"Ti… tidak mungkin!" ucap Qiana lirih.
"Apanya yang tidak mungkin, Qiana?" tanya Alvan.
"Ka… kamu dapat foto ini darimana?" tanya Qiana dengan bibir bergetar.
"Bukankah saat berada di Bandung kamu meminta aku untuk mencari informasi lebih jauh lagi mengenai gadis kecil itu? Dan yah, aku mengikuti saranmu! Aku sudah mendapatkan rekaman cctv 18 tahun yang lalu di lokasi kejadian. Dan itulah gadis kecil yang aku cari selama ini. Mungkin dengan aku menunjukkan foto gadis kecil itu kepadamu, kamu bisa membantuku untuk mengetahui siapa gadis kecil itu sebenarnya. Dan menemukannya untukku." Alvan menuturkan keinginannya kepada Qiana.
"Dia… gadis kecil ini…" tubuh Qiana gemetar.
"Kamu mengenalnya?" tanya Alvan penuh selidik.
Qiana menatap wajah tampan Alvan tak percaya. Baginya ini seperti mimpi! Qiana yakin dengan berbekal foto ini, Alvan akan segera menemukan gadis kecilnya itu yang selama 18 tahun ini dia cari.
"Apa kamu mengenal gadis kecilku itu, Qiana?" sekali lagi Alvan bertanya.
"A… aku… aku…" bibir Qiana seolah terkunci.
"Aku juga masih menyimpan kalung gadis kecil itu, yang tak sengaja tersangkut dikancing bajuku saat itu. Entah gadis kecilku itu menyadarinya atau tidak. Tapi saat aku bertemu dengannya nanti, aku akan mengembalikan kalung ini kepadanya." Alvan menunjukkan kalung itu kepada Qiana.
Dan… lagi-lagi Qiana menatap tak percaya dengan apa yang Alvan tunjukkan kepadanya. Qiana mundur selangkah saat menggenggam kalung milik gadis kecil yang Alvan cari.
Brukkk…
Seketika tubuh Qiana ambruk di atas dinginnya lantai di dalam ruangan Alvan. Melihat tubuh Qiana terjatuh begitu saja, spontan Alvan berdiri dan menghampiri Qiana.
"Qiana, kamu kenapa?" Alvan menepuk pelan pipi Qiana.
Qiana sudah tidak sadarkan diri. Bahkan dalam keadaan seperti itu air mata terus saja mengalir dari sudut kedua matanya.
"Qiana, bangun!" Alvan terus menepuk pipi Qiana memintanya agar segera bangun.
Alvan segera meraih ponselnya dan menghubungi sahabatnya. Alvan meminta Fahlevi yang berprofesi sebagai seorang dokter itu untuk segera datang ke kantornya.
"Lev, gue minta lu cepat datang ke kantor gue sekarang!" pinta Alvan dengan suara yang terdengar cemas.
"Ada apa, Al? Lu baik-baik aja kan?" tanya Fahlevi ikut panik.
"Qiana, dia tidak sadarkan diri di kantor gue! Lu buruan datang yah!" sekali lagi Alvan meminta kepada sahabatnya itu.
"Oke!" Alvan dan Fahlevi segera mengakhiri panggilannya.
Alvan mengangkat tubuh Qiana ke atas sofa yang berada di dalam ruangannya. Tangan Qiana masih menggenggam erat kalung milik gadis kecil itu.
"Bianca, cepat datang ke ruanganku!" perintah Alvan pada sekertaris pribadinya.
"Baik, Bang Al!" jawab Bianca.
Alvan yang tidak ingin dipanggil bapak oleh seluruh karyawannya, meminta disapa dengan sebutan 'Abang' agar terdengar lebih muda. Sebab Alvan menolak untuk menjadi tua di usianya yang sudah memasuki 28 tahun itu.
"Ya ampun! Qiana kenapa, Bang Al?" Bianca kaget saat melihat Qiana berbaring di atas sofa.
"Aku juga gak tahu kenapa Qiana tiba-tiba pingsan." jawab Alvan bingung.
"Apa perlu aku panggilkan dokter, Bang Al?" tanya Bianca kemudian.
"Tidak perlu! Aku sudah meminta Levi datang kemari. Sekarang kamu tolong buatkan teh manis buat Qiana, agar saat dia bangun langsung minum teh manisnya." ujar Alvan.
"Baik! Akan segera aku buatkan sekarang!" Bianca berlalu dari hadapan Alvan menuju pantry.
Tak selang berapa lama Fahlevi datang. Dengan bantuan alat yang dibawanya, Fahlevi memeriksa keadaan Qiana dengan seksama.
"Kenapa bisa seperti ini, Al? Apa yang udah lu lakuin sama, Qiana?" pertanyaan Fahlevi membuat Alvan terkejut.
