Chapter 16 - Bab. 16

"Apa serendah itu tunanganmu, Al?" tanya Rayya tersenyum miring.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Rayya?" Alvan balik bertanya.

"Dulu kamu begitu menjagaku sampai tidak berani menyentuhku kecuali memegang tanganku. Lihat yang kamu lakukan kepada tunanganmu sekarang? Apa karena kalian sudah tunangan lantas menjadikan harga diri kalian rendah." Ejek Rayya membuat Alvan marah.

Plaaak…

"Jaga mulutmu, nona!" Aurel tiba-tiba datang menampar Rayya.

"Aurel?" ucap Alvan dan Qiana nyaris bersamaan.

"Kamu…? Siapa kamu? Beraninya menamparku!" hardik Rayya.

"Tidak perlu tahu siapa aku! Tapi aku ingatkan sama kamu. Sekali lagi mengatakan hal buruk kepada mereka, maka aku tidak akan melepaskanmu. Manusia bermulut busuk!" ancam Aurel membuat Rayya menyeringai.

"Sudah! Ini hanya salah paham. Sebaiknya kita pergi." Qiana menarik tangan Aurel pergi meninggalkan Rayya.

Melihat Qiana berjalan dengan cepat sambil menarik tangan Aurel, Alvan segera menyusul dan meninggalkan Rayya yang masih kesal.

"Qi, kenapa kamu membiarkan dia menghinamu seperti itu?" tanya Aurel tak terima.

"Sudahlah! Tidak usah diperpanjang! Apa yang dikatakan Rayya tentangku itu benar! Aku memang terlalu hina dan rendah di mata semua orang! Aku bukan sebongkah berlian yang sangat berharga. Aku hanya manusia kotor! Aku hanya sampah! Aku memang rendah, sehingga orang dengan mudahnya melecehkan aku, hiks…" tangis Qiana pecah.

Alvan menatap Qiana yang sudah menangis histeris. Bibirnya bergetar lidahnya kelu.

"Qiana…" Aurel meraih tangan Qiana,dengan cepat Qiana menepisnya.

"Aku ingin sendiri!" ucap Qiana yang langsung masuk ke dalam kamar.

"Aurel!" panggil Alvan.

"Ya, Bang!" jawab Aurel.

"Aku titip Qiana padamu. Saat ini biarkan Qiana sendiri." pinta Alvan.

"Maafkan sikap Qiana." ucap Aurel merasa tak enak hati kepada Alvan.

"Kamu tidak perlu minta maaf kepadaku. Aku memang salah pada Qiana. Aku akan bicara besok kepada Qiana. Sekarang aku harus pulang." Alvan pergi meninggalkan apartemen Aurel.

Alvan berjalan gontai di koridor apartemen. Pikiran bersalah terus menghantui dirinya. Rasa menyesal pun mulai membuatnya gelisah.

Berulang kali Alvan melakukan kesalahan kepada Qiana. Namun, berulang kali pula Qiana diam.

"Arggghhh…!" teriak Alvan di dalam mobil.

Sementara di dalam kamarnya Qiana terus menangis. Hatinya sakit bukan lantaran ucapan Rayya yang menyinggung perasaannya.

Qiana sakit hati lantaran sikap Alvan yang seenaknya memperlakukan dirinya. Alvan berulang kali mencium Qiana tanpa izin. Seolah Qiana adalah miliknya.

"Apa aku semenyedihkan itu? Dia menyentuhku hanya sebuah sandiwara. Apa hidupku hanya dijadikan untuk taruhan? Oleh mereka makhluk yang bernama laki-laki…!" gumam Qiana dengan genangan air mata.

Qiana terus menangis hingga terlelap dalam tidurnya. Aurel tidak berani membangunkan Qiana saat makan malam tiba.

"Qi, saat kamu bangun nanti. Berjanjilah kamu akan menceritakan semuanya kepadaku…" Aurel menyelimuti tubuh Qiana sahabatnya.

Aurel dan Qiana bersahabat sejak masih SD dulu. Itu sebab Aurel tahu betul bagaimana Qiana. Hampir 18 tahun mereka bersahabat, tidak ada yang Aurel tidak tahu dari Qiana.

"Al, apa Qiana diantar sampai apartemennya?" Oma Inge bertanya saat Alvan baru masuk ke dalam kamarnya.

"Ya, Oma." jawab Alvan.

"Apa kalian bertemu Rayya?" tanya Oma Inge tampak khawatir.

"Benar sekali, Oma! Kami bertemu dengan Rayya. Dan itu menjadi masalah buat aku dan Qiana." jawab Alvan dingin.

"Apa maksudmu? Apa Rayya mengganggu kalian?" Oma Inge siap mendengarkan cerita Alvan.

