"Tapi kenapa, Abah?" tanya Alvan.
"Kami tidak tahu lagi nasib beliau, karena saat kami kembali ke ruangan Tuan Erlangga sudah dibawa pergi oleh seseorang. Dan kami benar-benar kehilangannya sampai saat ini." ungkap Abah Sambas.
"Ja… jadi Opa?" Alvan memutar bola matanya seperti sedang berpikir.
"Kalian mengira kalau Tuan Erlangga sudah meninggal?" tebakan Abah Sambas mampu membuat Alvan menoleh cepat ke arahnya.
"Benar dugaanku selama ini! Itu artinya Opa masih hidup!" gumam Alvan.
"Pihak rumah sakit pun berusaha mencari keberadaan Tuan Erlangga. Entah kenapa tiba-tiba berita kematian beliau muncul di tv, itu yang membuat kami tidak percaya. Kalau pun itu benar beliau kenapa ada keluarga yang tiba-tiba kehilangan sanak saudaranya yang meninggal karena kecelakaan tepat dihari Tuan Erlangg menghilang…" tutur Abah Sambas mampu membuat mulut Alvan menganga tak percaya.
"Ada yang aneh!" batin Alvan.
Dua hari kemudian…
"Aaaaa…" rintih Qiana.
"Qi…!" panggil Ambu Kinanti pelan.
"Ambu? Aku dimana?" tanya Qiana saat membuka matanya.
Saat ini Alvan sudah memindahkan Qiana di rumah sakit terbesar di kota Bandung. Alvan sengaja memindahkan Qiana agar peralatan medisnya lebih lengkap dan canggih jika disbanding di klinik tadi.
"Kamu di rumah sakit, Qi." sahut Ambu Kinanti.
"Rumah sakit?" Qiana memegang kepalanya dan hendak bangun.
"Kamu belum boleh banyak bergerak dulu, Qi." Abah Sambas tersenyum hangat pada Qiana.
"Abah? Abah ada di sini?" Qiana membalas senyuman Abah Sambas.
"Kami ada di sini, Qi…" sambung Teh Qorie.
Qiana menitikkan air mata haru saat melihat orang yang disayanginya ada bersamanya. Walau dalam situasi yang kurang tepat.
"Teman nak Alvan yang memberitahu kami, dia juga yang menjemput kami tadi siang." Abah Sambas mengecup kening Qiana dengan lembut.
"Bang Alvan, dimana dia? Apa dia baik-baik saja?" Qiana baru ingat dengan Alvan yang hampir celaka.
Deg…
Jantung Alvan tiba-tiba berdebar 3 kali kencang. Baru kali ini Alvan mendengar Qiana saat memanggilnya dengan sebutan 'Abang'. Biasanya Qiana memanggilnya dengan panggilan 'kamu'.
"Aku di sini, Qiana! Aku baik-baik saja! Lalu, bagaimana perasaanmu sekarang? Apa lebih baik?" tanya Alvan tersenyum hangat.
"Kamu? Heuuuh, ya! Aku sudah membaik." jawab Qiana.
"Dua hari kamu gak bangun, Qi! Ambu sampai khawatir sama kamu." sambung Ambu Kinanti.
"Dua hari?" kening Qiana berkerut.
"Luka di bahumu itu parah. Dokter bilang luka tembakmu sampai mengenai arteri utama. Jadi, Dokter harus melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, dan menjahit pembuluh vena itu memakan waktu lama. Dokter sudah melakukan yang untuk menyelamatkanmu." ungkap Alvan membuat Qiana mendengarkan dengan seksama.
"Beruntung kamu, Qi. Nak Alvan segera membawamu ke klinik sebelum akhirnya kamu dipindahkan ke rumah sakit ini. Jika tidak…" Abah Sambas menghentikan ucapannya.
"Maafkan aku, Qiana! Aku tidak bisa berpikir apa pun saat itu. Aku hanya ingin kamu selamat. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk padamu, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri." Alvan menggenggam erat tangan Qiana tanpa sadar.
Melihat hal itu membuat Ambu Kinanti dan Abas Sambas melangkah mundur untuk memberikan celah kepada Alvan dan Qiana. Sementara Teh Qorie hanya tersenyum tipis melihat sikap Alvan kepada Qiana.
Di tempat berbeda seorang laki-laki tengah murka. Usahanya untuk melenyapkan keturunan dari Erlangga Pratama Wijaya masih saja gagal.
"Kalian semua TOLOL! Kenapa tidak bisa mengatasi satu bocah ingusan seperti dia, hah?!" bentak laki-laki itu mendengus kesal.
