"Ganti pakaianmu dengan ini, lalu duduklah anak manis." titah Angel pada Qiana.
"Kak Angel aku takut!" itu saja yang mampu Qiana utarakan dengan wajah gugup dan bibir bergetar.
"Tenang saja anak manis, aku akan mengajarimu banyak hal. Sekarang cepatlah ganti pakaianmu!" Angel mendorong Qiana masuk ke dalam ruang ganti baju.
Setelah tiga menit berlalu, Qiana keluar dari ruang ganti. Wajahnya terus tertunduk sambil sesekali memperhatikan pakaian yang dia kenakan saat ini.
"Kemarilah! Aku akan memberikan sedikit polesan di wajah ayu mu, anak manis!" Angel menunjuk pada kursi di depan kaca rias, Qiana segera menuruti permintaan Angela.
Suasana ruang make up model hening sesaat, hanya terdengar siulan kecil di sudut bibir Angela yang sesekali berdesis kagum melihat penampilan Qiana, yang menurutnya terlihat sempurna dengan hasil polesan tangan seorang Angela.
"Selesai!" gumam Angela yang masih terdengar di telinga Qiana.
"Aku takut, Kak Angel!" kata-kata itu keluar lagi dari mulut Qiana.
"Apa yang kamu takutkan hah, anak manis?" Angela menarik dagu Qiana.
"A... apa... apa aku bisa?" tanya Qiana ragu.
"Kamu pasti bisa, anak manis! Ayo sekarang kita keluar, semua orang sudah menunggumu!" Angela menuntun tangan Qiana keluar dari ruangan rias model.
"Kak Angel... Aku deg-degan banget. Bagaimana ini?" keluh Qiana semakin gugup saat mereka sudah keluar dari ruang make up.
"Rileks, anak manis! Tarik nafas dalam-dalam dan buang kasar, ulangi sampai rasa gugupmu hilang!" nasihat Angela.
Qiana segera melakukan apa yang Angela katakan, berulang kali Qiana menarik nafas dan membuangnya kasar.
"Hsss... Hufffttt... Hsss... Hufffttt... Hsss... Hufffttt..." Akhirnya Qiana bisa sedikit lebih rileks, namun itu tak berlangsung lama. Wajah Qiana seketika gugup kembali saat semua mata tertuju kepadanya.
"Oma, lihatlah!" tunjuk Gherry kagum melihat penampilan Qiana.
"Qiana...? Kamu kah itu?" mata Oma Inge membelalak menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Perfect!" desis Alvan yang nyaris tak terdengar.
"Ini sih bidadari cantik turun dari kayangan! Sempurna!" Papa Billy turut bicara.
Oma Inge menyambut Qiana dengan perasaan bahagia, karena jadwal pemotretan kali ini akan lebih sempurna dengan sang model dadakan yang super cantik. Semua terpesona dengan kecantikan Qiana, yang selama ini tidak pernah terlihat.
"Oma...!" rengek Qiana.
"Kenapa? Kamu gugup, Qiana?" Oma Inge tersenyum menatap Qiana yang gugup.
"Sini, biar aku yang menuntunmu naik ke atas catwalk!" ajak Rayn.
Qiana yang menyadari banyak kamera yang hendak mengambil gambarnya, seketika tersenyum manis ke arah kamera bergantian.
Dengan percaya diri yang dia bangun sesaat setelah melangkah di atas catwalk, Qiana pun berjalan lenggak lenggok layaknya model, dengan luwes Qiana akhirnya bisa menguasai panggung.
Saat matanya saling bersitatap dengan Oma Inge, muncul kekuatan baru sehingga tiba-tiba Qiana melakukan gerakan berputar dan menengadahkan kepalanya. Lalu Qiana berkacak pinggang dan kembali berjalan megal megol.
Sontak semua yang melihat Qiana di atas catwalk serempak memberikan tepuk tangan meriah kepada Qiana, tanda kagum dengan aksi panggung Qiana.
Tak terkecuali Alvan, berulang kali pria tampan itu menyungging senyum bangga pada Qiana. Tanpa dia sadari ada seseorang yang sedang tersenyum mengejek padanya, dialah Gherry sahabat sekaligus asisten pribadi Alvan.
"Bagaimana tuan muda, Alvan?" ledek Gherry menaik turunkan kedua alisnya, saat melihat senyum di kedua sudut bibir Alvan.
"Gue akui, Qiana kali ini sang penyelamat! Itu saja alasan gue tersenyum." cetus Alvan dingin.