"Lu nuduh gue, Lev?" Alvan balik bertanya.
"Gak lah! Gue cuma heran aja dengan kondisi Qiana." ungkap Fahlevi.
"Memangnya Qiana kenapa, Lev?" kini Alvan tampak lebih cemas dari sebelumnya.
"Gue rasa Qiana shock. Ini yang membuat dia sampai pingsan. Makanya gue nanya sama lu! Qiana udah lu apain?" celetuk Fahlevi dengan tatapan membunuh.
"Kondisikan mata lu! Gue kagak ngapa-ngapain nih cewek! Tadi gue cuma lihatin foto ini aja sama Qiana. Gue juga nunjukin kalung ini." ucap Alvan apa adanya.
"Nah itu maksud gue! Dasar lu nya aja yang otaknya kelewat mesum. Pikiran lu udah kotor aja!" Fahlevi terkekeh sementara Alvan jadi mencebikkan bibirnya dengan kesal.
"Terus sekarang gue mesti gimana? Gue gak mau sampai Oma tahu keadaan Qiana. Bisa mati berdiri gue kena semprot Oma! lu kan tahu sendiri kalau Oma sayang banget sama, Qiana." sesal Alvan dengan wajah memelas.
"Heuuuhhh…!" jawab Fahlevi datar.
Pukkk…!
Alvan menepuk bahu sahabatnya itu pelan. Sementara Fahlevi hanya terkekeh melihat wajah Alvan yang sempat menegang lantaran takut amukan sang Oma.
"Bang Al, ini teh manisnya!" seru Bianca yang datang membawa segelas teh manis panas di atas nampan.
"Terima kasih!" Fahlevi langsung menyambar gelas di atas nampan yang dibawa Bianca.
Tap!
Alvan menahan tangan Fahlevi yang hendak meminum teh manis buatan Bianca. Lalu Alvan merebut gelas itu dari tangan Fahlevi.
"Enak aja! Gue minta Bianca buatin ini bukan buat lu! Tapi buat Qiana!" seru Alvan membuat Fahlevi garuk-garuk kepala sambil nyengir kuda, sementara Bianca jadi tertawa geli melihat tingkah kedua sahabat itu.
"Qiana gak akan bangun secepat itu, Al! Jadi, daripada gak ada yang minum, mending lu kasih aja buat gue! Ini juga kan karena Bianca yang bikin dengan tangannya sendiri. Apa salahnya gue yang minum. Iya kan?" goda Fahlevi menaik turunkan kedua alisnya membuat Bianca jadi tersipu.
"Terserah!" Alvan mendelik kesal.
"Sekarang lu telepon supir gih! Minta siapin mobil buat bawa Qiana ke rumah sakit! Qiana harus dirawat beberapa hari di rumah sakit." Kata-kata Fahlevi bagai sambaran petir di telinga Alvan.
"Separah itukah?" tanya Alvan dengan mulut yang menganga lebar dan mata membulat sempurna.
"Al, dia bukan pingsan karena kecapean atau telat makan! Qiana ini pingsan karena shock berat. Gue gak mau sampai dia kena serangan jantung!" ucap Fahlevi tegas.
Deg!
Dada Alvan berdebar kencang saat Fahlevi memberitahu kebenaran mengenai kondisi Qiana saat ini. Ada perasaan bersalah dalam diri Alvan karena sikapnya akhir-akhir ini kepada Qiana sangat dingin.
"Maafkan aku, Qiana!" batin Alvan lirih.
Alvan segera menghubungi supir untuk menyiapkan mobil, dan mengantarnya membawa Qiana ke rumah sakit.
Sementara Fahlevi menghubungi pihak rumah sakit agar mempersiapkan kamar rawat inap untuk Qiana. Sebab Qiana sudah ditangani lebih dulu oleh Fahlevi sebelumnya, sehingga tidak lagi perlu masuk ruang IGD.
"Apa?" Oma Inge terkejut saat Alvan memberitahu jika Qiana berada di rumah sakit saat ini.
Oma Inge segera mendatangi Papi Billy di ruangannya dan mengajaknya pergi bersama Oma Inge, menuju rumah sakit untuk melihat keadaan Qiana.
"Bagaimana keadaan Qiana, Al?" tanya Oma Inge panik saat sudah sampai di ruang perawatan Qiana.
"Qiana belum sadar, Oma." jawab Alvan dengan wajah ketakutan.
"Kamu kenapa melihat Oma seperti itu, Al?" tanya Papi Billy saat melihat reaksi Alvan.
"Ak… aku… aku gak apa-apa, Pi!" jawab Alvan gugup.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Qiana, Al?" tanya Oma Inge.
