Setelah Alvan pergi, Qiana segera mencari pakaian Alvan yang bisa Qiana kenakan. Dia tidak ingin tetap berdiam diri selama Alvan tidak ada di apartemen.
"Sepertinya baju ini jauh lebih baik, dan celana ini juga lumayan pas di badanku. Aku harus memakai jaket agar dadaku tidak tercetak seperti ini." gumam Qiana mematut diri di depan cermin.
"Qiana pergi ke taman di belakang apartemen Alvan. Qiana ingin memanjakan diri dengan melihat pemandangan di belakang apartemen sebelum dirinya dan Alvan kembali ke Jakarta.
"Eh? Ada Gilang!" Qiana segera menghentikan langkahnya saat melihat Gilang dari jarak yang tidak begitu jauh darinya.
"Qiana!" panggil Gilang.
Qiana pura-pura tidak mendengar, dia berlari kecil untuk menghindari Gilang, namun Gilang tak kalah cepat dia terus mengejar Qiana.
"Qiana! Tunggu aku!" Gilang merentangkan kedua tangannya untuk menghadang Qiana.
"Pergi kamu! Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!" tolak Qiana dengan kasar.
"Qiana… dengarkan aku! Aku mencarimu karena ada masalah penting yang ingin aku sampaikan kepadamu!" ucap Gilang menahan Qiana pergi.
"Aku harus pergi!" Qiana mendorong tubuh Gilang dan memaksa pergi.
"Qiana!" Gilang kembali menghalangi jalan Qiana.
"Hm?! Ada apa lagi?" tanya Qiana.
"Hm… sebenarnya aku ingin mengingatkanmu sesuatu." ucap Gilang.
"Apa?" Qiana bertanya dengan ekspesi marah.
"Jauhi laki-laki yang bersama tadi malam! Jangan sampai kamu mencintai laki-laki itu. Aku dengar dari Salsa semalam dalam hati laki-laki itu sudah ada gadis lain. 18 tahun yang lalu dia sudah mencintai seorang gadis di masa lalunya. Dan aku dengar gadis itu adalah Imelda, saudara sepupumu." ungkap Gilang.
"Kalau soal itu aku sudah tahu! Kamu tidak perlu khawatir soal itu!" Qiana menjawab dengan ketus seraya pergi meninggalkan Gilang.
"Qiana! Aku belum selesai berbicara denganmu! Tolong dengarkan aku, Qiana!" teriak Gilang.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Setelah kamu memutuskan untuk meninggalkan aku demi Salsa, semuanya sudah berakhir!" ucap Qiana membuat Gilang termenung dalam diam.
"Tapi, Qiana…!" ucapan Gilang terhenti karena Qiana memotongnya.
"Aku tidak mau bertemu lagi denganmu untuk selamanya!" ucap Qiana pergi dengan hati yang gelisah.
Qiana segera kembali ke apartemen dan memilih diam diri di dalam apartemen Alvan. Sebelum akhirnya mereka kembali lagi ke Jakarta.
Tok…
Tok…
Tok…
Suara pintu diketuk mengejutkan Qiana yang sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Apa dia lupa membawa kartunya?" gumam Qiana yang segera beranjak untuk pergi membuka pintu.
"Apa kamu lupa…" ucapan Qiana terhenti melihat sosok laki-laki yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak lupa, Qiana! Boleh aku masuk!" ucap Iqbal.
"Kamu? Bagaimana bisa kamu datang ke sini?" tanya Qiana.
"Aku mengikutimu sejak berada di taman tadi." jawab Iqbal seraya mendorong pintu yang sedari tadi Qiana coba tutup.
"Mau apa kamu ke sini! Cepat keluar!" Qiana menarik tangan Iqbal yang sudah masuk kedalam apartemen.
"Tentu saja aku datang kemari untuk bertemu denganmu, Qiana." Ucap Iqbal dengan manis.
"Aku sudah tidak ingin bertemu denganmu atau pun Gilang! Pergilah kalian jauh-jauh dari aku!" tolak Qiana dengan kasar.
"Aku datang ke sini ingin menawarkan untuk menjadi kekasihmu, Qiana. Aku bisa menggantikan posisi Gilang di hatimu. Aku akan menjadi kekasih yang baik untukmu." ucap Gilang penuh keyakinan.
"Percaya diri sekali kamu!" tepis Qiana.
"Untuk mendapatkanmu, aku memang harus percaya diri." Iqbal membalas dengan smirk di wajahnya.
"Pergilah! Aku tidak punya waktu untuk ide gilamu itu!" Qiana mendorong tubuh Iqbal.
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu menerimaku sebagai kekasihmu, Qiana." Iqbal memaksa Qiana.
"Kamu dan Gilang sama saja! Aku tidak ingin berhubungan dengan kalian berdua!" tolak Qiana.
