"Hei, kenapa lu lihat gue kayak gitu? Apa ada yang salah dari gue?" ucap laki-laki yang berdiri di hadapan Alvan penuh tanya.
"Gila...! kenapa dia bisa mirip banget sih? Siapa dia sebenarnya? Kenapa gue bisa bertemu dengan orang seperti dia, yang mirip banget..." batin Alvan.
"Sorry, kok lu malah bengong? Lu baik-baik aja kan, bro?" laki-laki itu kembali bertanya pada Alvan yang masih bengong.
"Kalau gue boleh tau, siapa nama lu? Tinggal dimana?" pertanyaan Alvan membuat laki-laki itu diam mematung.
Suasana seketika berubah menjadi tegang, laki-laki itu bingung hendak menjawab apa? Karena dia sendiri tidak menyangka jika kejadian barusan akan membawanya pada situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.
"Kenalin gue Alvan Pratama Putra Wijaya, lu?" Alvan mengulurkan tangan.
"Gu… gue..." sejenak laki-laki itu berpikir.
"Gue A... gue Vino!" lanjutnya kemudian.
"Senang bisa kenalan sama, lu." Alvan mengeratkan jabatan tangannya pada Vino laki-laki yang baru saja dikenalnya itu.
"Lu tinggal dimana?" Alvan kembali bertanya.
"Gue tinggal di rumah kontrakan sekitar sini." balas Vino ramah.
"Lu tinggal sendiri?" cetus Alvan ingin tahu.
"Iya, gue tinggal sendiri. Gue hidup sebatang kara di kota ini." tatap Vino sendu.
"Lu kerja?" Alvan penasaran.
"Gue tadinya kerja di bengkel mobil, tapi sekarang udah gak lagi." Vino menunduk sedih.
"Kenapa?" tanya Alvan heran.
"Gue dipecat, soalnya bengkel tempat gue kerja mulai bangkrut." timpal Vino penuh sesal.
"Lu bisa nyetir mobil?" tanya Alvan penuh arti.
"Bisa!" jawab Vino datar.
Entah apa yang ada di pikiran Alvan, dia tiba-tiba merasa iba pada Vino. Padahal sebenarnya Alvan tidak pernah memiliki hati selembut itu, dia tidak pernah sedikitpun punya perasaan iba pada orang lain.
Hatinya selalu dipenuhi dengan perasaan dendam dan benci pada siapapun, termasuk pada orang lain yang belum pernah dia kenal sekalipun. Tapi dengan Vino, Alvan merasa ada sesuatu yang dia rasa istimewa darinya.
"Lu mau jadi supir pribadi gue? Sorry, itu juga kalau lu berkenan." ucap Alvan hati-hati khawatir menyinggung perasaan Vino.
Vino terlihat berpikir, dirinya sedang mempertimbangkan tawaran Alvan. Sebenarnya Vino memang membutuhkan pekerjaan itu, tapi dia malu pada Alvan. Laki-laki tampan di hadapannya baru saja dikenalnya, tapi begitu baik padanya dan menawarkan pekerjaan padanya.
"Gue pikirkan dulu tawaran lu." pinta Vino.
"Kenapa? Bukannya lu butuh pekerjaan, yah?" Alvan mengercitkan dahinya.
"Gue memang butuh kerjaan, tapi gue juga ragu." jawab Vino enteng.
"Ragu kenapa? Lu gak mau kerja jadi supir?" Alvan berusaha meyakinkan.
"Bukan!" balas Vino singkat.
"Lalu?" Alvan penasaran.
"Gue gak punya SIM, dan gue gak punya duit buat bikin SIM." Vino tertawa kecil.
"Oh... Kalau hanya soal itu, lu tenang aja! Gue bisa atur dan secepatnya lu punya SIM. Gimana, lu tertarik dengan tawaran gue?" Alvan membawa dompet di dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
Vino yang melihat itu, tersenyum licik penuh kemenangan. Dirinya merasa menang satu langkah dari Alvan Pratama Putra Wijaya, matanya terus menatap tajam pada Alvan. Dan tanpa Alvan sadari, Vino mengepalkan tangan penuh dendam dan sakit hati pada Alvan.
"Ini kartu nama gue, kalau lu gak keberatan siang ini lu bisa langsung datang ke kantor gue.." pinta Alvan.
"Lu baik banget sama gue, padahal lu kan belum tahu siapa gue sebenarnya? Dan kita juga baru kenal, bukan?" ujar Vino beralasan.
