Chapter 18 - Bab. 18

Alvan sibuk dengan ponselnya, sehingga tidak menyadari kedatangan Fahlevi dokter muda yang tampan dan satu-satunya sahabat yang memilih menjadi dokter. Ketika keempat sahabatnya yang lain memilih bisnis.

"Bagaimana kabar kamu hari ini, Qiana?" tanya Fahlevi.

"Sudah lebih baik, Dokter!" sahut Qiana.

"Baguslah! Kalau gak ada keluhan lain, lusa kamu baru bisa pulang." ucap Fahlevi.

"Kenapa lusa, Dokter? Bukankah aku sudah membaik dan bisa pulang hari ini?" tanya Qiana.

"Ini hari sabtu, Qiana! Bagian administrasi rumah sakit libur kalau hari sabtu dan minggu." terang Fahlevi.

"Tapi aku mau pulang!" rengek Qiana dengan manja.

"Tunggu sampai sehat benar, Qiana!" Alvan menimpali dengan sikap dingin.

Fahlevi hanya geleng-geleng kepala melihat sikap sahabatnya itu. Lalu melanjutkan tugasnya memeriksa Qiana.

"Gimana mau laku sama cewek! Kalau sikapnya sedingin gunung es seperti itu!" kekeh Fahlevi.

Qiana hanya menimpali dengan senyuman kecil, namun mampu menghadirkan lubang kecil di kedua pipinya.

"Qiana, apa boleh aku tanya sesuatu padamu?" tanya Fahlevi.

"Apa?" sahut Qiana menoleh sekilas lalu kembali memejamkan matanya.

"Dari hasil pemeriksaan kemarin, kamu pernah mengalami cidera di kepala. Selain itu kamu juga pernah mengalami trauma berat. Apa itu benar?" tanya Fahlevi hati-hati.

Seketika mata Qiana terbuka dan menatap wajah tampan Dokter Fahlevi. Qiana mengedarkan pandangannya dan memindai sesekeliling sebelum akhirnya berbicara.

"Dokter, berjanjilah untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun." Pinta Qiana.

"Tentu saja, Qiana! Sebagai seorang Dokter aku pasti akan menjaga setiap rahasia dari pasiennya. Sekarang ceritalah kepadaku, Alvan sedang mencari makan di kantin saat ini. Jadi, kamu tidak perlu khawatir soal itu." Fahlevi membelai lembut punggung tangan Qiana.

Qiana merasa bersyukur dapat bekerja di perusahaan Oma Inge, sebab dari Oma Inge lah Qiana bisa mengenal orang-orang yang baik dan peduli kepadanya seperti Dokter Fahlevi salah satunya.

Walau Qiana dibuang oleh keluarganya sendiri, tapi Qiana masih punya teman dan sahabat yang selalu ada untuknya setelah Abah, Ambu, dan Tetehnya di Bandung.

"Waktu itu…" Qiana menceritakan semuanya kepada Fahlevi tanpa ada yang dia sembunyikan sedikit pun.

"Jadi, itu sebabnya kamu sampai pingsan saat Alvan menunjukkan foto dan kalung gadis kecil yang selama ini Alvan cari?" tanya Fahlevi.

"Ya! Sebab setiap kali aku mengingatnya kepalaku tiba-tiba sakit, dada terasa sesak, mata kabur hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri seperti kemarin." Tutur Qiana.

"Apa kamu tidak ingin memberitahu Alvan mengenai siapa gadis kecil yang dia cari selama ini?" tanya Fahlevi penasaran dengan jawaban Qiana.

"Biarkan dia mencari tahu sendiri mengenai keberadaan gadis kecil itu. Apa lagi gadis kecil itu sudah lama pergi dari tempat itu, setelah kejadian 18 tahun yang lalu." ungkap Qiana membuat Fahlevi bernafas dengan lega atas kejujuran Qiana kepadanya.