"Semenjak Oma bilang kalau aku dan Qiana sudah tunangan dan segera menikah. Aku dan Qiana jadi terjebak dalam sandiwara ini, Oma!" Oma Inge mengerutkan dahi.

"Kenapa begitu? Oma tidak bermaksud menjebak kamu atau pun Qiana. Oma hanya tidak ingin melihat Rayya mengganggu kamu, Al. Apa itu salah?" Oma Inge emosi setiap mengingat perbuatan Rayya pada Alvan, cucu kesayangannya.

"Rayya curiga jika Oma berbohong padanya dan bersandiwara soal tunangan aku dan Qiana. Rayya bilang…" Alvan kemudian menceritakan apa yang terjadi sebenarnya saat di restoran, setelah selesai meeting dengan klien.

"Apa?" mata Oma Inge membulat sempurna hampir saja keluar dari tempatnya.

Alvan sampai terkejut melihat sang Oma sama terkejutnya mendengar cerita Alvan.

"Jadi, kalian sudah berciuman? Bahkan kalian tidak berhubungan sama sekali, Al." wajah Oma Inge terlihat seperti habis melihat hantu yang mengerikan.

"Aku tidak mau terjebak dengan sandiwara ini, Oma!" rengek Alvan berharap sang Oma mengakhiri semua sandiwara konyol ini.

"Baiklah! Kita akhiri saja sandiwara ini." Oma Inge menghela nafas panjang, lalu tersenyum penuh arti.

"Kenapa perasaanku tiba-tiba jadi gak enak yah melihat senyum, Oma?!" batin Alvan.

"Oma rasa kamu dan Qiana memang harus segera tunangan, meski pun kalian tidak berhubungan sebelumnya. Setelah satu bulan, Oma akan segera menikahkan kalian. Dengan begitu Oma akan segera mengurus surat wasiat itu untukmu.

"Omaaa… jangan seperti itu! Aku tidak mau, Oma!" tolak Alvan dengan wajah memelas.

"Kamu sudah menyentuh Qiana, Al! Kamu menang banyak, Al." ledek Oma Inge.

"Meski hanya sebatas ciuman, tapi kamu harus tetap bertanggung jawab atas perbuatanmu pada Qiana. Entah itu kamu menciumnya dengan perasaan atau tidak, kamu tetap salah karena sudah berani menyentuhnya." lanjut Oma Inge.

"Aku melakukannya karena situasi saat itu benar-benar darurat, Oma!" kilah Alvan yang disambut senyuman masam dari Oma Inge.

"Sudahlah! Keputusan Oma sudah bulat! Kamu dan Qiana harus tunangan, dan segera menikah. Kasihan, Qiana." Oma Inge menegaskan.

"Oma, gak bisa gitu dong! Oma juga tahu kan alasanku setelah putus dengan Rayya?" Alvan memohon dengan wajah memelas.

"Apa? Menunggu gadis kecilmu itu, Al? Sampai kapan? Sampai rambutmu itu beruban, hah? Atau mau nunggu Oma mati biar gak dapat warisan? Begitu?" cibir Oma Inge.

"Aku sudah bertemu dengan gadis itu, Oma." jawab Alvan datar.

"Auh…?!" ucapana Alvan mengejutkan Oma Inge kembali.

"Saat berada di Bandung aku dan gadis itu kembali bertemu, Oma. Aku dan gadis itu bicara banyak hal. Aku juga sudah berjanji pada gadis itu untuk segera menikahi dia secepatnya." mata Alvan berkaca-kaca.

Oma Inge mengerutkan dahinya saat melihat mata Alvan berkaca-kaca. Sang cucu yang selalu berkata jujur, tidak mungkin berbohong kepadanya kali ini.

Tapi, Oma Inge tidak sedang melihat kebohongan di mata Alvan. Lebih tepatnya, Oma Inge melihat kegelisahan di wajah Alvan sang cucu kesayangan.

"Apa yang membuatmu menangis?" Oma Inge membawa Alvan ke dalam pelukannya kali ini.

"Gadis itu adalah saudara sepupu Qiana, Oma!" ucap Alvan.

"Apa?" Oma Inge hampir sesak nafas karena kembali terkejut dengan kabar yang Alvan bawa.

"Oma biasa aja! Gak usah lebay gitu deh!" protes Alvan.

"Al, Oma serius kaget ini!" sela Oma Inge.

"Aku akan segera membawanya kemari, untuk bertemu dengan Oma." ucap Alvan.

"Apa ada yang salah dengan gadis kecilmu itu, Al?" tanya Oma Inge heran melihat sikap Alvan.

Oma Inge berpikir jika Alvan tidak bahagia dengan pertemuannya bersama gadis yang dia tunggu selama ini. Tapi Oma Inge tidak ingin terlalu ikut campur dengan keputusan Alvan.