"Gue tahu itu, tapi entah kenapa gue ngerasa kalau gue nyaman ngobrol sama lu." Alvan menatap lekat Vino.
"Maksud lu?" Vino mengerutkan dahi.
"Lihat wajah lu, gue seperti ada di depan cermin! Muka lu mirip banget sama gue, dan gue ngerasa lagi lihat diri gue sendiri waktu lihat wajah lu pertama kali." Alvan mengusap wajahnya kasar.
Deg...!
Seketika Vino merasa bagai petir menyambar di siang bolong, saat mendengar ucapan Alvan. Vino tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya, tapi di dalam hati Vino merasa senang jika wajah mereka berdua sangat mirip.
Vino tersenyum miring penuh arti. Kali ini Vino merasa bahwa keberuntungan sedang ada di pihaknya. Dengan cepat dia akan segera masuk ke dalam keluarga Pratama Wijaya.
"Hahaha... Mirip darimana?" tawa Vino mengisyaratkan sesuatu tersembunyi di balik ucapannya.
"Coba lu kemari mendekat!" ajak Alvan.
Vino menuruti permintaan Alvan, dirinya segera mendekat dan berdiri di samping Alvan. Sementara Alvan merogoh saku celananya dan mengambil ponsel, kemudian membuka aplikasi kamera di dalam ponselnya.
"Sini lebih dekat lagi!" seru Alvan agar Vino semakin merapat.
Kini wajah Vino dan wajah Alvan sudah sangat dekat, hanya berjarak beberapa inci saja. Alvan kemudian mengarahkan layar ponsel di hadapan mereka berdua.
Tanpa diberi aba-aba, Vino langsung menatap layar ponsel milik Alvan dan tersenyum di balik kamera.
Tanpa mereka berdua sadari, ternyata pose dan gaya mereka saat di depan layar kamera benar-benar mirip, bahkan wajah keduanya seperti saudara kembar.
Itu kenapa saat pertama kali menatap Vino, Alvan merasa sedang melihat dirinya sendiri pada sosok Vino.
Tapi bagi Vino rasanya bisa saja, itu mungkin karena dirinya hanya terlahir dari kedua orang tua yang sangat miskin, dan keduanya sudah meninggal.
Sementara Alvan masih memilik orang tua lengkap dan anak orang kaya, terbukti dengan kendaraan mewah yang dibawanya saat ini.
"Lihat, Vino! Wajah kita berdua sangat mirip bukan? Hanya saja mata lu cenderung lebih sayu dari mata gue, dan gaya rambut kita berbeda tapi warna kulit, hidung, dan alis serta dagu kita memiliki bentuk yang sama." tawa Alvan bahagia.
"Lu benar! Kita terlahir dengan wajah yang sama, tapi status kita berbeda." ucap Vino menunduk sedih.
Alvan merasa tak enak hati dengan sikap Vino yang berubah menjadi sedih, Alvan merangkul pundak Vino dan menepuknya pelan.
"Jangan sedih gue mau jadi saudara lu, Vin!" Alvan membesarkan hati Vino.
"Bagaimana mungkin lu secepat ini bisa nerima gue jadi saudara lu?" Vino memasang wajah memelas di balik senyum liciknya yang nyaris tak terlihat oleh Alvan.
"Kenapa gak! Gue yakin lu orang yang baik, dan bisa jadi saudara gue!" Alvan menepuk bahu Vino pelan.
Tanpa Alvan sadari, Vino sedang menjadi srigala berbulu domba. Begitu manis terlihat dari luar, tapi dalamnya penuh dendam dan benci.
"Langkah awal yang sempurna, Vino...! Good job!" batin Vino bersorak, jika saja tidak ingin membuat Alvan curiga, Vino ingin tepuk tangan dan tertawa bahagia atas kemenangan pertamanya hari ini.
"Oke, Vino. Kalau gitu gue cabut dulu! Ini udah telat banget soalnya. Keenakan ngobrol sama lu, gue jadi lupa waktu. Jangan lupa, nanti siang atau besok gue tunggu di kantor kalau emang lu mau kerja sama gue!" ajak Alvan tulus.
"Yah, makasih buat tawarannya! Gue pastiin besok datang ke kantor lu." Vino menyungging senyum, dalam hati dia mengutuk perbuatan Alvan.
"Janji, yah? Gue tunggu kedatangan lu besok, di kantor gue!" Alvan merangkul Vino kembali.
