fahlevi balik bertanya dengan tetap tenang.
"Gak ada!" jawab Alvan melepaskan tangannya pada kerah baju Fahlevi.
"Kalau begitu, Angela dan Om Fariz adalah tersangkanya." ungkap Evan membuat Alvan dan yang lain kompak menoleh.
"Mungkin saja orang lain yang ingin menjatuhkan Angel dan Om Fariz." kilah Alvan.
"Mungkin saja! Kalau lu takut kebenaran ini akan terungkap, sebaiknya lu mundur! Abaikan dan biarkan mereka membereskannya. Sementara lu tetap fokus dengan perusahaan." ucap Fahlevi tegas membuat yang lain menatap Alvan dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Benar! Gue harus lakuin itu. Tapi gue bukan pengecut yang ingin menghindar dari kenyataan." ucap Alvan tegas.
"Kalau begitu saatnya lu ubah semua strategi permainan. Orang yang nyerang lu masih bersembunyi. Dia masih nyari celah untuk mencari tahu langkah lu selanjutnya. Kalau lu mau menangkapnya, lu harus memancingnya untuk keluar Alvan Pratama Putra Wijaya…!" Gagas Evan.
"Gue harus jadi pemburu yang pura-pura jadi mangsa mereka, siapa pun yang sudah berkhianat gak akan gue lepas!" ucap Alvan tegas.
Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi tersenyum senang melihat semangat Alvan yang menggebu. Mereka akan tetap berada di samping Alvan untuk memberikan dukungan penuh kepada Alvan.
"Om Fariz ngirim pesan buat seseorang." Bisik Alvan kepada keempat sahabatnya.
"Kita bahas di kantor!" Rayn memberi kode lantaran Oma Inge sedang berjalan menuju ke tempat dimana mereka berkumpul saat ini.
"Apa semalaman kalian tidak tidur?" tanya Oma Inge yang sudah berdandan rapi dan bersiap pergi ke kantor.
"Tidak, Oma! Kami semalam langsung tidur saat Oma juga tidur." tutur Evan.
"Ya sudah! Sekarang cepat kalian mandi gantian! Setelah itu sarapan dulu sebelum pergi." perintah Oma Inge berlalu meninggalkan Alvan dan keempat sahabatnya.
Setelah Oma Inge turun ke lantai satu, pintu kamar terbuka dan terlihat Qiana sudah rapi. Evan melirik sekilas pada Qiana lalu tersenyum manis.
"Hai, adikku yang cantik! Sudah rapi aja nih!" sapa Evan.
"Iya dong, Kak! Aku duluan ke bawah yah!" seru Qiana.
"Oke!" Evan mengacungkan jempolnya ke arah Qiana.
Qiana bergegas turun menyusul Oma Inge. Alvan sempat melirik Qiana, namun kembali segera mengalihkan pandangannya pada ponsel yang ada di tangannya.
"Pagi ini gue jadi datang ke kantor lu!" chat Vino kepada Alvan.
"Oke! Gue tunggu lu di kantor!" balas Alvan.
Setelah Alvan dan keempat sahabatnya mandi dan berpakaian rapi, mereka segera turun untuk sarapan bersama Oma Inge dan juga Qiana.
Alvan tidak ingin tempat duduknya keduluan Rayn, segera duduk di dekat Qiana. Setelah mengangkat piring dan meminta Qiana yang membawakan nasi gorengnya, Alvan segera melahapnya.
"Hmmm… enak banget nasi gorengnya!" gumam Alvan.
"Siapa dulu dong yang bikin!" celetuk Oma Inge mengomentari.
"Bi Narsih?" tanya Alvan yang langsung dibalas gelengan kepala cepat oleh Oma Inge.
"Bukan Bi Narsih, Bang Al! Hari ini Neng Qiana yang bikin nasi goreng untuk sarapan kita." timpal Bi Narsih.
"Pantesan enak!" seru Rayn tersenyum manis kepada Qiana, membuat Alvan cemburu.
"Dasar labil!" batin Fahlevi.
Sebagai seorang sahabat Fahlevi tentu tahu jika sahabatnya itu tengah jatuh cinta, kepada asisten pribadi Oma Inge.
Hanya saja terkadang rasa cemburu karena kedekatan Qiana dan Oma Inge, terkadang mengikis rasa cinta yang Alvan miliki kepada Qiana.
"Lu munafik juga yah, Al!" chat Fahlevi yang langsung dibaca oleh Alvan.
"Maksud lu?" balas Alvan dengan tanda tanya yang banyak.