"Pfffffttttt..." Gherry menahan tawa.
Sementara di tempat lain Rayya tengah mengumpat aksi Qiana di atas catwalk, bagi Rayya itu sangat menyebalkan.
"Kenapa harus gembel kampung itu sih?" sesal Rayya.
Kini aksi Qiana di atas panggung model tengah menjadi berita viral, pasalnya acara pemotretan dan launching produk terbaru keluaran butik ternama milik keluarga Pratama Wijaya dilakukan secara live, dan diliput secara langsung oleh beberapa media televisi dan media online lainnya, hingga menjadi tranding topik berita bisnis hari ini.
Raya segera meraih ponselnya di atas meja, dengan wajah penuh emosi dia menekan pada nomor kontak seseorang.
Tak lama kemudian Rayya melakukan sambungan panggilan telepon dengan seseorang itu di balik telepon, tak menunggu lama laki-laki di ujung telepon mengangkatnya dengan suara malas.
"Ada apa?" tanya laki-laki itu di balik telepon.
"Gue minta lu bikin Frista kecelakaan supaya gue yang bisa gantiin posisi dia, kenapa jadi si gembel kampung itu yang naik panggung?" bentak Rayya semakin kesal.
"Maksud lu apa?" laki-laki di balik telepon tampak heran dengan omelan Rayya.
"Kerja lu gak becus!" ejek Rayya pada laki-laki di balik telepon.
"Ingat rencana dan tujuan kita, Rayya! Gue emang jadiin lu model di sana buat balas dendam pada keluarga Pratama Wijaya. Jangan sampai lu bikin tujuan kita hancur akibat ulah lu sendiri, Rayya!" laki-laki di ujung telepon itu memutuskan hubungan telepon secara sepihak.
"Uuuhhh... Sial!" umpat Rayya muak dengan laki-laki itu.
Sementara di studio pemotretan acara berjalan dengan lancar, pemotretan dan lauching produk menarik perhatian pemangku bisnis di bidang fashion.
Bukan hanya model pakaian yang ditampilkan, namun model pendatang baru dadakan yang sudah menghipnotis pengunjung di panggung model membuat acara yang digelar semakin meriah.
Banyak para wartawan dan para pegiat bisnis yang tertarik dengan model pendatang baru dadakan dari butik milik keluarga Pratama Wijaya. Mereka penasaran dan ingin mengenal sosok model baru itu.
Qiana yang tidak ingin diwawancarai, hanya bersembunyi di balik tubuh sang pemilik butik Oma Inge.
Sementara Alvan dan Papi Billy siap menggelar jumpa pers di aula gedung studio milik Alvan, CEO muda nan tampan di perusahaan 'Pratama Wijaya Putra'.
Dengan senyum mengembang di wajahnya, Alvan tampil percaya diri menyapa para wartawan dan relasi bisnisnya yang lain.
"Jangan lupa, semua ini karena Qiana!" ucap Gherry penuh penekanan mengingatkan sahabatnya itu.
"Diam, lu!" hardik Alvan pelan.
"Sekarang lu bilang begini, besok-besok lu jatuh cinta sama Qiana baru tahu rasa! Kalau cinta bilang aja iya, jangan gengsi nanti kalau sampai diembat orang baru nyesel selangit lu!" rutuk Gherry yang hanya dibalas Alvan dengan tatapan tajam.
Di dalam ruang make up, Qiana masih terlihat gugup. Walau saat acara tadi dia begitu tampil memukau, namun dirinya tetap merasa takut dan tidak percaya diri dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Mana Qiana?" Oma Inge muncul tiba-tiba.
"Ya, Oma." Qiana mendekat pada Oma Inge dengan gugup.
"Ikut Oma!" seru Oma Inge menarik tangan Qiana.
"Kemana, Oma?" Qiana menatap punggung Oma Inge sambil mengekor dari belakang dengan langkah terseret pelan, karena Oma Inge masih menarik tangannya pelan.
"Sssttt... Jangan banyak tanya dulu! Ikut saja, nanti kamu juga tahu." telunjuk Oma Inge diarahkan ke mulutnya.
Oma Inge mengajak Qiana untuk duduk di sebelah Alvan. Sedangkan Oma Inge sendiri duduk di sebelah Qiana.
"Bagaimana hubungan kalian berdua? Apa kalian ini pasangan? Kalian memang cocok sekali menjadi pasangan. Bang Alvan tampan, dan Qiana cantik." Pertanyaan seorang wartawan sontak membuat Alvan dan Qiana saling tatap seketika, dan padangan mata keduanya terkunci untuk beberapa detik.
