Chapter 23 - Bab. 23

Qiana memejamkan kedua matanya demi menguatkan diri untuk bisa lepas, dan mengumpulkan tenaga untuk melawan Gilang.

"Bukankah kamu tidak akan menolaknya, Qiana? Jika aku begitu sangat menginginkan dirimu saat ini!" Gilang mengigit bibirnya dengan seringai di wajahnya.

"Tidak! Lepaskan aku, Gilang!" Qiana mencoba meronta.

"Aku datang untuk memintamu karena aku menginginkanmu, Qiana! Jadi jangan menolakku, Qiana! Aku tidak suka kalau kamu menolakku sama sekali. Aku benar-benar merindukanmu saat ini, Qiana!" Gilang mendekatkan wajahnya kepada Qiana, hingga sudah tak berjarak lagi.

"Ka… kamu mau apa, Gilang?" tanya Qiana dengan wajah takut.

"Apa lagi? Aku sudah sangat menginginkanmu, Qiana!" Gilang membelai wajah Qiana dengan lembut.

"Kamu sudah meninggalkan aku demi Salsa, bukan? Jadi, pergilah! Dan temuilah Salsa! Saat ini dia sedang mengandung anakmu, Gilang! Ingat itu!" imbuh Qiana.

"Aku tidak pernah mencintai Salsa sedikit pun, Qiana!" Gilang tertawa menyeringai.

"Kalau kamu tidak mencintai Salsa kenapa kamu tidur dengannya, Gilang?" Qiana memalingkan wajahnya tidak berani menatap Gilang yang sudah dikuasai nafsu.

"Itu karena kamu, Qiana! Kenapa kamu tidak pernah mengerti juga, haaah?! Aku sangat mencintaimu! Aku bahkan sangat peduli kepadamu! Aku sangat menginginkanmu! Tapi kamu selalu menolakku, Qiana!" Gilang mencengkram kuat rahang Qiana agar tidak lagi memalingkan wajah darinya.

Dari kejauhan Alvan mengepalkan tangannya melihat perlakuan Gilang kepada Qiana, tanpa berusaha ingin membantu Qiana terlepas dari Gilang.

"Kamu sadar apa yang kamu katakan barusan, Gilang?" tanya Qiana tegas.

"Apa? Selama ini kamu saja selalu menghindar dariku, Qiana! Bagaimana aku bisa menyadarinya?" imbuh Gilang.

"Aku menghindar darimu, itu semua karena kedua orang tuamu yang sangat membenciku. Orang tuamu tidak menyukai karena aku anak dari keluarga yang miskin. Tidak seperti Salsa yang orang tuanya kaya raya dan memiliki segalanya, Gilang! Apa kamu sadar itu, Gilang? Sampai kapan pun orang tuamu tidak akan pernah merestui hubungan kita, Gilang! Kamu tidak lupa itu, hemmm? Aku menjauh darimu karena orang tuamu. Status dan derajat kita berbeda, Gilang. Hiks… hiks…" tangis Qiana mulai pecah.

"Arrrggghhh…!!!" Gilang melepaskan cengkraman tangannya pada rahang Qiana perlahan.

"Sekarang pergilah! Tinggalkan aku sendiri! Jangan pernah temui aku lagi, Gilang! Aku mohon padamu!" pinta Qiana.

Brukkk…!

Gilang menjatuhkan tubuhnya di hadapan Qiana. Dia berlutut dengan kepala tertunduk lemas.

"Ma… maafkan aku, Qiana! Hiks… hiks… maafkan aku! Karena orang tuaku yang menentang hubungan kita, kamu harus menderita." Isak tangis Gilang penuh penyesalan.

"Aku sudah memaafkanmu, Gilang! Bahkan sebelum kamu meminta maaf kepadaku. Aku sudah memaafkanmu, Gilang! Sekarang berdiri dan hapus air matamu!" Qiana merengkuh bahu Gilang dan mengajaknya berdiri.