Sebagai seorang Dokter juga seorang psikiater, Fahlevi memang membutuhkan keterangan langsung dari Qiana. Agar dikemudian hari saat Qiana tiba-tiba terserang trauma itu lagi, Fahlevi sudah tahu penyebabnya serta memiliki penawarnya.

"Sekarang kamu istirahat dan tidurlah! Siang nanti aku akan memeriksamu kembali." ucap Fahlevi kemudian membantu Qiana memperbaiki letak selimutnya.

"Terima kasih…" ucap Qiana.

"Sama-sama." Jawab Fahlevi kemudian pergi meninggalkan Qiana seorang diri di dalam ruangan.

Tok…

Tok…

Tok…

Pintu ruang perawatan Qiana diketuk seseorang dari luar. Tak lama muncul sosok wanita paruh baya yang selalu menjadi panutan bagi Qiana.

"Omaaa…!" sapa Qiana dengan mata berkaca-kaca.

"Heiii… kenapa kamu menangis?" tanya Oma Inge.

"Aku kangen sama Oma." tangis Qiana.

"Uuuhhh sayang, Oma juga kangen sama kamu!" Oma Inge memeluk Qiana penuh kasih.

Mendapatkan pelukan dari Oma Inge membuat Qiana bisa melepaskan beban berat yang dia simpan sendiri sejak kepergian Fahlevi.

Inilah alasan mengapa Qiana menyimpan rahasia itu sendiri, yang sudah dia bagi tadi hanya kepada Fahlevi seorang.

"Alvan kemana, Qi? Dari tadi Oma belum lihat dia!." Gumam Oma Inge.

"Bang Alvan pergi ke kantin, Oma."

Oma Inge mengeluarkan isi di dalam totebag yang dibawanya. Ada beberapa jenis makanan yang dibawa dari rumah untuk sarapan Alvan, tapi sang cucu sudah lebih dulu pergi ke kantin untuk sekedar mencari ganjal perut.

"Levi sudah datang memeriksamu, Qiana?" tanya Oma Inge.

"Sudah, Oma." jawab Qiana.

"Baguslah! Itu berarti kamu juga sudah minum obat! Sekarang tidurlah! Oma akan menemanimu di sini." ucap Oma Inge.

"Terima kasih, Oma." balas Qiana senang.

Sementara Alvan yang baru selesai mencari sarapan di kantin segera kembali ke ruangan Qiana, setelah Fahlevi mengirimkan pesan kepadanya.

"Gue udah selesai periksa Qiana! Lu balik gih temani Qiana, hibur dia! Saat ini hanya itu yang dia butuhkan. Dukungan dari orang-orang terdekatnya dan juga rasa bahagia yang bisa membuatnya segera pulih." Chat Fahlevi panjang dan lebar kepada Alvan.

"Oke!" Alvan membalas chat Fahlevi dengan singkat, padat, jelas.

Alvan masuk ke dalam ruang perawatan Qiana. Saat melihat sudah ada Oma Inge menemani Qiana, Alvan kemudian mengajak diskusi kepada sang Oma mengenai rencananya ke Bandung.

"Kamu yakin mau melamar gadis itu, Al? Gak akan menyesal?" tanya Oma Inge.

"Aku juga sebenarnya ragu, Oma! Tapi Imelda terus meyakinkan aku, bahwa dialah gadis kecil itu." tutur Alvan.

"Kamu gak akan menyesal dengan keputusanmu, Al?" Oma Inge terus bertanya.

"Kapan kamu akan pergi ke Bandung?" tanya Oma Inge kemudian.

"Sore ini." ucap Alvan.

"Oma gak yakin dengan keputusan kamu itu, Al!" sesal Oma Inge.

"Kenapa, Oma? Bukankah seharusnya Oma senang karena aku akan segera memberikan seorang cucu mantu untuk Oma?" tanya Alvan.

"Jujur saja Oma tidak setuju kamu memberi cucu mantu perempuan lain. Oma inginnya hanya Qiana yang jadi cucu mantu. Bukan yang lain!" ungkap Oma Inge terus terang.