"Kami memang sudah bertunangan dan sebentar lagi akan segera menikah." jawaban telak Alvan mampu membuat Papi Billy dan yang lainnya terkejut dengan ungkapan Alvan, tidak terkecuali Qiana.
"Eh? Kenapa dia berani sekali mengatakan itu di depan awak media? Bagaimana kalau keluargaku atau keluarga Ambu yang lainnya melihat acara ini, bisa mati aku!" batin Qiana galau.
"Aku harap Rayya menonton tayangan ini, sehingga bisa dipastikan agar Rayya tidak lagi menangganggu cucu kesayanganku." Batin Oma Inge tersenyum puas.
Sementara di tempat yang berbeda saat ini Rayya sudah seperti cacing kepanasan. Barang-barang yang ada di hadapannya tidak luput dari amukannya saat ini.
"Kurang ajar, Qiana! Bisa-bisanya dia merebut posisi model itu dari aku! Dan sekarang kamu juga sudah merebut Alvan dari aku! Awas saja Qiana! Aku tidak akan tinggal diam! Akan aku pastikan kalau kalian tidak akan pernah bersama!" amuk Rayya melempar barang-barang di apartemennya.
Qiana yang baru saja selesai memberikan keterangan pers pada wartawan kembali ke ruang make up. Qiana merasa lelah dengan acara hari ini.
Bagaimana tidak! Qiana menjadi perancang sekaligus model yang memperagakan pakaian yang dia rancang sendiri. Kemudian harus bertemu dengan wartawan pula.
"Qiana, ternyata kamu berhasil mengangkat derajat kedua orang tuamu! Sekarang kamu benar-benar sudah membuktikan kepada kami, kalau kamu akan sukses di luar sana tanpa bantuan kami sedikit pun." Seorang laki-laki paruh baya meneteskan air mata haru melihat keberhasilan Qiana.
"Apa berita mengenai Qiana yang membuatmu menangis haru seperti ini?" tanya seorang wanita paruh baya yang selalu setia mendampinginya.
"Benar! Aku bangga pada Qiana, terlebih aku bangga kepada Kinanti dan Sambas yang mendidik kedua putrinya dengan baik. Qorie, dia sudah menjadi seorang bidan walau masih honor tapi itu patut dibanggakan. Dan Qiana! Kamu bisa lihat sendiri tadi berita di tv. Sangat jauh berbeda dengan cucu kita yang lainnya, apa lagi jika dibandingkan dengan Imelda dan Salsa. Mereka hanya mencoreng nama keluarga saja. Aku malu dengan kelakuan kedua cucuku itu!" ungkap Ahmad Kusuma Wardhana, kakek kandung Qiana dari sang ibu.
"Selama ini kita sudah salah menilai semua anak dan cucu kita. Kita membedakan mereka dengan status dan pekerjaan mereka. Bahkan kita sudah membuang Kinanti dan Sambas karena pekerjaan mereka" lanjut sang kakek.
Kedua orang tua yang sudah renta itu hanya bisa menangis sambil berpelukan. Rasa sesal menyeruak di relung hatinya yang paling dalam.
Kalau pun meminta Ambu Kinanti dan Abah Sambas untuk kembali ke rumahnya dulu, rasanya itu sangat sulit diterima oleh anak-anaknya yang lain.
Sebab semua anak dan cucunya sudah termakan hasutan dan fitnah serta omong kosong dari kedua manusia renta itu.
"Qiana! Ini sudah malam. Sebaiknya kamu pulang ke rumah Oma saja, yah! Sekalian Oma juga ingin ngobrol banyak hal sama kamu." Pinta Oma Inge.
"Tapi, Oma!" tolak Qiana.
"Tidak ada tapi tapian, Qiana! Jangan cari alasan! Baju tidur dan baju ganti buatmu, sudah Oma siapkan." Lanjut Oma Inge.
Kalau sudah seperti itu, Qiana tidak bisa melawan keinginan Oma Inge lagi. Perintahnya adalah mutlak dan tidak bisa ditolak.
"Kalau kamu sudah ngantuk, kita bicara besok saja!" ucap Oma Inge yang dibalas anggukan kepala oleh Oma Inge.
Qiana berjalan menaiki anak tangga satu persatu dengan langkah gontai. Kakinya terhenti saat sudah sampai pada pijakan terakhir.