"Lu kenapa gak langsung nembak Qiana aja sih? Nunggu sampai diembat orang? Iya cowok itu orang lain. Kalau cowok itu ada diantara sahabat lu, gimana? Bisa jadi perang nanti!" chat Fahlevi membuat Alvan memutar bola mata dengan malas.
"Sok tahu lu!" balas Alvan.
"Jangan patah hati kalau besok Qiana ditembak Rayn!" chat Fahlevi.
Deg…!
Dada Alvan berdebar kencang, sesaat matanya melirik Rayn yang terlihat menikmati sarapan nasi goreng buatan Qiana.
"Oma, aku jalan duluan yah!" pamit Alvan kepada Oma Inge.
Setelah selesai sarapan semua bubar dan menjalankan aktivitas masing-masing. Qiana dan Oma Inge pergi menuju kantornya.
Sementara Fahlevi pergi ke rumah sakit. Alvan, Gherry, Evan, dan Rayn pergi ke kantor dengan motor sport masing-masing, kecuali Alvan yang membawa mobil.
"Bang Al, ada nyariin tuh!" seru Bianca sekertaris pribadi Alvan.
"Suruh masuk!" perintah Alvan.
Tak lama Vino datang ke ruangan Alvan. Dengan senang hati Alvan menyambut kedatangan Vino yang memang sedang ditunggunya saat ini.
"Jadi kapan gue bisa mulai kerja?" tanya Vino sudah tidak sabar.
"Mulai hari ini lu bisa kerja sama gue, Vin!" Alvan mengulurkan tangannya kepada Vino.
"Makasih, Bro!" sambut Vino menyalami Alvan.
Vino tersenyum licik penuh kemenangan menyambut uluran tangan Alvan. Dadanya bergemuruh hebat saat menatap wajah tampan Alvan.
Ada nyeri menusuk jantungnya saat melihat bayangan dirinya di dalam wajah tampan Alvan. Seketika rasa benci dan dendam itu kembali hadir.
"Sekarang aku sudah masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya! Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi! Saat itu tiba semua milikmu akan menjadi milikku seutuhnya, Alvan Pratama Wijaya!" batin Vino menyeringai licik.
Evan berpapasan dengan Vino saat akan pergi menuju kantin. Mata Evan tidak beranjak sedikit pun dari tatapannya kepada Vino.
"Sorry, Bro! lu siapa yah?" tanya Evan.
"Kenapa? Ada masalah buat lu kalau gue ada di sini?" Vino balik bertanya.
"Dia supir baru gue, Van!" suara Alvan tiba-tiba menggelegar di belakang tubuh Evan.
Evan mengerutkan dahinya menatap tak percaya kepada Alvan. Selama ini Alvan selalu menolak keinginan Oma Inge untuk memiliki seorang supir pribadi.
Namun tiba-tiba Alvan datang membawa kejutan kepada Evan, dengan mengenalkan Vino sebagai supir pribadinya di saat kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja.
"Gue mau bicara berdua sama lu, Al!" ajak Evan yang langsung menarik tangan Alvan.
"Vin, lu tunggu gue di parkiran yah! Ini kunci mobil gue!" Alvan melempar kunci mobilnya yang segera diterima oleh Vino dengan senang hati.
Melihat itu Evan jadi semakin geram dibuatnya. Evan sudah benar-benar marah saat ini kepada Alvan, namun masih tetap dia tahan.
"Al, lu apa-apaan sih? Kenapa mendadak jadi butuh supir pribadi segala? Apa lu udah pikun kalau saat ini kita lagi nyelidikin orang yang udah ngebajak data perusahaan?" bisik Evan saat sudah sampai di kantin.
"Lu kenapa sih, Van? Kok panik gitu? Kalem, Evan…! Vino itu orang baik. Dia gak mungkin macem-macem. Percaya deh sama gue! Ini gak ada hubungannya sama Vino! Gue yakin!" ucap Alvan tegas.
"Emang lu gak takut apa? Kalau ternyata dia itu salah satu dari pengkhianat di perusahaan?" tanya Evan penuh curiga.
"Vino cuma kerja di bengkel biasa. Dia juga baru di PHK karena bengkelnya bangkrut. Jadi mana mungkin dia seorang yang terlibat dalam pengkhianatan itu? Gue punya firasat yang baik, kalau Vino orang yang bisa gue percaya!" ucap Alvan tegas.
"Terserah! Lu udah ngingetin lu, Al! Tapi kalau nanti ada masalah, jangan salahin gue kalau gue udah pernah ngasih tahu lu!" Evan segera pergi meninggalkan Alvan yang tidak peduli dengan ucapan Evan.
