Qiana benar-benar marah pada Alvan dengan semua kejadian hari ini. Qiana sudah tidak bisa lagi melihat wajah Alvan. Setiap kali mata mereka saling tatap Qiana selalu memalingkan wajahnya.
"Sepertinya Qiana benar-benar marah padaku." batin Alvan saat melihat Qiana membuang wajahnya ketika tatapan mereka bertemu.
"Laki-laki menyebalkan, seenaknya saja menyentuh bibirku! Benar-benar menyebalkan!" Batin Qiana memalingkan wajahnya segera saat tatapannya bertemu dengan Alvan.
Hari menjelang senja Alvan sudah kembali ke kantornya dan Papi Billy entah berada dimana. Oma Inge dan Qiana masih berada di dalam ruangan utama Oma Inge sebagai Direktur Utama di perusahaan Pratama Wijaya.
"Malam ini kamu ada acara, Qiana?" tanya Oma Inge.
"Aku masih banyak tugas dari kampus, Oma. Ini tugas akhir sebelum aku menyelesaikan tesis bulan depan." Tutur Qiana.
"Tadinya kalau kamu gak ada acara, Oma ingin kamu datang ke rumah kita makan malam bersama untuk membahas proyek baru." Ujar Oma Inge.
"Maaf untuk kali ini aku belum bisa, Oma. Lain kali akan aku usahakan." Ucap Qiana.
"Baiklah, tapi kamu janji yah? Lain kali kita makan malam bersama di rumah! Oma tunggu!" Oma Inge menggandeng tangan Qiana sama-sama keluar dari dalam ruangannya.
"Iya, Oma." Qiana mengangguk pelan.
Qiana kembali ke apartemen milik sahabatnya Aurel yang bekerja sebagai seorang model. Aurel yang bercita-cita ingin jadi seorang pengusaha nyatanya terpikat saat ada tawaran menjadi model.
"Kamu kelihatannya lelah sekali hari ini, Qi?" tanya Aurel yang melihat wajah kusut Qiana saat rebahan di atas kasur.
"Haaah, hari ini bukan hanya melelahkan! Tapi juga sangat menyebalkan!" celetuk Qiana menatap langit-langit kamarnya.
"Menyebalkan kenapa?" Aurel mengerutkan dahinya.
"Aku ketemu cowok rese saat meeting tadi! Aku kesel banget sama dia rasanya kepingin nendang burung cowok nyebelin itu!" ucap Qiana geram.
"Siapa cowok nyebelin yang kamu maksud, Qi?" tanya Aurel penasaran.
"Alvan Pratama Putra Wijaya, CEO perusahaan Pratama Wijaya Putra." Rahang Qiana mengeras saat mengingat kejadian di dalam mobil Alvan.
"What…? Bang Al maksud kamu, Qi? Pekik Aurel kaget.
"Hem. Kamu kenal dia?" tanya Qiana.
"Dia itu bos aku, Qiqi…! Aku jadi model di perusahaan Pratama Wijaya Putra. Kamu bisa kenal dia darimana?" Aurel balik bertanya.
"Bos besar tempat aku kerja adalah pemilik perusahaan Pratama Wijaya yang tak lain adalah Oma dari Alvan Pratama Putra Wijaya. Aku bekerja dengan Oma Inge, sementara kamu bekerja untuk cucu kesayangannya." Tutur Qiana.
"Hah, benarkah?" Aurel terkejut dengan penuturan Qiana.
"Sepertinya setelah ini kita akan sering bertemu, kawan! Perusahaan Oma Inge ada proyek besar kerja sama dengan perusahaan milik cucu kesayangannya. Aku penanggung jawab proyek itu." Qiana tersenyum miring.
"Kenapa? Kamu kayaknya gak suka kalau kita sering bertemu?" tebak Aurel asal.
"Bukan karena itu! Tapi karena aku akan bertemu dengan cowok nyebelin itu, Aurel…" Qiana menegaskan.
"Awas lho… jangan sampai kamu jadi jatuh cinta sama, Bang Al! Dia itu cowok idaman semua cewek di kantor. Banyak yang ngejar-ngejar dia sampai cari perhatian segala. Sekarang kamu bilang dia cowok nyebelin tahu-tahu kamu malah nikung." Cibir Aurel membuat Qiana mencebikkan bibirnya.
"Gak akan!" tegas Qiana penuh penekanan.
Tiga bulan kemudian…
Qiana sudah menyelesaikan kuliah pasca sarjana dengan lulusan terbaik mencapai nilai cumlaude. Qiana mulai fokus pada pekerjaannya setelah menyelesaikan S2 nya.