"Gilang memang sudah mengkhianatimu, tapi aku tidak akan pernah melakukannya kepadamu, Qiana." Iqbal meyakinkan Qiana.
"Kamu tampak kesal sekali, Qiana. Biar kutebak. Karena Gilang, bukan?" Iqbal menebaknya.
"Sok tahu!" Qiana membalas dengan mata mendelik kesal kepada Iqbal.
"Kurasa kita harus saling jujur." Tutur Iqbal.
"Tentang apa?" tanya Qiana.
"Sudah kubilang, aku sangat mencintaimu. Aku selalu menepati janji…" ucapan Iqbal terputus karena Qiana memotongnya.
"Aku tidak percaya." Sela Qiana.
"Kenapa?" tanya Iqbal heran.
"Kamu tiba-tiba saja datang dan mengatakan kalau kamu mencintaiku. Lalu Gilang pergi bersama Salsa. Kebetulan ini terasa sangat mencurigakan. Kamu bisa saja menipuku untuk meninggalkan Gilang." Qiana mengungkapkan isi pikirannya.
"Begini. Itu mungkin saja. Tapi aku hanya punya satu rencana. Yaitu membuatmu mencintaiku dan melupakan Gilang. Kurasa kamu juga tahu kalau Gilang sudah bertunangan dengan Salsa sepupumu. Aku ingin kamu berhenti memikirkannya. Lupakan masa lalumu dengannya. Dan beri aku kesempatan." Tutur Iqbal.
"Aku belum siap memberi siapa pun kesempatan. Seperti yang sudah aku katakana kepadamu sebelumnya. Meski aku dan Gilang sudah putus tapi bukan berarti aku bisa membuka hatiku untuk yang lain. Aku ingin menunggu sampai masalah ini membuatku pulih. Sebelum memulai kembali hidupku." ungkap Qiana.
"Aku tidak keberatan. Aku bisa menunggu. Namun, aku berhak untuk mencoba dan membuatmu tertarik padaku. Aku membuatmu melupakan Gilang tanpa menyesalinya." Iqbal meraih tangan Qiana dan mencengkramnya.
"Bahkan tanpa menjalin hubungan denganmu. Aku bisa melupakan Gilang tanpa menyesal." Qiana melepaskan cengkraman tangannya dari Iqbal.
"Dalam semalam, jika kamu ingin melupakan Gilang, akan kuanggap kamu memberiku kesempatan." Ujar Iqbal sedikit memaksa.
"Tunggu! Kenapa kamu memaksa aku?" tanya Qiana.
"Aku memang akan memaksamu sampai kamu benar-benar mau menerimaku, Qiana. Jadi sudah jelas?" Iqbal mendekatkan wajahnya pada Qiana.
"Tunggu! Aku tidak pernah setuju untuk menerimamu." balas Qiana melangkah mundur.
"Kenapa tidak setuju? Kamu harus tetap setuju denganku, Qiana." Iqbal mencoba menyentuh Qiana yang segera ditepis oleh Qiana.
"Aku bukan wanita yang bisa seenaknya kamu perlakukan seperti ini! Aku sudah tahu semuanya. Bahkan aku mendengar apa yang kamu bicarakan dengan Gilang semalam. Kalian taruhan untuk mendapatkan aku." ungkap Qiana dengan mata sudah berkaca-kaca.
Greppp…
Iqbal memeluk Qiana dengan erat. Sekuat tenaga Qiana melepaskan diri namun Iqbal mendorong tubuh Qiana hingga terhuyung ke belakang.
Brukkk…
Tubuh Qiana terjatuh di atas sofa. Qiana berusaha bangkit dan menghindari Iqbal. Namun, belum Qiana bangkit, Iqbal sudah mengungkung tubuh mungil Qiana dari atas.
Sementara di tempat yang lain Alvan sedang berbincang dengan Imelda mengenai banyak hal. Tak lupa Alvan menanyakan mengenai pendidikan Imelda.
Hal mengejutkan membuat Alvan jadi meyakini jika Imelda sebenarnya bukanlah gadis kecil yang dia cari selama ini.
"Licik sekali, Imel! Dia sudah mencoba menipuku! Aku harus tahu apa rencana Imel sebenarnya terhadapku. Bisa-bisanya dia membohongiku dengan mengaku kalau dia gadis kecil yang aku cari selama ini. Oke Imel jika itu mau kamu, aku ikuti permainanmu! Ingat kamu akan segera mengakuinya sendiri kalau kamu bukanlah gadis kecil yang sedang aku cari." Batin Alvan dengan smirk di balik wajahnya yang tampan.
"Apa kamu akan kembali ke Jakarta sekarang?" tanya Imelda dengan manja.
