"Qi…! Qiqi…! Qiqi…!" teriak Bi Yeni dari luar rumah Abah Sambas.
"Ngapain itu nenek sihir teriak-teriak di luar kayak orang gila?" celetuk Evan.
"Biarkan saja! Tak usah ditanggapi. Dia memang selalu begitu sama Qiqi." Sahut Abah Sambas tetap tenang.
"Kalau diladeni sama gilanya kita nanti!" timpal Teh Qorie terkekeh.
"Hissshhh, Oie…" tegur Ambu Kinanti.
Bi Yeni masih saja berteriak di luar memanggil Qiana. Sementara yang dipanggil masih anteng mengunyah di mulutnya yang sudah penuh dengan makanan.
"Qiana, imut kalau begitu." Batin Alvan dan Rayn mencuri pandang pada Qiana.
Uhuk…
Uhuk…
Uhuk…
Qiana tersedak dengan makanannya sendiri, dengan sigap Alvan dan Rayn serempak langsung memberikan minuman kepada Qiana. Tanpa ragu, Qiana justru merebut minum yang ada di tangan Evan yang duduk di sebelahnya.
"Wik?" Evan menoleh pada Qiana, lalu mengangguk pelan saat mengetahui situasi rumitnya cinta segitiga yang terjadi kali ini.
Melihat pemandangan itu Ambu Kinanti dan Abah Sambas hanya menghela nafasnya panjang dan membuangnya perlahan.
"Bagaimana ini, Ambu?" tanya Abah Sambas berbisik.
"Biarkan Qiqi yang menentukan, pada siapa hatinya nanti akan berlabuh. Semoga saja setelah Gilang mengkhianatinya, Qiqi mau membuka hati lagi untuk laki-laki lain siapa pun orangnya." balas Ambu Kinanti dengan berbisik.
Karena tak tahan mendengar teriakan Bi Yeni di luar rumahnya. Selain itu Qiana juga malu dengan tetangga yang lain, akhirnya Qiana keluar dan menemui Bi Yeni.
"Ada apa, Bi?" tanya Qiana dengan bahasa sunda, di depan pintu rumahnya.
"Keluar juga kamu, Qi!" sahut Bi Yeni ketus.
"Hufffttt…!" Qiana membuang nafas kasar.
Qiana menghampiri Bi Yeni perlahan. Melihat raut wajah Bi Yeni yang membuatnya tak enak hati, Qiana yakin Bi Yeni akan menghinanya kali ini.
"Kamu patah hati yah, Qi? Gilang sudah tahu sekarang mana sampah mana berlian! Gilang memang tepat memilih Neng Salsa. Walau kalian berdua saudara sepupu, tapi tetap saja level kalian jauh berbeda! Ibarat langit dan comberan! Sekarang Gilang sudah tidak lagi dibutakan oleh cinta." cibir Bi Yeni membuat Qiana tersenyum masam.
"Aku gak patah hati, Bi! Aku justru sangat bersyukur sudah mengetahui kebusukan Gilang dan Salsa sejak awal. Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot menghabiskan waktu dengan Gilang demi untuk mengemis restu dari kedua orang tua Gilang." balas Qiana membuat Bi Yeni semakin marah.
"Kamu memang gak pantas buat Gilang, Qiqi! Kamu ini anak orang miskin yang seharusnya menikah saja dengan orang miskin lagi. Dan lihat ini? Mobil siapa ini? Apa ini mobil orang yang sudah membeli tubuhmu, Qi? Pantas saja semudah itu melepaskan Gilang, ternyata sudah ada banyak laki-laki yang antri buat kamu terima kencan?" hinaan Bi Yeni membuat Qiana sakit hati namun tetap dia tahan.
Mendengar ucapan tak pantas dari Bi Yeni, Ambu Kinanti segera berdiri hendak menemui Bi Yeni di luar. Namun, Abah Sambas melarangnya.
"Biarkan saja Yeni menghina Qiqi sepuasnya. Abah yakin Qiqi akan baik-baik saja." Ucap Abah Sambas.
Mendengar ucapan Abah Sambas membuat Alvan, Gherry, Evan, dan Rayn saling tatap dan akhirnya mereka mengangguk bersama.
"Qiana, apa ada penerjemah yang baik di sini?" tanya Rayn yang sudah menyusul Qiana ke luar..
"Untuk apa?" tanya Qiana dengan kening berkerut.
"Aku ingin membalas ucapan dia yang menghinamu barusan!" balas Rayn.
"Tidak perlu! Biarkan saja! Nanti juga dia capek sendiri." jawab Qiana enteng.