"Oma harap kamu bisa mengambil keputusan yang tepat untuk masa depanmu, Al. Jangan sampai menyesal dengan keputusanmu. Masih ada banyak waktu, bukan?" Oma Inge mengingatkan.

"Terima kasih, Oma." Alvan mengeratkan pelukannya kepada Oma Inge.

Hanya kepada Oma Inge seorang Alvan mencurahkan segela keluh kesahnya selama ini. Walau sejak kecil Alvan tidak pernah merasakan belaian seorang ibu, namun itu tidak membuatnya kekurangan kasih sayang.

Oma Inge akan selalu ada untuk Alvan dalam setiap suka mau pun duka. Di samping ada Bi Narsih yang selalu membela, saat Alvan sedang mendapat hukuman dari sang Oma.

"Qi, hari ini kita ada meeting di kantor Alvan. Kamu ikut dengan Oma yah!" ajak Oma Inge kepada Qiana.

"Iya, Oma!" jawab Qiana tidak bersemangat.

"Kamu sakit, Qiana?" tanya Oma Inge.

"Aku gak apa-apa, Oma." sahut Qiana.

Qiana dan Oma Inge pergi ke kantor Alvan untuk meeting. Sebenarnya Qiana sudah malas bertemu dengan Alvan. Jika bukan karena pekerjaan Qiana sudah ingin lari dari hadapan Alvan saat ini.

Selama meeting, Alvan tidak melepaskan pandangannya kepada Qiana. Qiana bisa menebak jika Alvan tidak suka dengan kedekatan Oma Inge dengan dirinya.

"Jadi untuk minggu ini kita akan mengadakan acara lomba menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Acara itu rutin kita lakukan sebagai bentuk penghargaan, pada pahlawan yang sudah berjasa berjuang demi kemerdekaan bangsa kita. Kita generasi penerus hanya tinggal menikmati hasil perjuangan para pahlawan, tanpa ikut berjuang mempertaruhkan nyawa kita untuk membela Negara." ucap Alvan panjang lebar yang disambut antusias semua karyawan dan para staf di kantor miliknya juga sang Oma.

Pembagian lomba pun sudah diatur oleh team penyusun acara. Qiana mendapat bagian lomba jogged tomat berpasangan dengan Rayn sahabat Alvan, sekaligus teman dekat Qiana di kantor Oma Inge.

Selain itu Qiana juga mendapat bagian lomba bakiak beregu, satu regu terdiri dari tiga orang. Lagi-lagi Qiana berada satu tim dengan Rayn, tapi kali ini ada Alvan yang ikut masuk ke dalam team Rayn dan Qiana.

"Rayn, lu mah curang ih!" celetuk Evan saat sudah selesai meeting.

"Curang apaan?" tanya Rayn tak mengerti.

"Lu masuk team sama Qiana melulu! Lah gue giliran sama si Angel. Parah, njir!!!" protes Evan membuat Rayn dan Qiana tertawa keras.

"Tadi saat datang bawaannya cemberut melulu, giliran ada Rayn aja! Hemmm…" batin Alvan.

"Al, ini siapa sih yang bagi-bagi lomba sama teamnya?" tanya Gherry.

"Mana gue tahu! Noh si Angel sama Bianca dibantu Vionita." tunjuk Alvan dengan dagunya.

"Tapi mereka sistem arisan lho! Pake kocokan gitu!" terang Evan.

"Kok lu tahu?" tanya Gherry dan Rayn serempak.

"Kan gue bantuin bikin kocokannya, Bray!" jawab Evan.

Akhirnya acara lomba menyambut peringatan hari kemerdekaan republik Indonesia pun dimulai. Semua karyawan dan staf ikut bergabung di dalam aula gedung kantor Alvan.

Satu persatu karyawan dan staf ikut lomba, Alvan sebagai CEO juga tak mau kalah. Sekedar memeriahkan lomba dan berpartisipasi dalam acara yang diadakan satu tahu sekali itu, Alvan hanya ikut bermain saja. Sedangkan hadiahnya, akan dia berikan kepada karyawan lain yang lebih membutuhkan.

"Qiana…! Rayn…! Qiana…! Rayn…!" teriak semua orang saat Qiana dan Rayn mengikuti lomba jogged tomat berpasangan.

"Ish… apaan sih Rayn! Nyebelin banget pake pegang-pegang Qiana segala!" batin Alvan merasa cemburu.

"Lu kenapa, Al?" tanya Evan curiga melihat wajah Alvan merah padam seperti orang yang sedang menahan emosi.

"Gak apa-apa." jawab Alvan datar.

"Yeeeaay cembokur dia!" celetuk Gherry terkekeh melihat wajah Alvan yang merah.

"Wadaaaw… lihat noh tomatnya turun ke bibir Qiana!" tunjuk Gherry membuat Alvan semakin kepanasan.

