Chapter 10 - Bab. 10

Setelah Qiana dan Alvan menyusun rencana, mereka pergi tidur di dalam kamar masing-masing di apartemen Alvan.

Grubak…

Grubuk…

Grubak…

Grubuk…

Alvan berulang kali berguling ke kiri dan ke kanan, untuk memperbaiki posisi tidurnya.

"Ishhh… kenapa gak bisa tidur sih?" gerutu Alvan kesal.

Alvan sudah memejamkan matanya sejak berada di atas tempat tidurnya, tapi tetap saja tidak kunjung tidur.

"Haiiihhh…! Qiana ada di kamar sebelah, tapi kenapa aku semakin resah memikirkan soal Qiana coba?" keluh Alvan.

Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Alvan bangkit dan keluar dari dalam kamarnya.

Alvan memilih berselancar di dunia maya dengan ponselnya, sambil rebahan di atas sofa.

"Qiana…?" mata Alvan terbelalak.

Alvan iseng membuka status Qiana. Baru kali ini Alvan membuka status orang lain, dan itu adalah status Qiana.

"Qiana, ternyata kamu belum tidur juga?" gumam Alvan lirih.

Alvan menatap layar ponselnya dan membaca status Qiana berulang kali.

"Kenapa aku jadi khawatir seperti ini pada Qiana? Aku tidak boleh jatuh cinta pada Qiana! Tidak boleh!!!" ucap Alvan tegas.

Alvan kembali menyimpan ponselnya di atas meja. Bergegas dia merebahkan kembali tubuhnya di atas sofa.

Tak berapa lama Alvan terlelap dalam tidurnya, begitu pula dengan Qiana.

Chrip…

Chrip…

Chriiip…

Suara kicau burung dipagi hari saling bersahutan. Burung-burung itu bertengger di atas dahan pada pohon di dekat apartemen, ada juga yang berterbangan kesana kemari.

"Hoaaammm…" Qiana menguap tubuhnya menggeliat.

Qiana bangkit dari tempat tidrunya lalu membuka tirai jendela dan tersenyum manis melihat pemandangan hijau yang menghampar di belakang apartemen.

"Ah! Jadi rindu suasana rumah!" ucap Qiana lirih.

Qiana kemudian pergi mandi. Setelah selesa mandi dan berpakaian rapi, Qiana segera keluar dari kamarnya.

"Eh? Kenapa dia tidur di atas sofa?" gumam Qiana.

Qiana berjalan pelan menuju pintu. Saat akan memutar kunci, Alvan terbangun dan melihat Qiana sudah berdiri di depan pintu.

"Kamu mau kemana, Qiana?" tanya Alvan.

"Eummm… aku mau ke bawah dulu nyari sarapan." Jawab Qiana.

"Ouh, oke!" Alvan hanya ber 'oh' ria lalu memejamkan kembali matanya.

Qiana lalu pergi untuk mencari sarapan di sekitar apartemen. Qiana tahu tempat dimana akan menemukan sarapan yang enak untuk dinikmati pagi ini.

"Qiana!" suara yang sudah tidak asing ditelinga Qiana.

Qiana tahu betul itu adalah suara Gilang, tapi Qiana tidak mempedulikan Gilang sama sekali. Qiana semakin mempercepat langkahnya untuk menghindari Gilang.

"Qiana tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" teriak Gilang.

Qiana terus saja berlari kecil demi menghindari Gilang, tapi Gilang tidak tinggal diam dia terus gigih mengejar Qiana.

Tap…

Gilang berhasil mencekal tangan Qiana, lalu menarik tubuh Qiana masuk ke dalam pelukannya.

"Apa lagi yang kamu inginkan, Gilang?" tanya Qiana geram.

Qiana berusaha melepaskan diri dari pelukan Gilang. Selama ini Qiana belum pernah berinteraksi sedekat ini dengan Gilang, apa lagi sampai berpelukan seperti yang Qiana lakukan dengan Alvan.

"Lepaskan aku, Gilang!" Qiana berontak.

"Aku ingin kita bicara baik-baik, Qiana!" pinta Gilang.

"Lepaskan aku!" Qiana terus berontak.

"Qiana, aku tidak akan melepaskan kamu sampai kamu bersedia bicara denganku." Ucap Gilang.

"Jangan sentuh aku! Kita juga sudah putus. Jangan ganggu aku lagi, Gilang!" Qiana meronta.

Qiana mendorong tubuh Gilang agar menjauh darinya. Saat yang tepat Alvan datang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alvan.

"Aku datang untuk menemui pacarku, kenapa?" Gilang tersenyum masam.

"Pacarmu?" smirk di wajah Alvan.

"Iya! Qiana adalah pacarku." ucap Gilang tak tahu malu.

"Aku bukan pacarmu! Kita sudah putus! Ingat itu, Gilang!" bentak Qiana.

