Chapter 15 - Bab. 15

Alvan membawa Qiana masuk ke dalam butik cabang milik Oma Inge yang ada di sekitaran kota Bandung.

"Bang Al!" sapa salah satu pegawai di butik milik Oma Inge.

"Aku butuh baju buat tunanganku. Tolong carikan yang pas untuknya!" perintah Alvan pada pegawai butik itu.

"Baiklah!" jawabnya patuh.

Alvan lalu mengajak Qiana keliling butik untuk melihat seluruh isi butik. Saat ada beberapa pasang mata yang menatap heran pada Qiana, spontan Alvan langsung bersuara.

"Jangan menatapnya seperti itu! Dia tunanganku!" seru Alvan membuat yang lain seketika mengalihkan pandangannya dari Qiana dan Alvan.

Terdengar bisik-bisik tetangga yang bergunjing membicarakan Alvan dan Qiana. Terutama mengenai penampilan Qiana yang aneh karena memakai baju Alvan yang longgar. Lebih mirip orang-orangan sawah yang pakai baju setengah bahan.

"Eheeemmm…" deheman Alvan mampu membuat suasana hening seketika.

"Udah biarin aja!" Qiana menyiku perut Alvan.

"Kalau ingin belanja di butik ini, belanjalah! Tidak usah mengomentari apa yang tidak perlu kalian komentari selain pakaian yang ingin kalian beli, bukan malah mengomentari yang lain yang tidak ada hubungannya dengan yang kalian ingin beli di butik ini. Paham?" tutur Alvan.

"Kamu gak usah berlebihan seperti itu! Biarkan saja mereka bicara semaunya. Aku gak terpengaruh juga dengan ucapan mereka. lagi pula kenapa juga kamu harus mengenalkan aku sebagai tunangan kamu kepada mereka." protes Qiana.

"Aku tidak suka ada orang yang menjelek-jelekkan kamu, Qiana!" bisik Alvan.

"Kalau aku memang jelek seperti yang mereka bilang, kamu mau apa?" Qiana menantang Alvan.

"Dimataku kamu terlihat cantik dan sempurna, Qiana." ucap Alvan masih mode berbisik.

"Hemmm. Terserah!" Qiana memutar bola mata dengan malas.

Setelah mendengar apa yang Alvan katakan dan tahu siapa Alvan sebenarnya, semua pengunjung dan pegawai toko akhirnya tidak lagi membahas soal Qiana. Mereka kembali beraktivitas seperti biasa.

"Bang Al! aku sudah menyiapkan beberapa pakaian untuk tunangannya. Bisa dicoba dulu barang kali." ucap pegawai itu yang bernama Dini.

"Qiana, kamu ikut Dini!" perintah Alvan kali membuat Qiana tidak berani melawan.

Qiana kali ini mengikuti Dini untuk pergi ke kamar ganti. Qiana diminta Alvan untuk mencoba baju yang dibawa Dini satu persatu.

"Kalau yang ini bagaimana, Bang Al?" tanya Dini saat Qiana memakai baju pertama.

"Bagus!" jawab Alvan dingin.

Sampai baju keempat yang Qiana coba Alvan hanya memberikan komentar kata 'bagus' dengan nada datar dan dingin. Saat baju kelima yang dibawa Dini untuk dicoba Qiana, Dini tidak lagi meminta pendapat Alvan.

"Sssttttt… ini yang terakhir! Bagus atau tidak, aku akan tetap memilih ini. Aku udah cape gonta ganti baju tapi ujung-ujungnya kamu bilang semua bagus. Aku pilih ini saja!" ucap Qiana spontan membuat Alvan menoleh seketika.

Untuk beberapa detik Alvan terkesima melihat penampilan Qiana. Mata Alvan tak berkedip saat Qiana keluar dengan pakaian terakhir yang Dini pilihkan untuk Qiana.

"Cantik sekali kamu, Qiana…" ucap Alvan tanpa sadar.

"Sepertinya Bang Al suka melihat kamu pakai baju ini." bisik Dini membuat Qiana memutar bola mata dengan malas.

"Dini, ambilkan satu untuk Qiana! Masukkan dalam tagihanku saja!" ucap Alvan tak sedikit pun berkedip melihat Qiana.

"Heiii…! Biarkan aku membayarnya dengan uangku sendiri! Aku tidak butuh uangmu apa lagi belas kasihanmu, Tuan Alvan Pratama Putra Wijaya!" Seru Qiana tersenyum masam.

"Eh? Aku yang mengajakmu ke sini, Qiana! Itu artinya aku yang akan membayarnya untukmu." ucap Alvan tersenyum puas.