"Menang banyak nih Rayn!" celetuk Evan.

Tanpa sadar Alvan mengepalkan tangannya erat. Rahangnya semakin mengeras saat melihat tomat yang perlahan turun dari wajah hingga bertahan di bibir manis Qiana.

Beruntung tomat itu masih bertahan dan berada diantara bibir Qiana dan pipi Rayn. Jika sampai tomat itu terjatuh? Matilah Alvan melihat bibir manis Qiana menyentuh pipi Rayn.

Membayangkannya saja membuat Alvan panas dingin. Bagaimana jika benar-benar sampai terjadi? Apa Alvan akan semakin marah pada Qiana? Akh… entahlah

"Ada apa dengan, Alvan?" batin Oma Inge menelusuri wajah sang cucu kesayangan.

Tinggal dua pasangan lagi yang masih bertahan, yaitu pasangan Qiana dan Rayn, juga pasangan Zoya dan Bayu.

"Qiana…! Rayn…!" lagi Evan terus menyemangati kedua pasangan itu yang membuat Alvan cemburu.

"Kenapa permainan ini belum berakhir juga?" sesal Alvan merutuki.

Dan saat pasangan Zoya dan Bayu masih bertahan dengan tomat yang mereka tahan pada kedua pipinya. Pasangan Qiana dan Rayn akhirnya berhasil membawa tomat itu ke garis finish.

"Yeaaah…!" sorak sorai penonton juga tepuk tangan meriah menyambut pasangan Qiana dan Rayn.

"Kita menang, Kak!" pekik Qiana senang.

"Kita menang, Qi!" sambut Rayn yang spontan memeluk Qiana dan mengangkat tubuh mungil itu ke atas.

Alvan bahkan sampai membelalakkan matanya saat Qiana diangkat ke atas oleh Rayn. Layaknya anak kecil yang diangkat tubuhnya oleh sang ayah.

"Bang Al, sebentar lagi giliran lomba bakiak. Siap-siap yah!" ucap Angel saat melihat sorot tajam Alvan mengarah pada Qiana dan Rayn.

Angel yang sejatinya sangat dekat dengan Qiana, tahu jika pandangan itu adalah yang tak biasa dari seorang Alvan Pratama Putra Wijaya untuk temannya Qiana.

"Oke peserta sudah siap semuanya!" ucap pengarah acara melalui microphone.

Dan lomba bakiak pun akhirnya berlangsung. Alvan yang sejak tadi sudah menyusun strategi meminta Rayn berdiri paling depan, sementara Qiana berada di belakangnya. Dengan begitu dirinya akan berada diantara Rayn dan Qiana.

"Akan lebih menguntungkan seperti ini, bukan?" batin Alvan tersenyum licik.

Acara menyambut kemerdekaan selesai digelar. Semua karyawan beserta staf merasa puas karena pembagian lomba dan hadiah sesuai dengan rencana.

Hanya Alvan, Evan, Gherry, dan Rayn yang tidak membawa hadiah itu. Mereka menyerahkan hadiah itu untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan.

Sementara hadiah lomba bakiak sejatinya untuk satu team. Dengan ikhlas team Rayn yang menang menyerahkan hadiah itu untuk Qiana, tentu saja atas persetujuan Alvan.

Seminggu kemudian…

"Qiana! Bisa ke ruanganku sekarang!" perintah Alvan.

Saat ini Qiana tengah menangani proyek baru yang dipercayakan oleh Oma Inge kepadanya. Sehingga mau tidak mau, Qiana harus tetap berada di kantor Alvan untuk sementara waktu demi menyelesaikan proyek barunya itu.

"Baik!" sahut Qiana lalu segera mendatangi Alvan di dalam ruangannya.

Qiana masuk ke dalam ruangan Alvan. Sang CEO tampan tengah duduk di atas kursi kebesarannya dengan tatapan serius di wajahnya.

"Duduk!" perintah Alvan saat Qiana sudah berada di hadapannya.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" ucap Qiana dengan pandangan tertunduk.

"Aku tidak setua itu, Qiana! Panggil saja aku abang, karena aku bukan ayahmu!" protes Alvan membuat Qiana spontan menatapnya.

"Maaf!" hanya itu yang Qiana ucapkan dengan wajah tertunduk.

"Lihat ini! Apa kamu pernah bertemu dengannya saat kecil dulu?" tanya Alvan menyodorkan ponselnya pada Qiana.

Dengan cepat tangan Qiana menyambar ponsel Alvan dan melihat foto buram yang ada di layar ponsel Alvan.

"Gadis kecil ini?" spontan Qiana berdiri dari duduknya.

Mata Qiana berkaca-kaca menatap layar ponsel Alvan. Seketika ditatapnya wajah Alvan dibalik matanya yang sudah berembun.