"Maafkan kami bos! Kami juga tidak mengira jika ada seorang gadis yang ingin melindungi Tuan muda Alvan." balas salah satu orang kepercayaannya.
"Maksud kamu?" laki-laki itu menoleh secepat kilat kepada anak buahnya.
"Ya! Di sana ada seorang gadis yang rela mempertaruhkan nyawanya demi menolong Tuan muda." Sahutnya kemudian.
"Jangan bilang peluru itu menembus tubuh gadis itu? Jika benar! Dimana dia sekarang? Kenapa kalian tidak langsung melenyapkan gadis itu sekalian?" laki-laki itu semakin geram dibuatnya.
"Memang itu kenyataannya! Gadis itu langsung tumbang saat peluru menembus tubuhnya. Kami kira dia sudah mati tapi nyatanya gadis itu masih selamat, sekarang ada di rumah sakit." Lanjutnya kemudian.
"Punya seribu nyawa rupanya gadis itu! Dia bisa selamat dari maut." ucap laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Lalu apa tugas kami selanjutnya, Bos?" tanyanya kemudian.
"Kalian awasi saja mereka! Termasuk gadis itu. Cari tahu siapa dia sebenarnya, da nada hubungan apa dengan Alvan!" perintahnya kemudian kepada anak buahnya.
"Baik, Bos! Kalau begitu kami pergi." Kemudian keempat anak buahnya itu pergi.
"Abang lihat!? Aku tidak segan menyakiti siapa pun yang menghalangi keinginanku! Sekali pun bukan keturunan Abang, jika dia menghalangku maka akan aku lenyapkan mereka! hahaha…" laki-laki itu tertawa keras.
Sementara laki-laki di sebelahnya hanya meneteskan air mata, mendengar kejahatan yang diciptakan oleh adik kandungnya sendiri.
"Ada kabar apa?" tanya Alvan saat keempat sahabatnya datang ke rumah sakit.
"Gue rasa ini masih ada hubungannya dengan Jaringan Elang Hitam yang kembali muncul, Al." sahut Evan.
"Yakin?" tanya Alvan.
"Gue udah periksa cctv di sekitar apartemen. Lu tahu apa? Rekaman cctv itu ada yang menghapus lima menit kemudian setelah kejadian." tutur Gherry.
Alvan menatap keempat sahabatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Alvan mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang mulai mengeras.
"Lu yakin itu perbuatan Jaringan Elang Hitam?" tanya Alvan kemudian.
"Siapa lagi?" Rayn mengangkat kedua bahunya.
"Tapi gue ngerasa ini ada hubungan dengan hilangnya, Opa. Bukan Jaringan Elang Hitam yang melakukannya. Tapi… orang dalam." Alvan berapi-api.
"Kenapa lu bisa yakin, Al?" tanya Fahlevi.
"Lu pikir sendiri. Darimana Jaringan Elang Hitam bisa tahu gue ada di Bandung coba? Mereka gak mungkin berani beraksi di Bandung. Kalau pun mereka menyerang bukan cara terbuka di tempat ramai seperti ini, yang akan membahayakan keberadaan mereka." terang Alvan.
"Gue setuju apa yang lu bilang, Al! Gue juga yakin kalau Jaringan Elang Hitam gak mungkin celakain lu hanya karena balas dendam di masa lalu. Mereka hanya akan berulah dengan bisnis kita dan gak mungkin bermain dengan nyawa. Mereka tidak semudah itu menghabisi lawannya, mereka hanya akan membiarkan nyawa lawannya mati sebelum mereka menyakitinya seperti yang mereka mau. Terlalu mudah kalau harus menembak mati di tempat!" tatapan tajam Rayn menyiratkan desiran darahnya yang mulai panas.
"Apa yang lu ucapkan benar, Rayn! Gue setuju!" ungkap Fahlevi.
"Jadi bagaimana?" tanya Evan.
"Besok kita balik ke Jakarta setelah Qiana sembuh. Kita mulai waspada. Kita gak tahu siapa pengkhianat yang sebenarnya! Dia masih bersembunyi di belakang punggung anak buahnya. Pastikan kita bisa melindungi Qiana juga. Gue rasa mereka gak akan melepaskan Qiana kali ini, karena usaha mereka buat nembak gue digagalkan sama Qiana." ucap Alvan panjang lebar.
"Oke!" sahut Rayn, Evan, Gherry, dan Fahlevi serempak.
Alvan berpikir keras untuk menemukan alasan, di balik perisiwa penembakan. Saat sudah menemukan alasan penembakan itu terjadi, baru sadar jika ini memang berhubungan dengan posisi dan kedudukannya di perusahaan Pratama Wijaya milik sang Oma.
