Pagi-pagi sekali Ambu Kinanti sudah menyiapkan sarapan buat Qiana, Alvan dan teman-temannya dari Jakarta. Dengan senang hati Teh Qorie ikut membantu Ambu Kinanti masak di dapur.
"Gak usah bantuin Ambu, nanti kamu kesiangan. Sudah sana siap-siap kerja!" Titah Ambu Kinanti.
"Ya sudah Oie siap-siap dulu yah, Ambu?" Teh Qorie meninggalkan Ambu Kinanti di dapur.
Gherry yang sudah sejak berada di rumah sakit memperhatikan Teh Qorie, menemui Ambu Kinanti yang berada di dapur.
"Memangnya Teh Qorie kerja dimana, Ambu?" tanya Gherry yang sudah berjongkok di depan tungku.
"Nak Gherry? Oie kerja di klinik Ibu dan Anak, dia seorang bidan." ucap Ambu Kinanti terlihat merendah.
"Jadi Teh Qorie seorang bidan, Ambu?" Gherry mengulang ucapan Ambu Kinanti.
"Iya. Teh Qorie sejak kecil memang bercita-cita ingin menjadi seorang bidan. Soalnya dia suka sekali dengan anak kecil, apa lagi yang masih bayi." ucap Ambu Kinanti menuturkan.
"Wowww…! Hebat juga cita-cita nya." Puji Gherry kagum.
"Biasa aja kali!" tiba-tiba Teh Qorie muncul dan sudah berdandan rapi.
Gherry semakin terpana dengan pesona kecantikan Teh Qorie yang sederhana dan natural. Terlebih lagi saat Teh Qorie mengenakan seragam kebesaran yang membalut tubuh mungilnya.
"Teteh mau pergi sekarang? Aku antar yah!" tawar Gherry penuh semangat.
"Gak usah! Dekat kok dari sini. Cuma jalan kaki 30 menit sampai." Tolak Teh Qorie dengan halus.
"Haaah? Jalan kaki 30 menit? Itu jauh Teh! Mana capek lagi!" Gherry menepuk keningnya sendiri.
"Gak capek kalau udah biasa. Yang ada malah sehat. Selain itu, bisa sambil menikmati pemandangan juga. Jadinya gak terasa cape." terang Teh Qorie.
"Kalau begitu aku boleh ikut yah! Aku ingin sekalian jalan juga, sambil lihat pemandangan di sekitar sini!" ujar Gherry beralasan.
"Boleh! Asal kalau capek jangan minta digendong yah!" Teh Qorie terkekeh, membuat Gherry dan Ambu Kinanti jadi ikut terkekeh.
Gherry dengan penuh semangat mengikuti langkah kaki Teh Qorie. Dan benar saja perjalanan kali ini tidak terasa lelah, seperti yang Gherry bayangkan sebelumnya.
Perjalanannya cukup menyenangkan. Apa lagi pemandangan di sekeliling jalan yang sejuk dan indah, cukup memanjakan mata.
Ditambah obrolan Gherry dan Teh Qorie yang nyambung satu sama lain, membuat Gherry merasa nyaman berada di dekat Teh Qorie.
"Teh Qorie…" panggil Gherry tiba-tiba.
"Ya!" jawab Teh Qorie tanpa menoleh.
"Apa gak ada yang cemburu kalau Teh Qorie jalan berdua bareng dengan aku seperti ini?" tanya Gherry tiba-tiba.
"Ya gak lah! Siapa juga yang mau cemburu sama aku! Yang ada tuh nanti ada yang marah sama kamu karena jalan bareng sama aku! Siap-siap aja pulang ke Jakarta di amuk sama pacarnya." Teh Qorie terkekeh.
"Eh? Mana mungkin?" ujar Gherry gelagapan.
"Ya mungkin saja teman-teman kamu yang mengadu sama pacar kamu!" tutur Teh Qorie.
"Ma... maksud aku, mana mungkin ada yang marah sama aku! Secara… aku ini kan masih jomblo tulen, Teh! Kalau Teteh?" Gherry mencari kesempatan untuk mengetahui lebih lanjut.
"Aku belum kepikiran buat pacaran. Aku masih ingin membahagiakan Abah dan Ambu dulu. Aku juga ingin membuktikan pada keluarga besar Kakek Buyut. Kalau Abah dan Ambu bisa mendidik Aku dan Qiqi dengan baik hingga sukses nantinya, walau tanpa bantuan dari mereka yang sudah membuang kami karena kami miskin." mata Teh Qorie berkaca-kaca.
"Eh? Maaf kalau ucapanku menyinggung perasaanmu, dan membuatmu menangis." Sesal Gherry.