"Akh aku malas tidur di rumah ini kalau ada dia!" batin Qiana geram.
"Heh! Kenapa wajahnya ditekuk gitu?" tanya Alvan.
"Harusnya kamu bahagia, karena acara tadi sudah berhasil membuat semua orang kagum padamu, Qiana!" celetuk Gherry.
"Aku rasa setelah ini akan banyak lagi permintaan kerja sama dari seluruh penjuru dunia, atas keberhasilan kita malam ini." ucap Evan.
"Semoga saja." jawab Qiana malas.
"Qi, Kalau belum ngantuk. Sini kita ngopi sambil ngobrol." Rayn menepuk tempat kosong di sebelahnya, membuat Alvan menatapnya kesal.
"Alvan sepertinya menyukai, Qiana." Batin Fahlevi.
"Aku ngantuk! Aku mau tidur saja!" balas Qiana pelan.
"Sana kamu tidur saja! Gak baik juga cewek begadang ditambah minum kopi pula!" Alvan sengaja menyuruh Qiana segera masuk ke dalam kamar agar Rayn tidak ada kesempatan untuk mendekatinya.
Setelah Qiana masuk ke dalam kamarnya, Alvan dan keempat sahabatnya segera melakukan pekerjaan mereka yang sempat tertunda.
"Coba lihat! Aku rasa gak mungkin Angel melakukan ini! Aku percaya kalau Angel bekerja dengan sangat baik untuk perusahaan kita. Kalau dia berkhianat pasti acara tadi dia gak mungkin minta Qiana yang jadi modelnya." ungkap Alvan.
"Lalu menurut pendapat lu siapa, Al?" tanya Gherry.
"Gue curiga ada pihak lain yang memang ingin menghancurkan perusahaan kita, dan perusahaan Oma. Tapi dia bermain cantik dengan menggunakan akun milik Angel sebagai umpan." jawab Alvan.
"Itu seperti terdengar dia sedang mengumpankan Angel di perusahaan. Benar begitu?" tutur Rayn.
"Bisa jadi!" Alvan dan Evan serempak menyahut.
"Lalu apa langkah kita selanjutnya?" tanya Rayn.
"Kita gak bisa gegabah menuduh orang tanpa bukti. Kita selidiki bersama-sama, setiap ada gerak gerik dari mereka yang kita curigai segera laporkan." ucap Alvan kemudian.
"Oke!" jawab Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi serempak.
Fahlevi meski dia seorang dokter, namun tetap memiliki saham di perusahaan yang Alvan dirikan. Sehingga dirinya ikut terlibat dalam penyelidikan kasus peretasan data perusahaan.
"Aku, Gherry, dan Evan akan mengecek akun masing-masing karyawan dan meretas ponsel mereka. Selain itu kita bisa melihat rekening mereka, dengan begitu kita bisa segera menemukan jawaban siapa sebenarnya musuh kita!" ucap Alvan yang disambut anggukan kepala antusias dari keempat sahabatnya.
Satu persatu Alvan, Gherry, dan Evan meretas semua data karyawan di perusahaan milik Oma Inge, juga milik mereka sendiri.
"Al, kalian belum tidur?" tanya Oma Inge yang tiba-tiba naik ke lantai 2.
"Oma!" Alvan, Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak menoleh kepada Oma Inge dan terkejut seketika.
"Eh? Kalian serius sekali! Sampai-sampai kayak lihat hantu menatap Oma seperti itu!" celetuk Oma Inge yang membuat Alvan dan sahabatnya jadi terkekeh.
"Maaf, Oma! kami terlalu serius bekerja." ujar Gherry beralasan.
"Heuh, begitu rupanya! Kalau kalian mau bikin kopi, bikin saja sendiri di dapur yah! Bi Narsih kayaknya udah tidur." Lanjut Oma Inge.
"Iya, Oma!" jawab Alvan dan sahabatnya kompak.
"Sebenarnya kalian sedang mengerjakan apa sih? Kok serius amat? Mana sampai harus lembur segala! Ini kan malam minggu! Emangnya kalian gak pada ngapel sama cewek kalian? Kecuali kalau kayak Alvan. Dia kan betah ngejomblo!" celetuk Oma Inge membuat Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi kompak terkekeh sementara Alvan hanya mencebikkan bibir.
Tiba-tiba semua terdiam saat menyadari pertanyaan Oma Inge. Sesuai kesepakatan, Alvan tidak akan memberitahu Oma Inge mengenai peretas data perusahaan itu, sebelum menemukan pelaku yang sebenarnya.