"Qiana…! Kamu baik-baik saja?" Gilang tiba-tiba muncul di ruangan Qiana.
"Gilang? Mau ngapain kamu ke sini? Lepaskan aku! Jangan main peluk-peluk!" Qiana mendorong tubuh Gilang yang datang dan langsung memeluknya.
"Qi, kenapa sikapmu seperti itu sama nak Gilang?" tanya Abah Sambas heran.
"Aku dan Gilang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, Abah! Kami sudah putus karena Gilang sudah bertunangan dan akan menikah dengan Salsa!" jawab Qiana apa adanya.
"Apa?" sontak Abah Sambas, Ambu Kinanti, dan Teh Qorie terkejut.
"Benar itu, Gilang?" tanya Teh Qorie.
Gilang tertunduk lesu dengan wajah yang memerah. Tanpa berani berkata, Gilang berlutut di hadapan Abah Sambas dan Ambu Kinanti.
"Maafkan Gilang, Abah, Ambu! Gilang terpaksa melakukan ini karena Mama dan Papa yang memaksa Gilang untuk menikah dengan Salsa. Gilang tidak bisa menolak perjodohan ini." ucap Gilang penuh penyesalan.
"Hehhh… sudah pandai berbohong kamu rupanya? Pertunanganmu dengan Salsa bukan karena perjodohan, Gilang! Tapi karena Salsa sudah mengandung anakmu!" umpat Qiana dengan kesal.
"Maksud kamu apa, Qi?" Ambu Kinanti menatap Gilang penuh tanya.
"Gilang sudah selingkuh dengan Salsa di belakang aku, Ambu! Bahkan sebelum mereka tunangan, aku memergoki mereka berdua sedang ada di dalam kamar hotel. Aku sendiri yang menyaksikan dengan mata kepalaku. Bahkan ada Bang Alvan yang menemaniku saat itu." Ucap Qiana membuat Ambu Kinanti, Abah Sambas, dan Teh Qorie benar-benar terkejut.
"Arrrggghhh…!" tangan Abah Sambas sudah melayang di udara, bersiap untuk menampar pipi Gilang.
"Abah…" Ambu Kinanti menggelengkan kepalanya.
"Jangan kotori tangan Abah dengan memukulnya! Dia anak orang. Jika Abah sampai memukulnya aku khawatir dia dan keluarganya akan melaporkan Abah pada polisi, atas pasal penganiayaan. Terlebih calon mertuanya adalah orang terpandang di kota ini. Orang yang sangat disegani dan dihormati oleh warga Bandung." Timpal Qiana.
"Qiqi benar, Abah! Kita tidak usah membalas apa yang sudah dia lakukan sama Qiqi. Biarkan Tuhan yang melakukannya atas Kehendak-Nya. Kita tinggal menonton saja apa yang akan terjadi nanti." Teh Qorie tersenyum masam.
"Abah yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang baik setelah ini, Qi. Laki-laki itu akan menjaga dan meindungimu. Dia juga akan sangat menyayangi dan menghormatimu. Laki-laki itu tidak melihat statusmu yang hanya anak dari laki-laki miskin seperti Abah, dan terlahir dari seorang wanita miskin pula seperti Ambu." Kini mata Abah Sambas sudah basah oleh genangan air mata yang kemudian menetes di wajahnya.
Tes…
Air mata Alvan ikut turun saat diam-diam mendengarkan ungkapan hati dari Abah Sambas, Teh Qorie, dan Qiana sendiri. Alvan kemudian menyeka air matanya sebelum masuk ke dalam ruangan.
"Dan laki-laki itu sudah datang di hadapan Abah sekarang!" dengan tegas Alvan meraih pundak Abah Sambas dan merengkuh bahu laki-laki paruh baya, ayah kandung dari Qiana.
"Nak Alvan…?" Abah Sambas menatap lekat pada pemuda tampan di hadapannya, yang sudah membantu menyeka bulir bening di kedua sudut matanya.
"Setelah ini aku tidak ingin ada air mata kesedihan yang keluar lagi, kecuali jika air mata itu adalah air mata kebahagiaan." tutur Alvan membuat Gilang tersenyum masam.
"Kenapa kamu selalu ikut campur dengan semua urusanku, hah?!" Gilang menarik kerah baju Alvan.
"Apa aku tidak salah dengar? Aku tidak pernah ikut campur dengan urusanmu! Aku hanya ingin melindungi Qiana, dan membantunya keluar dari belenggu laki-laki berengsek yang sudah mengkhianatinya. Itu saja! Dimana salahnya?" balas Alvan enteng.