"Tidak apa-apa! Bukan salahmu juga! Aku hanya terlalu emosional saja saat ini." ucap Teh Qorie tersenyum manis setelah menyeka air mata di kedua sudut matanya.
Gherry dan Teh Qorie melanjutkan perjalan mereka pagi ini, hingga Teh Qorie sampai di klinik tempatnya bekerja.
"Aku masuk dulu ke klinik yah!" pamit Teh Qorie.
"Pulang jam berapa?" tanya Gherry.
"Pulang sekitar jam 2 siang." jawab Teh Qorie.
"Nanti aku jemput yah, boleh?" bujuk Gherry.
Gak usah makasih!" balas Teh Qorie.
"Gak apa-apa! Sekalian jalan sore kayaknya enak juga tuh!" celetuk Gherry senang.
"Ya udah gak apa-apa kalau mau jemput nanti. Hati-hati di jalan! Gak lupa kan jalannya?" tanya Teh Qorie.
"Gak dong! Ya udah aku pulang dulu yah! Nanti pulangnya aku jemput lagi, bye!" Gherry segera membalikkan tubuhnya setelah Teh Qorie masuk ke dalam klinik dan punggungnya hilang dari pandangan Gherry.
Gherry melangkah gontai dengan menikmati pemandangan dan sejuknya udara di sekitar. Tak terasa sudah sampai saja di depan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu.
"Eh? Udah nyampai aja!" Gherry tersenyum sendiri saat mengingat perjalanan singkatnya dengan Teh Qorie.
"Hei… darimana aja lu, Gher?" tanya Rayn.
Sementara Alvan dan Evan tengah sibuk menikmati roti bersumbu yang baru selesai direbus oleh Ambu Kinanti. Alvan dan Evan begitu menikmati sarapan singkong rebus dengan cocolan kelapa parut.
"Gue habis halan-halan lihat pemandangan di sekitar sini. Sumpah bray, pemandangannya bikin adem terus hawanya sejuk." Gherry menjawab dengan menarik nafas dan mata terpejam seolah memang sedang menikmati udara sejuk di pagi hari.
"Lu gak nyari ayang kampung sekalian, Gher?" seloroh Evan.
"Gak perlu nyari! Udah dapet gue mah!" celetuk Gherry keceplosan.
"Anjay…! Gercep banget lu dapat ayang kampungnya. Dapat darimana, Gher?" goda Rayn dengan mulut penuh singkong rebus.
"Paling kunti yang semalem main di bawah pohon, yang sendalnya nyangkut di selokan. Makanya belum balik ke alamnya lantaran masih nyari sandal jepitnya dikolong jembatan." Celetuk Alvan ikut mengomentari.
"Si manis jembatan Ancol kali!" sambung Evan terkekeh.
"Ngeledek aja terus!" bibir Gherry mengerucut lalu mengambil potongan singkong rebus dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Suara gelak tawa laki-laki di dalam rumah Abah Sambas mengundang tanya para tetangga di sebelahnya. Belum lagi di depan halaman rumahnya ada dua buah mobil yang terparkir.
"Kinanti…! Kinanti…! Ada siapa sih di rumah kamu? Pagi-pagi udah pada berisik aja?" seloroh seorang wanita paruh baya dengan bahasa sundanya, seraya membuka pintu rumah Ambu Kinanti.
"Ada apa?" tanya Abah Sambas yang muncul di samping halaman rumahnya.
"Ada tamu di rumah kamu, Sambas? Berisik sekali sepertinya!" Bi Yeni melirik ke dalam rumah Abah Sambas dan mendapati 4 pemuda tampan yang sedang menikmati singkong rebus.
Mata Bi Yeni terbelalak saat melihat 4 bidadara tampan turun ke bumi dan singgah di rumah Abah Sambas.
"Sambas, mereka siapa? Tampan sekali mereka?" tanya Bi Yeni dengan gaya khasnya dalam bahasa sunda, membuat Alvan, Gherry, Evan, dan Rayn jadi menganga.
Drrrttt…
Ponsel Alvan bergetar. Ada notif pesan masuk ke dalam ponselnya. Alvan sengaja mengalihkan mode getar pada ponselnya agar tidak menganggu Qiana yang sedang istirahat.
"Qiana? Ngapain kirim pesan segala?" gumam Alvan.
"Dia itu Bi Yeni, Bibinya Gilang! Hati-hati kalau mau bicara dengan dia! Kalau bisa sebaiknya diam saja gak usah banyak bicara! Biarkan Abah dan Ambu saja yang meladeninya." Chat Qiana pada Alvan.