"Qiana, kamu datang sendiri atau ada yang jemput?" tanya Vionita model sekaligus sahabat Qiana.
"Aku datang sendiri. Siapa yang mau jemput aku?" Qiana mengangkat sebelah alisnya.
"Kali aja diam-diam udah punya gebetan!" Vionita terkekeh.
"Males punya cowok gak jelas banget!" ucap Qiana dingin.
"Bukannya kamu udah punya cowok yah di Bandung, siapa namanya?" selidik Vionita.
"Gilang maksudnya?" jawab Qiana malas.
"Nah iya itu bukannya dia cowok kamu, Qi?" tanya Vionita.
"Aku gak tahu akhir hubunganku dengan Gilang mau dibawa kemana, kedua orang tuanya gak setuju kalau Gilang menjalin hubungan denganku. Mereka orang kokay sedangkan keluarga aku orang kismin." sahut Qiana.
"Aku paling benci kalau ada orang tua yang model begituan kolot banget gayanya, pilih mantu mesti orang kokay. Padahal mereka juga kalau ada diposisi kita pasti gak bakalan mau tuh, coba mereka yang kismin kita yang kokay bisa mati kutu ditendang hahaha…" kelakar Vionita.
"Aku dan Gilang sebenarnya masih mau lanjut. Tapi hubungan kami terhalang restu orang tua Gilang, gak tahu deh!" Lanjut Qiana terdengar pasrah.
Tanpa Qiana tahu, ada sepasang telinga yang mendengar percakapan mereka berdua. Sosok itu tersenyum senang mendengar penuturan Qiana.
Peragaan busana dimulai dengan pembukaan yang disambut oleh pemilik perusahaan Nyonya Ingerda Sophia Willemina Wijaya. Sambutan dari agensi penyedia model oleh Alvan Pratama Putra Wijaya.
Tepuk tangan meriah menyambut Alvan di atas catwalk. Sorak sorai para pengunjung yang terpesona dengan ketampanan seorang CEO muda Alvan Pratama Putra Wijaya, terdengar riuh rendah.
Acara yang dihadiri oleh kalangan elite itu memperkenalkan produk baru dari butik milik Oma Inge. Rancangan busana kali ini Oma Inge percayakan kepada Qiana. Untuk bahan dan model ditentukan perusahaan Alvan.
"Kamu puas dengan hasilnya, Qiana?" tanya Oma Inge.
"Aku sangat puas, Oma." Jawab Qiana.
Qiana tersenyum menyembunyikan semua keresahan hatinya pada Oma Inge. Sebagai orang yang sudah sangat mengenal Qiana tentu Oma Inge tahu apa yang ada di balik senyum Qiana itu.
"Ada apa?" tanya Oma Inge.
"Tidak ada apa-apa, Oma." Ucap Qiana.
"Oma bisa jadi pendengar yang baik untukmu, Qiana." Ujar Oma Inge.
"Terima kasih, Oma." Qiana tertunduk.
"Jangan segan! Kapan pun kamu datang dan ingin bercerita, Oma akan selalu siap mendengarkan. Anggap Oma sama seperti nenekmu, bolehkan?" Oma Inge menepuk hangat bahu Qiana.
"Dengan senang hati, Oma." Qiana tersenyum.
Ada perih dihati Qiana saat orang lain menganggap dirinya sebagai seorang cucu. Sementara nenek kandungnya sendiri tidak pernah mengakuinya sebagai cucu karena miskin. Sangat miris memang, tapi itulah kehidupan Qiana.
"Kalau kamu ingin menangis, menangis saja! Jangan ditahan. Keluarkan semua uneg-uneg yang ada dihatimu lepaskan beban yang menghimpit dadamu agar tidak sesak." Oma Inge merentangkan kedua tangannya di hadapan Qiana, dengan cepat Qiana menyambutnya dan masuk dalam dekapan Oma Inge.
Tanpa Qiana dan Oma Inge tahu, Alvan menatap sinis kepada mereka. Alvan mengepalkan kedua tangannya, melihat kedekatan Oma Inge dan Qiana.
Alvan benar-benar merasa cemburu melihat adegan itu, dirinya tidak ingin berbagi kasih sayang sang Oma dengan siapapun.
"Sedekat itukah Oma dan Qiana?" batin Alvan geram.
"Hei, ngapain lihatinnya gitu amat? Cembokur yah?" tegur Gherry.
"Jujur gue gak suka melihat kedekatan Oma dan Qiana!" sahut Alvan.