"Qiana, maafkan aku! Aku sudah berbuat banyak salah kepadamu! Aku selalu salah paham kepadamu! Aku juga sangat mengecewakanmu! Kini aku tahu jika selama bersamaku, kamu selalu menderita karena perbuatan kedua orang tuaku juga saudara-saudaraku yang tidak habisnya menghina keluargamu, merendahkanmu bahkan sampai memfitnahmu. Aku tahu kamu gadis yang sangat baik. Kamu tidak pantas mendapatkan laki-laki brengsek seperti aku! Qiana…" Gilang menjeda ucapannya.

"Sekarang kamu pulang yah!" bujuk Qiana.

"Kamu mengusirku, Qiana?" mata Gilang menatap lekat Qiana.

"Tidak! Bukan itu maksudku! Saat ini Salsa pasti sedang mencarimu. Untuk itu, sebaiknya kamu cepat pulang! Kasihan Salsa, apa lagi dia sedang hamil saat ini. dia pasti membutuhkan perhatian darimu." ucap Qiana tulus.

"Terima kasih, Qiana! Dan maaf aku menyesal karena sudah sering menyakiti hati seorang gadis sebaik dirimu!" mata Gilang kembali berkaca-kaca.

"Sama-sama, Gilang! Aku juga minta maaf karena lari dari masalah. Aku membiarkannya berlarut-larut, hingga kamu kehilangan kepercayaan lagi kepadaku. Sudah yah! Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, sekarang semua sudah jelas." Qiana menyeka air mata yang sudah menggenang dikedua sudut matanya.

"Qiana…!" seru Gilang.

"Ya!" balas Qiana.

"Bolehkan aku memelukmu sebagai ucapan perpisahan, dan bentuk rasa terima kasihku padamu? Sekarang aku adalah calon suami Salsa, saudara sepupumu berarti aku juga adalah calon kakak iparmu, bukan?" pinta Gilang.

Qiana terdiam sejenak lalu sempat terlintas jika itu hanya akal-akalan Gilang saja, yang ingin mencari kesempatan dalam kesempitan untuk memeluknya. Qiana takut jika Gilang hanya pura-pura, lalu menjebaknya.

"Bagaimana mungkin aku mau memeluknya? Ini gila! Aku tidak ingin Gilang melakukan sesuatu padaku nantinya." Batin Qiana.

"Qiana!" suara Gilang membuyarkan lamunan Qiana.

"Eh?" Qiana gugup.

"Ya sudah! Tidak apa-apa kalau kamu keberatan. Aku mengerti kekhawatiranmu, Qiana." ucap Gilang.

"Ak… aku…!" Qiana tak mampu lagi berkata-kata.

"Tidak apa-apa, Qiana! Aku pamit!" Gilang membalikkan tubuhnya seketika lalu pergi dari hadapan Qiana.

Qiana menatap punggung Gilang dengan perasaan yang sulit dia mengerti, hingga Gilang benar-benar menghilang dari pandangannya.

Qiana menyandarkan tubuhnya di balik tembok, seketika tubuh Qiana merosot ke lantai, dan Qiana menangis tersedu di sana.

"Sudah selesai menangisnya?" Alvan menyodorkan kain kepada Qiana.

"Terima kasih!" Qiana menerima kain itu untuk menghapus air matanya yang sudah banjir membasahi wajahnya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Alvan tiba-tiba.

"Maksudmu?" tanya Qiana yang masih menghapus sisa air matanya.

"Bukankah Gilang sudah benar-benar melepaskanmu sekarang, Qiana?" pertanyaan Alvan membuat Qiana menatapnya tajam.

"Darimana kamu tahu?" tanya Qiana mengerutkan keningnya.

"Maaf! Aku sudah tahu kalau Gilang mengikuti kita sejak dari rumahmu. Aku sengaja membiarkan Gilang melakukannya, karena aku tahu kalau kalian berdua akan menyelesaikan semua masalah kalian saat ini juga." ungkap Alvan terus terang.