"Ya! Aku harus kembali ke Jakarta secepatnya. Karena besok aku sudah mulai bekerja." tutur Alvan tegas.
"Bukankah itu perusahaan milik nenekmu sendiri? Kamu kan bisa izin satu hari saja untuk menemani aku jalan-jalan besok." Pinta Imelda.
"Aku hanya karyawan magang saja di perusahaan, Oma. Aku sama seperti karyawan yang lain. lagi pula gajiku sedikit dan aku juga tidak bisa seenaknya bekerja di perusahaan. Jika sehari tidak bekerja tetap saja akan dipotong gaji dan uang makan." ujar Alvan berbohong.
Alvan ingin menguji Imelda dengan mengatakan bahwa dirinya hanya karyawan magang biasa di perusahaan Oma Inge. Bahkan Alvan juga tidak memberitahu kepada Imelda jika dirinya adalah pemilik perusahaan tempat dimana Qiana bekerja sama dengannya saat ini.
"Kapan kamu akan membawaku ke Jakarta dan mengenalkan dengan keluargamu?" tanya Imelda sudah tidak sabar.
"Secepatnya! Tunggu aku menyelesaikan tugasku dulu." balas Alvan memutar bola mata dengan malas menanggapi permintaan Imelda.
"Al, ada sesuatu yang ingin aku minta darimu. Apa kamu mau mengabulkannya untukku?" tanya Imelda kemudian.
"Apa?" keninga Alvan berkerut.
"Aku minta kamu jauhi Qiana, dan jangan lagi berhubungan dengannya. Karena aku akan cemburu, Al." ucap Imelda manja.
"Aku dan Qiana sama-sama bekerja di perusahaan, Oma. Jabatan Qiana lebih tinggi dari aku, jadi mana mungkin Qiana aku akan menolak keinginan atasanku. Aku harus tunduk dengan perintah Qiana, kalau aku tidak mau dipecat dari perusahaan." Kilah Alvan berbohong.
"Apa? Kenapa Qiana jabatannya bisa lebih tinggi darimu? Kamu kan cucu pemilik perusahaan, sedangkan Qiana hanya orang lain." sahut Imelda tak percaya.
"Memang begitu adanya. Qiana sudah bekerja di perusahaan Oma selama hampir 7 tahun. Sementara aku baru tiga bulan belakangan." jawab Alvan.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Imelda penasaran.
"Karena sebelumnya aku adalah anak nakal, pergaulanku dengan berandalan dan preman. Bahkan sejak sekolah SMP aku dikeluarkan dari sekolah karena mabuk dan berkelahi dengan musuhku. Makanya Oma gak percaya kalau aku diberi jabatan lebih tinggi dari Qiana."
Imelda hanya manggut-manggut mendengarkan cerita Alvan yang lebih banyak dimanipulasi olehnya. Tujuannya hanya satu! Alvan ingin membuktikan jika Imelda bukanlah gadis yang dia cari.
"Lepaskan aku!" teriak Qiana.
Semakin Qiana berteriak dan berusaha berontak, semakin buas Iqbal memburu Qiana.
"Lepaskan aku! Jangan lakukan ini padaku! Aku mohon, Iqbal!" Qiana mendorong tubuh Iqbal
"Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kamu dari genggaman aku, Qiana! Setelah ini kamu akan menjadi milikku selamanya." Iqbal memburu bibir Qiana dengan buas.
Qiana menendang kemaluan Iqbal, hingga Iqbal mengaduh kesakitan.
"Kamu berani menyerangku, Qiana?" hardik Iqbal.
Qiana berlari menuju pintu dan hendak meminta pertolongan keluar apartemen. Saat Qiana mencapai pintu, Iqbal segera menyeret tubuh Qiana dengan cepat.
"Kamu tahu! Dengan memakai baju seperti ini,aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Kamu seksi dengan memakai baju ini. Hanya dengan menarik kaos dan celanamu, tubuhmu sudah bisa aku nikmati, Qiana." Iqbal terus mengunci tangan Qiana di atas sofa.
"Lepaskan aku, bajingan! Lepaaas…!" kaki Qiana dikunci Iqbal, sehingga tidak dapat lagi menendang burung miliknya.
Breeettt…!
Iqbql berhasil merobek baju yang Qiana pakai hingga memperlihatkan benda berharga milik Qiana di dalam bajunya.
"Ahhh…! Jangan…!" isak tangis Qiana meronta.
"Teriaklah! Tidak akan ada yang menolongmu, Qiana!" seru Iqbal dengan tangan yang sudah mulai membuka paksa celana yang Qiana pakai.
Braaak…!
Pintu dibuka dengan keras oleh Alvan. Matanya menatap nanar saat melihat Iqbal memperdaya Qiana.
"Bangsat…!" Alvan meraih kerah baju Iqbal.
Dezighhhhh…!