"Yah, gue janji sama lu!" Vino membalas pelukan itu sebentar lalu melepaskannya penuh dendam.
"Ya udah, gue duluan! Sampai ketemu besok." Alvan kembali ke dalam mobil, dan segera berlalu dengan melajukan kendaraannya dalam kecepatan tinggi menembus jalan ibukota, karena dirinya sudah terlambat masuk kantor.
Tiga puluh menit kemudian Alvan sampai di depan kantornya, dia terburu-buru keluar dari dalam mobil, tanpa memarkirkan mobilnya terlebih dahulu.
Kemudian Alvan melemparkan kunci mobilnya tepat di hadapan seorang security, yang bertugas di depan pintu utama kantornya.
Haaap...!
"Pak Opan, tolong parkirkan mobilku!" pintanya pada seorang security bernama Topan.
"Siap, bosss...!" balas Topan menerima kunci dari Alvan dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri memberi hormat pada atasannya.
Alvan segera berlari kecil menuju lift yang akan membawanya ke lantai 3, dimana terdapat ruangan kerjanya saat ini. Saat lift sudah tiba di lantai 3 dan pintu lift terbuka, Alvan dikejutkan dengan sosok sang ayah yang sudah berdiri menunggunya di depan lift yang berada di lantai 3.
"Darimana saja kamu, Al? Sejak tadi Papi menunggumu, kita ada meeting penting hari ini. Dan gara-gara kamu kita jadi terlambat!" omel Papi Billy kepada anak semata wayangnya.
"Maaf, Pi! Tadi di jalan ada insiden kecil." jawab Alvan cuek.
"Apa...? Tapi, kamu baik-baik saja kan?" mata Billy Pratama Wijaya membulat sempurna, dan menelisik untuk memastikan sang putra kesayangan baik-baik saja.
"Apa sih, Pi! Aku baik-baik saja!" Alvan memutar bola matanya dengan malas, atas perhatian sang Papi yang dinilai berlebihan.
"Lain kali hati-hati! Apa kamu sudah mendapat seseorang pengganti Tomi?" tanya Papi Billy menaikkan satu alisnya.
"Sudah, rencananya besok dia akan datang kemari." Alvan berjalan mengikuti langkah Papi Billy dari belakang.
"Dapat darimana?" Papi Billy mengajukan pertanyaan yang membuat Alvan menelan ludahnya sendiri, pasalnya Alvan baru saja bertemu dengan orang itu dan belum lama mengenalnya. Satu hal yang Papi Billy dan Oma Inge tidak suka, kali ini sudah Alvan langgar.
Keluarga mereka kerap berhati-hati saat mempekerjakan seseorang, itu karena Oma Inge pernah di khianati oleh bawahannya sendiri. Sedangkan Papi Billy di khianati oleh istrinya sendiri, akibat menerima pekerja dan memberi kepercayaan pada orang yang baru mereka kenal.
Yah... Dulu Papi Billy pernah mempekerjakan seseorang bernama Haris, bahkan Oma Inge menjadikan Haris sebagai orang kepercayaan di perusahaan mereka.
Sayang Haris berkhianat. Bahkan di belakang mereka, Haris tega berselingkuh dengan Mami Mayang istri Papi Billy, menantu Oma Inge yang merupakan Mami dari Alvan sendiri.
Sejak saat itu, keluarga mereka selalu berhati-hati dalam memilih karyawan agar lebih selektif lagi. Supaya kejadian beberapa tahun silam tidak terulang lagi.
Untung hanya satu perusahaan saja yang diambil alih oleh Haris dan Mami Mayang, itupun hanya saham kecil milik Papi Billy.
"Al, kamu baik-baia saja? Kamu kenapa?" Suara Papi Billy mampu membuyarkan lamunan Alvan.
"Kamu melamun? Apa yang sedang kamu pikirkan?" lanjut Papi Billy.
Alvan menggeleng saat mereka berdua sudah tiba di depan pintu ruang meeting. Papi Billy segera membuka pintu, dan mengajak Alvan masuk ke dalam ruang meeting.
Hampir satu jam lebih mereka berada di ruang meeting, dan mendapatkan proyek baru hasil kerjasama dengan perusahaan lain.
Setelah kedua perusahaan itu sepakat, mereka menyudahi meeting dan pihak yang lain segera kembali pulang. Sementara Papi Billy dan Alvan memutuskan untuk kembali ke ruang kerja Alvan.
"Bagaimana acara malam ini? Apa semua sudah siap?" tanya Papi Billy.