"Apa dia laki-laki yang sudah tidur denganmu, Qiana?" ejek Gilang.

Plaaakkk…

Sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di wajah Gilang. Terasa sakit dan panas pipi Gilang saat ini.

"Jaga ucapanmu, Gilang!" Qiana menatap tajam kepada Gilang.

"Ayo kita pergi, Qiana!" Alvan menarik tangan Qiana dan membawanya pergi.

Gilang tidak ingin melepaskan Qiana begitu saja. Gilang kembali mengejar Qiana.

"Qiana, tunggu!" Gilang menarik tangan Qiana.

"Lepaskan tanganku!" Qiana menepis tangan Gilang.

"Qiana, aku mau kita bicara dan selesaikan masalah kita." Gilang terus memaksa.

"Aku tidak mau bicara denganmu." Qiana menolak dengan tegas.

"Qiana, aku sangat mencintaimu." Gilang memegang tangan Qiana erat-erat.

"Itu terdengar sangat lucu, Gilang! Kamu tidur dengan wanita lain karena kamu mencintaiku? Dan wanita itu adalah Salsa sepupuku!" ucap Qiana.

"Aku ingin mempertahankan cinta kita dengan hubungan fisik. Aku sangat membutuhkan itu, Qiana." ucap Gilang dengan wajah memelas.

"Jadi itu semua salahku?" tanya Qiana

"Menjijikkan!" batin Alvan.

"Aku sangat merindukanmu, Qiana! Kita sudah terlalu lama menjalin hubungan, tapi kita tidak pernah bercinta sekalipun." ucap Gilang tanpa rasa malu.

"Sekarang kamu sudah memiliki Salsa, kamu bisa melepaskan aku. Biarkan aku pergi!" tolak Qiana.

"Iuuuhhh… jijay!" batin Alvan memutar bola mata dengan malas.

Qiana pergi meninggalkan Gilang yang masih berdiri mematung, sementara Alvan segera mengejar Qiana yang sudah berlari meninggalkannya.

Qiana berlari tanpa memperhatikan jalan sama sekali. Matanya yang sudah berembun membuat penglihatannya tidak fokus.

Bruukkk…

Sebuah mobil dari arah lain datang membanting tubuh Qiana jatuh ke jalan aspal.

"Ahhh!!!" tubuh Qiana terhempas.

"Qianaaa…!" teriak Alvan.

"Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki yang duduk di kursi belakang kepada supir pribadinya.

"Ma… maaf, Pak! Sepertinya kita menabrak seseorang." Jawab seorang supir dengan gugup.

"Ya sudah! Cepat kita keluar, lihat bagaimana keadaan orang itu!" perintah laki-laki itu.

Laki-laki itu dan supirnya segera keluar untuk melihat korban yang tertabrak mobilnya.

"Qiana, kamu gak apa-apa?" tanya Alvan saat Qiana meringis kesakitan.

"Aku tidak apa-apa! Aku hanya kaget saja." Balas Qiana.

"Qiana, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!" ajak Gilang yang langsung ditolak oleh Qiana.

"Qi… Qiana?" laki-laki itu terkejut saat melihat Qiana.

"Iqbal?" Qiana dan Gilang sama-sama terkejut melihat Iqbal.

Alvan jadi menatap bingung ke arah laki-laki yang Qiana panggil Iqbal itu.

"Qiana, aku antar ke rumah sakit." tawar Iqbal.

"Aku tidak ingin ada diantara Iqbal dan Gilang. Aku harus segera pergi!" batin Qiana.

"Qiana, kamu bisa berdiri?" tanya Alvan.

"Iya! Bawa aku pergi sekarang!" pinta Qiana.

Qiana menolak ajakan Gilang dan tawaran Iqbal. Qiana lebih memilih pergi bersama Alvan.

"Awww!" pekik Qiana.

"Apa kakimu sakit?" tanya Alvan.

"Sepertinya terkilir." Ucap Qiana.

Tanpa ba bi bu Alvan langsung mengangkat tubuh Qiana, dan membawa ke dalam gendongannya. Spontan Qiana mengalungkan tangannya di leher Alvan.

Melihat Qiana dibawa olek laki-laki lain membuat Gilang cemburu. Tak jauh beda dengan Iqbal. Mereka sama-sama cemburu melihat Qiana bersama laki-laki lain.

"Di depan ada klinik, aku akan membawamu ke sana." ucap Alvan.

"Heummm…" balas Qiana.

Alvan segera membawa Qiana ke klinik di sebrang apartemen. Qiana yang merasa nyaman berada di dalam gendongan Alvan terus saja memandang Alvan tanpa berkedip sedetik pun.

"Bulu matanya begitu panjang dan tebal. Dia sangat tampan!" batin Qiana terpana.