Deg!
pertanyaan yang sangat Alvan hindari sejak tadi, akhirnya terlontar juga dari bibir merah gincu Oma Inge.
Alvan menelan salivanya dengan susah payah, karena terasa kering dan tercekat di tenggorokan. Alvan tidak lagi dapat menyembunyikan kebenaran kepada sang Oma, jika Qiana seperti keadaannya karena dirinya.
"Ma… maaf, Oma!" sesal Alvan.
"Maaf? Kenapa kamu minta maaf?" Papi Billy menanggapi ucapan maaf Alvan.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada Qiana, Al?" suara Oma Inge menggelegar di dalam ruang perawatan Qiana.
Suasana hening seketika hingga Alvan merasakan sesuatu yang mencekam saat sang Oma tahu semua perbuatannya kepada Qiana.
"Al..? Kenapa bengong?" suara Papi Billy membuyarkan lamunan Alvan.
"Oma tanya Levi saja! Aku tidak paham soal itu!" Alvan mengalihkan pembicaraan sang Oma yang terus mengintimidasinya.
Beberapa saat kemudian Fahlevi datang dan membawa hasil pemeriksaan Qiana, terkait penyebab Qiana pingsan selama ini.
"Bagaimana, Lev?" tanya Oma Inge saat Fahlevi masuk ke dalam ruang perawatan Qiana.
"Dari hasil pemeriksaan ini, sepertinya Qiana memiliki riwayat cidera pada kepala sebelumnya. Kita akan mengetahuinya setelah Qiana sadar, Oma." jawab Fahlevi.
"Apa itu berbahaya, Levi?" tanya Papi Billy.
"Kita belum bisa menyimpulkan sejauh itu, Pi. Kita tunggu Qiana sadar dulu. Itu pun kalau Qiana mau cerita." Fahlevi menghela nafasnya panjang dan membuangnya kasar.
"Kenapa begitu?" tanya Oma Inge kemudian.
"Qiana sepertinya pernah mengalami trauma berat, Oma!" ungkap Fahlevi mampu membuat Alvan bungkam hingga batas waktu yang belum bisa ditentukan.
Deg…!
Lagi-lagi jantung Alvan berdegup dengan sangat kencang. Kali ini Alvan memilih diam, karena jika pun bertanya khawatir pertanyaannya itu akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Memilih diam lebih baik, bukan? Dari pada kena semprot lagi dari Oma Inge?
Desas desus mengenai Qiana yang jatuh pingsan saat berada di dalam ruangan Alvan menjadi berita terheboh dan terhangat di kantor perusahaan Pratama Wijaya Putra milik Alvan, hingga perusahaan Pratama Wijaya milik sang Oma.
"Lu nyolong berita darimana?" tanya Alvan kepada Gherry di balik sambungan teleponnya.
"Karyawan di kantor lihat waktu Qiana dibawa keluar dari ruangan lu, Al!" jawab Gherry.
"Minta bantuan Evan, agar berita ini jangan sampai tercium awak media!" perintah Alvan.
"Oke!" balas Gherry.
Alvan dan Gherry kemudian sama-sama mengakhiri panggilan teleponnya. Gherry segera meminta bantuan Evan untuk menghentikan berita mengenai Qiana, agar tidak sampai terdengar awak media.
"Beres!" Evan mengacungkan jempolnya pada Gherry.
"Kita ke rumah sakit sekarang?" ajak Rayn dan Gherry hampir bersamaan.
"Ayo!" jawab Evan.
Setelah pekerjaannya selesai, ketiga sahabat Alvan itu meninggalkan kantor untuk pergi ke rumah sakit. Semua karyawan kantor satu persatu pulang karena memang sudah waktunya.
"Bianca, aku dengar Qiana dibawa ke rumah sakit. Apa itu benar?" tanya Aurel cemas.
"Benar! Aku sendiri yang melihatnya." jawab Bianca.
"Qiana kenapa sebenarnya?" Aurel tidak berhenti memikirkan keadaan Qiana sahabatnya.
"Aku tidak tahu! Tapi aku mau ke rumah sakit sekarang, mau jenguk Qiana. Kamu mau pergi bareng aku?" ajak Bianca yang disambut anggukan kepala cepat oleh Aurel.
Di rumah sakit sudah ada Gherry, Evan, dan Rayn yang menjenguk Qiana. Fahlevi sengaja memesan ruang perawatan VVIP untuk Qiana. Semua tagihan dimasukkan atas nama perusahaan, karena Qiana adalah salah satu orang penting di dua perusahaan keluarga Pratama Wijaya.
Tidak hanya Qiana, tapi semua karyawan di perusahaan milik keluarga Pratama Wijaya memiliki hak yang sama dengan Qiana saat berada di rumah sakit Bakti Pertiwi.