Evan sudah merasa tidak enak hati saat melihat gelagat Vino di kantornya. Terlebih Evan melihat cctv di kantornya kalau gerak gerik Vino sangat mencurigakan.
"Sekarang lu bisa bilang begitu, Al! Tapi saat lu tahu siapa Vino sebenarnya, apa lu masih mau mengelaknya? Selama ini gue tahu lu benar-benar gak bisa percaya gitu aja dengan orang yang baru lu kenal." Batin Evan menyayangkan perbuatan Alvan.
Evan pergi dengan perasaan dipenuhi sesak. Sahabatnya sudah dibuat terlena oleh orang baru yang bernama Vino. Hanya karena mereka mempunyai wajah yang mirip, Alvan dengan begitu mudahnya menerima Vino begitu saja tanpa diteliti terlebih dahulu asal usulnya.
"Vin, lu udah makan?" tanya Alvan.
"Juju raja gue dari pagi belum makan apa pun! Gue lagi gak punya duit soalnya!" ujar Vino berbohong.
"Ya udah sebelum lu ikut gue meeting kita ke café dulu buat makan. Yuk!" ajak Alvan.
Dengan senang hati Vino langsung menerima tawaran Alvan. Rupanya keberuntungan sedang berada dipihaknya saat ini.
"Bodoh! Hahaha…" batin Vino.
"Lu mau pesan apa? Pesan aja terserah lu! Jangan sampai lu kelaperan pas nganter gue meeting nanti." Celetk Alvan terkekeh.
"Oke! Gue pesan sekarang yah!" aksi Vino sudah dimulai.
Setelah memesan beberapa makanan yang Vino inginkan, akhirnya pesanan datang dan Vino segera menyantap makanan yang dia pesan. Sementara Alvan hanya memesan cappuccino kesukaannya.
"Vin, lu tunggu gue di sini yah! Kalau lu bosen lu bisa pesan makanan yang lu mau. Nanti biar gue yang bayar." ucap Alvan yang langsung meninggalkan Vino menuju ruang meeting.
"Oke!" balas Vino dengan smirk di wajahnya.
Dalam hati Vino bersorak girang. Rencananya kali ini sudah berhasil membuat Alvan menempatkan dirinya menjadi supir pribadi. Dengan begitu Vino akan tahu kemana pun Alvan pergi.
"Langkah awal yang bagus, Vino!" Vino bertepuk tangan untuk menyambut kemenangannya sendiri.
Tring…
Tring…
Tring…
Ponsel Alvan berbunyi di dalam saku jas nya. Alvan merogoh saku dan mengambil ponselnya. Keningnya berkerut saat melihat layar ponselnya. Tertera nama Rayya pada panggilan teleponnya.
"Angkat, Al! Please…!" gumam Rayya.
"Apaan sih?" Alvan mencebik kesal.
"Shiiittt! Malah di reject lagi!" gerutu Rayya.
Dengan perasaan marah, kecewa, dan sakit hati, akhirnya Rayya nekad datang ke kantor Alvan untuk menemui pemuda tampan bertubuh kekar itu.
"Permisi! Apa pak Alva nada di ruangannya?" tanya Rayya pada seorang resepsionis di kantor Alvan.
"Bang Alvan saat ini sedang ada meeting di luar. Apa sudah ada janji dengannya?" tanya resepsionis itu dengan ramah.
"Ya! Aku sudah janji untuk bertemu dengan Alvan. Kapan dia kembali?" Rayya balik bertanya.
"Bang Alvan bilang, dia akan langsung pulang setelah selesai meeting." ucap resepsionis itu.
"Kalau boleh tahu, Alvan meeting dimana?" tanya Rayya.
"Maaf! Kami tidak bisa memberitahu kepada siapa pun tanpa ada izin dari Bang Alvan sendiri. sebaiknya kamu hubungi saja langsung ke ponselnya, Bang Alvan." balas resepsionis itu lagi.
"Sial!" umpat Rayya di dalam hati.
Rayya pergi dengan perasaan semakin marah, kecewa, dan putus asa karena tidak bisa menemui Alvan.
Di tempat yang berbeda, Vino sedang menikmati fasilitas yang Alvan berikan kepadanya sebagai supir pribadinya yang baru.
Tanpa Vino sadari, seseorang dari jauh sudah mengendus bau kecurangan dari seorang Vino yang ingin membalaskan dendam atas rasa sakit hatinya kepada keluarga Pratama Wijaya.