Alvan bagai makan buah simala kama. Ditelan bapak yang mati tidak ditelan ibu yang mati. Alvan memang ingin menikahi gadis kecil itu, tapi tidak dengan cara seperti ini juga.
Ini pertama kalinya Alvan menjadi manusia paling munafik di dunia. Ketika mulut mengucap janji tapi hati terus memungkiri.
"Aku akui semenjak putus dengan Rayya, aku memang tidak mau membuka hati untuk siapa pun. Bahkan aku berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapa pun. Tapi saat bertemu Qiana, entah kenapa aku begitu peduli kepadanya. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya, sampai aku berani mencium bibirnya untuk mengikatnya agar dia tidak berpaling pada yang lain, dan selalu mengingatku dengan ciuman itu…" batin Alvan bermonolog.
Bukan karena Imelda tidak menarik. Dia cantik dan juga seksi. Hanya saat ini di hati Alvan sudah ada Qiana yang mengisi kekosongan itu.
"Sumpah demi apapun Imelda cantik, seksi, dan pandai berdandan. Jauh berbeda dengan Qiana, tapi entah kenapa aku justru lebih suka dengan Qiana yang apa adanya." Gumam Alvan di dalam hati.
Alvan menatap ke dalam mata Imelda. Bahkan di sana Alvan tidak menemukan apa yang dia dapatkan dari Qiana. Bagi Alvan, Qiana sangat berbeda dengan gadis lain pada umumnya. Dan itu Alvan suka.
"Kita bicara besok! Aku harus pergi mengantar Qiana pulang. Aku sudah berjanji kepada orang tua Qiana akan mengantar Qiana pulang tepat waktu." ucap Alvan segera bangkit.
"Kalau begitu berjanjilah besok kamu akan menemui aku lagi." pinta Imelda bergelayut manja.
"Baiklah!" balas Alvan.
Alvan dan Imelda kembali ke kediaman keluarga kakek buyut Qiana. Alvan kemudian segera mengajak Qiana pergi dari tempat itu secepatnya.
"Bagaimana pertemuanmu dengan gadis kecil itu? Apa menyenangkan? Benarkah Imelda adalah gadis kecilmu itu?" tanya Qiana penasaran membuat Alvan memutar bola matanya dengan malas.
"Mendengar pertanyaanmu, sepertinya kamu bukan ingin menginterogasi aku. Tapi kamu ingin mentertawakan dan mengejekku. Benar begitu?" tebak Alvan.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu kepadaku? Bahkan aku tidak tahu sama sekali kenapa kamu sangat ingin bertemu dengan gadis kecilmu itu? Apa dia sangat spesial buatmu?" tanya Qiana dengan mata berbinar.
"Tentu saja! Gadis kecil itu sangat spesial untukku. Bahkan aku sangat menantikan pertemuan itu dengannya." ucap Alvan berapi-api.
"Beruntung sekali Imelda sangat special untukmu." Kelakar Qiana tertawa nakal.
"Heiii… aku tidak mengatakan jika Imelda adalah gadis kecil itu! Bahkan aku tidak yakin jika Imelda adalah gadis kecil itu! Apa kamu sedang mengejekku saat ini, Qiana?" Alvan menatap Qiana dengan tatapan membunuh.
"Tidak! Bukan itu maksudku! Tentu saja aku tidak sedang mengejekmu. Aku hanya tidak percaya saja jika Imelda akan menjadi pasangan pengantinmu, dan kamu akan menjadi kakak sepupuku. Hehehe…" ucap Qiana seraya terkekeh, membuat bibir Alvan jadi mengerucut.
"Andai gadis itu adalah kamu, Qiana. Mungkin perasaanku saat ini akan sangat bahagia. Sayang sekali gadis kecil itu bukan kamu…" gumam Alvan yang masih bisa didengar oleh Qiana.
Plukkk…
Tas Qiana jatuh ke bawah membuat Alvan tersadar dari khayalannya. Alvan berjongkok untuk mengambil tas milik Qiana. Sementara Qiana masih tertegun dengan penuturan Alvan.
"Ap… apa aku tidak salah dengar?" ucap Qiana.
"Eh? Maaf jika ucapanku mengejutkanmu." sahut Alvan.
Qiana segera berjalan menuju lift apartemen Alvan. Qiana tidak ingin lagi mendengarkan ucapan Alvan.
Malam ini Alvan dan Qiana memutuskan untuk tidur di apartemen Alvan. Karena besok Alvan masih ada urusan dengan Imelda. Beruntung saat pergi Qiana sudah langsung pamit kepada Ambu Kinanti, Abah Sambas, dan Teh Qorie sebelumnya.