Milik kakak kandung Oma Inge, yaitu Tuan Alard Rumende. Pria paruh baya yang masih tampan di usianya yang sudah hampir memasuki 59 tahun itu dan berkebangsaan Belanda.
"Makasih yah udah datang jengukin." ucap Qiana lirih.
"Iya, Qi. Sama-sama." ucap Gherry, Eva, dan Rayn nyaris serempak.
"Kamu cepat sembuh, Qi! Gak ada kamu di kantor sehari aja sepi banget, Qi." celetuk Rayn yang langsung mendapat sorotan tajam dari Alvan.
"Eh?" Oma Inge menangkap sesuatu yang berbeda dari sorot mata Alvan.
"Lebay lu!" ledek Alvan seraya mencebikkan bibirnya.
"Lu gak tahu aja Al gimana Qiana sama Rayn kalau di kantor!" Evan mengompori seolah tahu perasaan sahabatnya itu kepada Qiana.
Akhir-akhir ini Evan memang melihat sesuatu yang berbeda dari Alvan, terlebih kepada Qiana. Evan meyakini jika sahabatnya itu tengah jatuh cinta kepada Qiana, gadis manis asal kota kembang itu.
"Lu mau nyalain kompor, Van?" bisik Gherry yang tahu arah pembicaraan sahabatnya itu.
"Ho'oh! Biar meledak sekalin! Kesel gue! Udah bucin tapi gak mau ngaku juga! Ntar disamber orang baru nyaho!" bisik Evan terkekeh bersama Gherry, membuat Alvan menoleh ke arahnya.
"Ngapain bisik-bisik? Ngomongin gue yah?" tebak Alvan dengan sorot mata tajam.
"Berasa…!" Evan mencebikkan bibirnya sementara Gherry hanya menggaruk kepalanya.
Suasana di ruang perawatan Qiana kembali sepi, karena semua teman dan sahabatnya yang datang silih berganti menjenguk Qiana sudah kembali ke rumah masing-masing.
Tinggal Alvan, dan juga Aurel yang menemani Qiana malam ini di rumah sakit. Sebenarnya Alvan sudah meminta Aurel agar pulang saja dan istirahat di apartemennya, tapi Aurel menolak karena masih mau menemani Qiana.
"Ule, udah malam. Kamu sebaiknya pulang yah!" pinta Qiana.
"Kamu ngusir aku, Qi?" jawab Aurel dengan bibir mengerucut.
"Bukan begitu, Ule! Kamu harus banyak istirahat. Aku gak mau sampai kamu sakit." ucap Qiana.
"Tapi, Qi…" kalimat Aurel terpotong.
"Di sini ada Dokter Levi yang bisa bantu aku nanti. Pulang yah!? Please…!" Bujuk Qiana.
Akhirnya Aurel pulang karena tidak ingin membuat Qiana merasa bersalah jika dirinya jatuh sakit akibat kelelahan.
"Mau buah?" tanya Alvan mengejutkan Qiana.
"Kamu belum pulang?" Qiana balik bertanya.
"Biarkan aku di sini!" Balas Alvan dingin.
Qiana menerima potongan buah yang sudah Alvan cuci bersih dan mengupasnya untuk Qiana.
Drttt…
Drttt…
Drttt…
Ponsel Alvan bergetar di balik saku celananya. Alvan segera merogoh ke dalam sakunya dan melihat layar ponselnya.
"Imelda?" gumam Alvan.
"Hallo, Al!" sapa Imelda di balik teleponnya.
"Ada apa?" tanya Alvan dingin.
"Kapan kamu mau menemui aku untuk membicarakan pertunangan kita?" tanya Imelda.
"Besok aku akan datang menemui kedua orang tuamu, bersiaplah!" jawab Alvan.
"Serius?" tanya Imelda senang.
"Ya!" balas Alvan.
"Aku tunggu!" ucap Imelda.
"Heuuuhhh." Alvan menutup panggilan teleponnya secara sepihak.
"Eh?" Imelda cemberut.
Alvan menatap Qiana yang masih memakan buah. Qiana tahu Alvan menatapnya, namun dia tidak berani membalas tatapan itu setelah apa yang terjadi di kantor Alvan siang tadi.
"Kalung itu…? Foto itu…? Kenapa harus dia temukan?" batin Qiana berkecamuk.
"Apa Qiana sedih kalau aku akan segera menemukan gadis kecilku yang sesungguhnya? Qiana, apa kamu akan patah hati nantinya saat tahu siapa gadis kecilku itu yang sebenarnya?" batin Alvan.
Qiana dan Alvan terdiam dalam pikirannya masing-masing yang menerawang jauh pada bayangan gadis kecil dan kalung itu.
Keduanya sama-sama bungkam dan menyimpan sebuah rahasia di dalam hati mereka masing-masing.