"Jangan menatapku seperti itu! Nanti kamu bisa jatuh cinta kepadaku! Apa mau aku cium lagi?" goda Alvan membuat wajah Qiana bersemu merah.

"Eh?" Qiana memalingkan wajahnya.

Alvan tersenyum tipis di balik wajah tampannya yang nyaris tak terlihat. Tapi tetap menerbitkan lesung pipi di kedua belah pipinya.

"Suster, tolong! Dia baru saja tertabrak mobil. Mungkin kakinya terkilir." ucap Alvan kepada salah seorang suster di klinik.

"Baiklah! Tolong bawa pasien ke dalam dan baringkan di atas kasur." balas suster.

Sementara di luar apartemen Gilang merasa heran dengan kedatangan Iqbal yang tiba-tiba.

"Kenapa kamu datang sekarang?" tanya Gilang.

"Aku ada urusan bisnis di Bandung." Jawab Iqbal.

"Kebetulan sekali!" ledek Gilang.

"Apa maksudmu, Gilang?" tanya Iqbal.

"Kamu dan Qiana. Kalian berdua ada di sini untuk urusan bisnis, apa ini bukan kebetulan?" Gilang balik bertanya.

"Memang, tapi itu tidak aneh." Balas Iqbal.

"Ini aneh. Selama ini Qiana bekerja di Jakarta dan kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu di luar kota. Aku belum pernah melihat Qiana sama sekali. Kamu tiba-tiba muncul dan bertemu dengan Qiana saat dalam perjalanan bisnis. Apa kamu melakukan ini dengan sengaja?" tanya Gilang.

"Bukan begitu. Aku harus pergi!" ucap Iqbal.

"Tunggu, Iqbal! Kita belum selesai bicara!" Gilang menahan Iqbal.

Di dalam klinik, Qiana sudah selesai ditangani. Qiana masih menunggu di ruang tunggu, sementara Alvan membayar biaya pengobatan Qiana.

"Qiana!" seorang wanita memanggilnya.

Qiana menoleh ke arah sumber suara. Ada Salsa sedang berjalan mendekat ke arah Qiana.

"Aku pikir itu orang lain. Kakimu terluka. Qiana, jangan melakukan hal bodoh pada dirimu, karena aku… akan merasa bersalah." ejek Salsa.

"Apa kamu bercanda?" Qiana tersenyum dengan smirk di wajahnya.

"Qiana, aku sedang mengandung bayi Gilang." ucap Salsa dengan bangga.

Deg…!

Jantung Qiana berpacu dengan kencang. Qiana mencoba untuk tidak emosi dengan semua pengkhianatan yang dilakukan Salsa dan Gilang.

"Selamat dan terima kasih sudah membebaskan aku dari Gilang." balas Qiana dingin.

"Qiana, kamu tahu kenapa Gilang sangat mencintaiku?" tanya Salsa.

"Bukan hanya karena aku cantik, lembut, baik hati dan humoris. Tapi aku bisa memuaskan juga di atas tempat tidur. Sementara kamu…? Kamu sangat kaku, Qiana!" cibir Salsa.

"Kamu tidak tahu malu, Salsa!" ucap Qiana meremehkan.

Bruuukkk…

Tiba-tiba Salsa menjatuhkan tubuhnya di hadapan Qiana. Dengan senyum smirk di wajahnya, Salsa meraih tangan Qiana.

"Qiana, aku salah karena selingkuh dengan Gilang di belakangmu… tapi aku sangat mencintai Gilang. Tolong biarkan aku dan Gilang hidup bahagia! Saat ini aku sedang mengandung anak Gilang!" pinta Salsa dengan wajah memelas.

"Apa yang kamu lakukan, Salsa? Lepaskan tanganku!" ucap Qiana.

"Ahhh! Sakit sekali…" Salsa sengaja menjatuhkan tubuhnya.

"Kamu baik-baik saja, Salsa?" tanya Gilang.

Gilang datang dan membantu Salsa berdiri.

"Jangan salahkan Qiana. Aku jatuh sendiri." ucap Salsa dengan seringai di wajahnya.

"Kenapa kamu masih membela, Qiana?" tanya Gilang.

Salsa tersenyum licik di balik punggungnya yang terlihat oleh Qiana.

"Qiana, aku salah menilaimu selama ini. Aku tidak tahu kamu begitu jahat." hardik Gilang.

"Aku tidak mendorongnya sama sekali. Dia jatuh dengan sengaja. Kenapa kamu menyalahkan aku, Gilang?" protes Qiana.

"Kamu pembohong, Qiana!" kilah Gilang.

"Ahhh!" Qiana terhuyung ke belakang karena Gilang mendorongnya.

"Kamu…!" Gilang terkejut melihat kedatangan Alvan.

"Apa yang kamu lakukan?" bentak Alvin.