"Jadi, diam-diam kamu mendengarkan apa yang aku bicarakan dengan Gilang?" tanya Qiana dengan wajah memerah.

"Benar! Kenapa memang? Ada yang salah?" Alvan balik bertanya.

"Ternyata selain seorang CEO muda, kamu juga seorang detektif sekaligus mata-mata! Kalau begitu aku harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang! Sepertinya kamu juga akan terus menguntit aku sepanjang hari, hehehe…" Qiana terkekeh.

Alvan menatap Qiana yang sedang memainkan kain yang baru saja dia berikan kepadanya. Alvan tersenyum melihat tingkah Qiana. Alvan jadi teringat pada gadis yang pernah membalut lukanya dulu dengan kain itu.

"Kenapa kamu tersenyum dan menatapku seperti itu?" Qiana merasa heran dengan sikap Alvan.

"Kamu suka dengan kain itu?" tanya Alvan.

Seketika Qiana melihat dan membuka kain itu lalu membulak baliknya. Matanya terbelalak saat dengan jelas melihat ikat tangan miliknya yang dulu dia berikan kepada seorang pemuda yang terluka karenanya.

"Ba… bagaimana kain ini bisa ada padamu?" tanya Qiana gugup.

"Seseorang memberikannya kepadaku." jawab Alvan datar.

"Seseorang siapa?" tanya Qiana penasaran.

"Lima tahun yang lalu saat Rayya memutuskan aku, malam itu aku benar-benar hancur. Aku menangis dan meninggalkan café untuk pulang ke apartemen. Entah kenapa tiba-tiba ada seorang gadis yang menarik tanganku, hingga aku terguling bersama gadis itu. Tanganku terluka dan gadis itu membalut luka dengan ikat tangan miliknya. Sampai saat ini aku menyimpan ikat tangan ini, jika suatu hari aku bertemu dengan gadis itu aku akan mengembalikannya." ungkap Alvan.

"Jadi kamu orangnya, hah? Kamu laki-laki nyebelin yang udah nuduh aku mesum kan? padahal aku bukan mau mesum, aku mau nolongin kamu karena di belakangmu ada taksi yang sedang ngebut. Kalau aku tidak menarik tanganmu, bisa-bisa kamu mati tertabrak taksi itu. Dasar konyol!" bentak Qiana.

"Ouhhh… jadi kamu gadis pemilik ikat tangan ini? kebetulan sekali! Ya ampun… ternyata gadis ini memang sejak kecil sudah ditakdirkan untuk selalu datang menyelamatkan aku!" Alvan mendongakkan kepalanya ke atas dengan mata terpejam.

Qiana dan Alvan sama-sama terdiam dalam hening. Sesaat mereka kembali ke masa lalu dan mengingat semua kebersamaan mereka saat itu.

Pertemuan yang tidak direncanakan, namun sudah menjadi takdirnya mereka untuk kembali di pertemukan.

"Qiana…!" suara Alvan memecah hening.

"Ya!" jawab Qiana tanpa menoleh.

"Apa kamu percaya takdir?" tanya Alvan.

"Tentu saja!" jawab Qiana.

"Apa kita juga sudah ditakdirkan untuk hidup bersama?" tanya Alvan.

"Pertanyaan konyol macam apa itu?" Qiana melemparkan kain pengikat tangan kepada Alvan tepat mengenai kepalanya.

Qiana tertawa renyah karena melihat kain yang menempel di kepala Alvan. Mendengar tawa Qiana, Alvan hanya tersenyum tipis.

"Aku senang melihat kamu bisa tersenyum lagi. Setelah melewati banyak hal menyedihkan, aku harap kamu bisa menjadi Qiana seperti sebelumnya. Qiana yang kuat, tangguh, dan selalu percaya diri. Tapi…" Alvan menjeda ucapannya.

"Tapi apa?" Qiana penasaran.

"Tapi jangan kembali jutek kaya pertama kali kita ketemu yah!" Alvan terkekeh, sementara Qiana hanya mencebikkan bibirnya.