"Mboooh! Lagian aku juga gak ngerti dia ngomong apa!" balas Alvan.
"Syukurlah kalau kamu gak ngerti!" balas Qiana.
"Emangnya dia ngomong apa?" tanya Alvan dalam chat nya.
"Dia bilang, kalian ini jelek kayak domba badot!" usil Qiana membalas chat kepada Alvan dengan terpingkal-pingkal sendiri di dalam kamarnya.
"Kurang ajar!" geram Alvan, sementara Qiana langsung terbahak di dalam kamarnya setelah Alvan mengirim chat terakhirnya.
Bi Yeni dengan percaya diri masuk ke dalam rumah Abah Sambas dan menyapa ke 4 bidadara kota itu dengan menggunakan bahasa sunda.
"Aduh kalian tampan sekali! Kalian darimana?" tanya Bi Yeni basa basi.
"Yen, mereka gak akan ngerti apa yang kamu tanyakan sama mereka." sambung Abah Sambas.
"Kenapa begitu?" tanya Bi Yeni dengan kening berkerut.
"Mereka makhluk luar angkasa dan mereka hanya mengerti bicara bahasa sansekerta saja. Cuma Qiqi sama Oie yang ngerti bahasa mereka." Abah Sambas cekikikan menggoda Bi Yeni.
Qiana di dalam kamarnya lalu keluar dengan terbahak-bahak. Sementara Alvan, Gherry, Evan dan Rayn jadi saling tatap melihat tingkah Abah Sambas dan juga Qiana.
"Apa yang kalian bicarakan, Qiana? Kok aku merasa jadi orang terTOLOL duduk diantara kalian bertiga?" tanya Rayn sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ho'oh! Aku gak ngerti sama sekali dengan apa yang kalian bicarakan." sahut Evan.
Dengan sombongnya Alvan menunjukkan ponsel kepada ketiga sahabatnya. Rayn, Evan, dan Gherry membelalakkan mata saat membaca isi chat Alvan dengan Qiana.
"Anjay! Jadi dia bilang kita ini jelek kayak domba badot, gitu?" ucap Rayn menunjuk hidungnya sendiri.
Ke 4 sahabat itu saling tatap dengan sorot mata tak percaya pada Qiana. Melihat itu Qiana nyengir kuda sambil mengangkat jarinya dengan membentuk huruf V.
"Qiana…!" Rayn, Alvan, Evan, dan Gherry kompak menatap tajam ke arah Qiana. Sementara Abah Sambas dan Ambu Kinanti jadi terkekeh melihat tingkah Qiana yang berhasil menjahili teman-temannya itu.
Hari menjelang sore Gherry pamit kepada Abah Sambas dan Abu Kinanti untuk menjemput Teh Qorie.
"Kenapa repot-repot jemput Oie segala, nak Gherry? Biarkan saja dia pulang sendiri, lagi pula sudah biasa dia jalan kaki sejauh itu." ucap Abah Sambas.
"Gak apa-apa, Abah! Lagi pula aku jadi betah di sini. Pemandangannya indah dan udaranya sejuk. Gak kayak di Jakarta bising banyak polusi terus juga udaranya kotor." balas Gherry.
"Kalau kalian mau. Di atas bukit itu di belakangnya ada air terjun. Mumpung kalian masih di sini, mainlah ke sana. Biar Qiqi dan Oie yang antar kalian ke sana sekalian jemput Oei, bagaimana?" tawar Ambu Kinanti.
"Menarik tuh!" seru Alvan dengan wajah berseri.
"Ya udah udah ayo! Kita siap-siap dulu." balas Rayn dan Evan serempak.
Gherry hanya terdiam dengan bibir mengerucut. Rencananya kali ini gagal total. Awalnya Gherry memang ingin main ke air terjun itu berdua dengan Teh Qorie saja.
"Kenapa lu, Gher? Kok muka lu ditekuk gitu?" tanya Alvan.
"Kayak yang gak suka kalau kita mau pergi bareng lu!" imbuh Evan.
"Apa jangan-jangan lu emang udah punya rencana main ke sana sendiri yah sama ayang kampung lu?" selidik Alvan dengan yakin.
"Apaan sih lu!" sahut Gherry dengan bibir tetap cemberut.
"Udah sih biarin aja kita jalan masing-masing! Kalau Gherry mau jemput Teh Qorie ya biarin aja! Kita kan bisa pergi ke sana bareng Qiana. Ya kan, Qiana?" tanya Rayn yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Qiana.
Akhirnya sesuai kesepakatan Qiana hanya pergi bersama Alvan, Evan, dan Rayn. Sedangkan Gherry lebih dulu menjemput Teh Qorie yang setelahnya akan menyusul.