"Qiana mendorong Salsa, dia ingin mencelakai Salsa dan bayi kami." ujar Gilang beralasan.

"Tapi apa yang aku lihat sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh kekasihmu itu!" ucap Alvan.

"Eh?" Salsa gugup sementara Gilang jadi merasa bersalah.

"Kamu bilang Qiana adalah pacarmu dan sekarang kamu punya anak dengan wanita lain? Apa orang tua kalian tahu itu?" tanya Alvan.

"Aku…" Gilang terlihat gugup.

"Aku dan Gilang sudah lama berhubungan. Aku rasa tidak ada masalah kalau kami punya bayi. Lagi pula Qiana jarang pulang, sedangkan Gilang membutuhkan belaian seorang wanita sepertiku. Tidak salah bukan?" ucap Salsa bangga.

"Tak tahu malu!" cibir Alvan.

"Salsa, diamlah!" bentak Gilang.

"Aku mengatakan yang sebenarnya." Salsa mencebikkan bibirnya, sementara Qiana memutar bola mata dengan malas.

"Qiana harus melalui semua ini dengan situasi sulit. Kasihan, Qiana." batin Alvan.

"Beraninya kamu, Salsa?" ucap Gilang setengah berbisik.

"Kita pergi! Aku sudah menebus resep obat untukmu." Ajak Alvan.

"Ayo!" Qiana membalikkan badannya lalu pergi bersama Alvan.

Alvan membopong tubuh Qiana karena kaki Qiana terluka. Melihat kepergian Qiana dengan Alvan membuat Gilang kecewa dan sakit hati.

"Maafkan aku, Qiana! Harusnya aku yang ada bersamamu saat ini…" gumam Gilang lirih.

"Sebaiknya kamu istirahat di apartemen saja. Biarkan aku yang mencari sarapan untuk kita." ucap Alvan.

"Terserah! Aku ikut saja bagaimana baiknya menurutmu." Sahut Qiana pasrah.

"Ya sudah! Kamu tunggu di sini aku akan ke bawah mencari sarapan." ucap Alvan.

Alvan pergi meninggalkan Qiana sendiri di dalam apartemennya.

Kring…

Kring…

Kring…

Ponsel Qiana berbunyi. Qiana menatap layar ponsel, saat melihat nama Iqbal di layar ponselnya Qiana menyimpan kembali ponselnya.

"Shiiittt! Kenapa kamu gak mau mengangkat telepon aku, Qiana?" sesal Iqbal.

Iqbal terus berusaha menghubungi Qiana. Karena ponselnya terus bordering, Qiana terpaksa mengangkat panggilan dari Iqbal.

"Ada apa?" tanya Qiana ketus.

"Kamu dimana, Qi?" suara Iqbal di balik teleponnya.

"Bukan urusanmu!" jawab Qiana.

"Qiana, aku mohon! Aku ingin kita bicara. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan kepadamu, Qiana…" pinta Iqbal dengan suara memelas.

"Ada apa lagi? Aku rasa semuanya sudah jelas, Iqbal." Sahut Qiana.

"Tapi, Qiana! Sekarang situasinya sudah berbeda! Kamu dan Gilang sudah putus, bukan?" ucap Iqbal di ujung teleponnya.

"Sudahlah, Iqbal! Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan. Saat ini aku hanya ingin sendiri. tolong jangan hubungi aku lagi." Qiana mengakhiri panggilan teleponnya.

Qiana menangis dibalik kakinya yang dilipat. Ada nyeri menusuk relung hatinya. Di saat Qiana ingin memperjuangkan cintanya dengan Gilang, justru Gilang sendiri yang mengkhianati Qiana.

Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah, Gilang selingkuh dengan Salsa saudara sepupunya sendiri. Baik Gilang mau pun Salsa mereka sama-sama tahu jika Qiana adalah pacar Gilang dan juga sepupu Salsa.

"Arghhh…" teriak Qiana.

Greppp…

Alvan memeluk tubuh Qiana dari arah belakang. Qiana yang sedang menangis jadi terkejut dibuatnya.

"Menangislah…! Lepaskan semua beban dipundakmu. Jangan biarkan kesedihan merenggut kebahagiaan yang sudah ada di depan mata. Setelah puas menangis, tersenyumlah untuk meraih bahagia…" Alvan mengeratkan pelukannya.

Qiana merasakan kehangatan, ketulusan, dan kelembutan Alvan. Dalam pelukan pria tampan berdarah jawa dan padang itu, Qiana begitu nyaman. Sejenak rasa sakitnya hilang oleh dekapan hangat Alvan.

"Terima kasih…" ucap Qiana.

"Sudah lebih baik?" tanya Alvan melerai pelukannya.

Qiana mendongakkan kepala menatap Alvan sayu. Matanya terpejam saat Alvan menyentuh lembut bibirnya yang basah.