Di luar ruangan Evan, Gherry, Rayn, dan Fahlevi sudah pasang badan dan siap untuk melindungi Alvan mau pun Qiana, dari serangan Gilang. Jika sewaktu-waktu laki-laki itu menyerangnya.
"Kamu kan yang sudah mempengaruhi Qiana agar dia memutuskan aku? Dan kamu juga yang menjadi duri dalam daging dalam hubungan aku dan Qiana. Sudah berapa kali kamu meniduri Qiana, hingga kamu tidak ingin melepaskan Qiana?" ucap Gilang.
Plaaakkk…
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gilang yang berjambang tipis. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Jaga ucapanmu, Gilang! Sekali lagi aku mendengar kamu menghina adikku. Akan aku buat kamu menyesal karena telah menyakitinya. Camkan itu, Gilang!" ancaman Teh Qorie mampu membuat Gilang sedikit gentar.
"Tunggu apa lagi? Keluar…!!!" usir Abah Sambas yang tidak ingin mendengar keributan lagi di dalam ruang perawatan Qiana.
Alvan meraih tubuh Abah Sambas secepatnya saat melihat tubuh setengah renta itu hampir terjatuh. Dengan sigap Alvan menangkapnya agar tidak mendarat di atas lantai.
"Abah tidak apa-apa?" tanya Alvan yang langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Abah Sambas.
"Terima kasih, Nak Alvan." ucap Ambu Kinanti yang langsung menghampiri Abah Sambas dan duduk di sampingnya di atas sofa yang ada di dalam ruangan itu.
"Sama-sama, Ambu." Balas Alvan menatap sendu pada Abah Sambas.
Suasana hening sejenak hanya terdengar suara tik tak jarum jam yang ada di dalam ruangan. Sampai akhirnya seorang Dokter dan dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Qiana.
"Hari ini Qiana sudah diperbolehkan pulang." ucap Dokter Rini sahabat dari Teh Qorie.
"Terima kasih, Dokter." jawab Qiana senang.
Alvan mendengar itu bergegas menghubungi Oma Inge yang masih tinggal di hotel di Bandung, sekitar rumah sakit tempat Qiana dirawat.
"Qiqi, sebaiknya kamu pulang dulu ke rumah nak!" pinta Ambu Kinanti.
"Gak bisa, Ambu! Qiqi udah lama cuti kerja! Nanti bisa-bisa Qiqi di PHK sama Oma, gimana coba?" ucap Qiana setengah bercanda membuat Oma Inge jadi tertawa geli.
"Kalau kamu sampai di PHK sama Oma. Biar Papi angkat kamu jadi mantu Papi, Qiana. Kamu mau?" ucap Papi Billy membuat semua mata tertuju kepada Alvan.
"Eh?" Alvan merasa kikuk karena mendapat tatapan aneh dari semua orang termasuk Qiana.
"Boleh juga tuh usul Papi kamu, Al!" Oma Inge mengedipkan sebelah matanya kepada Alvan, membuat Alvan semakin gugup.
"Alaaah… pake acara malu-malu cacing segala lu, Al! nyungseb aja sekalian ke dalam tanah sono!" ledek Evan membuat semua terkekeh, sementara Alvan jadi mencebikkan bibirnya karena jadi korban.
Semua tertawa bahagia di dalam satu ruangan yang sama. Setelah Akhirnya Qiana diantar pulang ke rumahnya terlebih dahulu oleh keluarga Oma Inge.
Qiana diberi waktu istirahat beberapa hari oleh Oma Inge dan Alvan, sampai kondisinya tetap stabil. Tapi Alvan tidak membiarkan Qiana sendiri di Bandung bersama kedua orang tuanya dan kakaknya.
Atas pertimbangan dan berdasarkan pengamatan para orang tua, akhirnya diambil keputusan bahwa Alvan akan menemani Qiana selama di Bandung.
Semua demi keselamatan Qiana dan Alvan. Bahkan Evan, Gherry dan Rayn diminta menemani mereka selama di Bandung. Sementara Fahlevi harus kembali ke Jakarta karena profesinya sebagai seorang dokter yang tidak bisa lama-lama meninggalkan tugasnya.
"Kalian sih enak masih dikasih cuti sama Big Bos! Lah Gue?" keluh Fahlevi.
"Salah lu sendiri kenapa jadi manusia sesat, hah? Kita sepakat mau bisnis, lu ngambil profesi Dokter sendiri. Ya itu sih derita lu, Lev!" celetuk Alvan membuat semua orang jadi tertawa mendengarnya.
Akhirnya setelah berbincang banyak hal keluarga Oma Inge dan Fahlevi kembali ke Jakarta dengan meninggalkan Qiana, Alvan, Gherry, Evan, dan Rayn di rumah kedua orang tua Qiana.