"Semua sudah siap tinggal menunggu persiapan model yang baru di perusahaan kita, dan bintang tamu yang akan ikut memeriahkan acara nanti malam." Sahut Alvan.
"Ya sudah! Kalau begitu Papi pulang dulu. Nanti malam kita bertemu lagi di hotel." ucap Papi Billy kemudian pergi meninggalkan Alvan di ruangannya sendiri.
Malam pun tiba, acara peluncuran model baru dari produk butik Oma Inge digelar. Kali ini sebagai seorang perancang busananya langsung, Qiana hadis untuk menjadi seorang desainer.
"Kok aku deg-degan banget yah, Kak!" ucap Qiana kepada Angela.
"Kamu cuma tinggal duduk di depan kursi kehormatan. Saat acara selesai dan host memintamu ke atas panggung, ya kamu tinggal naik panggung! Ayolah, Qiana! Gitu aja kok deg-degan sih!?" Angela menuturkan ucapannya.
"Tetap aja, Kak!" jawab Qiana dengan cebikkan bibirnya.
"Udah atuh neng geulis jangan cemberut aja! Nanti Kak Angel bantu biar gak nervous yah!" bujuk Angela.
Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu sudah siap digelar. Namun saat model yang akan menjadi Brand Ambassador produk baru pakaian di butik Oma belum ada, semua mendadak panik.
Saat itulah Qiana mulai berkeringat dingin. Gherry dan Evan sudah membantu Qiana dengan mencari model pengganti, namun semua model mendadak tidak bisa hadir.
"Bagaimana dengan Vionita?" tanya Qiana cemas.
"Vionita sedang liburan di luar kota. Tanpa kofirmasi apa pun sama managernya." Sahut Gherry.
"Aurel?" tanya Qiana.
"Ponselnya gak aktif. Rayn menyusul ke apartemennya tapi gak ada." jawab Evan.
"Terus gimana ini?" tanya Qiana semakin panik.
Saat semua sedang tegang memikirkan model pengganti, tiba-tiba Evan tersenyum ke arah Qiana. Melihat senyum Evan, membuat Qiana semakin tidak enak hati.
"Aku curiga dengan senyum maut, Kakak!" celetuk Qiana tak suka.
"Sepertinya kamu memang mengerti kegelisahanku, Qiana?" balas Evan dengan smirk di wajahnya.
"Ada apa?" tanya Alvan yang baru saja tiba.
"Semua model gak ada yang datang!" sahut Angela.
"Kok bisa? Bukannya sudah fix semua tadi siang?" tatap Alvan dengan mata melotot tajam kepada Angela.
Alvan jadi ingat saat Evan memberitahunya kalau data perusahaan ada yang meretas, dan mereka curiga kalau itu adalah Angela. Alvan tidak akan memberi celah kepada Angela untuk membuatnya jatuh.
"Apa kalian tidak punya solusi lain, selain hanya menunggu model yang menganggap pekerjaan ini tidak penting!" ucap Alvan dengan geram.
"Qiana! Kemarilah! Aku yakin kamu akan menolong perusahaan Oma dan perusahaan kami bukan?" bujuk Evan.
"Apa maksud, Kakak?" tanya Qiana dengan perasaan was-was.
"Kita tidak punya pilihan lain! Angel… bawa Qiana ke ruang make up! Malam ini adalah hari keberuntungan untuk, Qiana!" ucap Evan tegas.
"Lu jangan becanda, Van! Sumpah ini gak lucu tahu!" timpal Alvan kesal.
"Tenang aja, Al! lu percaya deh sama ide gue!" balas Evan tersenyum puas.
Angela langsung membawa Qiana ke ruang make up. Qiana sendiri masih bingung kenapa Evan dan Angela menginginkan dirinya pergi ke ruang make up.
"Pakai ini!" seru Evan memberikan baju yang akan Qiana kenakan untuk menyelamatkan acara malam ini.
"Kenapa aku, Kak?" protes Qiana.
"Diam dan jangan protes! Ikuti saja saranku!" tutur Evan,
"Van, lu gila yah? Kenapa nyuruh Qiana pakai baju itu?" tanya Alvan marah.
"Lu kalau gak tahu apa-apa mending diem deh! Pusing gue!" ujar Evan beralasan.
Qiana segera memakai baju yang diminta Evan. Setelah itu Angela selaku make up model, segera memulas wajah Qiana hingga gadis manis itu berubah.