"Jadi, Oma gak merestui hubungan aku dengan Imelda? Bagaimana kalau dia benar-benar gadis kecil itu, Oma?" ujar Alvan mencari berbagai seribu alasan,

"Oma harap ini salah! Dan pada kenyataannya gadis kecil yang sesungguhnya adalah Qiana." sesal Oma Inge.

Tes…

Tanpa Alvan dan Oma Inge tahu, sejak tadi Qiana ikut mendengarkan percakapan mereka berdua. Qiana pura-pura tidur membelakangi mereka demi menutupi rasa bersalah yang menyebabkannya menangis saat ini.

"Al, kamu sudah sampai mana?" tanya Imelda di balik sambungan teleponnya.

"Sebentar lagi sampai." balas Alvan datar.

"Eh? Kenapa Alvan? Bukankah seharusnya dia senang bertemu dengan gadis itu?" batin Papi Billy.

Di rumah sakit Zoya mendapat giliran menjaga Qiana atas perintah Alvan. Sebenarnya Qiana sendiri sudah menolak karena tidak ingin merepotkan siapa pun.

"Gini amat yah derita orang merantau! Jauh dari keluarga. Giliran sakit nyusahin orang lain!" celetuk Qiana di tengah perbincangannya dengan Aurel dan Zoya.

"Jangan begitu, Qiana! Kita semua di sini ada buat kamu! Kita sudah menganggapmu bagian dari keluarga. Jadi, jangan pernah merasa sendiri." balas Zoya.

"Iya, Qi! Kita kan sudah lama bersama, jadi gak ada salahnya kalau kita saling membantu. Kamu kayak sama siapa aja!" sahut Aurel.

Kring…

Kring…

Kring…

Ponsel Zoya berbunyi. Dengan cepat Zoya menjawab panggilan telepon dari sang Kakak.

"Mana Qiana?" tanya Alvan.

Zoya langsung menyerahkan ponselnya kepada Qiana.

"Siapa?" tanya Qiana mengerutkan dahinya.

"Bang Alvan." Jawab Zoya.

"Ngapain?" Qiana ragu mengangkat telepon dari Alvan.

"Bicara saja." Zoya memaksa Qiana.

Diam-diam Zoya merekam percakapan mereka atas perintah Alvan. Walau berada di Bandung saat ini, tapi Alvan juga ingin tahu perkembangan Qiana. Sebab Qiana sakit karena ulahnya juga.

"Ada apa?" tanya Qiana di balik telepon.

"Jangan katakan itu lagi! Atau aku akan marah padamu!" ancam Alvan.

"Aku tidak butuh belas kasihan siapa pun! Apa lagi kamu!" bentak Qiana.

Zoya dan Aurel saling tatap tak percaya dengan yang Qiana lakukan. Selama ini tidak ada yang berani membantah seorang Alvan Pratama Putra Wijaya.

"Berani menentangku kamu akan mendapatkan hukuman dariku!" seru Alvan.

"Coba saja kalau berani!" tantang Qiana.

"Qianaaa!!!" teriak Alvan geram.

Tut…

Tut…

Tut…

Qiana memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, membuat Alvan geram.

Bandung, Agustus 2020…

"Beraninya Qiana menutup teleponku!" Alvan geram seraya mengepalkan tangannya.

"Ada apa, Al?" tanya Papi Billy.

"Qiana membuat aku marah, Pi!" ucap Alvan..

"Eh? Kenapa putraku jadi aneh seperti ini?" batin Papi Billy.

Setelah bertemu dengan keluarga besar Imelda. Akhirnya didapat kesepakatan bahwa Alvan akan melamar Imelda minggu depan.

"Kami setuju jika acara tunangannya minggu depan." sambut Dodi ayah Imelda.

"Lebih cepat lebih baik." ucap Maryam ibunda Imelda.

"Kalau kalian mengizinkan, aku akan tidak ingin acara pertunangan nanti tidak diliput awak media, bagaimana?" usul Alvan.