"Qiana, maafkan aku! Apa kamu tersinggung dengan ucapanku?" tanya Alvan.
"Tidak sama sekali! Hanya saja aku tidak mau kamu melupakan janjimu pada Imelda. Walau bagaimana pun dia adalah saudaraku. Dan kamu sudah berjanji kepada gadis kecilmu itu, bukan?" balas Qiana tanpa menoleh.
Saat ini Qiana dan Alvan sedang berada di dalam lift menuju ke unit apartemen Alvan. Qiana berdiri membelakangi Alvan.
"Akh… aku sudah salah bicara kepada Qiana. Apa dia tersinggung dengan ucapanku?" batin Alvan.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Qiana.
"Qiana, menurutmu apa Imelda itu benar-benar gadis kecil yang sedang aku cari?" Alvan balik bertanya.
"Kenapa kamu bertanya kepadaku? Aku bahkan tidak tahu cerita yang sebenarnya seperti apa! Andai kamu mau cerita sama aku mengenai kejadian 18 tahun yang lalu, mungkin aku bisa membantumu mencari gadis kecilmu itu. Paling tidak aku tahu ciri-ciri gadis kecilmu itu. Atau kalau perlu kamu bisa meminta bantuan Kak Evan atau Kak Gherry, buat mencari informasi tentang gadis kecil itu." ucap Qiana dengan tulus.
"Maksud kamu gimana sih? Aku gak ngerti!" tanya Alvan terus terang.
"Kamu bisa minta bantuan Kak Evan atau Kak Gherry buat meretas cctv yang ada di sekitar rumah kakek buyut sekitar 18 tahun yang lalu. Dengan begitu kamu bisa membuat pengumuman soal keberadaan gadis kecilmu itu. Kamu pasang aja iklan, bereskan!" ucap Qiana sembari terkekeh.
Pletaaaaakkkkk…!
Alvan menyentil kening Qiana dengan keras, membuat Qiana terkejut sontak memegang keningnya seketika.
"Awww… sakit tahu!" protes Qiana dengan mata melotot ke arah Alvan.
"Maaf!" Alvan mengusap lembut kening Qiana.
Qiana menatap Alvan dengan dada berdebar kencang. Bibirnya yang merah membuat Alvan ingin melumat habis bibir seksi itu. Alvan lalu menatap mata Qiana lebih dalam.
"Kamu cantik kalau begitu!" celetuk Alvan membuat Qiana bergidik ngeri.
"Ngomong seenak udelmu!" Qiana mendorong tubuh Alvan agar menjauh darinya.
"Haaah…? Gak salah? Yang aku tahu kalau ngomong itu pake mulut deh! Bukan pake udel!" Alvan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Bodo amat!" Qiana melangkah pergi meninggalkan Alvan, karena lift sudah terbuka.
Alvan segera menyusul Qiana keluar dari dalam lift, sebelum akhirnya pintu lift itu tertutup kembali.
"Aku gak percaya kalau aku sudah menemukan gadis kecil itu dengan sangat mudah, dan dengan cara yang tidak aku duga sama sekali." gumam Alvan membuat Qiana menoleh seketika.
"Masih bahas gadis kecil itu rupanya! Aku kira udah bahas yang lain! Ganti topik kek, biar gak jenuh. Bosan tahu dengarnya, bikin aku penasaran aja sama ceritanya. Mending kamu mau cerita, ini kan gak!" protes Qiana.
Alvan yang diajak bicara oleh Qiana hanya diam tak menjawab, sebab saat ini Alvan sedang melamun memikirkan gadis kecilnya itu.
"Kok aku gak percaya yah dengan ucapan Imel semalam. Kenapa aku selalu merasa dan berharap kalau Qiana lah gadis kecil yang manis itu!" batin Alvan.
Alvan perlahan melirik pada Qiana, saat pandangannya bertemu dengan Qiana sontak Alvan jadi mengerjap kaget.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" ucap Alvan malu.
"Aku dari tadi ngomong gak kamu jawab! Eh tahunya lagi bengong! Jangan kebanyakan ngelamun, nanti kesambet." Gerutu Qiana kesal.
"Bawel! Sana mandi! Kamu kotor banget hari ini, udah gitu najis lagi! Dipegang si Gilang sama si Iqbal tadi. Iuuuuuhhh… jijay dech akh!" canda Alvan menirukan gaya abg gaul.
"Pfffttt… kamu lemah gemulai gitu persis Kak Angel deh! Hahaha…" celetuk Qiana tertawa renyah.