"Tapi aku tidak mau berhutang padamu!" protes Qiana.

"Aku tidak akan menghitung ini sebagai hutangmu kepadaku. Anggap saja ini sebagai bonus bagianmu karena selalu membantu Oma dalam setiap pekerjaannya. Jika Oma tahu, Oma juga pasti setuju denganku. Jadi, jangan menolaknya!" ujar Alvan dengan tegas.

"Heuuuhhh. Baiklah!" Qiana manut pada ucapan Alvan kali ini.

Setelah selesai membelikan baju untuk Qiana, Alvan mengajak Qiana kembali melanjutkan perjalanannya.

"Sumpah Qiana cantik sekali pakai baju itu!" batin Alvan gemas melihat Qiana yang semakin imut-imut.

"Kenapa sih lihatin aku gitu amat?" tanya Qiana ketus dengan bibir mengerucut.

"Memangnya kalau aku suka melihatmu dengan baju itu kenapa? Kamu keberatan?" goda Alvan menaik turunkan alisnya.

"Ish… mana ada! Gak boleh seperti itu menatapnya. Aku gak mau!" celetuk Qiana.

"Kenapa?" tanya Alvan mengerutkan dahinya.

"Aku gak suka." jawab Qiana datar.

"Apa kamu marah?" tanya Alvan tersenyum tipis.

"Tidak!" jawab Qiana.

"Lalu?" tanya Alvan lagi.

"Aku hanya tidak ingin saat ada seorang laki-laki memperlakukan aku dengan sangat baik dan penuh perhatian, jika pada akhirnya laki-laki itu akan menyakiti aku dan pergi meninggalkan aku dengan wanita lain." ucap Qiana jujur.

"Pfffttt… hahaha…" Alvan tertawa keras sambil memukul-mukul setir mobilnya.

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Qiana bingung.

"Setakut itu yah kamu sama aku?" goda Alvan membuat Qiana semakin bingung.

"Maksudnya apa sih?" Qiana tidak menyadari ucapannya sendiri.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Biar itu menjadi sebuah peringatan untukku!" ucap Alvan serius.

"Apa lagi ini maksudnya?" Qiana memperbaiki posisi duduknya dan menghadap kepada Alvan.

"Perjalanan kita masih jauh. Tidurlah!" Alvan tidak ingin terus membahasnya.

Qiana menatap Alvan dengan penuh tanya. Sementara Alvan hanya tersenyum tipis yang tetap memperlihatkan dua lubang di kedua pipinya. Menambah kesan semakin tampan pada pemuda berusia 28 tahun itu.

Jakarta, Agustus 2020…

"Kamu lapar? Aku belum makan apapun." tanya Alvan saat sudah memasuki wilayah Jakarta.

"Aku juga sangat lapar. Kepalaku sampai pusing. Perutku juga sudah miscall terus beberapa kali, karena belum makan apa pun tadi pagi." Jawab Qiana seraya memegang perutnya yang sudah keroncongan.

"Kalau begitu di depan ada café kita berhenti untuk makan dulu." ajak Alvan membuat Qiana senang.

Alvan dan Qiana segera masuk ke dalam sebuah café. Setelah mendapatkan tempat duduk di sebuah sudut ruangan yang menghadap ke sebuah taman, meja mereka di datangi seorang pelayan yang membawa buku menu.

"Kamu mau pesan apa, Qiana?" tanya Alvan.

"Aku mau pesan ini, ini, dan ini. Minumannya aku mau ini." ucap Qiana menunjuk beberapa menu makanan favoritnya.

Sedangkan Alvan memilih semua makanan yang Qiana pesan. Entah apa yang ada dipikiran Alvan saat ini, apa pun yang Qiana lakukan dan makanan apa pun yang Qiana suka dia ingin sekali mencobanya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Qiana.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Jawab Alvan ragu.

"Apa?" tanya Qiana.

"Ini soal Imelda, sepupumu." ucap Alvan dengan wajah ditekuk.

"Ada apa dengan, Imel?" Qiana penasaran.

"Aku rasa dia hanya mau memanfaatkan aku saja! Dia sepertinya bukan gadis yang aku selama ini." Alvan menghela nafasnya semakin dalam dan membuangnya kasar.

Qiana melihat kegelisahan di dalam diri seorang Alvan. Sebenarnya Qiana sendiri belum paham betul dengan pribadi Alvan.

Qiana selama ini memang tidak dekat dengan Alvan, tidak seperti Gherry, Evan, dan Rayn yang begitu dekat dengan Qiana.

"Maksud kamu, Imelda menipumu?" tanya Qiana penuh selidik.