Disaat Alvan dan Qiana masih duduk di lantai koridor apartemen. Rayya tiba-tiba datang dan melihat keberadaan Alvan dan Qiana.

"Apa kalian baru pulang berlibur, Al?" tanya Rayya.

"Bukan urusanmu!" jawab Alvan lalu bangkit dan mengajak Qiana pergi.

"Tunggu, Al! aku belum selesai bicara denganmu!" seru Rayya.

"Apa maumu, Rayya? Kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!" ucap Alvan tegas.

"Itu menurutmu! Tapi tidak menurutku!" Rayya tersenyum licik.

"Apa maksudmu?" tanya Alvan geram.

"Setelah ini, bersiaplah kita akan selalu bertemu lagi Alvan Pratama Putra Wijaya!" ucap Rayya penuh penekanan.

Rayya lalu pergi dengan menepuk bahu Alvan sebelumnya. Alvan menatap kepergian Rayya hingga punggung Rayya menghilang di balik pintu lift yang kembali menutup.

"Apa maksud ucapan Rayya barusan?" batin Alvan.

"Aku harus pergi!" suara Qiana membuyarkan lamunan Alvan.

"Aku akan mengantarmu sampai di depan pintu apartemenmu. Ayo!" Ajak Alvan.

"Baiklah! Aku tidak pernah bisa menolaknya kalau kamu yang minta." Gumam Qiana pelan namun masih bisa di dengar oleh Alvan.

Alvan membantu membawa koper Qiana. Setelah sampai di depan pintu unit apartemennya, dan Qiana benar-benar masuk. Alvan segera pergi dari apartemen dan kembali ke rumahnya untuk beristirahat.

Tring…

Tring…

Tring…

Baru saja Alvan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Ponsel Alvan berbunyi. Dengan malas Alvan menatap layar ponselnya. Keningnya berkerut saat ada panggilan masuk dari Evan, Gherry, Rayn, dan Fahkevi, dengan mode konferensi.

"Guys, kita harus segera kumpul di markas sekarang!" seru Evan dengan wajah serius.

"Ada apa?" tanya Alvan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi serentak.

"Ini gawat! Server kita ada yang menyerang." ucap Evan.

"Apa itu Jaringan Elang Hitam?" tanya Alvan.

"Gue rasa bukan. Ini bukan mereka." jawab Evan.

"Ya sudah! Sebaiknya kita kumpul di markas sekarang! Sepuluh menit lagi gue datang." ucap Rayn.

"Oke! Gue nyusul." Sambut Gherry dan Fahlevi serempak.

"Gue OTW." Susul Alvan.

Kemudian kelima sahabat itu mengakhiri panggilan telepon masing-masing dan bersiap untuk bertemu di markas.

"Lihat ini!" tunjuk Evan kepada Alvan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Alvan.

"Apa mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian di Bandung, Al?" tanya Fahlevi.

"Bisa jadi! Tapi apa mau mereka sekarang?" balas Alvan.

"Apa lu punya musuh?" tanya Gherry.

"Gue gak punya musuh, kecuali…" Alvan menatap keempat sahabatnya.

"Kecuali apa, Al?" Rayn buka suara.

"Iqbal!" ungkap Alvan.

"Iqbal…???" ujar Evan, Rayn, Gherry, dan Fahlevi serempak.

"Gue rasa bukan dia, Al!" celetuk Gherry.

"Lagian ngapain dia mau hancurin perusahaan kita? Apa hubungannya?" tanya Fahlevi.

Tak…

Tik…

Tak…

Tik…

Alvan menekan tombol di atas laptop dengan cepat. Saat menemukan sebuah petunjuk semua mata tertuju pada layar laptop di depan kelima sahabat itu.

"Gue salah menebak kali ini!" ucap Alvan pelan.

"Maksud lu?" tanya Evan.

"Dia meretas semua server perusahaan, lihat!" tunjuk Alvan.