Angel adalah teman Alvan yang bekerja di perusahaan Alvan sebagai make up artis. Nama sebenarnya adalah Agung Sucipto. Sejak kecil Agung memang berperilaku aneh, itu sebab setelah dewasa Agung berubah nama menjadi Angel dan bekerja menjadi MUA.
"Eh busyet! Make nyamain aku sama si Angel lagi!" bibir Alvan mengerucut.
Pluuukkk…
Alvan melempar bantal ke arah Qiana yang langsung menghindar dari serangan Alvan.
"Gak kena, wleeek…!" Qiana menjulurkan lidahnya dan pergi meninggalkan Alvan.
Qiana masuk ke dalam kamarnya lalu bersiap mandi. Saat sudah selesai mandi, Qiana baru ingat kalau dia hanya punya baju yang diberi oleh Alvan. Baju Qiana sebelumnya sudah rusak oleh Gilang saat itu.
"Sial! Aku kan gak punya baju lagi! Mana ini udah kotor lagi! Terus aku pakai apa nanti malam? Besok pulang bisa aja beli online, tapi malam ini? Arggghhh…" Qiana berteriak kencang di dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Suara teriakan Qiana terdengar sangat kencang, sehingga Alvan yang berada di ruang tamu langsung masuk ke dalam kamar Qiana untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan Qiana.
"Qiana…! Kamu kenapa?" tanya Alvan panik.
"Waduh… mana dia masuk lagi! Aku lupa kalau dia ada di sini. Tadi aku teriak kencang sekali." Gumam Qiana.
"Qiana…! Kamu gak apa-apa?" tanya Alvan lagi.
Ceklek…
Qiana membuka pintu kamar mandi seukuran tangannya, lalu bersembunyi di balik pintu. Alvan jadi mengerutkan dahinya melihat pintu sedikit terbuka.
"Aku gak punya baju ganti. Bajuku yang tadi kotor. Apa kamu mau meminjamkan aku baju buat aku tidur malam ini?" tanya Qiana ragu.
"Auh?" Alvan terkejut mendengar penuturan Qiana.
"Hei… kenapa diam?" Qiana sedikit berteriak.
"A… aku. Ya sudah aku bawakan bajuku. Tunggu sebentar!" Alvan segera pergi menuju kamarnya.
Qiana jadi menghela nafasnya panjang dan membuangnya kasar. Qiana memegang dadanya yang terus berdebar kencang.
Tak lama Alvan datang dengan membawa bajunya untuk dipinjam oleh Qiana. Alvan tersenyum licik, dia ingin menjahili Qiana.
"Nih!" Alvan menyerahkan bajunya melalui pintu yang sedikit terbuka.
"Ups…! Jangan masuk!" cegah Qiana.
"Kalau aku gak masuk terus gimana aku ngasih baju ini sama kamu?" ucap Alvan beralasan.
"Simpan saja di atas kasur! Kamu keluar sekarang juga!" pinta Qiana di dalam kamar mandi.
"Serius? Kamu gak mau aku nunggu di sini?" ucap Alvan dengan jahil.
"Jangan becanda deh! Buruan keluar!" teriak Qiana.
"Iya… iya ini aku mau keluar!" Alvan terkekeh geli.
Sebelum keluar dari kamar mandi, Qiana terlebih dahulu mengintip di balik pintu demi memastikan jika Alvan memang sudah keluar dari kamar.
"Haaah…? Baju ini?" Qiana mengangkat baju milik Alvan lalu membulak baliknya berulang kali.
Dengan wajah cemberut Qiana terpaksa memakai baju Alvan. Qiana mematut diri di depan cermin. Dilihatnya tonjolan tubuhnya pada pantulan cermin.
"Yang benar saja!" gerutu Qiana kesal.
Mau tidak mau, suka tidak suka akhirnya Qiana terpaksa memakai baju Alvan apa adanya. Meski membuat benda kenyalnya jadi tercetak di balik baju yang Qiana pakai.
Drttt…
Drttt…
Drttt…
Ponsel Qiana bergetar. Saat melihat nama kontak yang melakukan panggilan, spontan Qiana langsung menolak panggilan itu.
"Qiana…! Kenapa kamu reject?" pekik Gilang kesal.
Tring…
Satu pesan masuk ke dalam ponsel Qiana. Dan itu adalah Gilang yang mengirimkan pesan kepada Qiana.
"Qiana, kamu dimana?" chat Gilang.