"Apa kamu tidak marah jika aku berkata jujur soal Imelda?" Alvan balik bertanya dengan sangat hati-hati.

"Tidak! Meski pun dia adalah sepupuku, jika dia bersalah atau menipu. Aku tidak akan membelanya. Aku tetap ada dipihakmu." ucap Qiana membuat Alvan merasa lega.

Saat Alvan masih berbincangan, pesanan sudah datang. Pelayan segera menyajikannya di atas meja. Karena sudah sangat lapar, Alvan dan Qiana bergegas makan terlebih dahulu dan melupakan sejenak mengenai Imelda.

"Apa sudah kenyang?" tanya Alvan.

"Ya!" jawab Qiana.

"Kalau begitu kita pulang sekarang!" ajak Alvan.

"Oke!" sahut Qiana.

Alvan dan Qiana segera bertolak ke kediaman rumah Oma Inge. Lima belas menit berlalu mobil yang membawa Alvan dan Qiana sudah sampai di rumah keluarga Pratama Wijaya.

"Omaaa… aku pulang!" teriak Alvan dari depan pintu.

Kebiasaan Alvan jika pulang ke rumah selalu saja berteriak seperti itu. Seolah memberitahu sang Oma jika dirinya sudah datang dan sangat merindukan pelukan hangat dari orang yang paling Alvan sayangi.

"Kebiasaan deh teriak begitu!" protes Oma Inge dengan mata mendelik, namun tetap memberikan pelukan hangat kepada Alvan.

"Aku kan kangen sama, Oma." Alvan membalas memeluk Oma Inge.

Qiana yang baru tahu jika Alvan sedekat itu dengan Oma Inge, jadi terpana melihat kehangatan seorang Oma dan cucu kesayangan.

Satu hal yang tidak pernah Qiana dapatkan dari sang nenek mau pun sang kakek, sejak dia masih kecil hingga saat ini.

"Qiana, kamu kenapa?" Oma Inge melepaskan pelukan Alvan, untuk menghampiri Alvan.

"Eh? Oma melepaskan pelukannya dariku demi Qiana? Hal yang tak pernah Oma lakukan sebelumnya. Saat bertemu dengan siapa pun, Oma tidak pernah melepaskan pelukannya dari aku. Tapi… kenapa saat ada Qiana, Oma melepas pelukannya begitu saja dariku? Apa Qiana lebih berharga dari aku?" batin Alvan geram.

Rasa kecewa Alvan seketika telah merusak semua kejadian indah yang dia lalu bersama dengan Qiana saat mereka berada di Bandung.

Alvan benar-benar melupakan semua perasaannya kepada Qiana, karena kasih sayang Oma Inge terhadap Qiana. Kecemburuan Alvan menghancurkan semua kebahagiaannya dengan Qiana.

"Qiana! Aku tidak akan membiarkanmu bisa semudah itu mengambil Oma dariku!" gumam Alvan menatap sinis kepada Qiana yang sedang dipeluk oleh Oma Inge.

"Eh? Kenapa dia menatapku seperti itu?" Qiana terkejut melihat Alvan yang menatapnya dengan sinis.

Setelah Oma Inge melerai pelukannya kepada Qiana, Alvan segera meraih pundak Oma Inge dan merengkuh wanita paruh baya itu dengan penuh perhatian.

"Oma, aku masih kangen sama Oma! Jauh dari Oma rasanya membuatku tidak bisa tidur dengan baik." ujar Alvan manja kepada Oma Inge.

"Huuuh… dasar manja!" Oma Inge mengapit hidung mancung Alvan dengan gemas.

Qiana hanya tersenyum menyaksikan interaksi antara Oma Inge dan Alvan. Qiana membayangkan betapa bahagianya Alvan mempunyai seorang Oma yang begitu sayang dan perhatian kepada seperti Oma Inge.

"Kalian sudah makan?" tanya Oma Inge yang kemudian duduk di samping Alvan.

"Sudah, Oma." jawab Qiana, sementara Alvan mendengus kesal.

"Kalian pasti cape. Istirahat saja dulu di kamar." ucap Oma Inge.

Melihat sikap Alvan yang tiba-tiba berubah jadi jutek, membuat Qiana ingin segera pergi dari kediaman keluarga Pratama Wijaya secepatnya.

"Oma, aku mau langsung kembali ke apartemen. Aurel sudah menungguku." ujar Qiana.

"Tapi kamu baru saja datang, Qiana? Kamu pasti cape." Oma Inge menanggapi.

"Tidak apa-apa, Oma. Kasihan Aurel sejak tadi terus menghubungiku menanyakan kapan aku pulang." Sahut Qiana beralasan.