"Kenapa? Jangan-jangan lu suka sama Qiana, Al?" tebak Gherry.
"Sembarangan! Jangan asal nuduh kalau ngomong, gue tabok baru tahu rasa lu!" Alvan menepuk pipi Gherry.
"Qiana, malam ini sudah ada janji?" tanya Oma Inge.
"Tidak! Kenapa, Oma?" Qiana balik bertanya.
"Oma mau mengajakmu makan malam kamu jangan menolak lagi, Qiana. Oma marah kalau kali ini kamu menolaknya, Oma gak suka." Oma Inge mencebikkan bibirnya sementara Qiana hanya terkekeh.
"Baiklah! Malam ini aku tidak akan menolaknya, Oma." Balas Qiana tersenyum manis, yang membuat lesung pipinya terbit di kedua sisi kiri dan kanan pipinya yang mulus.
Qiana dan Oma Inge segera pergi dari aula kantor Alvan, mereka berjalan bergandengan tangan layaknya seorang nenek dan cucu perempuannya.
Pemandangan itu mampu membuat wajah Alvan menatap sinis pada Qiana. Qiana menyadari tatapan Alvan kepadanya dengan jahil menjulurkan lidah, lalu menggelayut manja di lengan sang Oma.
"Wleeek…!" ledek Qiana.
"Sialan, Qiana!" gumam Alvan kesal.
Dada Alvan kembang kempis menahan emosi. Qiana sengaja ingin memperlihatkan kedekatannya dengan sang Oma.
"Qiana, tunggu sebentar! Oma ingin ke toilet dulu." Pinta Oma Inge.
Oma Inge pergi ke toilet sementara Qiana menunggu. Saat itu Alvan datang menghampiri lalu menarik tangan Qiana dengan kasar.
"Hei, ngapain tarik-tarik tangan aku? Lepasin…!" Qiana mencoba berontak.
Alvan menyeret Qiana hingga membawanya ke tempat yang sepi. Tidak ada orang yang lewat di depan gudang hanya ada Alvan dan Qiana saja berdua.
"Mau dibawa kemana aku, hah?" hardik Qiana.
"Diam!" bentak Alvan.
Setelah berada di depan gudang Alvan mengunci kedua tangan Qiana di dinding. Qiana yang pernah dicium oleh Alvan saat di dalam mobilnya, merasa takut jika Alvan akan kembali menciumnya.
"Kamu mau ngapain?" tanya Qiana ketakutan.
"Dengarkan aku baik-baik, Qiana! Jangan pernah berharap kamu bisa merebut simpati dan mencuri perhatian Oma! Aku tidak akan mengizinkan siapapun mendekati Oma! Aku tahu kamu mendekati Oma karena ingin memanfaatkan kebaikannya saja, bukan?" Wajah Alvan sudah sangat dekat dengan wajah Qiana, bahkan hembusan nafas keduanya sama-sama terasa hangat di wajah mereka masing-masing.
"Terserah apa penilaianmu padaku, tuan muda Alvan Pratama Putra Wijaya! Aku tidak takut sama sekali dengan ancaman kamu, aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang asisten. Apa yang aku lakukan pada Oma, adalah sebagai bentuk rasa hormatku kepada beliau. Jika kamu menganggap aku akan merebutnya darimu, itu salahmu sendiri yang selalu menilai buruk tentangku. Kamu baru kenal aku, sedangkan Oma sudah mengenalku jauh dari yang kamu tahu." Ucap Qiana.
"Berani kamu!" Alvan semakin mendekatkan wajahnya hingga jarak diantara mereka berdua hanya tinggal beberapa inci saja.
"Kenapa aku harus takut, kalau aku tidak bersalah?" balas Qiana dengan tatapan menusuk.
"Jauhi Oma, jangan cari perhatian lagi padanya! Kalau tidak…" ucapan Alvan terpotong.
"Kalau tidak kenapa?" rahang Qiana mengeras.
Sejenak Alvan menatap wajah Qiana lekat, ada debaran yang tidak biasa Alvan rasakan di dalam dadanya saat mata mereka saling bertemu.
"Sial…! Kenapa jantungku selalu berdebar kencang kalau dekat dengan Qiana? Apa karena aku sangat membencinya?" batin Alvan.
"Haaah…!" Qiana mendorong tubuh Alvan.
Dengan cepat Qiana berlari menghindar dari Alvan, namun saat Qiana akan mempercepat larinya tiba-tiba Oma Inge datang dan menghampiri Qiana.
"Qiana, Alvan…? Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanya Oma Inge penuh curiga.