Alvan, Gherry, Evan, dan Rayn hanya saling tatap tak percaya melihat sikap Qiana setenang itu. Padahal lawan bicaranya begitu berapi-api terus menghina dan memojokkan Qiana.
Tak lama setelah Bi Yeni berhasil dijinakkan oleh Evan dengan jurus rayuan mautnya. Akhirnya Mak Lampir itu pergi juga karena lelah berdebat dengan Qiana.
"Qiana…!" suara Iqbal berada di luar rumah Qiana.
"Nak Iqbal…? Ada perlu sama Qiqi?" tanya Ambu Kinanti ramah.
"Iya, Ambu! Aku ke sini ingin bertemu Qiana. Aku dengar Qiana sakit. Jadi aku datang ke sini karena ingin menjenguk Qiana." sahut Iqbal.
"Kalau begitu masuk dulu, Nak Iqbal." sambut Ambu Kinanti mengajak Iqbal masuk ke dalam rumahnya.
"Ini mobil siapa?" batin Iqbal sebelum masuk ke dalam rumah Qiana.
Iqbal memperhatikan sekeliling di dalam ruangan rumah Qiana. Nampak empat orang laki-laki seusianya yang tidur dengan posisi tak karuan.
"Qi, di depan ada Nak Iqbal." bisik Ambu Kinanti menemui Qiana di dalam kamarnya.
"Bilang saja aku tidur, Ambu!" balas Qiana malas.
"Kenapa?" tanya Ambu Kinanti.
"Malas, Ambu!" rengek Qiana.
Gherry yang sudah membuka matanya terkejut saat melihat Iqbal ada di ruangan yang sama dengannya.
"Lu siapa?" tanya Gherry sinis.
"Aku Iqbal pacar Qiana." ucap Iqbal penuh percaya diri.
"Heiii… jangan seenaknya ngaku pacar Qiana. Dia gak kekurangan stok lelaki yang tampan seperti mereka, dan ada aku yang paling tampan di sini. Qiana tidak mungkin mau pacaran denganmu laki-laki jelek seperti itu!" ucap Alvan yang baru terbangun, membuat Gherry dan Iqbal memutar bola mata dengan malas.
"Kenapa? Siapa kalian? Bisa mengatur Qiana seenaknya?" balas Iqbal.
"Sssttt, Al! ngapain sih lu?" bisik Gherry.
Tak lama kemudian Rayn dan Evan terusik dari tidurnya, lalu mereka pun segera bangun dan duduk di sebelah Alvan yang berseberangan dengan Iqbal.
"Ada apa ini?" tanya Abah Sambas yang baru muncul dari arah dapur.
"Abah…!" sapa Iqbal.
"Nak Iqbal…? Sudah lama?" tanya Abah Sambas ramah.
"Baru saja, Abah! Aku ingin bertemu dengan Qiana, Abah. Apa Qiana ada?" tanya Iqbal basa basi.
Setelah melihat status Qiana sore kemarin, Iqbal segera kembali ke Bandung karena ingin memastikan kalau Qiana memang sedang berada di Bandung.
Kesempatan itu tidak Iqbal sia-siakan. Iqbal ingin segera menemui Qiana dan melamarnya langsung kepada kedua orang tuanya.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Qiana ketus saat sudah keluar dari kamar karena Ambu Kinanti yang memaksanya untuk menemui Iqbal.
"Aku ke sini untuk memenuhi janjiku padamu, Qiana! Hari ini di hadapan orang tuamu, aku mau melamarmu. Mau kah kamu menikah denganku?" ungkap Iqbal tanpa ragu.
"Apa-apaan ini? Aku sudah pernah bilang sama kamu, Iqbal! Aku tidak mau berurusan lagi dengan kamu! Apa lagi untuk menikah denganmu!" imbuh Qiana.
"Apa kamu tidak bisa memberikan satu kali kesempatan saja buat aku memilikimu, Qiana?" pinta Iqbal dengan wajah sendu.
"Aku tidak ingin menjadi bahan pertaruhan antara kamu dan Gilang! Aku sudah tahu semuanya, Iqbal!" balas Qiana ketus.
"Ap… apa maksudmu, Qiana?" tanya Iqbal gugup.
"Kamu dan Gilang bertaruh untuk mendapatkan aku. Setelah Gilang mendapatkan Salsa, kamu menjebak Gilang dan aku dalam situasi rumit. Bahkan kamu sengaja menciptakan masalah antara aku dan Gilang dengan adanya Salsa. Di sini siapa yang sangat diuntungkan kalau bukan kamu? Aku sudah lama menyelidiki kamu, Iqbal. Asal kamu tahu mereka adalah orang-orang hebat yang aku kenal. Dengan bantuan mereka aku bisa mengetahui semua rahasia kamu dan Gilang. Dan aku tahu pengirim foto saat Gilang dan Salsa berada di hotel adalah kamu, Iqbal!" balasan telak Qiana membuat Iqbal membisu seketika.
