Chapter 12 - Bab. 12

Gilang melihat Qiana datang dan berjalan bersama Alvan. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Gilang segera mendekat dan menyapa Qiana.

"Qiana, aku perlu bicara denganmu!" ucap Gilang.

"Kenapa lagi? Kenapa? Apa kamu sudah selesai mempermainkan perasaanku? Cukup, Gilang!" ucap Qiana.

"Salsa bilang kamu melepaskan aku untuknya, benarkah? " tanya Gilang.

"Tidak hanya itu! Aku juga berharap yang terbaik untuk kalian berdua. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi!" pinta Qiana.

"Tapi, Qiana… aku masih sangat mencintaimu!" ucap Gilang dengan sangat manis.

"Apa-apaan sih? Tapi aku tidak bisa! Tinggalkan aku sendiri! Aku mohon!" ucap Qiana melangkah mundur, tapi Gilang menahan Qiana dan menarik tangannya.

"Qiana, percayalah ini hanya salah paham!" ucap Gilang.

"Hanya salah paham katamu?" sela Qiana tersenyum kecut.

"Jelas-jelas aku sudah melihatmu tidur dengan Salsa, dan kamu bilang itu hanya salah paham? Bodohnya, aku!!!" lanjut Qiana

"Qiana, saat itu aku sedang kesepian karena kamu jauh dari aku! Tolong mengerti aku, Qiana!" pinta Gilang dengan wajah memelas.

"Kesepian? Haaah… apa lagi ini?" Qiana tersenyum mengejek.

Dezighhh…!

Bughhh…

Qiana menendang burung perkutut milik Gilang, kemudian memukul punggungnya. Gilang yang tidak menduga sama sekali dengan perlakuan Qiana, merasa kesakitan atas serangan Qiana yang secara tiba-tiba.

"Arggghhhhh…!" pekik Gilang meringis kesakitan sambil memegang burung perkututnya.

"Qiana berani menendang telur puyuh milik Gilang, dan memukul mantannya. Ini sangat menarik!" gumam Alvan dengan smirk di wajahnya.

"Aku mohon padamu, menjauhlah dariku!" tangis Qiana seraya berlalu dari hadapan Gilang.

Qiana pergi meninggalkan Gilang yang tengah kesakitan. Sementara Alvan menatap Qiana dengan senyuman tipis di bibirnya.

"Kamu sudah menendang belalai milik Gilang. Bahkan kamu juga memukulnya, Qiana! Awal yang bagus! Mungkin suatu saat nanti jika Gilang datang kembali untuk menganggumu, aku yakin kamu akan mematahkan belalai milik Gilang. Hehehe…" ucap Alvan terkekeh.

"Gilang sudah melakukan sesuatu yang buruk kepadaku. Jadi aku harus memberinya pelajaran, bukan?" Qiana mendelik kesal, sementara Alvan terus terkekeh senang.

Drap…

Drap…

Drap…

Tap…

Iqbal datang mendekati Qiana dan mencengkram tangannya erat. Qiana dan Iqbal saling tatap dalam jarak yang sangat dekat. Melihat hal itu Alvan mencoba menahan diri.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Qiana?" tanya Iqbal.

"Bukan urusanmu!" timpal Qiana.

Qiana menghempaskan tangan Iqbal lalu pergi meninggalkannya. Kemudian Iqbal menahan Alvan untuk pergi mengikuti Qiana.

"Aku harap kamu menjauhi, Qiana!" ucap Iqbal.

"Kenapa aku harus menjauhi, Qiana?" tanya Alvan dingin.

"Qiana bukan gadis yang baik. Dia memiliki banyak kekasih. Dia juga suka pergi ke klub malam, minum, dan merokok. Itu sebabnya dia putus dengan Gilang, dan Gilang pergi untuk memilih Salsa." Tutur Iqbal mengompori.

"Terima kasih atas informasinya!" ucap Alvan datar.

Alvan segera pergi meninggalkan Iqbal sendiri dengan smirk di wajahnya.

"Ada banyak yang mencintaimu. Tapi cara mereka salah! Karena secara tidak langsung mereka sudah sangat menyakiti hatimu, Qiana…" gumam Alvan.

Alvan berjalan mencari keberadaan Qiana. Alvan mendapati sebuah gerbang yang pernah dia lihat 18 tahun yang lalu. Gerbang itu menghubungkan rumah kediaman keluarga besar Kusuma Wardhana kakek buyut Qiana dengan sungai yang ada di sekitar perumahan.