"Apa…?" Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi membelalakkan matanya saat melihat pengguna akun yang meretas semua server perusahaan milik Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra.

"Orang dalam!" Alvan mengepalkan tangannya.

"Tapi siapa, Al?" Gherry bertanya.

"Apa aku harus mengatakan pada mereka siapa yang meretas data perusahaan?" batin Alvan.

"Al, lu mikir apa?" tanya Rayn.

"Diantara gue, Evan, dan Gherry gak ada yang bisa meretas kecuali…" Alvan menjeda ucapannya.

"Siapa?" tanya Fahlevi.

"Angela!!!" tebakan jitu Rayn.

"Tepat!" sahut Alvan.

"Tapi buat apa si homreng itu meretas data perusahaan? Apa dia mau bikin kaum homreng kaya raya?" celetuk Fahlevi terkekeh.

"Dasar penyuka lobang tahi! Gila anjay!!!" Gherry terkikik lucu mendengar nama Angela seorang banci teman dekat Alvan saat kecil.

"Bener-bener yah si Angel!" seru Evan tak percaya.

"Gue gak nyangka di balik jiwanya yang gemulai tersimpan rahasia yang besar." Seloroh Rayn yang langsung mendapat cebikkan dari para sahabatnya itu.

Kelima sahabat itu saling menatap bergantian satu sama lain. Tidak menyangka jika di perusahaan Pratama Wijaya dan Pratama Wijaya Putra ada seorang pengkhianat, dan itu adalah Angela. Yang artinya dia adalah teman dekat Alvan sendiri.

"Omaaa, aku pergi yah!" pamit Alvan kepada Oma Inge.

"Hati-hati, Al!" balas Oma Inge.

"Oma gak pergi ke kantor hari ini?" tanya Alvan.

"Oma pergi agak siangan, Al. Oma ada meeting di luar sama klien. Ini lagi nungguin Pak Tatang jemput Qiana dulu." jawab Oma Inge.

"Oke! Tapi kalau Qiana sudah selesai meeting bareng Oma, minta tolong suruh Pak Tatang ngantar Qiana ke kantor aku yah, Oma!" lanjut Alvan.

"Ya!" balas Oma Inge.

Alvan segera pergi menuju ke kantor setelah pamit kepada Oma Inge. Semalam Alvan kurang tidur, karena terus memikirkan tentang Angela yang diam-diam meretas data perusahaan miliknya dan milik sang Oma.

"Ada apa ini? Kenapa Angela melakukannya?" guman Alvan.

Pikiran Alvan menjadi kalut sebab masih penasaran dengan tujuan Angela. Alvan tidak mungkin bertanya langsung kepada teman dekatnya itu.

"Aku harus menyelidiki Angela! Mulai sekarang aku tidak boleh terlalu percaya padanya." ucap Alvan kepada dirinya sendiri.

Karena tidak fokus menyetir, Alvan hampir saja menabrak seseorang yang hendak menyeberang jalan.

"Aaaaa…" teriak Alvan di dalam mobil dan laki-laki yang hampir tertabrak di luar hampir bersamaan.

Ciiiiittttt…!!!

Brukkkkk…!!!

Alvan membanting stir mobilnya ke arah lain demi menghindari adanya korban yang tertabrak. Beruntung Alvan hanya menabrak tong sampah yang ada di pinggir jalan.

"Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka? Biar aku bawa ke rumah sakit sekarang! Aku minta maaf hampir menabrakmu dan tentu sudah mengejutkanmu." ucap Alvan setelah keluar dari mobilnya dan mendekati seorang laki-laki yang sedang menutup wajahnya.

"Aku gak apa-apa! Aku hanya kaget saja!" jawab laki-laki itu seketika menurunkan tangan dari wajahnya.

Alvan menatap lekat wajah laki-laki yang kini sudah berdiri di hadapannya. Alvan tidak berkedip menatap wajah laki-laki itu.

"Dia…! Kenapa wajah dia sangat familiar? Siapa dia?" batin Alvan.