"Apa…?" Ambu Kinanti sampai menutup mulutnya lantaran terkejut dengan penuturan Qiana mengenai masalah yang terjadi diantara Gilang, Qiana, Salsa, dan Iqbal.
"Maaf jika aku mengecewakan kamu, Iqbal! Tapi aku lebih kecewa dengan cara licikmu untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan selama ini. Aku tidak lagi percaya dengan namanya cinta! Semua hanya nafsu sesaat. Benar kata Gilang dan Salsa, aku bisa tidur dan bercinta dengan siapa pun tanpa harus menjalin hubungan. Dan aku sudah melakukan itu dengan orang lain. Bahkan aku sering mencium bibir laki-laki lain selain Gilang. Aku…" ucapan Qiana terhenti karena Alvan mencekal tangan Qiana.
"Jangan teruskan, Qiana!" pinta Alvan
"Kenapa? Biar saja mereka tahu siapa aku sebenarnya! Aku bukan wanita baik-baik seperti yang Iqbal ucapkan padamu. Ada lagi, Iqbal? Kalau tidak ada, sekarang aku mohon pergilah! Dan ingat satu hal. Jangan pernah temui aku lagi! Karena aku sangat membencimu! Aku Membencimu, Iqbal." ucap Qiana penuh penekanan.
Seminggu kemudian…
"Kak Rayn, aku ikut mobil Kakak yah! Kita kan satu arah!" seru Qiana saat akan kembali ke Jakarta bersama 4 sekawan Evan, Gherry, Alvan, dan Rayn.
"Boleh!" jawab Rayn mantap seraya melirik ke arah Alvan.
"Mobil Rayn udah lama! Jelek! Mana AC nya gak nyala lagi! Bagusan mobil aku lah…!" celetuk Alvan melirik Qiana.
"Yang penting sampai Jakarta dengan selamat, aman, sentosa, dan bahagia…" balas Qiana telak membungkam Alvan seketika.
Qiana dan yang lainnya sibuk memasukkan barangnya ke dalam bagasi mobil. Evan dan Gherry akan ikut di dalam mobil Alvan. Sementara hanya Qiana sendiri yang ikut dengan Rayn.
"Qiana…!" Gilang tiba-tiba datang.
"Ishhh… apa lagi sih?" gerutu Alvan kesal.
"Lu kenal dia, Al?" tanya Evan berbisik.
"Dia Gilang! Mantan Qiana." Alvan membalas dengan berbisik pula.
"Jadi, dia yang tempo hari nyakitin Qiana?" tatap Evan geram.
"Ho'oh, dia orangnya!" tunjuk Alvan membenarkan.
Evan yang merasa terusik dengan kedatang Gilang, seketika pasang badan untuk melindungi Qiana dari Gilang.
"Siapa lu? Mau apa juga lu datang kemari?" tanya Evan sinis.
"Aku datang kemari untuk menemui, Qiana. Aku pacarnya Qiana." ucap Gilang.
"Qiana, apa dia pacarmu? Aku gak percaya kamu punya pacar sejelek dia!" celetuk Evan terkekeh, sementara yang lain jadi ikut terkekeh.
"Dasar muka tembok! Masih aja gak tahu malu! Pergi…!" teriak Qiana kesal.
"Qiana, kenapa kamu marah sama aku sayang?" suara Gilang merendah.
"Sayang katamu? Sayang dari Hongkong?" ledek Qiana.
Qiana mendengus kesal lalu segera masuk ke dalam rumah untuk pamitan kepada Ambu Kinanti, Abah Sambas, dan Teh Qorie.
"Qiana, aku mohon beri aku satu kali kesempatan lagi. Aku masih sangat mencintaimu, Qiana." Gilang mencekal tangan Qiana yang hendak masuk ke dalam mobi.
"Lepaskan, Qiana! Jangan pernah memaksa, Qiana. Atau…" Rayn mencoba menghalangi Gilang.
"Atau apa?" tantang Gilang.
"Atau kamu berurusan denganku!" balas Rayn.
"Qiana, apa mereka ini laki-laki yang sudah tidur denganmu?" ejek Gilang.
Bugh…!
Dezighhh…!