"Gadis kecil… aku datang untuk menemuimu! Apa kabarmu? Gadis kecil, bisakah kita bertemu malam ini? Datanglah… aku menunggumu di sini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, jika kita bertemu aku akan memintamu tinggal bersamaku. Aku akan menjaga dan melindungimu, seperti kamu menjaga dan melindungiku dulu 18 tahun yang lalu. Datanglah, gadis kecil… jika kamu masih sendiri, maka aku akan menikahimu secepatnya. Itu janjiku kepadamu…" ucap Alvan penuh harap.

Tanpa Alvan tahu ada dua pasang mata yang melihat dan dua pasang telinga yang mendengar. Keduanya sama-sama tersenyum, namun berbeda arti dari senyum mereka berdua.

Qiana tersenyum bahagia saat mendengarkan ucapan Alvan barusan. Sementara gadis yang lain tersenyum licik dengan seringai di wajahnya.

"Qiana, kamu ada di sini?" Salsa menyapa.

"Heuhhh…" balas Qiana datar.

"Qiana, senang bisa bertemu denganmu lagi. Lihatlah! Ini cincin tunangan yang Gilang berikan kepadaku. Indah bukan?" Salsa memamerkan cincin pemberian Gilang.

Qiana hanya tersenyum simpul tanpa menanggapi sama sekali. Alvan yang tahu Qiana berada di dekatnya segera menghampirinya.

"Gilang bilang, dia tidak pernah memberikan cincin seindah ini kepada wanita lain." lanjut Salsa.

"Tolong jauhkan aku dari sepasang kekasih yang memuakkan ini dari pandanganku!" gumam Qiana pelan yang masih dapat di dengar oleh Alvan.

"Qiana, siapa dia?" tanya Paman Qiana ayah dari Salsa.

"Dia…" Qiana belum sempat menyelesaikan kalimatnya, karena Alvan memberinya isyarat untuk tetap diam.

"Aku Alvan Pratama Putra Wijaya." Jawab Alvan mewakili Qiana.

"Ap… apa? Apa aku tidak salah dengar? Kamu adalah Alvan Pratama Putra Wijaya, cucu dari keluarga Pratama Wijaya?" tanya ayah Salsa terkejut.

"Benar!" jawab Alvan dingin.

"Kamu adalah cucu dari Nyonya besar Ingerda Sophia Willemina Wijaya, pengusaha butik yang terkenal itu? Pengusaha terkaya nomor satu di negeri ini?" Paman Qiana menatap tak percaya kepada Alvan.

"Benar!" jawab Alvan tanpa ekspresi.

"Ada keperluan apa kamu di sini?" tanya Bibi Qiana ibu dari Salsa.

"Aku ada janji dengan klien." Jawab Alvan datar.

Tanpa basa basi Alvan segera pergi meninggalkan Paman dan Bibi Qiana. Tak lupa Alvan membawa Qiana untuk ikut dengannya.

"Kurang ajar! Dia pergi begitu saja dari hadapanku! Dimana sopan santun mereka terhadapku sebagai orang tua?" ucap Paman Qiana geram, sementara Alvan menyeringai di balik punggungnya.

Alvan membawa Qiana keluar dari halaman rumah kediaman keluarga Kusuma Wardhana melalui gerbang, dimana dia dan gadis kecil itu bertemu 18 tahun yang lalu.

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Qiana dengan raut wajah yang tidak dapat diartikan.

Alvan yang melihat itu jadi mengerutkan keningnya sendiri. Alvan mencoba mencari tahu melalui tatapan Qiana.

"Apa kamu mengingat sesuatu?" tanya Alvan penuh selidik.

"Ti… tidak!" jawab Qiana gugup.

"Lalu… kenapa kamu terlihat takut seperti itu?" tanya Alvan kemudian.

"Aku sudah katakan kepadamu. Aku tidak ingin mengingat masa lalu…" mata Qiana berkaca-kaca.

"Maaf! Aku tidak bermaksud untuk membuatmu mengingat masa lalu. Aku hanya ingin kita duduk di taman itu." Tunjuk Alvan.

Qiana hanya mengikuti kemana Alvan pergi. Sebenarnya Qiana juga ingin pergi sejak tadi. Qiana tidak menyukai suasana di dalam rumah kediaman kakek buyutnya sendiri, yang dikelilingi dengan orang-orang yang serakah dan tamak.

Apa pun akan mereka lakukan demi mendapatkan semua keinginan. Qiana tidak suka dengan semua sandiwara keramahan keluarganya kepada awak media. Terlihat baik di luar sementara di dalam penuh dengan drama kebencian dan peperangan, serta dendam.

"Bisakah kita pulang sekarang?" tanya Qiana tiba-tiba.

"Kamu ingin kita pulang?" jawab Alvan.

"Ya!" sahut Qiana.