"Aku mengajak Qiana bicara serius soal pekerjaan, Oma." Sela Alvan berbohong.
"Eh?" Qiana menatap tidak suka pada Alvan.
"Kenapa harus ditempat sepi seperti ini, Al? Apa tidak punya tempat yang lebih romantis lagi, hem?" goda Oma Inge.
"Eh? Bukan begitu, Oma." Alvan kehabisan kata-kata.
"Ya sudah kalau mau lanjut ngobol di kantor Oma saja, sekalian kamu antar Oma dan Qiana kembali ke kantor. Pak Tatang belum Oma hubungi, kalau Oma harus menunggu Pak Tatang menjemput kelamaan. Oma dan Qiana masih ada janji, Qiana juga harus siap-siap." Tutur Oma Inge membuat Alvan tidak bisa menolak.
"Sial, kenapa harus aku?" batin Alvan.
"Kenapa harus berurusan lagi dengan dia sih? Dasar cowok nyebelin!" batin Qiana.
"Ayo cepat, Al! Kenapa malah bengong, hah?" Oma Inge terpaksa menarik tangan Alvan, hingga tak sengaja Alvan menginjak kaki Qiana.
"Awww…" teriak Qiana kesakitan.
"Qiana, kamu kenapa?" tanya Oma Inge.
"Gak usah lebay deh! Pake cari perhatian Oma segala!" sahut Alvan kesal.
"Kakiku kamu injak dan itu sakit. Kamu bilang aku lebay, rasakan ini!" Qiana membalas Alvan dengan menginjak kaki Alvan lebih kencang.
"Awww… kamu yah!" Alvan menunjuk wajah Qiana.
"Eh sudah… sudah…! Kalian ini malah ribut, bukannya cepat pergi dari sini!" Oma Inge yang pusing melihat Qiana dan Alvan ribut memilih pergi dari tempat itu.
Sementara Alvan dan Qiana berebut jalan untuk segera pergi menyusul Oma Inge yang sudah berlalu. Karena tidak ingin kalah dari Qiana, Alvan menggunakan sikunya untuk mendorong Qiana agar menjauh.
Sialnya siku Alvan mengenai salah satu bola kenyal milik Qiana, hingga Qiana merasakan ngilu pada salah satu gunung kembarnya yang disikut Alvan.
"Aaarrrggghhh… sssttt…" desis Qiana seraya memegang bagian yang sakit.
Alvan yang menyadari itu segera menoleh pada Qiana, kini dengan perasaan bersalah Alvan menghampiri Qiana yang berada di belakangnya.
"Maaf…!" ucap Alvan datar.
Qiana yang mendengar ucapan maaf dari Alvan hanya mendelik kesal dengan tangan yang masih memegang area sensitifnya. Qiana sekali lagi menginjak kaki Alvan lalu berlari menyusul Oma Inge.
"Sialan, Qiana! Dia mau menipuku rupanya, pura-pura sakit agar aku mengalah padanya. Awas aja Qiana, lain kali aku gak akan tertipu lagi sama trik receh kamu!" ucap Alvan geram.
Alvan mengemudikan mobilnya menuju kantor sang Oma. Oma Inge dan Qiana duduk berdampingan di belakang sambil berbincang. Alvan turut mendengarkan apa yang dibicarakan Qiana dan Oma Inge.
"Sudah berapa lama kalian pacaran?" tanya Oma Inge.
"Tiga tahun, Oma." Jawab Qiana dengan raut wajah sedih.
"Sudah ada rencana menikah?" tanya Oma Inge.
"Belum, Oma." Qiana terlihat ragu.
"Kenapa?" Oma Inge mengerutkan dahinya.
"Kedua orang tua Gilang tidak menyukai aku, Oma. Hubungan kami terhalang restu kedua orang tua Gilang, mereka orang kaya sedangkan keluargaku hanya orang miskin. Itu yang menyebabkan kedua orang tua Gilang tidak setuju kalau Gilang menikah denganku, dan sangat menentang hubungan kami." Tutur Qiana sedih.
Alvan melirik sekilas pada Qiana di balik kaca spionnya. Mendengar cerita Qiana membuat Alvan sedikit iba kepada Qiana.
"Kasihan juga nasib Qiana! Kisah cintanya tidak semulus dan sesukses kariernya. Beruntung dia dekat dengan Oma jadi ada teman curhat." Batin Alvan.
"Eh? Kenapa aku jadi merasa iba sama Qiana? Ishhh aku gak boleh kasihan sama Qiana! Dia juga gak boleh terlalu dekat dengan Oma." Gumam Alvan dengan geram.