"Wooow… benaran ini tempatnya indah banget!" kagum Alvan seraya tersenyum lebar. Senyum yang belum pernah terlihat selama ini oleh Qiana.
"Kita ambil foto di sini, Al!" seru Rayn.
Dengan segera mereka segera mengambil beberapa foto kebersamaan mereka. Setelah itu Qiana langsung memposting fotonya di status.
"Apa? Qiana liburan dan bersenang-senang dengan mereka?" di tempat yang berbeda Salsa, Gilang, Iqbal, dan Imelda membuka status Qiana.
"Aku harus bertemu Qiana!" ucap Gilang dan Iqbal di tempat yang berbeda.
Setelah hampir 45 menit akhirnya Teh Qorie dan Gherry datang menyusul. Dengan membawa bekal makanan yang dibeli Gherry saat perjalanan bersama Teh Qorie, mereka menikmati pemandangan di balik bukit dan air terjun dengan ditemani makanan khas Bandung.
"Ini apa namanya, Qiana? Kok warnanya coklat kayak air selokan?" celetuk Rayn.
"Ini namanya bajigur, Kak. Air parutan santan kelapa ditambah gula merah kasih daun pandan dan sedikit garam. Cobain deh! Masih hangat gini enak lho!" Qiana menyodorkan minuman kepada Rayn.
Rayn menikmati minuman hangat itu langsung di tangan Qiana. Tanpa sadar Rayna memegang tangan Qiana dan menyeruput minuman hangatnya.
"Beneran enak banget, Qiana!" seru Rayn girang.
"Ya enaklah! Minumnya juga sambil pegangan tangan begitu!" celetuk Alvan mendelik kesal dengan bibir mengerucut.
Qiana dan Rayn yang menyadari itu tidak terpengaruh sedikit pun. Mereka berdua terus saja menikmati minumannya berdua secara bergantian tanpa melepaskan pegangan tangan mereka.
Alvan sudah panas dingin melihat Rayn yang lebih dekat dengan Qiana. Sementara Gherry dengan Teh Qorie. Tinggal dirinya bersama Evan.
"Evan, suapin gue dong!" pinta Alvan manja.
Bukannya menyuapin Alvan, Evan justru mendorong kepala Alvan lalu menoyornya agar menjauh dari Evan.
"Sejak kapan lu jadi kaum homreng?" wajah Evan mendekat. Seketika Alvan mencium pipi Evan.
"Iuhhh…" spontan Evan mengelap pipinya yang dicium Alvan.
"Mabok singkok rebus lu, Al?" celetuk Rayn.
"Patah hati!" balas Alvan terkekeh.
"Cembokur dia!" celetuk Gherry.
Alvan lalu berdiri dan berjalan ke arah air dan bebatuan yang ada di depannya. Tanpa diduga Alvan masuk ke dalam air dan berendam hingga sebatas dada.
"Al, lu gak kedinginan berendam di situ?" tanya Evan.
"Kagak! Gue ngerasa adem di sini dari pada di situ panas gue!" celetuk Alvan membuat Rayn dan Qiana saling pandang.
Rayn lalu terlihat mendekatkan bibirnya di telinga Rayn. Alvan yang melihat itu segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Sial!" umpat Alvan.
"Alvan cemburu sama kita, Qiana." Bisik Rayn di telinga Qiana.
"Bodo amat!" jawab Qiana dingin.
Lalu Qiana mengambil foto saat dirinya berdua dengan Rayn membelakangi air terjun. Setelah itu Qiana kembali mengirimkan beberapa foto mengenai kebersamaannya dengan Rayn di statusnya.
Tanpa Qiana duga setelah itu banyak chat masuk dari semua kontak yang ada di ponselnya, termasuk Alvan, Salsa, Imelda, Gilang, dan Iqbal. Dengan berbagai komentar.
"Kamu menyukai Rayn daripada aku?" chat Alvan saat sudah sampai di rumah Qiana.
"Apaan sih?" balas Qiana.
Malam pun tiba, mereka berkumpul di dalam rumah dan bersenda gurau. Membuat Rumah Abah Sambas dan Ambu Kinanti terasa hangat tidak seperti biasanya.
Alvan menatap Qiana seolah ingin mengungkapkan perasaannya saat itu juga. Namun masih tertahan dengan sikap Qiana yang menolak kebenaran jika dirinya adalah gadis kecil itu.
Alvan tidak akan menyerah untuk terus meyakinkan Qiana dalam mewujudkan janjinya itu. Alvan yakin suatu hari nanti Qiana akan membuka hati untuknya.