"Eh? Kenapa dia berbohong?" Alvan melirik dengan ekor matanya pada Qiana.

"Istirahat sebentar saja, Qi…" pinta Oma Inge keukeuh.

"Maaf, Oma. Aku benar-benar harus kembali ke apartemen." Qiana tidak enak hati dengan tatapan sinis Alvan kepadanya.

"Ya sudah kalau kamu terus memaksa. Oma tidak bisa menahanmu lagi, Qiana. Biar Alvan yang mengantarmu pulang." ucap Oma Inge membuat Alvan semakin kesal.

"Oma apa-apaan sih? Giliran Qiana mau pulang aja! Ditahan. Aku harus ngantar, Qiana? Cape! Oma gak peduli… bener-bener Qiana udah bikin Oma menduakan kasih sayangnya sama aku." Batin Alvan semakin marah pada Qiana.

Tak terasa kedua tangan Alvan mengepal menahan emosi. Qiana yang melihat itu sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk segera pergi dari rumah Oma Inge.

"Oma, aku naik ojek aja. Biar aku pesan ojek online seperti biasa. Supaya cepat sampai." Qiana terus berusaha meyakinkan Oma Inge.

"Sudah biar Alvan yang antar kamu saja!" Oma Inge tetap memaksa.

"Oma, kasihan Bang Alvan juga cape habis perjalanan jauh dari Bandung. Aku sendiri hanya tiduran di dalam mobil, sementara Bang Alvan yang mengemudikan mobilnya pasti cape." bantah Qiana.

"Al, cepat antar Qiana kembali ke apartemennya." Perintah Oma Inge.

"Omaaa, aku cape. Aku mau istirahat." sela Alvan.

"Al!" mendapat tatapan mata melotot dari Oma Inge membuat Alvan mengalah.

Alvan segera membawa kunci mobil dan berniat mengantar Qiana. Setelah pamit kepada Oma Inge, Qiana akhirnya kembali ke apartemen dengan diantar pulang oleh Alvan.

"Kenapa Oma begitu perhatian padamu?" tanya Alvan ketus.

"Kenapa kamu menanyakan itu padaku? Kamu tanya saja sama Oma. Aku mana tahu kenapa sikap Oma sebaik itu padaku." jawab Qiana membuat Alvan tak puas.

"Jangan berdalih seperti itu! Melihatmu seperti itu aku jadi ingat Imelda. Dia sepupumu, sifatnya seperti itu pasti tidak jauh darimu yang pandai menjilat lidah. Bukan begitu, nona Qiana?" Alvan menatap Qiana dengan tatapan membunuh.

"Kamu ini kenapa sih? Kadang kasar tiba-tiba berubah begitu manis dan sekarang kamu jadi sinis seperti ini? Kamu salah makan obat?" tanya Qiana tak kalah sinis.

Alvan tidak menjawab pertanyaan Qiana. Saat ini Alvan sedang dilemma dengan perasaannya sendiri. Disatu sisi dia menyukai Qiana, di sisi yang lain dia tidak ingin berbagi kasih sayang sang Oma dengan siapa pun.

"Kenapa ikut turun?" tanya Qiana saat sudah sampai di apartemen.

"Kalau bukan karena Oma yang meminta. Jangankan untuk turun, mengantarmu saja aku ogah banget!" ucap Alvan penuh penekanan.

"Kalau gak ikhlas gak usah dipaksa. Bukannya mendapat pahala yang ada kamu cape sendiri." celetuk Qiana.

Alvan tidak menanggapi ucapan Qiana. Dia terus saja berjalan di depan Qiana. Saat berada di dalam lift mereka hanya membungkam.

"Rayya…?" batin Alvan saat sudah keluar dari dalam lift.

Alvan menghentikan langkah kakinya dan berbalik badan seketika. Sebelum Rayya menyadari keberadaannya dan Qiana, Alvan segera mendorong tubuh Qiana ke dinding lalu mengunci tubuh Qiana dengan mengapitnya diantara tembok.

Cup…

Alvan mencium Qiana tanpa permisi. Qiana yang mendapatkan serangan tiba-tiba hanya membelalakkan matanya, karena terkejut dengan Alvan yang tiba-tiba menciumnya dengan nafas memburu.

"Emmmpppttt…" Qiana berusaha mendorong tubuh Alvan.

"Al…?" Rayya tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Alvan segera melepaskan pagutannya dari Qiana, setelah yakin jika Rayya sudah melihatnya mencium Qiana.

"Ra… Rayya?" Alvan pura-pura salah tingkah, sementara Qiana jadi mengerti kenapa Alvan tiba-tiba saja menciumnya.