"Secepat itu? Kenapa? Acaranya belum selesai!" ucap Alvan.

"Aku lelah!" jawab Qiana.

"Baiklah! Kita pulang!" seru Alvan.

Qiana dan Alvan berjalan beriringan. Saat akan menuju mobil, Salsa menghadang langkah Qiana dan Alvan.

"Qiana, aku mohon kepadamu. Setelah ini kamu jangan lagi mengganggu hubungan aku dengan Gilang. Kamu tahu kalau Gilang sudah memilih aku karena dia sangat mencintaiku. Dan kamu juga harus ingat, Qiana… di dalam perutku ada bayi kami. Jadi, jauhi Gilang dan biarkan dia hidup bahagia denganku dan anak kami." Pinta Salsa dengan wajah memelas.

Qiana menghela nafsanya dengan panjang lalu membuangnya kasar. Saat mulutnya sudah terbuka dan ingin mengatakan sesuatu, Alvan meraih tangan Qiana dan menggenggamnya erat.

"Qiana, malam ini aku memintamu untuk menjadi kekasihku. Aku memang belum membelikanmu cincin berlian, tapi aku hanya punya cincin ini. Di dalamnya ada namaku juga tanggal lahirku, meski bukan berlian tapi aku harap kamu bisa menjaga cincin ini jangan sampai hilang." Alvan kemudian membuka cincin di jari manisnya, dan menyematkan cincin itu di jari tengah tangan Qiana.

Qiana menatap cincin indah milik Alvan. Bisa Qiana taksir jika cincin itu harganya sangat fantastis. Terlebih cincin itu berlapis emas hitam yang jarang sekali orang memilikinya.

"Tapi…" ucap Qiana ragu.

"Jangan pernah kamu melepaskan cincin itu!" pinta Alvan tanpa ragu

"Arggghhhhh…!" Salsa geram.

"Kenapa kamu terburu-buru? Bukankah kamu akan menunggu gadis kecil itu?" tanya seorang gadis membuat Alvan, Qiana dan Salsa menoleh seketika.

"Imel…?" Qiana dan Salsa kompak menatap Imelda, saudara sepupu Qiana dan Salsa yang lain.

"Ma… maksud kamu?" tanya Alvan.

"Aku lah gadis kecil yang kamu tunggu itu!" ucap Imelda penuh percaya diri.

"Benarkah?" mata Alvan berbinar.

"Aku adalah gadis kecil itu. Dan aku sudah menunggumu sejak lama. Apa kamu tidak ingin menyambutku?" tanya Imelda dengan senyum manis.

Alvan tampak ragu melangkah mendekati Imelda. Meski selama ini Alvan menantikan saat seperti ini, tapi hati Alvan tidak yakin jika Imelda adalah sosok gadis kecil yang selalu dia nantikan selama ini.

"Ma… maaf, bisakah kita bicara berdua saja?" tanya Alvan gugup.

"Tentu saja!" ucap Imelda dengan genit.

"Qiana, bisakah kamu menungguku sebentar?" pinta Alvan.

"Pergilah!" ucap Qiana dengan tulus.

Alvan melangkah dengan ragu mengikuti langkah Imelda. Ada rasa berat saat meninggalkan Qiana. Namun Alvan tetap pergi bersama Imelda.

"Kenapa aku meragukan gadis ini? bukankah aku sudah menunggunya selama 18 tahun?" batin Alvan.

Berulang kali Alvan mencoba untuk percaya, tapi hatinya semakin keras untuk menolak. Alvan justru merasa menjauh dari gadis kecil itu. Alvan merasa bimbang dan ragu untuk mempercayai semuanya.

"Benarkah dia gadis kecil itu? Tapi kenapa aku malah ragu?" batin Alvan terus berkecamuk.

"Kita bicara di sini!" ajak Imelda di sebuah bangku panjang di dekat taman yang menghadap sungai.

"Baiklah!" ucap Alvan datar.

Imelda duduk bersebelahan dengan Alvan. Dengan tersenyum manis Imelda terus menatap Alvan.

"Ternyata tidak sulit menemukan laki-laki tampan dan kaya raya untuk aku jadikan seorang suami." Batin Imelda tersenyum licik.

"Siapa namamu?" tanya Alvan serius.

"Namaku Imelda. Panggil saja Imel." Jawab Imelda penuh percaya diri.

"Apa kamu masih mengingat kejadian 18 tahun yang lalu?" tanya Alvan to the point.

"Tentu saja aku tidak pernah bisa melupakan kejadian 18 tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin kita bertemu." balas Imelda.

"Maksudku apa kamu baik-baik saja setelah kejadian itu?" tanya Alvan penuh selidik.