Satu pukulan telak mendarat di rahang Gilang. Seketika wajah Gilang memar akibat pukulan Rayn
"Ini untuk Qiana!" ucap Rayn dengan nada tinggi.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Abah Sambas segera berlari keluar saat mendengar keributan di luar rumahnya.
"Ya ampun, Gilang! Kenapa kamu selalu saja cari masalah kepada Qiana dan keluarga kami?" imbuh Ambu Kinanti.
"Pergilah! Kami tidak ingin ada masalah lagi dengan kedua orang tuamu, Gilang!" usir Abah Sambas.
"Kamu dengar itu?" Rayn menarik baju Gilang lalu mendorong tubuh Gilang agar segera pergi.
Setelah Gilang pergi, Qiana dan empat sekawan segera pergi untuk melanjutkan kembali perjalanan mereka ke Jakarta setelah cuti selama satu minggu.
Jakarta, September 2020…
"Qiana, kamu yakin mau langsung aku antar ke apartemen?" tanya Rayn.
"Iya, Kak! Aku udah kangen juga sama Aurel." Balas Qiana.
"Ya udah aku antar sampai kamu masuk apartemen yah!" tawar Rayn.
"Gak usah, Kak! Sampai sini aja." Tolak Qiana dengan halus.
"Yakin?" tanya Rayn yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Qiana.
Qiana segera turun dari mobil Rayn dengan menggeret koper miliknya. Qiana sudah tidak sabar bertemu dengan Aurel sahabatnya.
Sementara di tempat yang berbeda Alvan, Evan, dan Gherry sudah sampai di rumah kediaman Oma Inge.
"Omaaa… aku pulang!" teriak Alvan kebiasaan yang tak pernah dia tinggalkan.
"Kesayangan Bi Narsih sudah pulang?" tanya Bi Narsih yang menyambut Alvan di ruang tamu.
"Oma kemana, Bi Narsih?" Alvan celingak celinguk mencari keberadaan Oma Inge.
"Oma tadi pamit ke rumah Papi, Bang Al." sahut Bi Narsih.
"Ngapain?" tanya Alvan heran.
"Non Zoya sakit, Bang Al." jawab Bi Narsih.
"Oh!" ucap Alvan ber 'oh' ria.
Bi Narsih sampai geleng-geleng kepala melihat sikap Alvan yang selalu bersikap dingin kepada adiknya sendiri. Walau bagaimana pun Zoya adalah adik satu ayah, namun beda ibu dengan Alvan. Tapi terkadang Alvan memperlakukan Zoya seperti orang lain baginya.
"Jadi di sini rupanya kamu tinggal, Qiana?" smirk di wajah Gilang.
Gilang memang sengaja mengikuti Qiana, sejak pergi dari rumahnya tadi. Hal itu tidak Qiana sadari, namun dapat Alvan sadari sepenuhnya.
"Kita lihat apa yang akan kamu lakukan kepada Qiana, bajingan!" batin Alvan geram.
Qiana yang terlihat tengah berjalan menggeret kopernya menuju lift di apartemennya. Qiana merasa lebih baik, namun luka tembak di bahunya terkadang masih terasa sakit jika mengangkat beban.
"Qiana…!" suara Gilang menggema di koridor apartemen.
"Gi… Gilang?" Qiana terkejut mendapati Gilang sudah berada di gedung apartemen tempat tinggalnya.
"Apa aku berhasil memberi kejutan kecil untukmu, Qiana?" smirk di wajah Gilang.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Qiana dengan raut wajah takut.
"Tentu saja untuk menemanimu, Qiana! Apa lagi?" jawab Gilang dengan senyum liciknya.
"Apa lagi yang kamu harapkan dariku, Gilang? Bukankah kita sudah putus! Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi untuk selamanya, Gilang! Maaf, aku harus pergi!" Qiana berusaha menghindar dari Gilang.
Tap…!
Tangan Gilang menahan dan mencekal tangan Qiana dengan mencengkramnya kuat.
"Lepaskan aku, Gilang! Apa kamu sudah gila?" Qiana meronta.
"Aku memang sudah gila! Aku sangat tergila-gila kepadamu, Qiana! Karena kamu yang sudah membuat aku gila di setiap waktuku! Untuk itu aku datang mengobati kegilaanku padamu, Qiana!" Gilang mengunci tubuh Qiana diantara dinding dan dirinya.
"Apa lagi yang ingin kamu lakukan kepadaku, Gilang?" sekuat tenaga Qiana berusaha melepaskan diri dari Gilang.
Gilang menatap Qiana penuh dengan nafsu. Mendapat perlakuan tak biasa dari Gilang, membuat Qiana takut. Apa lagi keadaan di apartemen ini sangat sepi.