Bagh…
Bugh…
Bagh…
Bugh…
Alvan menyerang Iqbal bertubi-tubi dengan pukulan di wajahnya. Membuat luka di sudut bibir Iqbal. Iqbal mencoba melawan namun, dengan cepat Alvan kembali menyerang Iqbal dan menendang kemaluan Iqbal.
"Arggghhh…!" teriak Iqbal meringis kesakitan.
"Keluar, bangsat!" Alvan menendang bokong Iqbal hingga Iqbal tersungkur ke lantai.
Dengan cepat Iqbal melarikan diri dari apartemen. Sementara Qiana menangis tergugu sambil memeluk kakinya dan menenggelamkan wajahnya di balik kedua kakinya.
"Kamu tidak apa-apa?" Alvan meraih tubuh Qiana dan membawanya ke dalam pelukannya.
Qiana menangis semakin kencang di dalam pelukan Alvan. Merasa kasihan dengan Qiana, Alvan membelai rambut Qiana dengan lembut.
"Apa ada yang luka?" tanya Alvan yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Qiana.
Tentu saja secara fisik tidak ada yang luka, tapi secara mental Qiana terlukai akibat perbuatan bejad Iqbal yang mencoba menggagahi Qiana.
"Maafkan aku! Seharusnya aku tidak membiarkanmu sendiri di sini." ucap Alvan penuh penyesalan.
Qiana hanya diam dalam tangis di dalam pelukan hangat Alvan. Lama Qiana memeluk Alvan sampai tangisnya sudah benar-benar reda.
Alvan menuntun Qiana duduk di atas sofa. Kemudian Alvan membawakan secangkir air minum untuk Qiana.
"Minumlah!" Alvan menyerahkan minum kepada Qiana, yang langsung disambut oleh Qiana.
Qiana meneguk habis air minum itu hingga tandas. Tubuh Qiana masih gemetar sementara air matanya terus menetes di pipinya yang mulus.
"Sebaiknya kita segera kembali ke Jakarta. Sebelum laki-laki mesum itu datang kembali untuk menemuimu." ucap Alvan.
Alvan segera memberi baju yang lain di dalam lemarinya untuk Qiana. Alvan juga memberi topi dan masker untuk menutupi wajah Qiana. Agar saat di luar nanti tidak ada yang mengenali Qiana lagi.
"Ayo kita pergi!" ajak Alvan saat Qiana selesai berganti pakaian.
Qiana berjalan beriringan dengan Alvan. Dengan perasaan was-was, Qiana sesekali mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang mencurigakan.
"Jangan takut! Ada aku di sini." Alvan menggenggam erat tangan Qiana.
Alvan dan Qiana segera masuk ke dalam mobil. Setelah berada di dalam mobil Qiana segera melepaskan topi dan maskernya.
Alvan melajukan mobilnya meninggalkan apartemen untuk kembali ke Jakarta. Alvan menoleh pada Qiana yang sudah terlelap dalam tidurnya.
Cup…
Alvan mengecup puncak kepala Qiana saat berada di lampu merah. Dengan lembut Alvan membelai kepala Qiana berulang kali.
"Tidurlah, sayang…" ucap Alvan menatap lekat wajah polos Qiana di dalam tidurnya.
Alvan kembali melajukan mobilnya setelah lampu hijau menyala. Alvan mengendarai mobilnya memasuki jalan tol agar terhindar dari macet jalan kota Bandung di hari minggu.
Hampir dua jam perjalanan mereka tempuh, akhirnya Qiana terbangun dari tidurnya. Alvan tersenyum saat Qiana membuka mata dan langsung menatapnya.
"Sudah bangun?" tanya Alvan.
"Ya." Jawab Qiana dengan muka bantal dan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Mimpi indah?" tanya Alvan kemudian untuk menghibur Qiana.
"Tidak!" jawab Qiana singkat.
"Kalau begitu bersiaplah! Di depan ada butik Oma kita ke sana." ajak Alvan.
"Untuk apa?" tanya Qiana.
"Aku tidak ingin melihatmu memakai baju seperti itu, Qiana. Aku merasa seperti sedang berkencan dengan sesama lelaki kalau melihatmu dengan pakaian seperti itu." ucap Alvan terkekeh sementara Qiana jadi mencebikkan bibirnya.
"Serasa pacaran dengan kaum homreng!" ucap Qiana datar membuat Alvan terkekeh.
"Maksudku bukan begitu. Aku justru tidak ingin mata nakal dari lawan jenis menatap dengan penuh nafsu, karena melihatmu seperti ini. Jujur… sebenarnya aku suka melihatmu seperti ini. Seksi tahu!" goda Alvan.
Puuukkk…
Qiana spontan menimpuk Alvan dengan bantal kepala yang Qiana gunakan untuk bersandar.