"Tentu saja aku baik-baik saja. Apa lagi setelah aku tahu jika laki-laki yang aku tolong adalah pria tampan sepertimu." ucap Imelda tanpa rasa malu.

"Kenapa tutur katanya jauh berbeda dengan kenyataan waktu itu? Yang aku tahu gadis kecil itu sangat ketakutan saat aku meninggalkannya. Aku yakin gadis kecil itu pasti akan ketakutan dan trauma jika mengingat kejadian itu. Tapi sepertinya dia baik-baik saja!" batin Alvan seraya mengerutkan keningnya.

Alvan benar-benar merasa ragu jika Imelda adalah gadis kecil yang dia cari selama hampir 18 tahun itu. Alvan tidak tahu apakah harus percaya atau tidak kepada Imelda.

Alvan tidak ingin menyesal dengan semua keputusan yang akan dia ambil. Walau bagaimana pun Alvan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga dan melindungi serta menikahi gadis kecil penolong itu.

"Ada hubungan apa kamu dengan Qiana dan Salsa?" tanya Alvan kemudian.

"Mereka adik sepupuku." balas Imelda dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Alvan.

"Eummm… mengenai kejadian waktu itu, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Alvan.

"Tentu saja aku ada di sini karena aku tahu kamu sedang ada masalah waktu itu, jadi aku menolongmu dengan sangat ikhlas." Jawab Imelda sedikit terbata.

"Apa kamu tahu siapa yang melakukannya?" tanya Alvan membuat Imelda kebingungan.

Dengan wajah yang memerah Imelda tertunduk lesu. Alvan melihat kejanggalan itu di wajah Imelda.

"Dia tidak menjawab pertanyaanku dengan baik. Apa dia menipuku? Tapi jika dia menipuku, darimana dia tahu kalau aku sedang mencari gadis kecil itu? Akhhh… andai gadis kecil itu adalah Qiana, aku akan sangat bahagia." Senyum manis terbit di kedua sudut bibir Alvan.

"Kamu kenapa?" tanya Alvan jadi curiga.

"Ah! Entahlah setiap kali mengingat kejadian itu aku selalu seperti ini. Mungkin karena sudah terlalu lama jadi aku sedikit lupa." ucap Imelda.

"Kamu tidak apa-apa? Sepertinya kamu harus kembali ke rumah keluargamu." pinta Alvan bukan tanpa alasan.

"Aku hanya butuh istirahat sebentar. Setelah ini akan membaik." Imelda meraih tangan Alvan.

Alvan merasa tidak nyaman saat Imelda dengan nakal meremas tangannya. Bahkan Alvan merasa jijik dengan sikap Imelda yang dinilai terlalu berani.

"Benarkah dia gadis kecil yang sedang aku cari itu? Apakah dia benar-benar gadis kecilku yang dulu menyelamatkan nyawaku? Tapi kenapa aku merasa ragu." Batin Alvan terus berontak.

"Kalau boleh tahu kamu tinggal dimana sekarang? Dan bagaimana kamu bisa mengenal Qiana?" tanya Imelda.

"Aku tinggal di Jakarta. Aku mengenal Qiana karena kami teman satu kantor." Jawab Alvan datar.

"Jadi Qiana teman satu kantor. Kalau boleh aku memberi saran. Sebaiknya kamu jauhi saja Qiana itu! Dia bukan gadis yang baik. Meski dia adalah saudara sepupuku, tapi keluargaku tidak menyukai Qiana dan keluarganya. Bahkan keluarga besar kami terlalu kecewa dengan Qiana." ucap Imelda mengompori.

Alvan menatap lekat mata Imelda lebih dalam. Dia mencari kebenaran di dalam mata itu. Alvan terkejut saat tidak menemukan kebenaran dari ucapan Imelda.

Mulutnya berbicara tapi matanya tidak bisa diam pada satu arah. Bola matanya terus saja bergerak ke sana kemari mencari pembenaran diri.

"Bagaimana jika aku menyukai Qiana? Apa kamu tidak keberatan?" tanya Alvan.

"Jangan lakukan itu padaku! Bukankah kamu ingin selalu menjaga dan melindungi gadis kecilmu? Dan kamu juga berniat untuk menikahinya, bukan? Sekarang gadis kecil itu sudah ada di hadapanmu. Ayo kita menikah!" ucap Imelda dengan wajah memelas.

Glekkk…

Alvan menelan ludahnya sendiri yang terasa kering di tenggorokan. Alvan tidak menyangka jika Imelda akan mengatakan hal itu secepat ini. Bahkan Alvan saja belum yakin jika Imelda adalah gadis kecil yang sedang dicarinya saat ini.