"Kenapa begitu?" tanya Dodi.

"Karena aku ingin acara itu benar-benar sakral dan hanya dihadiri pihak keluarga saja." balas Alvan.

Sementara Papi Billy hanya diam mendengarkan keinginan Alvan. Sebenarnya Papi Billy sendiri tidak setuju dengan keputusan Alvan.

Sama dengan sang mami, Papi Billy lebih menyukai Qiana yang jadi menantunya. Papi Billy bisa menilai bagaimana sikap Imelda saat ini walau baru bertemu.

"Kamu gak salah pilih calon istri, Al?" sesal Papi Billy saat mereka sudah berada di apartemen milik Alvan.

"Kenapa memangnya, Pi?" tanya Alvan.

"Kamu ini bego atau apa, Al?" keluh Papi Billy.

"Maksud Papi?" tanya Alvan.

"Papi bisa lihat bagaimana Imelda dan keluarganya. Mereka hanya memanfaatkan popularitas Oma saja. Papi ingatkan lagi sama kamu, Al! Jangan sampai kamu mengulangi kesalahan Papi di masa lalu." ucap Papi Billy tegas.

"Papi apaan sih? Aku gak sebodoh itu, Pi! Aku melakukan ini karena punya kepentingan saja." balas Alvan enteng.

"Maksud kamu?" tanya Papi Billy dengan raut wajah terkejut.

"Papi lihat saja nanti, kalau aku tidak akan salah pilih calon istri!" ucap Alvan bangga.

"Terserah!" Papi Billy berlalu dari hadapan Alvan dan memilih masuk ke dalam kamarnya.

Papi Billy membuka lemari hendak mencari baju untuk ganti.

"Alvaaan…!" teriak Papi Billy.

"Ada apa, Pi? Kenapa Papi berteriak?" tanya Alvan.

"Baju siapa ini?" tanya Papi Billy.

"I… itu… itu baju Qiana , Pi." jawab Alvan.

"Berani kamu membawa Qiana ke sini? Apa kalian sudah…" Papi Billy menghentikan ucapannya.

"Papiii… aku gak segila itu!" Alvan mendelik kesal.

"Cepat pindahkan ke kamarmu! Kalau mamimu tahu, Papi bisa digantung di Monas ini!" celetuk Papi Billy membuat Alvan terkekeh.

"Aku rasa Tante Erlin hanya akan memotong burung Papi saja!" timpal Alvan tertawa keras.

"Ish… kamu ini!" umpat Papi Billy.

Sampai kapan pun Alvan tidak ingin mengakui Berlinda sebagai ibu tirinya. Statusnya memang istri sang Papi tapi bukan ibu kandung yang akan menggantikan perempuan yang sudah melahirkannya yang sebenarnya dia benci.

Seminggu kemudian…

"Bisa ketemu di café?" chat Alvan kepada Imelda.

"Dimana?" balas Imelda.

Alvan kemudian mengirim lokasi diman dia berada saat ini. Alvan ingin memberikan sedikit kejutan untuk Imelda sebelum nanti malam mereka tunangan.

"Oke! Sebentar lagi aku datang." chat Imelda.

"Aku tunggu!" balas Alvan.

"Oke!" balas Imelda dengan emot love.

Sepuluh menit kemudian Imelda datang ke café dimana Alvan berada.

"Kamu datang sendiri?" tanya Alvan membuka kursi untuk Imelda.

"Ya dong! Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua denganmu, Al." ucap Imelda genit.

"Bagus!" Alvan tersenyum miring.

"Pesan makanan! Apa pun yang kamu suka." titah Alvan.

"Aku sedang diet. Aku ingin langsing saat kita menikah nanti." celetuk Imelda.

"Haaah? Ngarep!" batin Alvan.

Alvan hanya memesan cappucino kesukaannya. Sedangkan Imelda memesan orange jus.

"Apa kamu mengenal gadis kecil di dalam foto ini?" tanya Alvan.