Qiana memilih tidur dan mematikan ponselnya dari pada harus berurusan lagi dengan Gilang. Qiana ingin bisa melupakan Gilang untuk selamanya dan menutup pintu hatinya kepada siapa pun laki-laki yang berusaha mendekatinya termasuk Gilang dan Iqbal.
"Sialan! Sekarang gak aktif lagi teleponnya!" sungut Gilang dengan kesal.
Sementara Alvan saat ini tengah meretas cctv di sekitar kediaman keluarga kakek buyut Qiana, sekitar 18 tahun yang lalu.
Sesuai saran Qiana, Alvan mencari informasi mengenai gadis kecilnya itu. Tangannya dengan lincah memencet tombol pada laptopnya.
"Kenapa tidak ada? Apa ada seseorang yang sengaja menghapusnya?" gumam Alvan.
Alvan kembali mencoba mengutak-ngatik laptopnya hingga dia tersenyum saat rekaman cctv itu muncul.
"Gadis kecil itu…!" Alvan menajamkan penglihatannya.
Setelah Alvan mengambil potongan rekaman cctv itu, kemudian Alvan memperbesar gambar yang ada di dalam laptopnya.
"Kalung itu? Aku baru ingat kalau gadis kecilku memakai kalung yang sama dengan kalung yang ada padaku. Bagaimana aku bisa menemukan gadis kecilku, jika kalungnya saja ada padaku. Apa aku harus pergi ke sana?" ucap Alvan pada dirinya sendiri.
Alvan kemudian menutup laptopnya dan menyimpan kembali di dalam tasnya. Alvan tersenyum senang karena mendapat ide baru untuk segera menemukan kebenaran mengenai gadis kecilnya itu.
"Besok semuanya akan segera terungkap. Cepat atau lambat aku akan tahu Imelda adalah gadis kecil itu atau bukan! Saat itulah aku akan tahu semua kebenarannya." Alvan tersenyum simpul. Lalu bergegas ke kamarnya dan pergi tidur.
Qiana bangun dari tidurnya lalu keluar dari kamar dengan cara mengendap-ngendap. Qiana tidak ingin Alvan melihatnya dengan pakaian seperti itu.
"Sudah bangun?" tanya Alvan dingin tanpa menoleh.
"Eh? Pagi banget dia sudah bangun?" batin Qiana tersentak kaget.
"Aku harus pergi! Ada hal penting yang harus aku lakukan, sebelum kita kembali ke Jakarta." ucap Alvan masih dengan posisi yang sama membelakangi Qiana.
"Oke! Hati-hati di jalan." Sahut Qiana dengan berjalan pelan, tak ingin Alvan melihatnya.
Seketika Alvan membalikkan tubuhnya dan menatap Qiana dari ujung rambut sampai ujunga kaki. Alvan terperangah saat melihat penampilan Qiana saat bangun tidur.
Gleeekkk…!
Susah payah Alvan menelan salivanya sendiri, yang terasa kering di tenggorokan.
"Ke… kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Qiana tak enak hati mendapat sorotan tajam dari Alvan.
"Apa aku harus menutup mataku saat melihat ada seorang gadis cantik dan seksi seperti itu berdiri di hadanku, hem?" goda Alvan membuat wajah Qiana jadi bersemu merah.
"Jangan menatapku seperti itu! Aku malu lah…" Qiana tertunduk malu sambil menutupi bagian dadanya yang menerawang. Membuat bagian itu tercetak nyata di balik kaos yang Qiana pakai.
"Tapi sungguh ini pemandangan yang sangat menarik kurasa!" sekali lagi Alvan dengan sengaja menggoda Qiana.
"Kendalikan matamu!" protes Qiana dengan kesal yang hanya ditanggapi Alvan dengan lirikan dan senyuman di wajanya yang tampan.
"Aku pergi dulu!" akhirnya Alvan mengalah untuk segera pergi.
Tidak ingin hal yang di luar kendalinya terjadi, Alvan memilih pergi secepatnya. Padahal hari masih terlalu pagi untuk bertemu dengan Imelda.
"Ya pergilah!" ucap Qiana.
"Kamu tetap di sini! Selama aku pergi jangan keluar dari apartemen dengan pakaian seperti itu!" perintah Alvan.
"Yang benar saja kamu kalau bicara! Kalau pun aku ingin pergi dan jalan-jalan di taman mana mungkin aku akan berpakaian seperti ini?" Qiana mencebikkan bibirnya.
"Ya sudah kamu cari saja di dalam lemariku. Kalau ada pakaian yang cocok, kamu bisa pakai bajuku!" ucap Alvan sebelum akhirnya benar-benar pergi.