"Mana?" Imelda mengambil ponsel Alvan.

Imelda memperhatikan foto yang ada di layar ponsel Alvan dengan seksama. Dengan nada mengejek Imelda tertawa keras menunjuk orang yang ada di dalam foto itu.

"Hahaha… emang dasarnya jelek dia! Dari kecil saja sudah jelek seperti ini, besar pun dia masih juga jelek. Gadis dekil dan kucel ini Qiana, Al!" Ejek Imelda.

Deg…!

Jantung Alvan terasa berhenti berdetak. Bagai petir yang menyambar, ucapan Imelda terasa memekakan gendang telinganya.

Tubuh Alvan bergetar hebat, tangannya mengepal dan gemetar. Keringat mulai bercucuran dengan rahang yang mulai mengeras.

"Jadi… gadis kecil dalam foto itu, Qiana?" Alvan mencoba tenang.

"Ya! Dia memang, Qiana." balas Imelda.

"Apa kamu yakin?" tanya Alvan tetap tenang.

"Yakinlah! Memangnya kenapa kamu menanyakan itu padaku? Apa Qiana melakukan kesalahan padamu di masa lalu?" celetuk Imelda tanpa sadar.

"Kamu benar! Di masa lalu Qiana sudah berbuat kesalahan karena dia sudah dengan berani membuat aku jatuh ke dalam lumpur. Secara tidak langsung Qiana juga yang sudah menyelamatkan aku dari kejadian 18 tahun yang lalu. Jadi kamu tahu apa artinya? Qiana adalah gadis kecil yang sedang aku cari selama ini. Dan kamu… kenapa kamu menipuku, Imel?" ucap Alvan geram.

"A… ak… aku… aku tidak bermaksud seperti itu, Al! Aku hanya ingin menyelamatkan kamu saja dari tipu daya Qiana. Dia itu gadis yang jahat! Qiana bukan gadis yang baik, dan dia tidak cocok denganmu, Al!" cerocos Imelda.

"Diam!!!" bentak Alvan.

Imelda terkejut dan memilih untuk diam saat melihat mata Alvan memerah dengan wajah yang sangat mengerikan, bak monster yang akan menelannya kapan saja.

"Ma… maafkan aku, Al!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Imelda.

"Maaf katamu? Setelah kamu mempermainkan perasaanku dan menipuku, kamu bilang maaf?" Alvan meluapkan emosinya

"Katakan apa maumu, Al?" tantang Imelda.

"Kamu menantang aku? Baiklah! Sekarang aku tanya padamu. Apa kamu ingin melanjutkan pertunangan nanti malam?" pancing Alvan.

"Tentu saja pertunangan nanti malam harus berlanjut, jika tidak…" Imelda terdiam sesaat.

"Jika tidak, apa?" tanya Alvan.

"Keluargaku akan menanggung malu! Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi." sahut Imelda.

"Bagaimana bisa?" tanya Alvan

"Kenapa tidak bisa?" Imelda tetap memaksa.

"Kamu bukan gadis kecil yang aku cari selama ini. Kamu juga bukan gadis kecil yang sudah menyelamatkanku 18 tahun yang lalu. Gadis kecil yang sesungguhnya adalah Qiana. Mana mungkin kamu bisa menjadi gadis kecil itu, sementara yang menolongku saat itu adalah Qiana. Aku tidak ingin menikah dengan seorang penipu sepertimu, Imel!" ungkap Alvan terus terang.

"Jadi maksudmu, kamu ingin membatalkan pertunangan kita?" tanya Imelda.

"Ya!" jawab Alvan yakin.

"Kamu jahat, Alvan! Kamu sudah memberiku harapan palsu! Kamu juga akan mempermalukan keluargaku! Aku tidak bisa terima semua ini!" tangis Imelda pecah.

"Salahmu sudah menipuku!" Alvan pergi meninggalkan Imelda seorang diri. Sementara Imelda masih tergugu dengan rasa kecewa dihatinya terhadap Alvan.